“Kenapa harus pindah?” Lintang menghampiri Raga yang sedari tadi duduk di sofa kamar Lintang, guna menjelaskan beberapa hal. Ia duduk di ujung sofa, untuk memberi jarak dengan Raga. “Apa karena Safir tadi sore?”“Ya.” Raga tidak akan menyembunyikan hal tersebut dari Lintang. Gadis itu harus tahu, kalau perbuatan Safir sore tadi tidak bisa dibenarkan. Oleh karena itu, untuk menghindari pergesekan yang mungkin bisa memanas, Raga memutuskan untuk pindah dari rumah orang tuanya. “Aku nggak mau kejadian sore tadi terulang lagi ke depannya.”“Yaaa, aku nggak papa kalau memang mau pindah,” kata Lintang tapi masih merasa ragu. “Tapi … kita tinggal di mana?”“Di rumah lamaku.” Benar dugaan Raga, untuk satu hal ini Lintang tidak akan menolak usulannya. Yang Raga perhatikan, selama ini Lintang tidak pernah merasa nyaman dengan kehadiran Safir. Gadis itu selalu punya alasan untuk pergi, jika ada safir di ruangan yang sama.Mungkin, Lintang tahu jika Safir kerap mencuri pandang padanya dan gadis i
Subuh kala itu, Lintang membuka mata dengan malas. Rasa kantuk yang masih menjerat akibat begadang, terasa sulit untuk dikalahkan. Jika bukan karena ada Raga yang menuntut untuk tidur di kamarnya, mungkin Lintang sudah bisa memejamkan mata seperti malam-malam sebelumnya.Namun, ada satu hal yang membuat Lintang mengerutkan dahi. Ia ingat benar, setelah Rama tertidur lelap saat hampir tengah malam, Lintang segera berpindah tidur di sofa sesuai titah Raga. Akan tetapi, mengapa pagi ini Lintang kembali terbangun di tempat tidur?Lintang pun menoleh, menatap Rama dengan posisi tidur yang sudah tidak menentu. Kedua kaki Rama kini melintang di paha Lintang, dan kepala bocah itu ada di sisi tempat tidur yang berbeda. Namun, Lintang tidak melihat Raga ada di tempat tidurnya seperti malam tadi.Kepala Lintang menoleh cepat pada sofa, tapi tidak juga menemukan pria itu di sana.Lantas, apakah Raga sudah bangun lebih dulu daripada Lintang?Atau, setelah memindahkan tubuh Lintang ke tempat tidur,
“Beberapa hari ke depan, akan ada tukang yang ngecat ulang rumah ini.” Raga yang baru keluar dari mobil, menjelaskan kondisi rumahnya pada Lintang. Rumah penuh kenangan indah dengan mendiang sang istri, dan tidak akan mungkin Raga lupakan. “Air, Listrik, semua sudah dicek dan lancar,” sambung Raga terus berjalan melewati Lintang yang hanya bengong di tengah carport. “Besok, aku pasang wifi biar kamu nggak bosan ada di rumah.” Raga membuka pintu rumah dan masuk tanpa menunggu Lintang. Sederhana, tapi terlihat mewah. Rumah pribadi Raga memang tidak sebesar milik Ario maupun Anwar, tapi sangat terasa nyaman. Lintang akhirnya melangkah menyusul Raga ke dalam begitu. Begitu masuk, ia sudah disuguhkan dengan bagian dalam rumah dengan mengusung open concept design. Ruang tamu yang jadi satu dengan ruang makan, dengan pemandangan taman dan kolam renang di luar sana. Benar-benar terlihat segar dan membawa ketenangan tersendiri. Lintang saja sampai sudah membayangkan sarapan pagi sambil men
Perasaan Raga mulai tidak enak ketika mobilnya berhenti di parkiran sebuah gedung tiga lantai. Dari papan nama yang tertera besar di sisi luar gedung, Raga akhirnya tahu ke mana tujuan Lintang siang ini.“Ini kantormu, kan?” Pertanyaan tersebut hanya untuk basa basi.Lintang tersenyum tipis sambil membuka sabuk pengamannya. Namun, sorot matanya tidak ia tujukan pada Raga. Sejak pria itu mengajaknya melihat rumah yang saat ini sudah ditempati mereka, Lintang memang menjaga jarak dan lebih banyak diam.“Ayo keluar, Mas.” Lintang keluar lebih dulu, dan meninggalkan Raga yang tampaknya masih tercenung di dalam mobilnya. Lintang menyapa satpam dengan ramah, pun dengan resepsionis yang bertugas siang ini. “Panggilin Mas Fajar dong, Mbak. Bilangin ada tamu, tapi jangan bilang tamunya aku.”Senyum Lintang terlukis lebar, tapi tidak dengan hatinya. Resepsionis itu pun segera menghubungi Fajar yang dan mengatakan semua yang disampaikan Lintang barusan.“Lintang,” panggil Raga sudah berada di be
"Selama ini aku minder dengan statusku, Mas." Ucapan Lintang tersebut, dan seterusnya, selalu terngiang di kepala Raga selama perjalanan pulang dari kantor Fajar. Tidak hanya itu, pernyataan bahwa Lintang menyukai Fajar, juga membuat Raga diam selama perjalan dan memikirkan banyak hal. “Kamu, mau makan apa?” celetuk Raga tiba-tiba ketika mereka hampir sampai ke kantornya tepat di jam makan siang. Sedari tadi, tidak ada interaksi apa pun di antara mereka. Keduanya hanya tenggelam dengan pikiran masing-masing. “Aku mau makan di rumah,” jawab Lintang tidak ingin berlama-lama bersama Raga. Bukankah pria itu sudah menetapkan jarang di antara mereka, jadi Lintang harus tahu diri. “Bu Mena bikin ikan bakar, sayang kalau nggak dimakan.” “Ikan bakarnya bisa dimakan sore,” ujar Raga masih menatap lurus dengan kemudinya. “Ini mumpung kita—” “Nggak usah, Mas,” tolak Lintang tapi dengan ucapan yang tidak keras. “Aku mau pulang aja, dan nggak mau ngerepotin Mas Raga.” “Kamu nggak ngerepotin,”
Lintang berjongkok di hadapan Rama ketika bocah itu hendak berpamitan ke sekolah. Sudah jadi rutinitas pagi, yang tidak bisa terelakkan sama sekali. Karena di mana pun Lintang berada, bocah itu pasti akan mencarinya terlebih dahulu sebelum berangkat sekolah. Saling mencium pipi, juga memberi pelukan erat sebagai tanda perpisahan. Ketika Lintang berdiri, tangan kecil Rama itu menariknya keluar rumah. “Hari jumat nanti Tante ikut, kan?” tanya Rama terus melewati pintu keluar yang baru saja dibuka oleh Eni. “Jumat?” Lintang menatap tanya pada yang ia lewati. Seingat Lintang, sekolah Rama tidak mengadakan acara apa pun pada minggu-minggu ini. Apakah Eni lupa menyampaikan hal tersebut pada Lintang? “Emang jumat ada apa?” “Mama ulang tahun,” jawab Rama kemudian berhenti di samping mobil yang pintu penumpangnya baru saja dibuka oleh sopir pribadi bocah tersebut. “Kan, malamnya kita makan-makan.” Lintang membeku dan meneguk keras ludahnya. Rama memang memanggil Fayra dengan sebutan mama
“Mas Raga?” Lintang baru saja membuka pintu kamar, ketika melihat Raga tepat berdiri di depannya dengan tangan yang terangkat hendak mengetuk pintu. Raga mundur satu langkah, sambil menatap Lintang dari ujung rambut hingga kaki. Safir benar, semakin hari, Lintang memang terlihat semakin menarik dalam kesederhanaannya. Lintang tidak pernah berusaha menarik perhatian Raga, dan cenderung bersikap asing jika tidak keperluan sama sekali. “Aku mau ajak kamu makan siang di luar.” Memang itulah tujuan Raga pulang ke rumah setelah penolakan Lintang tadi pagi. Lintang menghela, kemudian melangkah maju sambil menutup pintunya. Lintang sedikit menggeser langkahnya, lalu berjalan melewati Raga. “Bukannya aku sudah bilang nggak mau. Jadi, please, jangan maksa. Lagian, ada angin apa Mas Raga mendadak mau ngajak makan siang di luar? Apa mau buat kesepakatan lagi? Kalau iya, udahlah ngomong aja di sini, nggak usah pake makan di luar. Beres.” Langkah kaki Lintang tertuju ke dapur lalu mengambil seb
“Lintang minta cerai.”Sepulang kerja, Retno meminta Raga untuk mampir ke kediaman Sailendra sebentar untuk membahas beberapa hal. Setelah mendudukkan putranya di ruang kerja Raga, barulah Retno menjelaskan semua hal yang terjadi sekitar tiga jam yang lalu di rumahnya.“Ga, Mama tahu pernikahan kalian bukan atas dasar cinta, tapi bukan berarti kamu bisa nyakitin perasaan Lintang,” sambung Retno. “Cukup tinggal satu atap selama waktu yang sudah ditentukan, dan jangan saling ikut campur dengan masalah masing-masing. Yang Mama lihat, selama ini Lintang nggak banyak macam, dan dia juga baik sama Rama.”“Sudah ngadu apa aja dia sama Mama?” Raga berdecak setelahnya, dan ingin buru-buru pulang ke rumah setelah pembicaraannya dengan Retno selesai. Tanpa sepengetahuan Raga, gadis itu berani keluar rumah dan sama sekali tidak mengabarinya.Retno menggeleng. “Nggak ada yang Lintang adukan ke Mama. Dia ke sini cuma minta bantuan Mama supaya bisa cerai dengan kamu,” jelasnya sembari mengerutkan al