Share

3. Banyak Rahasia

"Semua baju-bajumu sudah dikemas dan diantar ke rumah keluarga Sailendra pagi ini."

Lintang mengangguk paham atas ucapan Indri, ibu tiri yang tidak pernah menyukainya sama sekali. Sebenarnya, bagi Lintang, Indri bukanlah seorang ibu yang jahat. Wanita itu juga tidak pernah menghina Lintang, maupun bersikap kasar padanya. Indri lebih memilih menjaga jarak, dan hampir-hampir tidak pernah bicara walau mereka tinggal satu atap. 

"Jadi, kamu nggak perlu pulang," tambah Indri tanpa menyematkan senyum sejak mendatangi kamar pengantin Lintang bersama Anwar pagi ini. Jika bukan karena paksaan Anwar, Indri mana mau mendatangi Lintang seperti sekarang.

"Jam sembilan, sopir keluarga Sailendra akan jemput kamu di sini." Anwar menimpali. "Baik-baik di sana dan jaga nama baik keluarga. Cukup Biya yang sudah bikin kami malu karena kabur entah ke mana, jadi, kamu di sana harus jaga sikap. Paham, kamu, Lintang?"

"Paham, Pak." Sebagai seorang anak yang sudah dibesarkan sedari kecil, Lintang hanya bisa menuruti titah Anwar untuk membalas semua kebaikan keluar Dewantara selama ini. Meskipun diperlakukan berbeda dalam urusan kasih sayang, tapi Lintang selama ini tidak pernah kekurangan materi sedikit pun. Lintang mendapat pendidikan yang sama dengan Biya, dan juga bisa melanjutkan hingga ke jenjang S1. 

"Sekarang, pesan makan dan sarapanlah di kamar,” titah Anwar kemudian beranjak pergi bersama Indri keluar kamar tersebut. 

Napas Lintang sontak terbuang lega setelah mendengar suara pintu yang tertutup. Tidak ingin membuang waktu lagi, Lintang segera memesan sarapan sesuai titah Anwar barusan. Sebenarnya, Lintang ingin turun untuk sarapan di restoran hotel, tapi sudahlah. Anwar pasti punya pertimbangan tersendiri, hingga menyuruh Lintang sarapan di kamar saja.  

Baru saja Lintang meletakkan gagang telepon setelah memesan makanan, ia mendengar suara pintu kamar yang tertutup. Sejurus kemudian, ada Raga yang kembali menemuinya setelah semalam berceramah panjang membahas pernikahan mereka ke depannya. 

“Iya, Mas?” tanya Lintang berdiri kaku di samping nakas. Wajah tampan dengan garis nan tegas itu, pagi ini tampak begitu segar dan berbeda dengan wajah lelah tadi malam. Semoga saja, mood Raga pagi ini jauh lebih baik.

“Orangtuamu dari sini?” Raga mengajukan pertanyaan retoris yang sebenarnya tidak perlu lagi dijawab oleh Lintang. Dengan melihat Anwar dan Indri keluar dari kamar ini saja, membuat Raga sudah mendapatkan jawabannya.

Lintang mengangguk. “Mas Raga sudah ketemu?”

“Belum.” Raga menggeleng. “Aku lihat mereka keluar, waktu belok ke lorong kamar ini. Mereka sepertinya mau sarapan di bawah.”

Lintang kembali mengangguk. “Mungkin. Mas Raga ada perlu apa?”

“Jam sembilan, ada sopir anakku yang jemput kamu di lobi,” ujar Raga memberi tahu. “Namanya Bisma, dan pulanglah ke rumah dengan dia.”

Lagi-lagi, Linta memberi anggukan pada Raga. “Tadi, bapak juga sudah ngasih tahu.”

“Bapak?” Satu alis Raga terangkat pelan. Tanpa melepas tatapan dari Lintang, Raga berjalan pelan menuju sofa panjang dan duduk di sana. 

“Bapak Anwar,” terang Lintang memutar tubuhnya ke mana Raga melangkah. Namun, ia masih saja berdiri di samping nakas dan tidak bergeser ke mana pun. 

“Ah! Pak Anwar.” Wajar rasanya jika seorang anak memanggil dengan sebutan bapak pada ayahnya. Hanya saja, terasa aneh di telinga Raga, karena ia tahu pasti Biya memanggil Anwar dengan sebutan papa.

“Iya.” Lintang mengangguk. “Mas Raga ada perlu apa lagi?”

“Aku belum tahu nomor hapemu.” Raga mengeluarkan ponsel dari saku celana dan langsung membuka layarnya.

Dengan perlahan, Lintang menyebutkan deretan angka nomor ponselnya pada Raga. “Ada lagi, Mas?” tanyanya setelah Raga telah melakukan panggilan singkat pada nomor Lintang. 

“Sudah.” Raga mengembalikan ponselnya ke dalam saku celana, lalu menatap Lintang yang sedari tadi hanya berdiri di tempat. Menurut Raga, Lintang hanya kurang merawat dirinya sendiri. Selain itu, penampilannya juga sangat sederhana dan berbeda jauh dengan Biya.

Ditatap dengan intens oleh Raga, membuat Lintang jadi salah tingkah. Apa ada sesuatu yang salah dari diri Lintang, hingga pria itu menatapnya seperti itu. 

“Mas Raga, bisa keluar kalau sudah.” Jika tidak ada lagi yang dibicarakan, lebih baik Lintang meminta duda beranak satu itu keluar dari kamarnya.

“Kamu ngusir aku?” Jelas saja Raga tersinggung dengan perkataan Lintang barusan.

“Bukannya—”

“Kenapa kamu setuju menggantikan Biya tadi malam?” sela Raga bersedekap dan menegakkan tubuhnya. “Apa yang ditawarkan pak Anwar, sampai-sampai kamu setuju menikah denganku.”

“Nggak ada.” Lintang menggeleng pelan. “Bapak … nggak nawarin apa-apa ke saya.”

“Kamu terima begitu aja? Atau, kamu memang suka dengan Safir sebelumnya?” selidik Raga.

“Saya nggak pernah ketemu sama mas Safir sebelumnya,” ungkap Lintang. “Saya baru lihat dia, waktu datang ke hotel—”

“Jangan bohong,” sela Raga menyematkan senyum sinisnya. “Safir dan orangtuaku pernah makan malam di rumahmu, jadi, nggak mungkin.”

“Saya di kamar, dan nggak keluar sama sekali waktu keluarga Mas Raga—”

“Nggak mungkin!”

“Silakan tanya sendiri dengan pak Ario atau bu Retno, kalau Mas Raga nggak percaya.”

Jika sudah demikian, Raga pun yakin Lintang telah berkata yang sebenarnya. 

Namun, mengapa Lintang hanya berada di kamar ketika makan malam kedua keluarga tersebut dilaksanakan? Bukankah, Lintang juga termasuk anggota keluarga Dewantara?

Sementara Raga, saat itu memang tidak ikut makan malam karena putranya sedang demam. Jadi, ia tidak bisa pergi ke mana pun, dan hanya berada di sisi Rama. 

“Oke, kalau begitu.” Raga rasa cukup sekian pertanyaan yang diajukannya pada Lintang. Yang jelas, ia sudah memberi batasan pada gadis itu, dan tidak memberinya banyak harapan.

“Mas.” Tiba-tiba, Lintang memiliki beberapa hal yang hendak ditanyakannya pada Raga sebelum pria itu pergi.

“Ada apa?” Raga yang hendak berdiri, seketika mengurungkan niatnya. 

“Jadi, pernikahan ini cuma di atas kertas, kan?”

“Ya,” jawab Raga begitu yakin, karena memang seperti itu kenyataannya.

“Apa ada batas waktunya?”

“Batas waktu?” Raga balik bertanya, dan hampir bisa menerka maksud ucapan Lintang.

“Ya, maksud saya … karena pernikahan ini demi kepentingan keluarga jelang pemilu tiga tahun lagi.” Lintang tahu benar koalisi seperti apa yang tengah rancang kedua keluarga demi pencitraan, dan masuk ke dalam kancah pemerintahan. “Apa setelah itu, kita bisa … pisah?”

“Kamu ingin kita pisah?” Karena mereka saling tidak memiliki rasa cinta, sepertinya pertanyaan Lintang cukup masuk akal. Ketika nantinya keinginan keluarga telah tercapai, maka tidak ada salahnya jika mereka mengambil jalan masing-masing. 

“Ya,” angguk Lintang. “Saya mau kita pisah, setelah semua tujuan dua keluarga tercapai.”

“Nggak masalah,” jawab Raga dengan santai. Tentunya, hal ini akan menjadi angin segar bagi Raga karena tidak perlu menghabiskan waktu hingga seumur hidupnya dengan Lintang. “Tapi, cukup kita yang tahu dengan perjanjian ini. Rahasiakan dari orang lain. Dan, kita pisah setelah kondisi benar-benar kondusif.”

“Oke, Mas.” 

“Ada lagi yang mau ditanyakan?”

“Satu lagi!” 

“Silakan.”

“Kalau saya resign … itu artinya saya nganggur di rumah.” Setelah semalaman memikirkan nasibnya, Lintang akhirnya memiliki sebuah ide untuk menggantikan kegiatannya. Tidak mungkin rasanya jika Lintang hanya menengadahkan tangan pada Raga selama ia menikah.

“Kamu bisa … nanti tanyakan mama,” kata Raga segera berdiri setelah melihat jam yang melingkar di pergelangan tangannya. “Kamu bisa ikuti kegiatan beliau sehari-hari.”

Lintang menggeleng tidak setuju dengan saran Raga. “Aku mau buka toko buku, karena Mas Raga nggak ngebolehin aku keliaran jadi sales. Aku ngerti, Mas Raga dan keluarga Sailendra pasti malu punya menantu yang kerjanya cuma nyales, tapi kalau aku jadi pemilik toko buku, kalian pasti nggak akan—”

“Keluargamu nggak protes kamu jadi sales buku?” Hal inilah yang mengusik pikiran Raga. “Keluarga Dewantara, pemilik media tersohor punya anak yang kerjanya nyales? Kenapa mereka nggak pekerjakan kamu di perusahaan, seperti Biya?”

Lintang tersenyum datar, tapi tidak bisa menjawab pertanyaan Raga. 

“Saya punya tabungan, tapi nggak seberapa,” ujar Lintang mengabaikan pertanyaan Raga. “Apa bisa saya pinjam uang Mas Raga dulu untuk nyewa ruko? Nanti—”

“Jawab pertanyaanku Lintang.” Belum sehari mengenal Lintang, tapi gadis itu menyimpan banyak rahasia yang membuat Raga penasaran.

“Tanyakan itu dengan pak Anwar, dan bu Indri,” pinta Lintang kembali menyematkan senyum yang sama. “Karena … cuma mereka yang bisa jawab.”

 

Komen (10)
goodnovel comment avatar
Julia Hasyim
kasian banget lintang.. bapaknya yg selingkuh kenapa anak jadi korban
goodnovel comment avatar
Timang Darisa Daria
bgmn cara.y membuka yg terkunci itu??? jdi penasaran
goodnovel comment avatar
Pertumpun Gurusings
safir anggap remeh lintang, fay kok sinis baru ketemu lintang
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status