Apakah ini yang namanya senjata makan tuan?
Semua ucapan yang Raga peruntukkan pada Safir, kini berbalik pada dirinya sendiri. Sampai-sampai, Raga tidak bisa lagi berkutik dan dengan terpaksa mengikrarkan ijab kabul dengan lantang di depan penghulu.
Selama resepsi berlangsung pun, Raga bersama Lintang dengan kompak memasang senyum sembari terus menyalami tamu yang hampir tiada henti.
Selama prosesi itu pula, baik Raga maupun Lintang tidak pernah bertegur sapa dan hanya fokus pada tamu undangan.
Sementara itu, kasak-kusuk yang terjadi dengan para undangan terkait masalah mempelai yang berbeda, semua Raga serahkan pada kedua orangtua mereka. Raga sama sekali tidak ingin ikut campur, karena sudah menjadi korban di sini.
"Kenapa diam di sini?" tanya Retno yang segera menghampiri Raga, ketika meliha putranya melamun di ruang VIP keluarga, setelah acara selesai. Semua orang sudah berlalu, tapi Retno tidak melihat putra sulungnya pergi ke atas bersama Lintang. Firasat keibuannya mengatakan, Raga pasti ada di suatu tempat, dan tengah menyendiri seperti yang sudah-sudah. "Ikuti Lintang, dan masuk ke kamar hotel yang sudah disiapkan."
"Untuk?" Raga tersadar, lalu tersenyum miring sambil melepas tuxedo yang dipakainya. Sementara dasi kupu-kupunya sudah terlepas dan ia lempar entah ke mana.
"Untuk?" Retno bertanya balik dengan kedua mata yang terbuka lebar. "Kalian pengantin baru Ga! Ya, nggak mungkin kamu, nggak—"
"Maaf kalau aku potong, Ma," sahut Raga yang sudah terlampau lelah dengan sandiwara yang ada. Ia pun berdiri dari tempat duduknya, lalu menenggelamkan satu tangan ke dalam saku celana. "Tugasku untuk menyelamatkan dua keluarga sudah selesai, dan setelah ini semua akan kembali lagi ke tempatnya semula."
"Raga!" Retno memutar tubuh ketika Raga berjalan melewatinya menuju pintu. Dengan segera, Retno mensejajarkan langkahnya dengan Raga. "Lintang sudah jadi istrimu, dan--"
"Kami bahkan nggak pernah saling kenal." Raga kembali memotong ucapan sang mama. "Jadi, tolong jangan menuntut banyak, karena aku korban di sini."
"Terus Lintang?" Retno buru-buru menghalangi Raga dengan berdiri di bibir pintu. "Mau kamu apakan dia?"
Langkah Raga terhenti dengan desahan panjang. "Aku belum tahu. Coba Mama tanya sama Lintang, apa maunya dia."
"Terus, kamu pergi ke mana?" selidik Retno dan masih berdiri di tempatnya. Sepertinya, Retno akan benar-benar bicara dengan Lintang setelah ini untuk menjelaskan semuanya.
"Tidur ... sama Rama di atas." Raga menyebutkan nama putranya yang baru berusia lima tahun. "Di mana dia sekarang? Apa masih sama susternya?"
"Rama sudah di atas, dibawa sama papamu karena rewel. Dia ngantuk!"
“Safir di mana?” tanya Raga masih bertahan di tempat semula, karena sang mama masih saja menghalangi jalannya.
“Mama suruh pulang ke rumah dari tadi,” jawab Retno. “Biar orang-orang nggak banyak tanya kalau mereka lihat Safir.”
Pantas saja selama prosesi pernikahan, Raga tidak melihat batang hidung Safir sama sekali. Ternyata, semua itu termasuk bagian dari drama yang telah diciptakan keluarganya.
“Mama mau berdiri di situ sampai kapan?”
“Begini, Ga.” Setelah dipikirkan lagi, rasanya tidak etis jika Retno yang menemui Lintang dan bicara dengan gadis berusia 23 tahun itu. Lebih baik, Raga yang berbicara lebih dulu, barulah Retno akan menemui Lintang keesokan paginya. “Temui Lintang malam ini—”
“Ma—”
“Jangan dipotong dan dengar Mama dulu.” Retno meraih siku Raga dan membawa putranya keluar dari ruang tersebut. “Cukup temui Lintang dan bicarakan bagaimana nasib pernikahan kalian ke depannya. Supaya, dia nggak terlalu berharap banyak dengan pernikahan ini. Ngerti, Ga?”
Ucapan sang mama membuat Raga menghela dan berpikir. Sepertinya, perintah sang mama itu cukup masuk akal. Lebih cepat Raga memberi penjelasan, maka tidak akan ada lagi salah paham yang terjadi di antara dirinya dan Lintang.
“Oke! Mama duluan ke atas,” ujar Raga sambil melepaskan diri dari sang mama. “Aku mau minta kunci kamar ke resepsionis.”
“Kamu tinggal pencet belnya, Ragaa.”
“Aku nggak mau merepotkan.” Raga langsung pergi meninggalkan sang mama. Bergegas menuju meja resepsionis dan meminta apa yang ia butuhkan. Setelah mendapatkan apa yang Raga mau, ia bergegas menuju lantai atas dan memasuki kamar pengantin yang seharusnya digunakan oleh Safir dan Biya.
“Lintang.” Raga memanggil saat tidak menemukan Lintang berada di kamar. “Lin—"
Raga menutup mulut, saat pintu kamar mandi terbuka dan melihat gadis itu keluar dari sana. Memakai piyama tidur lengan panjang lengkap, dengan rambut yang sudah berbalut handuk.
“Oh, Mas Raga.” Lintang menghampiri Raga dan langsung mengulurkan tangannya. “Kita belum kenalan dari tadi. Saya Lintang Amalthea.”
“Aku sudah tahu.” Raga menatap tangan Lintang yang menggantung di udara tanpa ada keinginan untuk menyambutnya. “Sekarang duduklah,” titah Raga sambil menunjuk sofa yang berada di sisi kamar. “Ada yang perlu aku bicarakan.”
Lintang mengepalkan tangannya dengan perlahan sembari menariknya kembali. Tidak membantah, ia pun segera pergi menuju sofa yang ditunjuk oleh Raga. “Saya—”
“Jangan berharap banyak, karena aku nggak pernah ada niat untuk menikah dan menggantikan mendiang istriku dengan perempuan mana pun,” papar Raga memutus ucapan Lintang tanpa ragu. Lebih baik, Raga memberi batasan sejak dini, daripada terjadi sesuatu ke depannya.
“Tolong jangan salah paham,” pinta Raga melanjutkan ucapannya. “Aku, nggak benci sama kamu. Tapi, kita nggak pernah saling kenal, dan—”
“Saya tinggal di mana setelah ini.” Paham dengan maksud Raga, maka Lintang juga harus memastikan kehidupannya setelah ini. “Karena orang pasti salah paham kalau saya kembali ke keluarga Dewantara. Orang juga pasti mikir yang nggak-nggak, kalau tahu kita tinggal terpisah padahal baru nikah. Jadi, bagaimana?”
Raga cukup terkejut mendengar perkataan Lintang. Ia sempat mengira, Lintang merupakan wanita lemah karena selalu saja menunduk dan mengangguk saat Anwar dan istrinya berceramah di area kolam renang. Ternyata, gadis itu cukup tegas dan punya pendirian.
“Kamu akan tinggal di kediaman Sailendra.” Raga memberitahu. “Karena aku masih tinggal dengan orangtua, supaya ada yang mengawasi Rama, anakku, kalau aku kerja.”
Lintang mengangguk karena sudah mengetahui hal tersebut sebelumnya. “Oke. Jadi mulai besok saya pindah di rumah orangtua Mas Raga.”
Raga yang sedari tadi hanya berdiri, lantas mengangguk mengiyakan. “Kamar kita terpisah.”
“Oke.” Lintang juga setuju dengan hal tersebut. Pernikahan tanpa cinta, tidak seharusnya dipaksakan untuk bersama. Paling tidak, mereka tidak akan dipaksa untuk tidur bersama.
“Jangan pernah menuntut apa pun.”
“Nggak akan,” jawab Lintang cepat hingga membuat Raga menyentak alisnya.
“Nggak akan?” Raga justru mempertanyakan hal tersebut pada Lintang. “Kamu serius nggak menuntut nafkah—”
“Saya kerja,” putus Lintang. “Saya punya penghasilan sendiri, jadi—”
“Noo!” Raga menggeleng untuk meluruskan masalah yang ada. “Mau bagaimanapun, status kamu sekarang itu istriku. Jadi—"
“Mas—”
“Kamu sales distributor buku, kan? Ngider di luar, keluar masuk toko-toko buku? Begitu, kan?”
Lintang mengangguk. “Memangnya salah jadi sales? Itu pekerja—”
“Bukan salesnya yang aku permasalahkan, Lintang.” Raga berusaha untuk tidak meninggikan intonasi bicaranya, kendati ia sangat ingin menumpahkan seluruh emosinya saat ini. “Tapi aku nggak mau, perempuan yang jadi istriku kerja di luaran sana. Paham kamu sampai sini.”
“Mas—”
“No!” putus Raga semakin tegas. “Turuti perintahku, dan aku jamin hidupmu nggak akan kekurangan sesuatu apa pun.”
“Pak Raga.” Maha segera menyusul Raga, ketika rapat umum yang dihadiri para direktur dan manajer perusahaan selesai dilaksanakan. Ia mensejajarkan langkahnya dengan mudah, saat Raga memperlambat langkahnya. “Bisa kita bicara?” Raga menoleh dan tetap berjalan menuju ruangannya. Ia mengangguk tegas, sembari berkata. “Silakan.” Maha balas mengangguk dan mereka memasuki ruangan Raga dalam ketenangan. Sesaat sebelum masuk, Raga meminta sekretarisnya untuk menghandle semua hal karena ia akan bicara empat mata dengan Maha. “Ada masalah?” tanya Raga tetap bersikap profesional, meskipun ia sudah muak melihat Maha berada di kantor. Namun, sebisa mungkin ia tidak mencampuradukkan hal pribadi, dengan semua hal yang berada di kantor. Maha menghela panjang, lalu duduk pada sofa tunggal yang berhadapan lurus dengan meja kerja Raga. “Seperti yang kita tahu … penetapan hasil pemilu sudah diputuskan MK dan kita tinggal menunggu agenda pengucapan sumpah dan janji—” “Bisa kita langsung ke inti dari p
“A-aku minta maaf, Lin.” Maha dengan segera menghampiri Lintang yang baru saja keluar dari ruang kesehatan. Ruang yang ada di lantai satu tersebut, memang dipersiapkan untuk jalan sehat pagi ini. Sudah ada seorang dokter yang bertugas dan beberapa perawat yang dengan sigap membantu jika terjadi sesuatu yang tidak diinginkan. “Mana nggak papa, kan?” Belum sempat Lintang menjawab, pintu ruangan yang biasa digunakan sebagai tempat meeting terbuka. Raga keluar dengan menggendong Mana, yang sudah tidak lagi menangis keras akibat terjatuh dari tangga. Namun, wajah menggemaskan itu masih terlihat sembab dan sesenggukan sambil memeluk sang papa. Di saat Maha dan Biya berdebat, bocah gembul itu ternyata mencoba menaiki tangga kayu yang menuju panggung. Padahal, Maha sedikit lagi mencapai tubuh Mana saat ia melihatnya, tetapi, bocah itu lebih dulu terjatuh, sehingga membuat kehebohan. Bagaimana tidak heboh, jika yang terjatuh adalah putra direktur utama, sekaligus cucu dari pemilik perusahaan.
“Aku sebenarnya pengen banget ndepak Maha dari perusahaan.” Raga menyerahkan Mana pada Biya, yang baru saja menghampirinya. Bocah yang baru bisa berjalan itu, langsung mengulurkan kedua tangan dan minta digendong oleh tante yang selalu memanjakannya. “Tapi, sayangnya dia masih punya saham di sini dan sepertinya Maha nggak punya niat buat jual sahamnya sama siapa pun.” “Jangan lupa, tujuan dia masuk ke perusahaan ini karena papanya juga mau nyalon.” Meskipun bobot Mana semakin bertambah, tetapi Biya tidak bisa untuk tidak menggendong keponakan yang menggemaskan itu. Ia melirik sebentar pada Lintang yang baru keluar dari mobil, lalu kembali fokus pada Raga. “Sama seperti pak Ario, pak Anjas juga butuh media buat pencitraan. Mana sekarang lagi musim-musimnya, kan? Coba kita lihat aja sampai pileg nanti, apa Maha masih mau netap di sini.” “Bapak sama ibu di mana, Bi?” tanya Lintang sudah berusaha untuk berdamai dengan saudara perempuannya. Hubungan mereka memang tidak sedekat layaknya Li
“Ini bukan tempat yang cocok buat malam amal.” Fayra menyilang kaki, sekaligus bersedekap menatap gedung restoran yang ada di hadapannya. Tidak berniat keluar, kendati sopir sang papa sudah membukakan pintu mobil untuknya. “Papa pasti mau ketemu teman lama Papa yang bawa anak, terus mau ngenalin aku sama dia. Iya, kan?” “Fay—” “Apa Papa lupa, aku ini sudah punya pacar.” Fayra menyela dan tetap dalam keadaan tenang. “Apa Papa lupa sama Fajar? Atau, Papa nggak setuju sama dia, karena dia bukan berasal dari … keluarga kayak mas Raga, atau Nino? Begitu?” Eko menarik napas pelan, sembari mengeluarkan ponsel dan segera menghubungi seseorang. Ia masih berada di samping Fayra, tidak akan keluar sampai putrinya itu keluar lebih dulu. “Halo, Bik, tolong bereskan barang-barang Fayra dan langsung bakar malam—” “Papaaa.” Fayar bergerak cepat dan merampas ponsel sang papa, lalu berbicara dengan seseorang yang baru saja dihubungi Eko. “Bik, Bik, barangku jangan diapa-apain. Papa cuma becanda. Ja
“Ehm.” Tati menarik kursi di meja makan, yang berseberangan dengan Fajar. Putranya itu tengah sarapan dengan lahap seorang diri, karena Fikri sudah lebih dulu makan, sementara Tati tidak berselera sejak pertemuannya dengan Eko kemarin siang. “Kamu … minggu-minggu ini ada rencana ke luar kota, nggak, Jar?” “Nggak ada,” jawab Fajar tenang, tetapi mulai curiga. Jika Tati mulai bertanya-tanya tentang sesuatu di luar kebiasaan, pasti ada niat terselubung di balik kalimat tersebut. “Ooo.” Tati manggut-manggut, sembari mengingat ucapan Eko kemarin siang. Pria tua itu berkata, Fajar ada kunjungan ke kantor cabang. Sementar kantor cabang yang Tati tahu, semuanya berada di luar kota. Jika benar begitu, Fajar pasti sudah berpamitan dari kemarin-kemarin, untuk melakukan tugas kantor tersebut. Namun, kenyataannya tidak demikian. Fajar tetap berada di rumah, dan tidak pergi ke mana pun. Bahkan, rencana untuk ke luar kota juga tidak terbersit sama sekali. Itu berarti, Fajar telah membohongi Eko,
Kendati bingung, tetapi Fikri dan Tati tetap menyambut baik uluran tangan pria tua yang baru saja diperkenalkan Raga pada mereka. Entah apa maksud diadakannya makan siang bersama kali ini, tetapi mereka tidak menolak karena merasa penasaran. “Jadi … kita berkumpul di sini dalam rangka apa?” tanya Fikri pada Raga yang duduk berseberangan dengannya. Tidak mungkin pria seperti Raga sekonyong-konyong menghubunginya, lalu mengajak makan siang bersama. Apalagi, Raga meminta untuk tidak mengatakannya pada siapa pun. Cukup Fikri dan istrinya saja yang tahu mengenai makan siang kali ini. Raga menatap tanya pada Eko terlebih dahulu. Apakah pria itu yang akan memberi penjelasan, ataukah Raga saja yang mengatakan maksud pertemuan saat ini. Saat Eko memberi anggukan, serta menaikkan sedikit jemari di tangan kanannya, Raga akhirnya berdiam diri. “Saya, papanya Fayra.” Fikri dan Tati sontak saling lempar pandang. Untuk apa papa Fayra mengajak mereka berdua untuk makan siang secara mendadak se