Share

2. Turuti Perintahku

Apakah ini yang namanya senjata makan tuan?

Semua ucapan yang Raga peruntukkan pada Safir, kini berbalik pada dirinya sendiri. Sampai-sampai, Raga tidak bisa lagi berkutik dan dengan terpaksa mengikrarkan ijab kabul dengan lantang di depan penghulu.

Selama resepsi berlangsung pun, Raga bersama Lintang dengan kompak memasang senyum sembari terus menyalami tamu yang hampir tiada henti.

Selama prosesi itu pula, baik Raga maupun Lintang tidak pernah bertegur sapa dan hanya fokus pada tamu undangan. 

Sementara itu, kasak-kusuk yang terjadi dengan para undangan terkait masalah mempelai yang berbeda, semua Raga serahkan pada kedua orangtua mereka. Raga sama sekali tidak ingin ikut campur, karena sudah menjadi korban di sini.

"Kenapa diam di sini?" tanya Retno yang segera menghampiri Raga, ketika meliha putranya melamun di ruang VIP keluarga, setelah acara selesai. Semua orang sudah berlalu, tapi Retno tidak melihat putra sulungnya pergi ke atas bersama Lintang. Firasat keibuannya mengatakan, Raga pasti ada di suatu tempat, dan tengah menyendiri seperti yang sudah-sudah. "Ikuti Lintang, dan masuk ke kamar hotel yang sudah disiapkan."

"Untuk?" Raga tersadar, lalu tersenyum miring sambil melepas tuxedo yang dipakainya. Sementara dasi kupu-kupunya sudah terlepas dan ia lempar entah ke mana.

"Untuk?" Retno bertanya balik dengan kedua mata yang terbuka lebar. "Kalian pengantin baru Ga! Ya, nggak mungkin kamu, nggak—"

"Maaf kalau aku potong, Ma," sahut Raga yang sudah terlampau lelah dengan sandiwara yang ada. Ia pun berdiri dari tempat duduknya, lalu menenggelamkan satu tangan ke dalam saku celana. "Tugasku untuk menyelamatkan dua keluarga sudah selesai, dan setelah ini semua akan kembali lagi ke tempatnya semula."

"Raga!" Retno memutar tubuh ketika Raga berjalan melewatinya menuju pintu. Dengan segera, Retno mensejajarkan langkahnya dengan Raga. "Lintang sudah jadi istrimu, dan--"

"Kami bahkan nggak pernah saling kenal." Raga kembali memotong ucapan sang mama. "Jadi, tolong jangan menuntut banyak, karena aku korban di sini."

"Terus Lintang?" Retno buru-buru menghalangi Raga dengan berdiri di bibir pintu. "Mau kamu apakan dia?"

Langkah Raga terhenti dengan desahan panjang. "Aku belum tahu. Coba Mama tanya sama Lintang, apa maunya dia."

"Terus, kamu pergi ke mana?" selidik Retno dan masih berdiri di tempatnya. Sepertinya, Retno akan benar-benar bicara dengan Lintang setelah ini untuk menjelaskan semuanya.

"Tidur ... sama Rama di atas." Raga menyebutkan nama putranya yang baru berusia lima tahun. "Di mana dia sekarang? Apa masih sama susternya?"

"Rama sudah di atas, dibawa sama papamu karena rewel. Dia ngantuk!"

“Safir di mana?” tanya Raga masih bertahan di tempat semula, karena sang mama masih saja menghalangi jalannya.

“Mama suruh pulang ke rumah dari tadi,” jawab Retno. “Biar orang-orang nggak banyak tanya kalau mereka lihat Safir.”

Pantas saja selama prosesi pernikahan, Raga tidak melihat batang hidung Safir sama sekali. Ternyata, semua itu termasuk bagian dari drama yang telah diciptakan keluarganya.

“Mama mau berdiri di situ sampai kapan?”

“Begini, Ga.” Setelah dipikirkan lagi, rasanya tidak etis jika Retno yang menemui Lintang dan bicara dengan gadis berusia 23 tahun itu. Lebih baik, Raga yang berbicara lebih dulu, barulah Retno akan menemui Lintang keesokan paginya. “Temui Lintang malam ini—”

“Ma—”

“Jangan dipotong dan dengar Mama dulu.” Retno meraih siku Raga dan membawa putranya keluar dari ruang tersebut. “Cukup temui Lintang dan bicarakan bagaimana nasib pernikahan kalian ke depannya. Supaya, dia nggak terlalu berharap banyak dengan pernikahan ini. Ngerti, Ga?”

Ucapan sang mama membuat Raga menghela dan berpikir. Sepertinya, perintah sang mama itu cukup masuk akal. Lebih cepat Raga memberi penjelasan, maka tidak akan ada lagi salah paham yang terjadi di antara dirinya dan Lintang.

“Oke! Mama duluan ke atas,” ujar Raga sambil melepaskan diri dari sang mama. “Aku mau minta kunci kamar ke resepsionis.”

“Kamu tinggal pencet belnya, Ragaa.”

“Aku nggak mau merepotkan.” Raga langsung pergi meninggalkan sang mama. Bergegas menuju meja resepsionis dan meminta apa yang ia butuhkan. Setelah mendapatkan apa yang Raga mau, ia bergegas menuju lantai atas dan memasuki kamar pengantin yang seharusnya digunakan oleh Safir dan Biya.

“Lintang.” Raga memanggil saat tidak menemukan Lintang berada di kamar. “Lin—"

Raga menutup mulut, saat pintu kamar mandi terbuka dan melihat gadis itu keluar dari sana. Memakai piyama tidur lengan panjang lengkap, dengan rambut yang sudah berbalut handuk.

“Oh, Mas Raga.” Lintang menghampiri Raga dan langsung mengulurkan tangannya. “Kita belum kenalan dari tadi. Saya Lintang Amalthea.”

“Aku sudah tahu.” Raga menatap tangan Lintang yang menggantung di udara tanpa ada keinginan untuk menyambutnya. “Sekarang duduklah,” titah Raga sambil menunjuk sofa yang berada di sisi kamar. “Ada yang perlu aku bicarakan.”

Lintang mengepalkan tangannya dengan perlahan sembari menariknya kembali. Tidak membantah, ia pun segera pergi menuju sofa yang ditunjuk oleh Raga. “Saya—”

“Jangan berharap banyak, karena aku nggak pernah ada niat untuk menikah dan menggantikan mendiang istriku dengan perempuan mana pun,” papar Raga memutus ucapan Lintang tanpa ragu. Lebih baik, Raga memberi batasan sejak dini, daripada terjadi sesuatu ke depannya.

“Tolong jangan salah paham,” pinta Raga melanjutkan ucapannya. “Aku, nggak benci sama kamu. Tapi, kita nggak pernah saling kenal, dan—”

“Saya tinggal di mana setelah ini.” Paham dengan maksud Raga, maka Lintang juga harus memastikan kehidupannya setelah ini. “Karena orang pasti salah paham kalau saya kembali ke keluarga Dewantara. Orang juga pasti mikir yang nggak-nggak, kalau tahu kita tinggal terpisah padahal baru nikah. Jadi, bagaimana?”

Raga cukup terkejut mendengar perkataan Lintang. Ia sempat mengira, Lintang merupakan wanita lemah karena selalu saja menunduk dan mengangguk saat Anwar dan istrinya berceramah di area kolam renang. Ternyata, gadis itu cukup tegas dan punya pendirian.

“Kamu akan tinggal di kediaman Sailendra.” Raga memberitahu. “Karena aku masih tinggal dengan orangtua, supaya ada yang mengawasi Rama, anakku, kalau aku kerja.”

Lintang mengangguk karena sudah mengetahui hal tersebut sebelumnya. “Oke. Jadi mulai besok saya pindah di rumah orangtua Mas Raga.”

Raga yang sedari tadi hanya berdiri, lantas mengangguk mengiyakan. “Kamar kita terpisah.”

“Oke.” Lintang juga setuju dengan hal tersebut. Pernikahan tanpa cinta, tidak seharusnya dipaksakan untuk bersama. Paling tidak, mereka tidak akan dipaksa untuk tidur bersama.

“Jangan pernah menuntut apa pun.”

“Nggak akan,” jawab Lintang cepat hingga membuat Raga menyentak alisnya.

“Nggak akan?” Raga justru mempertanyakan hal tersebut pada Lintang. “Kamu serius nggak menuntut nafkah—”

“Saya kerja,” putus Lintang. “Saya punya penghasilan sendiri, jadi—”

“Noo!” Raga menggeleng untuk meluruskan masalah yang ada. “Mau bagaimanapun, status kamu sekarang itu istriku. Jadi—"

“Mas—”

“Kamu sales distributor buku, kan? Ngider di luar, keluar masuk toko-toko buku? Begitu, kan?”

Lintang mengangguk. “Memangnya salah jadi sales? Itu pekerja—”

“Bukan salesnya yang aku permasalahkan, Lintang.” Raga berusaha untuk tidak meninggikan intonasi bicaranya, kendati ia sangat ingin menumpahkan seluruh emosinya saat ini. “Tapi aku nggak mau, perempuan yang jadi istriku kerja di luaran sana. Paham kamu sampai sini.”

“Mas—”

“No!” putus Raga semakin tegas. “Turuti perintahku, dan aku jamin hidupmu nggak akan kekurangan sesuatu apa pun.”

 

Comments (6)
goodnovel comment avatar
Villy Tene
menarik cerita nya .
goodnovel comment avatar
Alifiah Ramadhani
wuih seruu nih
goodnovel comment avatar
Uum Umdatur Rosyidah
menarik, tapi bagaimana top up dari luar negeri klo pengen lanjut baca.. mengsedih
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status