“Mas Raga?” Lintang baru saja membuka pintu kamar, ketika melihat Raga tepat berdiri di depannya dengan tangan yang terangkat hendak mengetuk pintu. Raga mundur satu langkah, sambil menatap Lintang dari ujung rambut hingga kaki. Safir benar, semakin hari, Lintang memang terlihat semakin menarik dalam kesederhanaannya. Lintang tidak pernah berusaha menarik perhatian Raga, dan cenderung bersikap asing jika tidak keperluan sama sekali. “Aku mau ajak kamu makan siang di luar.” Memang itulah tujuan Raga pulang ke rumah setelah penolakan Lintang tadi pagi. Lintang menghela, kemudian melangkah maju sambil menutup pintunya. Lintang sedikit menggeser langkahnya, lalu berjalan melewati Raga. “Bukannya aku sudah bilang nggak mau. Jadi, please, jangan maksa. Lagian, ada angin apa Mas Raga mendadak mau ngajak makan siang di luar? Apa mau buat kesepakatan lagi? Kalau iya, udahlah ngomong aja di sini, nggak usah pake makan di luar. Beres.” Langkah kaki Lintang tertuju ke dapur lalu mengambil seb
“Lintang minta cerai.”Sepulang kerja, Retno meminta Raga untuk mampir ke kediaman Sailendra sebentar untuk membahas beberapa hal. Setelah mendudukkan putranya di ruang kerja Raga, barulah Retno menjelaskan semua hal yang terjadi sekitar tiga jam yang lalu di rumahnya.“Ga, Mama tahu pernikahan kalian bukan atas dasar cinta, tapi bukan berarti kamu bisa nyakitin perasaan Lintang,” sambung Retno. “Cukup tinggal satu atap selama waktu yang sudah ditentukan, dan jangan saling ikut campur dengan masalah masing-masing. Yang Mama lihat, selama ini Lintang nggak banyak macam, dan dia juga baik sama Rama.”“Sudah ngadu apa aja dia sama Mama?” Raga berdecak setelahnya, dan ingin buru-buru pulang ke rumah setelah pembicaraannya dengan Retno selesai. Tanpa sepengetahuan Raga, gadis itu berani keluar rumah dan sama sekali tidak mengabarinya.Retno menggeleng. “Nggak ada yang Lintang adukan ke Mama. Dia ke sini cuma minta bantuan Mama supaya bisa cerai dengan kamu,” jelasnya sembari mengerutkan al
Raga mengakhiri panggilannya dengan Fayra, tepat ketika langkahnya terhenti di ruang tamu. Wanita itu mengatakan, Rama akan menginap di rumah Eko sampai hari ulang tahunnya digelar akhir minggu ini. “Biik!” Raga memanggil asisten rumah tangga yang bekerja di rumahnya. “Bibiiik!” Surti, asisten rumah tangga yang dibawa Raga dari kediaman Sailendra segera menghampiri dengan tergesa dan sedikit panik. Tidak biasanya Raga memanggil dengan nada yang tinggi dan wajah pria itu pun terlihat sangat kesal. “Ada apa, Pak?” Raga menunjuk tegas dinding kosong di atas televisi. “Ke mana? Ke mana foto pernikahan saya di atas sana!” Surti sampai tersentak karena hardikan Raga. Mata Surti lantas tertuju pada arah telunjuk Raga, dan kaget. Surti menelan ludah, lalu kembali menatap Raga dengan gelengan. Mana mungkin Surti berani menggeser, ataupun memindah barang yang menurutnya sangat keramat itu. Surti tidak mau kena marah, apalagi dipecat dari tempatnya bekerja. Namun, pergi ke mana bingkai foto t
“See, Lin!” Napas Raga terbuang kasar di atas tubuh Lintang. Wajahnya memerah menahan amarah, karena perbuatan Lintang pada foto pernikahannya dengan Tiwi. Belum lagi, seluruh kata-kata pedas yang dilontarkan Lintang padanya ketika mereka bertengkar. “Aku bisa ngacurin kamu, semudah aku membalik telapak tangan.” Lintang menatap nyalang. Menahan isak, tapi tidak bisa menahan air mata yang tumpah di sudut mata. Tidak ada kata yang bisa Lintang ucapkan, untuk meluapkan kebenciannya pada pria yang masih berada di atasnya saat ini. “Paham kamu sekarang?” lanjut Raga dengan sedikit bentakan, tapi tidak mendapat respons sama sekali oleh Lintang. “Ini peringatan pertama, dan terakhir. Jangan sekali-kali menyentuh barang pribadiku, apalagi sampai memindahkannya dari tempatnya.” Kembali tidak mendapat respons, Raga bangkit dari tempat tidur lalu mengumpat keras. Ia menatap Lintang yang masih terdiam beku, dan hanya melihat lurus pada langit-langit kamarnya dengan mata yang basah. Pada akhirn
“Biya?” Raga menggumam seorang diri, sembari menatap mobil yang baru saja keluar melewati pagar dan melewatinya dengan perlahan. Bahkan mobil tersebut sempat membunyikan klakson untuk menyapa seorang pria yang sudah membukakan pagar untuknya. Tidak salah lagi, Raga yakin 100 persen gadis yang berada di belakang kemudi barusan adalah Sabiya Dewantara. Sebuah syal yang menutupi kepala dan kacamata hitam, tidak akan bisa mengelabui Raga sama sekali. Itu berarti, selama ini keluarga Dewantara tahu di mana Biya berada. Alih-alih mengejar Biya, Raga tetap pada pendiriannya untuk bertemu Anwar. Saat mobilnya masuk dengan perlahan melewati pagar, Raga berhenti sejenak untuk berbicara pada pria yang masih memegang handle pintu pagar. “Pak, yang barusan keluar itu Sabiya, bukan?” tanya Raga yang sudah membuka kaca jendela mobil, ketika melihat mobil Biya melewatinya. “Iya, Mas.” “Sudah balik dia?” tanya Raga mencoba memastikan lagi. “Sudah, Mas, pagi tadi.” “Makasih, Pak.” Raga mengangguk
Raga menarik kerah kemeja Safir, lalu menghempaskan sang adik di lantai ruang kerja sang adik begitu saja. Jika menuruti emosi, Raga pasti sudah memukul Safir dengan sekuat tenaga. Titik masalah yang ada saat ini, semuanya berpusat pada Safir. Andai Safir tidak pergi dengan perempuan lain sebelum acara pernikahan digelar, Raga pasti tidak akan berada dalam kegusaran seperti sekarang. “MAS!” “Dengar.” Raga menghampir Safir dan berjongkok dengan cepat di samping sang adik yang baru saja terjatuh di samping meja kerja. “Gara-gara kamu main perempuan sehari sebelum pernikahan, akhirnya aku sama Lintang yang jadi korban.” Safir menelan ludah. Dari mana Raga tahu akan hal tersebut? “Mas—” “Biya, sudah balik ke rumahnya,” sela Raga sambil menepuk pipi Safir dengan keras. “Pagi, tadi! Mereka ngancam keluarga kita melalui aku!” Setelah mengetahui penyebab amarah Raga, Safir lantas mendorong sang kakak dengan tiba-tiba dan sangat keras. Safir berdiri dengan cepat, kemudian memperbaiki keme
“Raga.” Retno masuk ke ruang kerja putranya tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu. Ia langsung menuju sofa panjang, dan duduk di sana tanpa melepas pandangan pada Raga, yang sudah berkutat di depan laptop sejak makan malam selesai. “Kenapa sampai sekarang kamu belum juga ceraikan Lintang.” “Mama sudah tahu jawabannya.” Raga menutup laptop, lalu beranjak untuk menghampiri Retno dan duduk di sisi yang berlainan dengan sang mama. “Aku yakin dia masih di Jakarta, dan nggak pergi keluar kota seperti yang Mama bilang waktu itu.” “Mama cuma bilang, apa yang Lintang omongkan waktu itu,” sahut Retno tidak ingin Raga salah paham. “Dia bilang mau pergi dari Jakarta.” “Pengacaranya sempat kelepasan ngomong waktu itu,” terang Raga. “Dia bilang mau ketemu Lintang dulu dan bicarakan semuanya. Tapi, sepertinya pengacaranya tahu kalau aku nyuruh orang ngikutin dia, jadi, aku masih nggak tahu posisi Lintang sekarang.” “Apa pun itu, sudahi semuanya dan lepaskan Lintang, Ga,” tukas Retno separuh memeri
“Mau ke mana pagi-pagi begini, Ga?” tegur Retno yang melihat Raga menuruni tangga dengan berlari kecil. Putranya itu sudah terlihat sangat rapi, sementara Rama baru saja pergi ke sekolah bersama Eni. Jadi, tidak mungkin Raga akan pergi mengantarkan putranya, dan tidak mungkin pula pria itu berangkat ke kantor sepagi ini. “Pak Aris telpon.” Langkah Raga berhenti saat sudah menuruni tangga, untuk berbicara dengan Retno yang baru saja masuk ke ruang keluarga. Wanita itu terlihat baru saja keluar dari dapur, dan sepertinya akan pergi ke ruang depan. “Dia bilang, dua minggu lagi ada agenda sidang cerai dan Lintang bakal datang.” Aris merupakan pengacara yang ditunjuk Raga, untuk menangani kasus perceraiannya dengan Lintang. Raga meminta pria itu melakukan segala cara, untuk mengulur sidang perceraiannya. Apa pun yang terjadi, Raga tidak bisa bercerai dengan Lintang untuk saat ini. Paling tidak, sebelum Raga menebus semua hal buruk yang sudah dilakukannya pada gadis itu. “Aku benar, kan,