Share

BAGIAN 6: MENGUJI KESABARAN

Malam harinya, mobil Gerry kini terlihat baru saja sampai di depan rumah Reva, gadis itu pun turun dengan riang seakan-akan dirinyalah manusia paling bahagia sesudah meghabiskan waktu dengan kekasihnya itu.

"Aku pulang..." ujar Reva dengan suara yang sedikit keras. Namun tak ada balasan dari seisi rumah. Rumah itu kosong, tak ada siapa-siapa di sana.

Reva seketika sadar, pasti kedua orangtuanya saat ini sedang berada di perusahaan hingga larut malam nanti, hari ini adalah kesempatan bagi Reva untuk menghabiskan waktu bersama kedua orangtuanya itu. Bukannya bersenang-senang, ia malah tak sengaja bertemu dengan Brandon si CEO yang sangat menyebalkan menurutnya. Jika tidak bertemu Gerry, mungkin hari ini akan menjadi hari terburuk dalam hidupnya.

Selain menerima banyak harta sejak kecil, kedua orangtuanya bahkan tak pernah memaksakan putri tunggalnya itu untuk bekerja setelah lulus kuliah. Berbeda dengan keluarga Brandon, perusahaan keluarga Reva kini masih dipegang kendali penuh oleh Ayah dan Ibunya. Namun sang Ayah berjanji jika ia akan memberikan perusahaan tersebut pada putrinya, nanti jika putrinya tersebut telah menikah.

Cepat-cepat Reva memasuki kamarnya lalu segera menelepon Anna. Semalaman kedua sahabat itu menceritakan apa yang sebenarnya terjadi hari ini. Anna memberitahu Reva jika ia tak sengaja bertemu dengan Brandon siang tadi, Reva juga memberi tahu sahabatnya itu jika dirinya telah menceritakan semua kebohongan ini pada Brandon juga perjanjian mereka di awal.

Sementara itu Brandon kini sedang berada di atas kasurnya sambil menatap ke arah laptopnya, pria itu tak bisa fokus akibat perkataan Reva yang terus terngiang-ngiang di kepalanya. Ia sungguh tak percaya Anna dapat melangkah sejauh itu, semuanya semata-mata hanya untuk mendapatkan sejumlah uang, juga Reva yang tega memakai temannya sendiri.

"Apa mungkin semuanya memang akan jadi jauh lebih baik jika kubilang pada Ayah dan Ibu untuk membatalkan perjodohan tersebut?" pikir Brandon dalam hati.

Keesokan harinya, seperti biasa Brandon kini sedang sibuk mengurusi seluruh urusan perusahaan, namun di sela-sela itu ia lagi-lagi teringat oleh Anna, dirinya khawatir jika selama ini gadis tersebut telah menjalani hubungan dengan laki-laki lain, mengingat sebelumnya ada seseorang yang selalu berada di samping Anna, keingintahuannya membuat pikirinnya kabur ke mana-mana.

“Jarvis,” panggil Brandon.

“Iyaaa Pak?”

“Beri tahu aku informasi mengenai seluruh laki-laki yang sedang dekat dengan Anna ataupun mantan kekasihnya,” ujar Brandon dingin.

“Baik Pak, sebentar…” ujar Jarvis berusaha menuruti setiap suruhan bosnya itu.

“Bagaimana?” tanya Brandon lagi.

“Dari info yang saya temukan di sini dikatakan jika gadis tersebut belum pernah menjalin hubungan dengan siapa pun karena dirinya terlalu sibuk bekerja untuk keberlangsungan hidup keluarganya,” jelas Jarvis.

“Ayahnya dan Ibunya? Apa pekerjaan mereka?”

“Ayahnya ditolak oleh seluruh perusahaan karena dirinya pernah dihianati oleh sahabatnya sendiri sehingga membuat citranya menjadi sangat buruk terutama untuk berbagai perusahaan lainnya,” ujar Jarvis. Seketika Brandon langsung kembali merasa bersalah, ia tahu sahabat yang dimaksudkan dalam informasi tersebut adalah Nicholas, Ayahnya sendiri.

“Apakah ada yang mengetahui soal latar belakang pembentukan perusahaan?” tanya Brandon cemas.

“Tidak ada Pak, hanya saya, Bapak dan seharusnya Pak Nicholas sendiri yang mengetahui hal tersebut,”

“Bagus, dan satu lagi, apakah ada cara untuk mengembalikan hak perusahaan milik Ayah Anna?”

“Ada Pak, namun jika Bapak dapat menemukan dokumen pengesahan yang belum dipalsukan oleh Pak Nicholas sebelumnya, kemungkinan besar itu bisa menjadi barang bukti untuk mengubah semuanya, tetapi itupun sama saja dengan menurunkan citra Ayah anda sendiri,” jelas Jarvis dengan nada meyakinkan.

“Baiklah kamu boleh pergi,” ujar Brandon, sambil berusaha memikirkan tindakan dari perbuatan yang akan ia pilih nantinya.

"Maaf Pak, ada satu hal yang lupa saya beritahu, hari ini pukul tiga sore pihak rumah sakit sudah menyiapkan seluruh fasilitas untuk donor darah massal sesuai dengan peraturan yang diberlakukan tiap tahunnya, jika Bapak ingin mendaftar, nanti biar saya panggilkan pegawai rumah sakit untuk melakukannya di sini,"

"Hmmm...soal itu biar aku saja yang pergi ke sana sendiri," ujar Brandon.

"Apakah Bapak yakin?"

"Iya Jarvis, ku tak perlu khawatir mengenai hal itu,"

"Baik Pak," 

Jam menunjuk tepat pukul dua belas siang, Anna seperti biasa kini sedang mempersiapkan acara persiapan donor darah massal yang akan diadakan pada dua belas ruangan, dirinya terlihat sudah siap mengenakan jas dokter karena ditugaskan untuk menjaga ruangan donor darah nomor tiga.

Terlihat keadaan rumah sakit cukup ramai siang itu, akibat ratusan masyarakat yang bersedia mengantri sejak tadi pagi untuk mendaftarkan diri mereka sebagai pendonor. 

Setelah mempersiapkan semuanya, akhirnya jam pun menunjukkan pukul tiga sore, satu per satu pendonor terlihat memasuki setiap ruangan secara bergantian. 

Tak terasa hampir dua jam telah berlalu, Anna melihat beberapa ruangan di sekitarnya sudah menutup antrian dan tak menerima pendonor lagi, gadis itu pun segera menoleh ke arah antriannya, tinggal tersisa satu orang lagi.

"Mari Bu, silakan masuk," ujar Anna sopan lalu ia segera menutup jalur antrian yang berada di depan ruangannya.

Akhirnya setelah melewati beberapa tahap, pendonor terakhir pun sudah selesai dan diperbolehkan untuk kembali. Anna terlihat senang sekaligus lega melihat puluhan kantong berisikan darah para pendonor hari ini, dan memutuskan untuk kembali memeriksa data-data yang berada di mejanya.

Tiba-tiba terdengar suara pintu terbuka, ia pikir itu adalah pendonor lain yang seenaknya menerobos masuk.

"Maaf tetapi kami sudah menutup antrian, jadi anda bisa pergi ke ruangan lain untuk melakukan donor darah," ujar Anna tanpa menoleh sedikit pun ke arah pintu.

Anehnya pendonor tersebut malah semakin nekat masuk dan menutup pintu ruangan. Anna pun dengan cepat segera berdiri untuk memberitahu pendonor tersebut secara langsung.

"Saya tegaskan sekali lagi, kami sudah—" seketika gadis itu terdiam seribu bahasa, karena menyaksikan orang yang memasuki ruangannya itu adalah Brandon. 

Tanpa berpikir panjang Anna segera berjalan keluar menuju pintu untuk menghindari Brandon. Namun saat ia hendak memegang pegangan pintu di depannya, tangan Brandon segera menahan pintu tersebut.

Anna pun reflek membalikkan badan ke arah Brandon.

"Sebenarnya apa sih yang kau inginkan?!" ketus Anna, kesabarannya sudah habis akibat tubuhnya yang sudah lelah melakukan pendonoran darah sejak tadi siang.

"Donor darah...itulah alasan aku datang kemari," ujar Brandon seolah-olah sengaja menguji kesabaran Anna.

Anna menghela napas, jika lelaki itu bukanlah pemimpin rumah sakit ini, mungkin Anna tak akan melakukan pendonoran lagi sekarang. 

"Kalau boleh aku tau, sejak kapan kamu berteman dengan Reva?" tanya Brandon.

"Sejak kami masih berada di sekolah menengah pertama," ujar Anna, yang sudah menyelesaikan proses pengambilan darah Brandon.

Brandon pun bangkit dari kasur tidur pasien dan memperhatikan Anna yang cepat-cepat berkemas lalu hendak pergi mendekati pintu keluar.

"Tunggu!" ujar Brandon yang kini berdiri menghadang Anna tiba-tiba.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status