Share

Fly 4

Setiap saat ada saja tingkah Tessa untuk mengerjai omnya, Narendra. Usia mereka yang hanya berjarak sepuluh tahun, membuat mereka dekat layaknya kawan.

Kali ini Tessa meminta Naren untuk mentraktirnya makan siang. Tak tanggung-tanggung, Tessa memilih restoran western terkenal yang harganya tentu saja tidak cocok untuk dompet anak SMA seusianya.

"Kamu tuh tahu aja cara bikin orang bangkrut." Gerutu Naren.

"Om ih, ngga boleh bilang gitu. Biar gini juga aku tuh ponakan Om yang tersayang, kalo ngga ada aku, hidup loe ngga asik!" kekeh Tessa.

"Salah! Justru ngga ada kamu dompet Om jadi makmur."

Tessa mencebikkan bibirnya dengan tak acuh, tak ingin perkataan omnya membuat harinya yang sudah berwarna menjadi kelabu.

Setelah sederet pesanannya yang cukup untuk porsi rame-rame datang, Tessa mulai meng-up date status di Twitter, I* dan W*-nya, lengkap dengan foto dari berbagai angle.

Naren hanya berdecak melihat tingkahnya. Terlalu enggan mengomentari kebiasaan Tessa yang hanya akan membuatnya semakin mumet.

"Tumben banget sih diam aja dari tadi, biasanya kan bawel." Sindir Tessa sambil menghentikan kegiatan selfie shoot-nya.

Naren hanya terdiam menggigit bibir. Namun lama kelamaan mulutnya gatal untuk tidak mengomentari tingkah ajaib keponakannya itu.

"Mau kapan dimakannya?! Apa mau nunggu sampai waiternya balik lagi ke sini beresin semuanya??" ketus Naren saat Tessa tak juga menyantap hidangan di hadapan mereka.

"Sabar elah, belum beres!" tukas Tessa.

Sepuluh menit kemudian, Tessa menyimpan ponselnya di atas meja, tersenyum puas karena foto yang diinginkannya sudah didapatkan.

"Oke ayo makan!" ucapnya sambil menepuk kedua tangannya.

"Ngga usah tepuk tangan segala kali, memangnya ini acara makan buat ultah?" sindir Naren.

"He he he ... refleks Om!" ucap Tessa nyengir.

Naren tak menghiraukan keponakannya lagi. Dia mulai menyantap makan siangnya dengan porsi secukupnya. Lagipula dia harus menjaga berat badannya agar tetap ideal, dan agar workout yang rutin dilakukannya tidak menjadi sia-sia.

"Om, tahu ngga masa temanku disuruh nikah sama mamanya." Cerita Tessa.

"Bagus dong, daripada anaknya ngga punya bapak." Respon Naren, asal.

"Iih, Om apaan sih, kok bilangnya gitu?"

"Ya itu, mendingan nikah kan?! Om setuju dengan orang tuanya." 

"Om ngaco deh, emang anak siapa, Om kira dia hamil duluan gitu?"

"Iya, kan tadi kamu yang bilang, katanya biar ada bapaknya." Ujar Naren tanpa memedulikan Tessa yang membelalakkan matanya.

"Itu omongan Om, aku ngga ada ngomong kayak gitu!" ucap Tessa cemberut.

"Ya udah ah, ngapain juga ngomongin orang lain. Mending kamu fokuskan pikiran kamu buat belajar, biar cepat lulus." Nasihat Naren.

"Belajar rajin juga tetap aja lulusnya barengan yang lain, ngga bakalan jadi lebih awal!" tukas Tessa, memeletkan lidahnya pada Naren.

"Siapa bilang? Kalau kamu pintar, kamu bisa ikut kelas akselerasi." Ujar Naren yang tidak digubris Tessa.

Tessa sudah hampir menghabiskan semua makanan yang ada di meja. Untuk urusan makan, dia memang sudah expert. Lupakan body goals, diet, atau apa pun itu yang biasanya jadi pertimbangan para wanita seusianya.

"Ngomong-ngomong, kenapa kamu udah pulang jam segini?"

"Kepo amat sih!!" elak Tessa. Sengaja ingin membuat Naren kesal.

"Apaan lagi, cepetan makannya trus langsung pulang!" sungut Naren kesal.

"Dihh … marah! Sori ye, abis ini aku masih ada les." Beritahu Tessa, dibarengi sendawa keras yang keluar dari mulutnya.

"Ngga sopan banget jadi cewek." Gerutu Naren sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.

"Sori, refleks!" ucapnya cuek.

"Dari tadi bilangnya refleks, refleks, ngga kreatif! Nanti kamu kentut, apa mau dibilang refleks juga?!" dumel Naren, balas membuat Tessa kesal.

Tessa yang sudah paham sifat omnya itu, memalingkan muka tak peduli.

"Ya udah deh, aku cabut dulu. Ngga usah repot-repot nyuruh pulang, Mami udah tahu kok jadwalku. Bye Om sayang, pulangnya langsung ke kantor ya, jangan sampai Kak Kevlar nanyain Om ke aku!" sindir Tessa dengan cengiran isengnya yang membuat Naren semakin melotot.

"Ck, si Kevlar aja dia panggil Kakak, padahal umurnya kan cuman beda setahun sama gue!" gerutu Naren dalam hati.

Dia pun beranjak keluar restoran setelah selesai melakukan pembayaran.

"Alamak, punya ponakan baru dua aja udah nyusahin banget, bikin gue ngeri buat punya anak." Desahnya, berjalan menuju mobil sambil tak henti berbicara pada dirinya sendiri.

"Tunggu, apa tadi dia bilang? Mau Les? Baru jam 1, emang tuh anak ngga sekolah? Ck, bodo ah, bukan urusan gue!" Naren menghentikan langkahnya, lalu melanjutkan kembali setelah beberapa detik.

Sekembalinya ke kantor, sekretaris Kevlar memberitahu Naren bahwa Kevlar memanggilnya ke ruangannya.

"Dari mana?!" tanya Kevlar begitu Naren memasuki ruangannya.

"Lunch sama Tessa."

Naren memilih duduk di sofa tamu, jauh dari meja kerja Kevlar.

"Loe ngga makan di luar?" ucap Naren, balik bertanya pada sahabatnya itu.

Kevlar menggelengkan kepalanya.

"Gue minta Mirna pesan dari G**ek." Beritahunya.

"Udah sampai mana proyek ReMain?!" lanjut Kevlar, beralih duduk di seberang Naren.

"Suplai bahan baku untuk para pengrajin  bakalan tiba dalam dua hari. Tapi proses produksinya sudah dimulai untuk mengejar tenggat waktu tiga minggu pada periode pertama yang diberikan pihak ReMain."

"Apa pengrajin kita sanggup mengerjakannya tepat waktu? Jumlah furnitur yang dipesan sangat banyak, gue khawatir mereka akan kewalahan memenuhi pesanan." Decak Kevlar.

"Sebenarnya cukup sih, semua pengrajin kita mampu memproduksi 5 set per orang dalam seminggu. Dan kita memiliki lebih dari lima puluh orang pengrajin utama. Tapi untuk menghindari kolaps yang tidak diinginkan, gue juga merekrut beberapa pengrajin dari Jepara dan Cirebon untuk membantu pengrajin kita."

"Bagus, tapi pastikan mereka bekerja sesuai dengan ciri khas kita." 

"Yup, gue udah merekrut mereka dua minggu sebelum produksi dimulai, jadi mereka memiliki waktu untuk mempelajari cara kerja para pengrajin kita. Dan gue lihat mereka bisa mengimbanginya dengan baik." Beber Naren.

"Syukurlah kalau semuanya terkendali. Ya udah, loe boleh balik ke ruangan loe." Balas Kevlar, kembali beranjak menuju mejanya.

"Oke, gue keluar dulu."

Kevlar menghabiskan sisa waktunya memeriksa berbagai laporan. Saat pukul 3 lebih 30 menit tiba, Kevlar berdiri dari kursinya, mendekat pada jendela yang ada di samping meja kerjanya. Dia pun sudah bersiap turun andaikan objek yang ditunggunya berdiri di seberang jalan.

Kegiatan yang baru disadarinya sudah dilakukannya entah  sejak kapan. Sepertinya mulai kini tak akan ada sehari pun dia absen melakukannya, berdiri di dekat jendela dan melihat seraut wajah yang menjadi obsesinya.

Namun ada yang aneh.

    

Sepuluh menit berlalu tak ada satupun siswa berseragam putih kotak kuning yang menjadi ciri khas sekolah di depannya.  

"Mungkinkah jam keluarnya dimundurkan?" heran Kevlar.

Meski ragu namun Kevlar meyakini kemungkinan itu. Sayangnya, hingga jam kantornya berakhir, Kevlar tidak juga melihat anak-anak  yang berjalan ataupun menaiki kendaraan keluar dari gerbang sekolah. Termasuk gadis yang dinantinya.

Sepertinya  sekarang bukan saatnya dia bertemu gadis itu.

                                                          

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status