Setiap saat ada saja tingkah Tessa untuk mengerjai omnya, Narendra. Usia mereka yang hanya berjarak sepuluh tahun, membuat mereka dekat layaknya kawan.
Kali ini Tessa meminta Naren untuk mentraktirnya makan siang. Tak tanggung-tanggung, Tessa memilih restoran western terkenal yang harganya tentu saja tidak cocok untuk dompet anak SMA seusianya.
"Kamu tuh tahu aja cara bikin orang bangkrut." Gerutu Naren.
"Om ih, ngga boleh bilang gitu. Biar gini juga aku tuh ponakan Om yang tersayang, kalo ngga ada aku, hidup loe ngga asik!" kekeh Tessa.
"Salah! Justru ngga ada kamu dompet Om jadi makmur."
Tessa mencebikkan bibirnya dengan tak acuh, tak ingin perkataan omnya membuat harinya yang sudah berwarna menjadi kelabu.
Setelah sederet pesanannya yang cukup untuk porsi rame-rame datang, Tessa mulai meng-up date status di Twitter, I* dan W*-nya, lengkap dengan foto dari berbagai angle.
Naren hanya berdecak melihat tingkahnya. Terlalu enggan mengomentari kebiasaan Tessa yang hanya akan membuatnya semakin mumet.
"Tumben banget sih diam aja dari tadi, biasanya kan bawel." Sindir Tessa sambil menghentikan kegiatan selfie shoot-nya.
Naren hanya terdiam menggigit bibir. Namun lama kelamaan mulutnya gatal untuk tidak mengomentari tingkah ajaib keponakannya itu.
"Mau kapan dimakannya?! Apa mau nunggu sampai waiternya balik lagi ke sini beresin semuanya??" ketus Naren saat Tessa tak juga menyantap hidangan di hadapan mereka.
"Sabar elah, belum beres!" tukas Tessa.
Sepuluh menit kemudian, Tessa menyimpan ponselnya di atas meja, tersenyum puas karena foto yang diinginkannya sudah didapatkan.
"Oke ayo makan!" ucapnya sambil menepuk kedua tangannya.
"Ngga usah tepuk tangan segala kali, memangnya ini acara makan buat ultah?" sindir Naren.
"He he he ... refleks Om!" ucap Tessa nyengir.
Naren tak menghiraukan keponakannya lagi. Dia mulai menyantap makan siangnya dengan porsi secukupnya. Lagipula dia harus menjaga berat badannya agar tetap ideal, dan agar workout yang rutin dilakukannya tidak menjadi sia-sia.
"Om, tahu ngga masa temanku disuruh nikah sama mamanya." Cerita Tessa.
"Bagus dong, daripada anaknya ngga punya bapak." Respon Naren, asal.
"Iih, Om apaan sih, kok bilangnya gitu?"
"Ya itu, mendingan nikah kan?! Om setuju dengan orang tuanya."
"Om ngaco deh, emang anak siapa, Om kira dia hamil duluan gitu?"
"Iya, kan tadi kamu yang bilang, katanya biar ada bapaknya." Ujar Naren tanpa memedulikan Tessa yang membelalakkan matanya.
"Itu omongan Om, aku ngga ada ngomong kayak gitu!" ucap Tessa cemberut.
"Ya udah ah, ngapain juga ngomongin orang lain. Mending kamu fokuskan pikiran kamu buat belajar, biar cepat lulus." Nasihat Naren.
"Belajar rajin juga tetap aja lulusnya barengan yang lain, ngga bakalan jadi lebih awal!" tukas Tessa, memeletkan lidahnya pada Naren.
"Siapa bilang? Kalau kamu pintar, kamu bisa ikut kelas akselerasi." Ujar Naren yang tidak digubris Tessa.
Tessa sudah hampir menghabiskan semua makanan yang ada di meja. Untuk urusan makan, dia memang sudah expert. Lupakan body goals, diet, atau apa pun itu yang biasanya jadi pertimbangan para wanita seusianya.
"Ngomong-ngomong, kenapa kamu udah pulang jam segini?"
"Kepo amat sih!!" elak Tessa. Sengaja ingin membuat Naren kesal.
"Apaan lagi, cepetan makannya trus langsung pulang!" sungut Naren kesal.
"Dihh … marah! Sori ye, abis ini aku masih ada les." Beritahu Tessa, dibarengi sendawa keras yang keluar dari mulutnya.
"Ngga sopan banget jadi cewek." Gerutu Naren sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Sori, refleks!" ucapnya cuek.
"Dari tadi bilangnya refleks, refleks, ngga kreatif! Nanti kamu kentut, apa mau dibilang refleks juga?!" dumel Naren, balas membuat Tessa kesal.
Tessa yang sudah paham sifat omnya itu, memalingkan muka tak peduli.
"Ya udah deh, aku cabut dulu. Ngga usah repot-repot nyuruh pulang, Mami udah tahu kok jadwalku. Bye Om sayang, pulangnya langsung ke kantor ya, jangan sampai Kak Kevlar nanyain Om ke aku!" sindir Tessa dengan cengiran isengnya yang membuat Naren semakin melotot.
"Ck, si Kevlar aja dia panggil Kakak, padahal umurnya kan cuman beda setahun sama gue!" gerutu Naren dalam hati.
Dia pun beranjak keluar restoran setelah selesai melakukan pembayaran.
"Alamak, punya ponakan baru dua aja udah nyusahin banget, bikin gue ngeri buat punya anak." Desahnya, berjalan menuju mobil sambil tak henti berbicara pada dirinya sendiri.
"Tunggu, apa tadi dia bilang? Mau Les? Baru jam 1, emang tuh anak ngga sekolah? Ck, bodo ah, bukan urusan gue!" Naren menghentikan langkahnya, lalu melanjutkan kembali setelah beberapa detik.
Sekembalinya ke kantor, sekretaris Kevlar memberitahu Naren bahwa Kevlar memanggilnya ke ruangannya.
"Dari mana?!" tanya Kevlar begitu Naren memasuki ruangannya.
"Lunch sama Tessa."
Naren memilih duduk di sofa tamu, jauh dari meja kerja Kevlar.
"Loe ngga makan di luar?" ucap Naren, balik bertanya pada sahabatnya itu.
Kevlar menggelengkan kepalanya.
"Gue minta Mirna pesan dari G**ek." Beritahunya.
"Udah sampai mana proyek ReMain?!" lanjut Kevlar, beralih duduk di seberang Naren.
"Suplai bahan baku untuk para pengrajin bakalan tiba dalam dua hari. Tapi proses produksinya sudah dimulai untuk mengejar tenggat waktu tiga minggu pada periode pertama yang diberikan pihak ReMain."
"Apa pengrajin kita sanggup mengerjakannya tepat waktu? Jumlah furnitur yang dipesan sangat banyak, gue khawatir mereka akan kewalahan memenuhi pesanan." Decak Kevlar.
"Sebenarnya cukup sih, semua pengrajin kita mampu memproduksi 5 set per orang dalam seminggu. Dan kita memiliki lebih dari lima puluh orang pengrajin utama. Tapi untuk menghindari kolaps yang tidak diinginkan, gue juga merekrut beberapa pengrajin dari Jepara dan Cirebon untuk membantu pengrajin kita."
"Bagus, tapi pastikan mereka bekerja sesuai dengan ciri khas kita."
"Yup, gue udah merekrut mereka dua minggu sebelum produksi dimulai, jadi mereka memiliki waktu untuk mempelajari cara kerja para pengrajin kita. Dan gue lihat mereka bisa mengimbanginya dengan baik." Beber Naren.
"Syukurlah kalau semuanya terkendali. Ya udah, loe boleh balik ke ruangan loe." Balas Kevlar, kembali beranjak menuju mejanya.
"Oke, gue keluar dulu."
Kevlar menghabiskan sisa waktunya memeriksa berbagai laporan. Saat pukul 3 lebih 30 menit tiba, Kevlar berdiri dari kursinya, mendekat pada jendela yang ada di samping meja kerjanya. Dia pun sudah bersiap turun andaikan objek yang ditunggunya berdiri di seberang jalan.
Kegiatan yang baru disadarinya sudah dilakukannya entah sejak kapan. Sepertinya mulai kini tak akan ada sehari pun dia absen melakukannya, berdiri di dekat jendela dan melihat seraut wajah yang menjadi obsesinya.
Namun ada yang aneh.
Sepuluh menit berlalu tak ada satupun siswa berseragam putih kotak kuning yang menjadi ciri khas sekolah di depannya.
"Mungkinkah jam keluarnya dimundurkan?" heran Kevlar.
Meski ragu namun Kevlar meyakini kemungkinan itu. Sayangnya, hingga jam kantornya berakhir, Kevlar tidak juga melihat anak-anak yang berjalan ataupun menaiki kendaraan keluar dari gerbang sekolah. Termasuk gadis yang dinantinya.
Sepertinya sekarang bukan saatnya dia bertemu gadis itu.
Tepat pukul 5, Kevlar turun dari kantornya. Beberapa karyawan galeri furnitur yang berada di lantai bawah kantornya tersenyum dan mengangguk hormat saat Kevlar lewat di depan mereka. Jam tutup galeri berbeda satu jam dengan kantor, tapi beberapa karyawan sudah mulai berbenah, dan sebagian lainnya masih melayani klien yang ingin membeli furnitur atau sekedar hanya melihat-lihat. Kevlar memasuki mobil Range Rover miliknya, dan melaju dengan kecepatan sedang. Menyesal dia tidak meminta Pak Mur, supir perusahaan, untuk mengemudikan mobilnya karena baru lima belas menit berada di jalan, dia sudah merasakan kantuk yang tak tertahankan. Semuanya gara-gara semalam dia begadang. Padahal tidak ada hal penting yang harus dilakukannya. Pun mengenai masalahnya dengan Alea yang beberapa hari terakhir sempat menyita pikirannya, kini tak dirisaukannya lagi. Dia membebaskan pikirannya dari segala hal yang memberatkan, dan melakukan semua hal yang diinginkannya tanpa memedulikan apakah orang lain a
"jadi siapa nama kamu?" Polisi bertanya setelah dia meminjam ruang perawatan yang kosong untuk berbicara. "Quitta." Kevlar memperhatikan interaksi keduanya dengan seksama. "Punya KTP atau kartu identitas lain yang masih berlaku?" "Ada KTP." "Coba saya lihat." "Kamu sudah menghubungi orang tua atau wali kamu?" Lanjut polisi itu, sambil memeriksa dengan seksama kartu identitas Quitta. "Belum." "Sudah punya SIM?" Quitta mengangguk, dan kembali menunjukkan SIM motor dan mobil miliknya. "Seharusnya saya katakan ini pada orang tua kamu, tapi karena kamu sudah berusia 18 tahun, berarti sudah dianggap dewasa untuk berdiskusi mengenai masalah ini. Ini murni ketidak sengajaan yang disebabkan oleh kelalaian pengemudi, tapi pemilik mobil sudah bersedia membiayai pengobatan serta mengganti biaya perbaikan motor kamu. Jadi kalau kamu setuju untuk berdamai, masalah ini akan berakhir sampai di sini dan tidak ada yang perlu ke kantor polisi." Jelas polisi itu. "Aku setuju." Jawab Quitta ce
Kevlar tiba di rumahnya dengan perasaan lelah luar biasa. Kejadian hari ini memberinya pelajaran untuk lebih berhati-hati dalam berkendara. Rasa lelah itu memaksa dirinya untuk segera berbaring di kamarnya. Namun keadaan tubuhnya yang kotor membuatnya berpikir dua kali untuk melakukannya. Akhirnya dengan sisa tenaga yang dimiliki, dia pun memutuskan untuk menyegarkan tubuhnya dengan mandi air hangat. Di bawah shower Kevlar membiarkan tetes-tetes air jatuh menembus pori-porinya. Rasa hangat meresap ke dalam kulit, membuat darahnya mengalir lancar. Dan seolah sudah dicharge, tenaganya kembali pulih dalam sekejap. "Quitta ... " desahnya tanpa sadar di antara gemericik air. Bayangan tentang gadis itu hinggap di benaknya. Meski mereka baru saling mengenal, namun Kevlar sudah merasa tak asing lagi dengan gadis itu. Gadis yang selalu dilihatnya di pukul 3 lebih 30, saat jam bubaran sekolah berdentang. Setengah jam berlalu Kevlar menyudahi ritual mandinya. Perasaan segar membuat pikiran
Hari ini Kevlar mengajak Tessa makan sepulang sekolah. Sepanjang perjalanan tak hentinya Tessa berbicara tentang banyak hal, termasuk tentang teman-temannya. "Jadi kalian udah temenan dari kelas sepuluh?" Tanya Kevlar sambil menyetir. "Iya, awalnya kita kenal karena satu ekskul. Baru deh di kelas dua belas ini kita satu kelas." "Quitta? Atau siapa nih maksudnya?" Tanya Kevlar penasaran. Sejak tadi dia memang lebih tertarik pada satu nama itu. Lagipula dia mengajak Tessa makan bukan tanpa maksud, ada misi yang harus dijalankannya. Misi mencari informasi tentang Quitta. "Iya dia! Satu lagi namanya Farah. Kita bertiga tuh udah deket, BFF bangetlah." Ucap Tessa sambil memberi isyarat dengan kedua tangannya. "Umh ... Anaknya gimana?" "Siapa?" "Quitta." Tessa memandang Kevlar dengan curiga, perasaannya mengatakan ada sesuatu yang aneh dengan Kevlar. "Perasaan dari tadi Kakak nanyain Quitta terus deh ... " ucap Tessa menyuarakan keheranannya. "Emang kenapa?" Tanya Kevlar tanpa dosa
Demi menyambut tamu spesial, sejak pagi sekali Anastasia sudah bangun. Semalam dia sudah menghubungi asisten rumah tangganya agar datang lebih awal untuk berbelanja ke pasar. Dia juga meminta asisten rumah tangganya itu mencari dua orang lainnya untuk membantunya mempersiapkan semua hal. Quitta berusaha membuat dirinya tenang dengan tidak terpengaruh kegaduhan yang terjadi di rumahnya . Namun suara Anastasia yang sibuk mengatur dan mempersiapkan berbagai hal membuatnya terganggu. Bukannya dia tak tahu bahwa hari ini Ghaza dan ibunya akan berkunjung ke rumahnya, namun menurutnya sikap ibunya terlalu berlebihan. "Permisi ... " suara seseorang yang mengetuk pintu kamarnya. "Ya, siapa?" jawab Quitta, mengernyit mendengar suara yang asing di telinganya. Pintu kamarnya yang tertutup dibuka dari luar, dua orang wanita muda berwajah manis menyeruak masuk. Salah satunya membawa sebuah koper persegi berwarna hitam. "Halo, saya MUA yang mau make up-in kamu. Sudah siap? Mau dimake-up sekar
"Mama ngga seharusnya bicara seperti itu pada ibunya Ghaza." Ucap Quitta, setelah Ghea dan Ghaza berpamitan pulang. Kekesalan yang ditahannya sejak tadi pada Anastasia membutuhkan pelampiasan. "Memangnya kenapa? Justru Mama harus membicarakannya secepat mungkin." "Apa Mama tidak merasa malu? Setelah berbicara seperti itu terlihat jelas bahwa kita sangat menginginkannya." "Mama ngga mau munafik, siapa yang tidak mau berbesanan dengan keluarga mereka. Berpendidikan dan terpandang, dan yang pasti kekayaan mereka tidak akan habis untuk tujuh turunan. Hidup kita akan bahagia selamanya." "Ralat. Hidup Mama, bukan hidupku!" Quitta pergi meninggalkan Anastasia menuju kamarnya. Sudah cukup dia merasa malu pada Ghaza dan ibunya, dan kini dia harus menjaga hatinya agar tidak merasakan kesedihan yang mendalam karena sikap ibunya. "Mama melakukan semua ini untuk kamu!" teriak Anastasia. Dibiarkannya Quitta pergi ke kamarnya. Lagipula hari ini dia sudah cukup senang mendengar perkataan Ghea.
Saat Quitta duduk di bangku kelas 2 SMP, orang tuanya memutuskan untuk bercerai. Akibat perceraian itu mengubah kehidupan Quitta secara drastis. Dia dipaksa harus memilih untuk tinggal bersama ayah atau ibunya. Pilihan yang sebenarnya sudah ditentukan. Karena nyatanya meski diberi dua pilihan, Quitta tidak bisa menolak saat Anastasia memohon dengan setengah memaksa agar Quitta tinggal bersama dirinya. Quitta terhenyak. Hampir Lima tahun sejak perceraian orang tuanya, hari ini setelah tak bertemu dan kehilangan kontak selama dua tahun Quitta akhirnya akan bertemu lagi dengan ayahya, Dewa. Sekelebat ingatannya tentang ayahnya terlintas di benaknya. Hingga sebelum perceraian itu terjadi Quitta tumbuh menjadi anak yang beruntung dengan limpahan kasih sayang dari kedua orang tuanya. Terlebih ayahnya yang sangat menyayangi dan mengasihinya. Demi kepentingan putri satu-satunya, Dewa selalu meluangkan waktu apapun yang terjadi. Meski harus meninggalkan pekerjaannya sebagai chef
Malam ini Kevlar mengajak Naren keluar. Sudah lama sekali sejak terakhir kali mereka jalan bersama. Kesibukan keduanya membuat mereka jarang meluangkan waktu kecuali untuk urusan pekerjaan."Tumben nih, dalam rangka apa lo ngajakin gue hangout? Gue sampe belain batalin kencan gue sama Zarra demi lo." Ucap Naren saat keduanya bertemu di sebuah private lounge hotel berbintang.Naren yang datang lebih dulu sudah siap dengan minuman favorit mereka, sebotol bullshot yang langsung dituangkannya saat Kevlar tiba."Anggap aja perayaan keberhasilan proyek kita kemarin." Ungkap Kevlar."Oh yeah, gue suka ini! Ayo bersulang!" Naren sudah bersiap mengangkat gelasnya dengan tinggi, namun reaksi Kevlar membuat tangannya tertahan di udara."Gue lagi ngga pengen minum yang keras-keras." Sahut Kevlar setelah Naren melihatnya dengan pandangan bertanya. Akhirnya dengan terpaksa Naren minum sendiri."Ck, gue kira ponakan gue bohong waktu dia bilang lo lagi flirting-in sohibnya dia!" gerutu Naren.Ke