“Siapa? Laki-laki siapa yang dimaksud? Apa sekarang masih suka?” Hasbi membungkus tubuhnya dengan selimut tebal pagi ini. Sudah tiga hari dia berbaikan dengan Bigel. Namun, selama itulah dirinya memikirkan laki-laki yang disukai Bigel semasa kuliah dulu. Bigel mengatakan jika dulu dia bukan menguntit Hasbi, hanya kesalahpahaman karena Bigel sedang menunggu laki-laki lain.
“Mas Hasbi?” panggil Bigel sembari mengetuk pintu kamar pria itu berulang kali. “Mas, ini ada yang mengantarkan berkas dokumen. Saya taruh dimana? Apa Mas tidak bekerja?” Rentetan pertanyaan mengalir begitu saja dengan matanya tertuju pada sampul dokumen. Tertulis, dokumen pekerjaan itu untuk manajer eksekutif Hasbi Abraham.
Hasbi bekerja di sebuah usaha hotel milik mendiang ayahnya, yaitu Rise Hotel. Dia memegang jabatan sebagai manajer eksekutif di bawah pimpinan direktur utama Endrico Abraham, putra sulung Abraham.
Suara Bigel tidak digubris karena dia merasa tidak enak badan dan suhu tubuhnya mungkin naik. Harusnya, laki-laki itu pergi bekerja setelah cuti menikah, nyatanya takdir berkata lain.
“Saya letakkan di meja ruang tv kalau begitu.”
“Tolong bawa masuk,” pinta Hasbi, berusaha mengeraskan suaranya agar didengar oleh Bigel.
Bigel membuka pintu kamar Hasbi dengan pelan, terlihat laki-laki itu tergulung dalam selimut tebal. Tidak perlu diberitahu, Bigel pastikan pria itu sedang sakit.
“I-ini ... saya letakkan dimana?”
“Bawa kesini,” titah Hasbi. Sorot matanya tidak pernah lepas memandang Bigel. Agak kesal, sebab Bigel seperti tidak peduli pada kondisi dirinya yang terbaring lemah.
“Ini.”
Hasbi mengambil berkas dokumennya dan diletakkan di samping ia berbaring. “Kau tidak mau bilang sesuatu?”
“Apa?”
“Cih, tidak peka.”
“Saya tidak mengerti.”
Hasbi semakin mengeratkan selimutnya ke tubuh, tapi Bigel tetap tidak bergeming. Alhasil, laki-laki itu jengkel tidak karuan. “Pergilah.”
“Apa Mas sakit?”
“Pergi.”
“Saya cek—“
“Kau tuli, ya? Aku bilang pergi,” sela Hasbi, sehingga mau tidak mau Bigel menghentikan aksinya yang ingin mengecek dahi Hasbi.
“Ya, sudah,” jawabnya ketus, lalu beringsut pergi dari sana.
Bigel menyiapkan teh hangat dan membuat bubur kacang hijau dengan tambahan susu. Ya, karena jiwa sosialnya begitu tinggi, dia akan merawat Hasbi sebagai rasa kemanusiaan saja pikirnya.
Bigel datang kembali ke kamar Hasbi dan meletakkan makanan yang ia buat ke atas meja, tepat di samping laki-laki itu berbaring. “S-saya tidak bisa memastikan kondisi Mas, saya harap Mas mau memakan ini. Tapi, sebenarnya saya penasaran.”
Hasbi membuka kelopak matanya dan melihat pada Bigel. Mungkin, saat ini tidak secantik Irasya, tapi ada yang berbeda dari aura wajahnya. “Apa?” Sangat ketus sampai Bigel heran sendiri.
Bigel meletakkan telapak tangannya di dahi Hasbi tanpa izin. “Saya hanya penasaran dengan rasa panasnya.”
Jelas, suhu tubuh Hasbi sedang dalam keadaan tidak baik-baik saja.
Ketika ingin mengangkat tangannya, pergerakannya tertolak karena Hasbi menahan dengan tangan kirinya. Selanjutnya, tangan kanannya menarik paksa tangan Bigel yang lain hingga mau tidak mau Bigel terjatuh tepat di atas dada Hasbi.
“Setelah apa yang aku lakukan padamu, kenapa kau masih peduli padaku?”
Bigel yang terperanjat pun tidak langsung menjawab, degupan jantungnya kian melonjak ria. “S-saya ....”
Hasbi semakin menarik tubuh Bigel untuk menempel padanya. “Laki-laki itu, siapa?”
“Siapa apanya?” tanya Bigel. Kali ini, dia dibuat bingung dengan pertanyaan sang suami.
Kesal, Hasbi memutar posisi sampai Bigel berada di posisi bawah. Seperti malam itu, bedanya pagi ini Hasbi seperti cemburu. Bahkan belum lama mereka menikah, anehnya seperti mengenal dekat dalam waktu yang lama.
“Hasbi!”
Panggilan yang sedikit keras itu membuat keduanya kaget dan bergerak salah tingkah. Tidak terduga, Iza yang tiba-tiba ada disana berpikir jika wanita yang dikukung Hasbi bukanlah Bigel, melainkan wanita lain yang sengaja dibawa ke rumah untuk membuat Bigel sakit hati.
“I-ibu—“ Bigel tidak dapat melanjutkan ucapannya.
“Maaf, Mama kira bukan Bigel. Lain kali, pintunya ditutup dulu,” ucap Iza. Lalu, menarik gagang pintu dan menutupnya dengan rapat.
Bigel bergerak cepat untuk turun dari ranjang dan memakai sandal rumahnya. Tidak peduli apa reaksi laki-laki itu, Bigel hanya merasa sungkan pada Iza.
“Aku belum selesai berbicara.”
“Saya pikir tidak ada yang perlu dibahas, saya peduli karena Mas sedang sakit. Saya masih punya hati untuk memiliki rasa kemanusiaan,” balas Bigel dengan tegas.
***
“Menginaplah di rumah Mama, Endrico pulang hari ini.”
“Bukannya masih lama? Dia bilang masih beberapa bulan lagi, makanya sudah izin jauh sebelum hari pernikahanku.”
Iza melirik Bigel dengan hati-hati, terlihat Bigel gugup saat dirinya membahas putra sulungnya itu. Sampai hari ini, Iza tidak pernah tahu apa yang terjadi di antara Endrico dan Bigel.
Mengekori arah pandang ibunya, Hasbi sedikit mencerna teka-teki kepergian Endrico dari dua bulan yang lalu dan ekspresi Bigel yang aneh.
“Ma—“
“Tiba-tiba saja, mungkin terkait masalah distribusi barang yang lepas bea cukai. Tidak ada hubungannya dengan hotel dan pekerjaanmu,” sela Iza dengan suaranya yang tegas tapi lembut.
“Oh.”
“Mama tunggu di rumah, kalau panasmu tidak turun juga, besok saja.”
“Hasbi akan kesana,” ucap Hasbi.
Iza mengangguk. “Bigel juga bersiap, ya. Jangan Bigel yang menyetir.”
Lalu, siapa? Hasbi sedang sakit begitu, pikir Bigel. “Tidak apa Bu, Big—“
“Mama bilang apa waktu itu?”
“Maaf, Ma ... maksud Bigel mama tadi,” jawab Bigel. Iya, tidak boleh lagi memanggil ibu, melainkan mama.
“Ya, sudah.” Iza berdiri dan mendekat pada Bigel untuk sedikit membungkuk. Tangan kanannya menangkup dagu Bigel, selanjutnya mencium dahi dan ubun-ubun Bigel secara bergantian. “Menantu Mama, kesayangan satu-satunya,” ujarnya dengan begitu lembut. Sangat tulus, sampai Bigel tidak dapat berkutik karena rasanya begitu memeluk hatinya.
Hasbi tidak pernah menyangka sang ibu berbicara seperti itu, melihat apa yang dia ekspresikan selama ini pada menantu pertama Abraham, istri dari putra kedua Abraham, Arsenio. Lainnya, ibunya seperti bersikap datar pada kehadiran Irasya.
“Mama?” Hasbi pikir, ibunya dirasuki makhluk halus.
“Mama tidak akan menciummu. Mama pergi, sekalian mau menjemput Rico.”
"Bukan begitu, tapi Mama bukan orang yang seperti ini. Kak Freya—"
"Mama paling mengenal Bigel lebih dulu darimu. Mama tahu kalau kamu bersikap tidak baik dengan Bigel. Kali ini saja, turuti pilihan Mama."
"Mama," lirih Bigel. Jujur, dia merasa tidak enak pada suasana ini.
"Mama pergi, perhatikan obat anak itu. Mama malas berdebat untuk hal yang tidak penting," ucap Iza sembari melangkahkan kakinya menuju luar rumah.
Bigel membuntuti Iza dan mengantarnya sampai ke gerbang rumah, setelah itu masuk kembali dan melihat keberadaan Hasbi yang menatapnya dari ambang pintu utama.
“Endrico, kan?”
Bigel melotot tajam, apalagi ini?
Hasbi melanjutkan perkataannya, “Laki-laki yang kau tunggu di HIMA waktu itu?”
•••
"Mas, air dinginnya mana?"Hasbi memilih diam di tempat setelah berhasil menutup pintu kamarnya. Bahkan, sama sekali tidak menjawab pertanyaan Bigel karena isi kepalanya sedang berkecamuk."Mas Hasbi?" panggil Bigel sekali lagi. Suaminya itu mendadak berubah menjadi tatapan kosong dan tidak membawa air dingin pesanannya."Bigel," katanya pelan."M-mas, kenapa?"Hasbi mengepalkan kedua tangannya, terlihat lengannya penuh urat kekar yang menonjol. Untuk itu, Bigel tidak berani bersuara lagi. Apa dia melakukan kesalahan sampai suaminya marah? Apa Hasbinya tersinggung saat Bigel meminta tolong untuk mengambil air dingin? Tapi, rasanya bukan itu alasannya."Nanti Mas ambilin air dinginnya, ya. Sebentar saja, biarin Mas berdiri disini dulu. Jangan kemari, Bigel disana saja ... jangan banyak bergerak.""Mas Hasbi ...," lirih Bigel, tanpa sengaja sebulir air matanya jatuh. Ya, ibu hamil yang terlalu sensitif dan berpikir suaminya sedang membencinya.Hasbi memejamkan matanya sebentar, berusaha
Senyum Bigel mengembang saat dari jauh ia menemukan sosok Hasbi yang baru saja landing dari Bali. Beberapa hari tidak bertemu Hasbi dan dia benar-benar merindukan sosok suaminya itu."Itu Mas Hasbi," gumam Bigel. Kini, tangannya melambai-lambai agar sang suami melihat ke arahnya.Tentu, Hasbi tersenyum bahagia saat melihat wajah Bigel. Dirinya pun bergegas mempercepat langkah sambil menarik kopernya."Istri Mas paling cantik sedunia, kangen banget ga ketemu beberapa hari.""Bigel juga kangen, hehe."Hasbi mencium dahi Bigel lamat-lamat dan turun mencium kandungan Bigel. "Makin gemoy kesayangan Mas ini. Sama siapa kesini, Sayang?""Sendiri, soalnya Mama ada kerjaan yang enggak bisa ditinggal. Bigel kan libur kerja, tadi mau dianter mas Endrico, tapi Bigel enggak mau. Takut ....""Dia ga ngapai-ngapain kamu, kan?" Bigel menggeleng. "Enggak, kok. Kayaknya yang Mas bilang dia suka aku tuh kayaknya bukan aku deh.""Dia suka kak Freya?""Bingung, kayaknya akunya yang salah lihat," tutur Big
"Egh— Jangan disini, nanti ketahuan," pinta Freya sembari mencoba melepaskan tangan Endrico yang tengah memainkan kedua gundukan kembarnya. Merasa tidak enak karena tidak di dalam unit dan takut orang lain akan melihat kelakuan mereka.Endrico menuruti dan mengikuti Freya masuk ke dalam unit apartemennya. Tanpa disadari, Bigel melihat kejadian barusan dengan perasaan yang syok berat. Pasalnya Endrico dan Freya adalah saudara ipar dan telah menghianati kepercayaan Arsenio.Ketika pintu unit apartemen tertutup, Endrico kembali menarik tubuh Freya dan mencium bibir wanita itu dengan ugal-ugalan. Keduanya sama-sama terlena hingga membawa mereka masuk ke dalam kamar Freya.Keduanya sama melepas baju masing-masing dan Freya yang sengaja berbaring terlentang di atas kasur. Menggoda Endrico dengan lekuk tubuhnya agar kakak iparnya tersebut segera menindihnya."Tubuhmu, cantik," gumam Endrico.Freya hanya tersenyum tipis dan membalas dengan menciumi dada kekar milik Endrico. "Foto itu rahasia,
"Aku ingin roti ini lagi, tolong semuanya dibungkus."Bigel terkesiap dari lamunannya barusan, bagaimana ia memikirkan perkataan suaminya dua hari yang lalu untuk menyuruh Bigel membalas dendam pada Freya. Jelas, Bigel menolak dengan penuh kesadaran. Balas dendam bukanlah jalan yang akan Bigel sentuh sampai kapanpun."O-oh, datang lagi? roti selai keju coklat? Aku akan membungkusnya. Sebentar, ya ...." Bigel mempersiapkan roti tersebut dan disusun rapi dalam box roti ukuran besar."Sejak tadi aku memperhatikanmu melamun. Ada apa?" tanya pria dengan prawakan tinggi dan badan kekar berisi, mirip dengan ukuran tubuh Hasbi."E-enggak apa-apa, kok. Kau tidak membawa anakmu?""Hari ini ada les tambahan di sekolah, jadi hanya aku sendiri. Berapa usia kandunganmu?""Sudah mau masuk tujuh bulan," jawab Bigel seadanya. Dia cukup akrab dengan pelanggan baru satu ini."Tidak cuti?""A-aku kan baru bekerja beberapa hari lalu."Pria itu tampak terkejut dengan jawaban yang diberikan oleh Bigel. "Maaf
"Masakanku ga seharusnya terhidang disana. Harusnya masakanmu yang ada disana, pasti mama akan senang."Bigel yang sedang membantu mencuci piring pun tercekat dengan pernyataan Freya barusan. Tiba-tiba saja dan Bigel kesulitan untuk merespon dengan jawaban yang tidak menyakiti hati."Mama mungkin lagi capek. Aku minta maaf karena buat Kakak jadi dimarahin," tutur Bigel. Bahkan, untuk sekedar menatap Freya saja dia tidak berani karena rasa bersalahnya itu."Kamu segala-galanya bagi mama. Apa yang aku lakuin pasti salah. Aku ga punya tempat di hati mama. Aku iri atau karena orang tuaku bukan orang yang berada?"Bigel menghembuskan napas dan memberhentikan gerakan tangannya yang tengah menyabuni piring. "Mendiang ayahku cuma sopir dan mendiang ibuku jualan kue. Ga ada hubungannya dengan itu, mungkin Kakak cuma perlu bersabar sampai mama bisa nerima Kakak," ungkap Bigel. Lalu, ia kembali melanjutkan cucian piringnya."Aku kira dengan kehadiran kamu di keluarga Abraham bakal bikin mama jadi
"Sini, mas belum cium.""Malu. Bigel malu loh ... enggak mau.""Bigel, sini ...." Hasbi berusaha menarik lembut tangan Bigel agar lebih mendekat padanya."I-itu banyak mobil lewat. Nanti, kalau diliatin malu ah, Mas," balas Bigel, masih menolak untuk dicium sang suami."Masnya mau cium ini. Ga ada afeksi loh mau berangkat kerja.""Kau udah tadi di rumah ....""Kurang, yang tadi di rumah ga kerasa.""Nanti diliatin orang, kan malu, is," protes Bigel, tapi ekspresinya begitu lucu dan menggemaskan bagi sang suami.Kali ini, Hasbi menyentuh punggung Bigel dan menariknya sedikit sampai wanita itu benar-benar dekat dengannya.Muah.Hasbi berhasil mencium pipi kiri Bigel dengan sempurna. Tentu, membuat Bigel jadi salah tingkah dengan perlakuan suaminya tersebut."Malu ...," tuturnya lagi sembari celingak-celinguk kiri dan kanan dengan wajah yang sempurna merah merona. Dia berharap tidak ada orang yang melihat keduanya.Muah."Ngapain malu? Kan, dicium suaminya sendiri," celetuk Hasbi dan kemb
"Ulu hati Bigel kaya ditendang. Kesentak, sakit banget ...." "Maaf ... maaf ... pasti gara-gara Mas ya makanya dedek disini rada rewel. Maafin ayah ya, Dek .... ibunnnya jangan dimarahin," bisik Hasbi sembari menciumi perut Bigel."Makanya ayahnya jangan cemburuan gitu, jangan bikin ibunnya dedek makin pusing," celetuk Bigel."Iya, maafin ayahnya dedek ya, Ibun ...."Wajah Bigel tiba-tiba memanas. "Masih malu kalau dipanggil Ibun secara langsung.""Ga apa-apa, biar kebiasa. Maafin Mas ya, Bigel. Masalah kecil malah diungkit lagi ... ngerasa bersalah banget sampai buat kamu begini."Bigel mendekat dan memeluk Hasbi lebih dulu. "Bigel sayangnya cuma sama Mas Hasbi, mungkin ini cara Tuhan buat nyatuin kita, cobaannya ada aja. Tapi, Bigel ga mau kalau kita nyerah sama cobaan ini. Bigel mau terus kasih kepercayaan Bigel ke Mas." "Mas ga akan ngecewain kepercayaan itu, Bigel."Keduanya saling bertatapan cukup lama, hingga tidak menyadari jika bell unit mereka berbunyi. Ada tamu yang datang
"Aku pikir istrimu Irasya. Jadi, istrimu si pelacur kampus itu, ya? Kau doyan juga sama si lonteh satu itu. Apa yang kau dapat dari mencicipi bekasku?"BRAK!Botol berbahan stainlis yang cukup tebal tersebut berhasil menghantam wajah milik Arga, sehingga membuat tubuh laki-laki itu terjatuh dan merintih kesakitan."BANGSAT!" maki Arga karena tidak terima diserang oleh Hasbi.BUGH!Hasbi kembali memberikan hentaman di pipi Arga dan duduk di atas tubuh pria itu yang tengah dalam keadaan terlentang.BUGH!"MATI LO SIALAN! GUE HABISIN LO YANG UDAH BERANI MENGHINA ISTRI GUE!" teriak Hasbi sekuat mungkin sampai mencuri perhatian orang banyak.Alhasil, petugas keamanan disana pun langsung turun tangan. Tapi nihil, tenaga Hasbi benar-benar kuat sampai tidak bisa dilerai oleh dua orang petugas keamanan.Arga pun sudah tidak bisa melawan karena gerakan Hasbi benar-benar gesit menindasnya."MATI LO!" Hasbi benar-benar mencekik leher Arga tanpa ampun, hingga beberapa penghuni unit pun ikut membant
"Mas enggak ngapa-ngapain sama Jevano, Sayang.""Kok bisa ngurusin pekerjaan jam segini, mana resleting celananya enggak ditutup?""Namanya juga buru-buru sampai lupa resleting celana Mas kebuka. Jevano mau kasih berkas buat rapat sama atasan, takut besok enggak keburu," jawab Hasbi, tentu saja apa yang dikatakannya hanyalah kebohongan. Jevano saja mungkin sedang di rumahnya tertidur lelap."Mana berkasnya, kok enggak ada?"Hasbi mengulum bibirnya ke dalam, alias mati kutu dan memikirkan jawaban apa yang akan membuat Bigel berhenti bertanya lagi. "B-berkasnya udah Mas taruh di mobil. Takut, pas mau ke kantor malah ga kebawa."Bigel menyipitkan matanya pada Hasbi. "Kok gugup?"Aduh, Hasbi makin gelagapan sendiri. "Masih ngantuk, S-sayang.""Ya, udah tidur lagi.""Kamu marah?"Bigel menggeleng, dia tidak marah sebenarnya, lebih tepatnya khawatir. "Aku enggak marah, cuma khawatir pas kebangun mas enggak ada. Baru mau nelpon, ternyata hp-ku habis baterai. Sambil nungguin hp-ku hidup, aku n