“ELRUBY ABYGAEL.”
Mengingat sesuatu yang tidak pernah kamu harapkan mungkin akan terjadi. Kadang, bisa menjadi malapetaka atau justru adalah perubahan terbaik dalam hidupmu.
Bigel mungkin takut dengan suara keras yang mencekik telinga. Ini bukan kemauannya, tapi dia sadar ... pasti dia yang akan menjadi samsak kemarahan dari pria yang menyandang status sebagai suaminya.
“BIGEL,” tekannya lagi. Perasaan yang begitu murka kian menjadi tatkala dia mendapati sosok Bigel yang berdiri di dekat wastafel pencuci piring, namun mengabaikan panggilannya.
“A-ada apa, Mas? Saya sedang mencuci piring,” jawab Bigel penuh dengan kehati-hatian.
Hasbi pun tanpa banyak basa-basi mendekati Bigel dengan aura penuh emosi, lalu menarik tangan Bigel dengan kasar serta menyeretnya untuk masuk ke dalam kamar. Ketakutannya Bigel, ia berusaha menahan tubuhnya agar tidak terjatuh karena tidak bisa menyeimbangi langkah Hasbi.
“Mas! Apaan, sih! Mau kemana?” teriak Bigel, dia berusaha melawan dari suaminya.
“Ini kan yang kau mau!” bentak Hasbi. Laki-laki ini membawa Bigel ke dalam kamar dan mengunci pintu. “Benar-benar membuatku murka!” sambungnya lagi.
Brak!
Bigel didorong sampai terbaring diatas kasur milik Hasbi. Rasa takut dan terkejutnya bukan main, Bigel benar-benar kacau dan kalut karena memikirkan hal-hal negatif yang akan menimpa dirinya setelah ini.
Srak!
Hasbi berhasil merobek baju Bigel dengan sempurna, tentu keringat dingin pada wanita itu kian bercucuran karena Hasbi mengukung tubuhnya.
Plak!
Bigel menampar Hasbi dengan berani. “Gila! Jangan seenaknya sama saya, ya!” gertak Bigel sembari kedua tangannya menutupi area sensitif pada bagian atas tubuhnya.
“Kau duluan yang memulai, Bigel!” balas Hasbi, tidak bisa dipungkiri guratan di lehernya semakin mengeras. “Hari ini aku akan benar-benar membuatmu mengerti untuk tidak meminta hal konyol pada mama lagi.”
“Maksud Mas apa? Saya tidak meminta apa-apa pada ibu!”
“Oh, kau lupa? Apa kau tidak ingat bahwa kau menemui mama dan mengatakan kau tidur di kamar lain dan menghasut mama agar menyuruhku sekamar denganmu? Kau ini benar-benar wanita licik, sangat berbeda jauh dari Irasya.”
“Aku tidak pernah meminta itu, minggir,” pinta Bigel dengan berusaha mendorong bahu Hasbi untuk segera pindah dari posisinya yang menindih Bigel.
“Kau benar-benar akan kuberi pelajaran,” ucap Hasbi. Satu tangannya mengunci kedua tangan Bigel di atas kepala dan tangan yang lainnya melucuti celana wanita itu sampai tak tersisa.
“Lepaskan.”
Hasbi menarik paksa bra yang masih terpasang di dadanya Bigel. “Kau yang mau ini.”
“Aku tidak mau! Ini pemaksa- Akh!” Bigel melenguh karena rasa sakit yang ia terima pada bagian dadanya yang ditekan secara paksa. Rasa aneh sekaligus ngilu untuk pertama kalinya ia rasakan.
“Oh, kau menikmati. Dasar liar,” hina Hasbi sembari menundukkan kepalanya dan mulai menciumi leher jenjang Bigel. Rasa geli yang diterima Bigel, membuatnya mendongakkan kepala dan meremas seprai sampai kusut. Lalu, setelah puas memberi tanda disana pun Hasbi naik untuk mengecup seluruh wajah Bigel sampai ke bibir.
Hasbi juga berhasrat melihat seluruh tubuh Bigel yang tidak dibaluti sehelai benangpun. Dia memiliki nafsu walau hatinya tetap tertuju pada wanita lain. Malam ini, benar-benar akan menjadi malam terpanjang bagi keduanya.
“Ehm, tolong! Eungh-“ erangan Bigel sama sekali tidak membuat Hasbi berhenti, justru semakin memacu adrenalin dalam tubuhnya dan membangunkan sesuatu di balik celananya.
“Siala—n, kau benar-benar can— ah! Desa—h namaku,” perintah Hasbi. Dia melucuti celananya dan dilempar dengan sembarangan. Sehingga, hanya tersisa bajunya yang tidak ia lepas.
Bigel tidak bisa menghindar, dia melihat milik Hasbi sepenuhnya. Wajah Bigel benar-benar tidak bisa dikontrol karena didominasi oleh ketakutan.
“S-saya—“ Bigel memejamkan matanya seketika saat Hasbi benar-benar menyatukan tubuh mereka berdua. Akibat rasa sakitnya, Bigel menyalurkan semuanya lewat kuku-kukunya yang mencakar punggung Hasbi.
Malam ini, Bigel benar-benar merasa menjadi orang yang paling hancur di dunia ini. Walaupun hubungan ia dan suaminya adalah sah, Bigel tetap merasa dia bukan gadis suci lagi.
***
“Mau sampai kapan? Pulanglah dan minta maaf. Walaupun kau punya hak sebagai suami, tapi memaksa sampai menyakiti fisiknya adalah tindakan yang tidak benar.”
Hasbi membuang sisa rokok miliknya ke dalam asbak. Sudah dua hari setelah kejadian malam itu, Hasbi bahkan tidak pulang ke rumahnya lagi. Ada rasa bersalah karena secara paksa merenggut mahkota perempuan yang tidak ia cintai.
“Kau mengusirku?”
“Dia istrimu, sadar diri.”
“Tapi, bukan pilihanku. Kau tahu sendiri, aku mencintai Irasya.”
Genta menghembuskan napasnya dan memandang kaca apartemennya yang berembun karena efek hujan barusan. “Irasya meninggalkanmu, itu artinya dia tidak serius dengan hubungan kalian. Ibumu memilih Bigel untuk menggantikannya karena ibumu percaya pada Bigel.”
Pembawaan Genta sangat tenang sekali, sebab itulah Hasbi merasa tenang jika semua masalahnya diceritakan pada Genta.
“Aku akan tetap mencari Irasya. Kau tahu sendiri, aku sangat tidak suka dengan kehadiran Bigel. Dia menjadi penguntit sampai aku frustasi,” ungkap Hasbi sembari mengingat masa-masa kuliah dahulu.
Genta terdiam sejenak, lalu memikirkan bagaimana sosok Bigel yang ia kenal saat dulu. Lalu, ia mulai berbicara, “Saat itu, tidak ada bukti yang kuat. Hanya karena dia ada disana, bukan berarti dia pelakunya. Aku mengenal Bigel saat itu, kita satu divisi saat di BEM. Dia anak yang baik dan tidak banyak tingkah. Walau ada rumor tidak mengenakkan tentang dia yang bekerja menjual diri, aku tidak percaya.”
“I-itu ....” Hasbi mengepalkan kedua tangannya, dia belum menceritakan salah satu alasannya kenapa ia menjadi gelisah tentang Bigel. “Dia— tidak menjual diri.”
Genta tersenyum tipis mendengar ucapan Hasbi, dia tahu maksud perkataan Hasbi tetapi ingin mendengar lebih jelas maksud dari pria itu. “Darimana kau tahu?”
Sebelum Hasbi menjawabnya, dia sedikit menundukkan kepala dan menatapi puntung rokok yang telah ia habiskan kira-kira delapan batang malam ini. “Dia menjaga dirinya dengan baik sebelum aku merusaknya. Aku punya banyak pengalaman dengan wanita yang menjadi kekasihku dan untuk pertama kalinya dia yang paling berbeda.”
“Oh, dan sekarang kau masih membencinya karena kejadian hari itu? Kau membencinya hanya karena hal itu? Coba kau bicarakan padanya.”
“Haruskah?”
Genta berdiri dan memegang gelas kopinya yang sudah habis. “Pulanglah, aku tidak menerima tamu lagi untuk menginap hari ini,” ucapnya sembari meninggalkan Hasbi. Sengaja, agar temannya itu kembali ke rumahnya dan menyelesaikan masalahnya dengan sang istri.
***
“Aku tidak mengerti dengan jalan pikirannya. Aku harap dia tidak akan pulang selama-lamanya,” hardik Bigel dengan mengacak-ngacak salad buahnya. Sudah dua hari uring-uringan karena memikirkan Hasbi, entah itu ia benci ataupun khawatir dengan pria itu.
Bunyi pintu dibuka pun membuat Bigel mengalihkan atensinya, tentu saja itu Hasbi Abraham dengan wajah tajamnya yang terlihat angkuh. Sempat beradu pandang, membuat keduanya saling membuang muka. Bigel segera menundukkan wajahnya hingga tidak sadar jika Hasbi hampir melewati dirinya.
“Kau-“ Kalimat Hasbi terpotong, ada rasa malu untuk sekedar meminta maaf lebih dulu.
Bigel hanya mendongakkan wajahnya dan menunggu pria itu melanjutkan ucapannya lagi. Bukan hanya Hasbi, Bigel juga merasa canggung dengan situasi ini.
“Yang waktu itu-“
“Jangan dibahas. Tolong, lupakan saja karena saya tidak ingin mengingatnya sama sekali. Mas bisa bersikap seperti biasa, itu lebih baik.”
Sebelum dirinya mengalihkan haluan menuju kamar, Hasbi memberanikan diri mengatakan sesuatu yang setidaknya membuat Bigel sedikit lebih baik.
“Maaf, itu salahku karena memaksamu.”
“Ya.”
“Saat di HIMA kampus waktu itu, kenapa kau ada disana?”
Sukses, pertanyaan Hasbi membuat bendungan memori lama Bigel membuncah keluar. Dia tidak kaget dengan pertanyaannya, tapi tidak pernah terpikir kalimat itu akan keluar dari mulut Hasbi.
“Saya tidak tahu Mas menginginkan jawaban seperti apa. Saya disana karena memiliki janji dengan seseorang dan saya tidak pernah berpikir untuk menjadi penguntit.”
Hasbi mengepalkan kedua tangannya, tentu tidak puas dengan jawaban yang diberikan oleh Bigel. “Siapa yang kau tunggu itu?”
•••
"Mas, air dinginnya mana?"Hasbi memilih diam di tempat setelah berhasil menutup pintu kamarnya. Bahkan, sama sekali tidak menjawab pertanyaan Bigel karena isi kepalanya sedang berkecamuk."Mas Hasbi?" panggil Bigel sekali lagi. Suaminya itu mendadak berubah menjadi tatapan kosong dan tidak membawa air dingin pesanannya."Bigel," katanya pelan."M-mas, kenapa?"Hasbi mengepalkan kedua tangannya, terlihat lengannya penuh urat kekar yang menonjol. Untuk itu, Bigel tidak berani bersuara lagi. Apa dia melakukan kesalahan sampai suaminya marah? Apa Hasbinya tersinggung saat Bigel meminta tolong untuk mengambil air dingin? Tapi, rasanya bukan itu alasannya."Nanti Mas ambilin air dinginnya, ya. Sebentar saja, biarin Mas berdiri disini dulu. Jangan kemari, Bigel disana saja ... jangan banyak bergerak.""Mas Hasbi ...," lirih Bigel, tanpa sengaja sebulir air matanya jatuh. Ya, ibu hamil yang terlalu sensitif dan berpikir suaminya sedang membencinya.Hasbi memejamkan matanya sebentar, berusaha
Senyum Bigel mengembang saat dari jauh ia menemukan sosok Hasbi yang baru saja landing dari Bali. Beberapa hari tidak bertemu Hasbi dan dia benar-benar merindukan sosok suaminya itu."Itu Mas Hasbi," gumam Bigel. Kini, tangannya melambai-lambai agar sang suami melihat ke arahnya.Tentu, Hasbi tersenyum bahagia saat melihat wajah Bigel. Dirinya pun bergegas mempercepat langkah sambil menarik kopernya."Istri Mas paling cantik sedunia, kangen banget ga ketemu beberapa hari.""Bigel juga kangen, hehe."Hasbi mencium dahi Bigel lamat-lamat dan turun mencium kandungan Bigel. "Makin gemoy kesayangan Mas ini. Sama siapa kesini, Sayang?""Sendiri, soalnya Mama ada kerjaan yang enggak bisa ditinggal. Bigel kan libur kerja, tadi mau dianter mas Endrico, tapi Bigel enggak mau. Takut ....""Dia ga ngapai-ngapain kamu, kan?" Bigel menggeleng. "Enggak, kok. Kayaknya yang Mas bilang dia suka aku tuh kayaknya bukan aku deh.""Dia suka kak Freya?""Bingung, kayaknya akunya yang salah lihat," tutur Big
"Egh— Jangan disini, nanti ketahuan," pinta Freya sembari mencoba melepaskan tangan Endrico yang tengah memainkan kedua gundukan kembarnya. Merasa tidak enak karena tidak di dalam unit dan takut orang lain akan melihat kelakuan mereka.Endrico menuruti dan mengikuti Freya masuk ke dalam unit apartemennya. Tanpa disadari, Bigel melihat kejadian barusan dengan perasaan yang syok berat. Pasalnya Endrico dan Freya adalah saudara ipar dan telah menghianati kepercayaan Arsenio.Ketika pintu unit apartemen tertutup, Endrico kembali menarik tubuh Freya dan mencium bibir wanita itu dengan ugal-ugalan. Keduanya sama-sama terlena hingga membawa mereka masuk ke dalam kamar Freya.Keduanya sama melepas baju masing-masing dan Freya yang sengaja berbaring terlentang di atas kasur. Menggoda Endrico dengan lekuk tubuhnya agar kakak iparnya tersebut segera menindihnya."Tubuhmu, cantik," gumam Endrico.Freya hanya tersenyum tipis dan membalas dengan menciumi dada kekar milik Endrico. "Foto itu rahasia,
"Aku ingin roti ini lagi, tolong semuanya dibungkus."Bigel terkesiap dari lamunannya barusan, bagaimana ia memikirkan perkataan suaminya dua hari yang lalu untuk menyuruh Bigel membalas dendam pada Freya. Jelas, Bigel menolak dengan penuh kesadaran. Balas dendam bukanlah jalan yang akan Bigel sentuh sampai kapanpun."O-oh, datang lagi? roti selai keju coklat? Aku akan membungkusnya. Sebentar, ya ...." Bigel mempersiapkan roti tersebut dan disusun rapi dalam box roti ukuran besar."Sejak tadi aku memperhatikanmu melamun. Ada apa?" tanya pria dengan prawakan tinggi dan badan kekar berisi, mirip dengan ukuran tubuh Hasbi."E-enggak apa-apa, kok. Kau tidak membawa anakmu?""Hari ini ada les tambahan di sekolah, jadi hanya aku sendiri. Berapa usia kandunganmu?""Sudah mau masuk tujuh bulan," jawab Bigel seadanya. Dia cukup akrab dengan pelanggan baru satu ini."Tidak cuti?""A-aku kan baru bekerja beberapa hari lalu."Pria itu tampak terkejut dengan jawaban yang diberikan oleh Bigel. "Maaf
"Masakanku ga seharusnya terhidang disana. Harusnya masakanmu yang ada disana, pasti mama akan senang."Bigel yang sedang membantu mencuci piring pun tercekat dengan pernyataan Freya barusan. Tiba-tiba saja dan Bigel kesulitan untuk merespon dengan jawaban yang tidak menyakiti hati."Mama mungkin lagi capek. Aku minta maaf karena buat Kakak jadi dimarahin," tutur Bigel. Bahkan, untuk sekedar menatap Freya saja dia tidak berani karena rasa bersalahnya itu."Kamu segala-galanya bagi mama. Apa yang aku lakuin pasti salah. Aku ga punya tempat di hati mama. Aku iri atau karena orang tuaku bukan orang yang berada?"Bigel menghembuskan napas dan memberhentikan gerakan tangannya yang tengah menyabuni piring. "Mendiang ayahku cuma sopir dan mendiang ibuku jualan kue. Ga ada hubungannya dengan itu, mungkin Kakak cuma perlu bersabar sampai mama bisa nerima Kakak," ungkap Bigel. Lalu, ia kembali melanjutkan cucian piringnya."Aku kira dengan kehadiran kamu di keluarga Abraham bakal bikin mama jadi
"Sini, mas belum cium.""Malu. Bigel malu loh ... enggak mau.""Bigel, sini ...." Hasbi berusaha menarik lembut tangan Bigel agar lebih mendekat padanya."I-itu banyak mobil lewat. Nanti, kalau diliatin malu ah, Mas," balas Bigel, masih menolak untuk dicium sang suami."Masnya mau cium ini. Ga ada afeksi loh mau berangkat kerja.""Kau udah tadi di rumah ....""Kurang, yang tadi di rumah ga kerasa.""Nanti diliatin orang, kan malu, is," protes Bigel, tapi ekspresinya begitu lucu dan menggemaskan bagi sang suami.Kali ini, Hasbi menyentuh punggung Bigel dan menariknya sedikit sampai wanita itu benar-benar dekat dengannya.Muah.Hasbi berhasil mencium pipi kiri Bigel dengan sempurna. Tentu, membuat Bigel jadi salah tingkah dengan perlakuan suaminya tersebut."Malu ...," tuturnya lagi sembari celingak-celinguk kiri dan kanan dengan wajah yang sempurna merah merona. Dia berharap tidak ada orang yang melihat keduanya.Muah."Ngapain malu? Kan, dicium suaminya sendiri," celetuk Hasbi dan kemb