Share

9. Delirious

Aula Mathilda merupakan salah satu dari sembilan kebanggaan dukedom vivaldi. Desainnya memadukan konsep privasi dalam ruangan tertutup dengan kebebasan di alam. Oleh karena itu, pencahayaan diatur sealami mungkin dan berbagai jenis bunga ditanam di dalamnya.

Serish menunangkan secangkir teh yang sudah dingin untuk dirinya sendiri, mengerenyit oleh rasanya yang tidak enak, lalu meletakkan kembali cangkirnya.

Sebuah bayangan muncul dari belakang, menghalangi sumber cahaya dari jendela yang ada di belakang Serish serta menutupi seluruh tubuhnya.

“Ganti tehku dengan yang baru.”

Serish memeluk tubuhnya sendiri dan menggosok-gosokkan lengannya untuk mendapatkan kehangatan. Keningnya berkerut ketika bayangan itu tidak bergeming.

“Mana syalku?” dia menoleh sedikit, merasa tidak sabar. “Aku tidak mau kembali ke kamar, jadi jangan buang waktumu untuk menceramahiku.”

Masih tidak ada jawaban.

“Miya...!”

Lalu dia menyesali seluruh menit yang dihabiskannya hari itu.

Karena yang berdiri di belakang kursinya bukanlah Miya, melainkan Edward.

Serish berdiri seketika, menyenggol ujung meja teh dan menjatuhkan cangkir porselen tipis di ujung meja. Suara porselen yang beradu dengan lantai keras menggema hingga ke langit-langit aula, memekakan dan menyakitkan.

“Ya... Yang Mulia.”

Mata darah Edward terlihat tumpul dan jauh dari emosi, seperti terakhir kali mereka bertemu. Lelaki itu mengenakan seragam serba hitam dengan detail emas di beberapa tempat dan sebuah bros bermata berlian biru yang menahan jubahnya agar tidak jatuh. Tubuhnya menjulang dengan aura majestik yang tidak dapat ditiru, namun caranya mengamati selalu mengingatkan Serish pada binatang buas yang tengah mengintai mangsa.

Sang Kaisar akan datang jika namanya disebutkan.

Serish menelan ludah.

Tidak mungkin, kan?

Lelaki itu menatapnya dari atas ke bawah, lalu tiba-tiba ujung bibirnya ditarik secara menawan. Senyumannya tidak tampak seperti apapun selain ancaman.

“Kukira kau menginginkan kedatanganku,” sang kaisar menatap pada tubuh Serish, membuat gadis itu merasa telanjang oleh gaun rumahnya yang sedikit tipis itu.

Serish menahan gigilan di tubuhnya, tersenyum secara profesional dan membungkuk. “Salam kepada Yang Mulia Kaisar Sczandov. Semoga cahaya selalu menyinari anda.”

Edward terlihat lebih liar dalam pakaian gelapnya kali itu. Rambut hitamnya tidak terlihat serapi pertemuan-pertemuan mereka sebelumnya dan sorot matanya terlihat lebih tumpul dari emosi.

“Ku dengar kita memiliki janji yang tidak kuingat.” Lelaki itu memperpendek jarak di antara mereka, kemudian mengangkat dagu Serish hingga mereka saling berpandangan.

“Dari mana Yang Mulia....”

Serish tidak percaya kekuatan Edward sehebat itu hingga bisa menembus informasi yang beredar dalam dukedom vivaldi dalam waktu sesingkat itu.

Bukan hanya singkat, itu terlalu cepat dan seketika.

Kecuali....

Kening Serish berkerut, menatap pintu masuk aula yang tiba-tiba dijaga ketat dari luar.

“Bukankah ini sedikit keterlaluan?” Serish menatap Edward dengan kerutan tipis di keningnya. “Anda menyimpan mata-mata di kediaman Vivaldi yang telah mengikrarkan kesetiannya pada kekaisaran. Jika anda tidak dapat menjelaskannya, kami akan menganggap kalau anda berniat menghina dan merusak Vivaldi.”

Iris merah di mata Edward menggelap layaknya darah yang kental. Arah pandangannya bergerak tanpa disembunyikan; berhenti lebih lama pada bibir Serish yang terasa kering.

Gadis itu bersumpah melihat riak aneh dalam tatapan dingin lelaki itu. Dia merasa tahu artinya, namun tidak mau terjebak dalam pemikiran canggung itu.

Tidak, Edward tidak tertarik pada wanita, karena itu dia adalah tokoh utama yang dibenci oleh pembaca Apocalipse Roses. Mereka, para pembaca, lebih menginginkan tokoh utama wanita yang kuat dan hampir sempurna itu tidak berakhir dengan pria berengsek seperti Edward, termasuk Serish.

Intinya, gadis itu dengan cepat melupakan ide absurd mengenai arti tatapan Edward barusan dan memutuskan untuk memastikan pria itu tidak terlalu seenaknya.

“Kau akan apa?”

Pertanyaan Edward yang disampaikan tanpa emosi itu berhasil membuat determinasi awal Serish goyah.

Gadis itu membersihkan tenggorokannya.

“Kami akan menganggap kalau anda berniat menghina dan... dan merusak... Vivaldi,” ulang Serish, kali ini terdengar seperti seorang pengecut.

“Dengan apa?”

Dengan apa?

Lelaki itu bertanya ‘dengan apa’?

Memangnya dia menganggap apa seorang puteri duke seperti Serish?

Seorang ahli politik yang pandai berstrategi?

Serish belum pernah merasakan kedengkian yang sebanding dengan perasaan terhina seperti yang dirasakannya saat sekarang.

Tentu saja dia tidak pernah berpikir sejauh itu!

Serish terbiasa mengancam dan bertindak dengan cara-cara gadis bangsawan yang elegan namun sederhana dan hasilnya sedikit kasar. Dia bisa melakukan boikot, menyebarkan gosip miring, atau mungkin merusak kesempatan karier orang yang tak disukainya. Tapi bagaimana mungkin dia melakukan semua itu kepada seorang penguasa tertinggi negara ini yang reputasinya saja lebih buruk dari pada lumpur?

Tiba-tiba, sebuah suara menakutkan muncul dari tenggorokan Edward.

Suara yang terdengar seperti dengusan binatang buas, namun saat Serish mendongak, sebuah sudut menakutkan muncul pada ujung bibir tipis lelaki stoic itu.

Tidak, tidak, tidak.

Mustahil.

“Mendekatlah.”

“Uh... Yang Mulia....”

“Apa telingamu hanya hiasan tak berguna yang perlu kuhilangkan?”

Ekspresi Serish berubah keruh dan gadis itu tidak sempat menyembunyikannya. Dengan langkah setengah diseret, dia mendekat. Dia memantapkan diri untuk tidak menarik perkataannya tadi, apalagi meminta maaf. Jadi gadis itu berdiri dengan punggung tegak, meskipun wajahnya tertunduk dengan kesan menurut, berhadapan dengan Edward yang duduk dengan postur sempurna.

Lelaki itu menengadah, namun membuat Serish merasa dia berada di posisi yang lebih rendah dari Edward. Dengan gerakan malas, lelaki itu menarik helaian rambut keemasan Serish yang terlepas dari kepangan menyampingnya. Gerakan itu membuat tubuh Serish menegang, bersiap jika lelaki itu menjambaknya dengan tiba-tiba.

Tentu saja tidak terjadi.

Biar bagaimanapun, Edward bukan orang yang akan mengabaikan dimana dia berada saat ini.

Hanya saja, yang kemudian dilakukan oleh lelaki itu jauh lebih mengejutkan ketimbang jika dia tiba-tiba menghunuskan pedang pada Serish.

Lelaki itu menggulung helaian rambut Serish, lalu mengendusnya dengan tatapan tajam yang tertuju sepenuhnya pada wajah gadis itu.

“!”

Lelaki itu mengepalkan tangannya, membuat gulungan yang lebih besar hingga Serish terpaksa semakin mendekat dan kaki mereka saling beradu.

“Kenapa kau memucat?” Edward menyentuh pinggang Serish hingga mereka berada pada posisi yang ambigu. “Bukankah kau mencintaiku?”

Ada kedengkian dan ejekan pada kalimat terakhir Edward yang mengirimkan gelenyar kengerian pada Serish. Tulang punggungnya mendingin sebagai respon terhadap ancaman tak terucap lelaki berbahaya ini.

Masa bodoh dengan harga diri, Serish hanya ingin hidup!

“Ah, tentu saja saya menyukai anda,” Serish cukup yakin, setelah memerah setiap tetes ingatan dalam kepalanya, dia belum pernah mengatakan kata cinta kepada tiran itu. Dia hanya mengumbar kenyataan bahwa wajah Edward adalah tipe kesukaannya, tanpa tahu malu, di depan seluruh bangsawan ibu kota.

Sentuhan di pinggang Serish berubah menjadi remasan yang terlalu intim, membuat perempuan itu berjengit dan menatap lelaki di hadapannya dengan ekspresi kaget.

Apa-apaan....

“Kau tahu, aku tidak akan pernah mempercayaimu,” Edward berbisik dengan suara kelam yang mencekam. “Bahkan jika kau menampilkan pertunjukkan yang menarik dengan para bangsawan yang kau tipu.”

Serish membalas tatapan Edward, lalu tersenyum dengan lebar. Senyuman bisnis yang semakin mudah dikeluarkannya sejak ingatan itu muncul.

“Tentu saya paham. Anda tidak menyukai saya, jadi perasaan saya bertepuk sebelah tangan.”

Edward memainkan kelinan rambut Serish di antara jemarinya, sementara tangannya yang lain menekan pinggang Serish untuk menghalanginya kabur.

Seolah Serish memiliki kesempatan untuk kabur saja. Dia yakin, begitu dia menunjukkan gerakan mencurigakan sedikit saja, bayangan Edward akan dengan mudah melumpuhkannya.

Kali ini, sudut yang terbentuk dari tarikan bibir Edward terlihat sangat jelas untuk diabaikan. Lelaki itu benar-benar tersenyum, meskipun sama sekali tidak tampak kehangatan di dalamnya. Dia justru makin terkesan mengancam dan berbahaya.

Kenapa dia malah kelihatan marah?

“Aku bilang, aku tidak akan mempercayaimu,”

Umm....

“Tapi aku tidak bilang, aku tidak tertarik padamu.”

.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status