Share

4. Unfortunate Day

Serish merasakan tekanan udara yang semakin kuat di sekitarnya.

“Saya tidak berani menebak alasan paduka,” dengan mengandalkan kekuatan mental yang pas-pasan, Serish berhasil menjawab tanpa terdengar tersiksa. Jika dia menunjukkan sedikit saja kelemahan, lelaki itu akan memanfaatkan situasi mereka secara habis-habisan.

Edward dan ravi tidak boleh tahu kalau sejak awal Serish sudah menyadari penggunaan sihir.

Udara di sekitar Serish semakin dingin dan menusuk, terlebih saat Edward mencondongkan wajahnya mendekati Serish. Mata rubinya berkilau mengancam.

“Kalau begitu, tebaklah.”

Oh tuhan.

Pertanyaan itu adalah hal terakhir yang diinginkan Serish di pertemuan ini karena itulah pertanyaan yang diberikan Edward kepada setiap wanita yang datang kepadanya, termasuk sang putri mahkota. Dan dari semua jawaban, tentu saja hanya jawaban putri mahkota-lah yang bisa membekas dan berkesan bagi kaisar.

Serish ingat apa jawabannya.

“Karena kau kehilangan arah dan tujuan. Kau mencari pegangan dan berharap ada satu orang yang menunjukkan jalan untuk kembali atau meneruskan.”

.... memangnya Serish gila memakai jawaban norak seperti itu?!

Saat ini Edward baru menjadi kaisar selama setahun dan dia belum kehilangan tujuan atau arah. Dia justru tengah berada di puncak kariernya dalam mereformasi sistem pemerintahan di negara ini. Jika Serish menjawab dengan kalimat super cheesy itu, dijamin kejijikkan lelaki itu padanya akan berlipat secara eksponensial.

“Saya... mohon izin untuk... berpikir.” Jadi tolong hilangkan sihir ini! Serish hanya orang biasa yang tidak memiliki ketahanan terhadap serangan sihir!

Perempuan itu tidak berani menebak arti senyuman dingin Edward saat mendengar permintaan lancangnya. Oleh karena itu, dengan cepat Serish merangkai kata-kata yang kiranya dapat menyenangkan Edward.

Syukurlah, kini dia memiliki gambaran mengenai sifat terdalam lelaki itu.

Dengan bibir gemetar karena kedinginan dan nafas sedikit tersendat, Serish akhirnya membuka mulutnya.

“Yang Mulia... membutuhkan wanita untuk meredam tuntutan dari para pejabat... untuk segera menunjuk putra mahkota.”

Jabatannya saat ini bukanlah sesuatu yang tenang. Semua orang menunggu kejatuhannya agar dapat mengisi kursi kekaisaran. Oleh karena itu setiap kerajaan mengirimkan putrinya sebagai calon permaisuri, namun para bangsawan Sczandov tidak mau sembarang orang meneruskan kekaisaran. Mereka menginginkan penduduk asli Sczandov yang menjadi penerus kerajaan hingga muncullah petisi ini.

Atau lebih sederhananya, para bangsawan itu menginginkan senjata cadangan lainnya jika Edward terus-menerus tidak bisa dikontrol dan Vivaldi masih bersikeras mempertahankan pilihan politiknya.

Nafas Serish semakin sesak saat udara di sekelilingnya mengental. Dan tanpa bisa ditahan, dia mengirimkan tatapan jengkel kepada lelaki bermata kuning yang berdiri di sebelah Edward.

Lelaki itu mengangkat alisnya, lalu bibirnya terlihat menegang.

Serish melewatkan kilat penasaran yang merupa lapisan tipis di wajah sang penyihir agung saat Edward tiba-tiba tertawa.

Tidak, daripada tertawa, lebih seperti dengusan.

“Menarik.” Lelaki itu berdiri, melangkah tenang menghampiri Serish. “Ternyata kau lebih memiliki otak dari yang disangka para pendukungmu.” Punggung Serish meremang saat Edward berdiri di belakangnya dan kedua tangannya diletakkan pada bahu Serish. “Lalu kenapa kau memilih faksi yang salah?”

Lelaki itu mencengkram bahunya, tidak keras, tapi cukup memberikan tekanan yang mengintimidasi.

“Kenapa kau memilih menjadi ratu melalui para bangsawan?”

Karena sebelumnya Serish tidak tahu seperti apa takdirnya.

Serish memejamkan mata, lalu menatap Edward dari bahunya.

Dia meresapi setiap inchi lekukan di wajah Edward, lalu tersenyum tipis.

“Bukankah paduka sudah tahu jawabannya?”

Wajahnya tertunduk, merasakan ironi yang menyiksa saat rasa dingin dan sesak yang dialaminya menguat.

“Saya... menyukai paduka.”

Dulu.

Dan karenanya semua menjadi ironi.

Betapa mudahnya perasaan manusia berubah saat perspektif yang diambil berbeda. Kini Edward bukan lagi seorang pahlawan tampan bagi Serish; lelaki itu adalah dewa kematiannya.

Dan karenanya rasa suka dan kagum itu berubah menjadi ketakutan dan ketidakberdayaan.

Bahkan dengan rasa cintanya yang besar, Serish tidak akan mau menukarnya dengan nyawanya, meski tentu saja kini dia cukup pintar untuk tidak menantang otoritas Edward.

Edward melepaskan bahunya dengan kasar, lalu berbalik dan mengibaskan tangannya, menciptakan ruang kosong yang mewujud menjadi pintu.

Serish tidak terkejut saat Edward dengan mudahnya membuka portal sihir, tapi dia tidak bisa menyisihkan rasa mengganjal saat kembali bertatapan dengan ravi, sang penyihir agung. Sedari tadi mereka tidak berinteraksi, namun ketika ravi bergerak mengikuti Edward, lelaki itu mengirimkan senyuman menakutkan yang tidak Serish pahami maknanya.

Lalu hari itu berakhir begitu saja.

.

Tidak juga.

Serish menyesap cangkir kesekian tehnya hari itu. Dia baru menyelesaikan makan malam sepinya ketika ayahnya tiba dan meminta Serish menemuinya di ruang kerjanya. Betapa cepatnya sang duke pulang saat mendengar berita kedatangan kaisar; beda jauh dengan ketika Serish kecelakaan.

Lelaki itu bahkan tidak berusaha berpura-pura menanyakan kabar putrinya setelah kecelakaan dan tidak muncul selama sebulan.

Serish mendengus.

Dia selalu membenci ayah dan kakak tirinya.

Selalu.

Lelaki itu tidak pernah memberikan sedikitpun perhatiannya kepada Serish dan ibunya, bahkan ketika ibu Serish sakit keras hingga meninggal di ranjangnya sendirian. Serish tidak diperbolehkan menengok selama berbulan-bulan, bahkan di saat-saat terakhir, dia juga tidak dibiarkan menemani ibunya.

Dan seminggu setelah kematian sang Duchess, Kroy Arcus Vivaldi, ayahnya, membawa serang anak lelaki berambut pirang dengan mata kelabu. Anak lelaki itu lebih tua beberapa tahun dari Serish, dan tanpa penjelasan apapun, ayahnya mengenalkan anak itu sebagai kakaknya.

Pada waktu itu, rumor menyebar dengan cepat. Para pelayan berbisik-bisik menggosipkan alasan sang Duchess jatuh sakit adalah karena mengetahui perselingkuhan suaminya dan Duke Vivaldi sengaja menunggu kematian istrinya sebelum membawa anak haramnya masuk ke rumah Vivaldi.

Bagi Serish, yang paling menyakitkan adalah gosip mengenai ibu dari anak lelaki itu adalah wanita yang paling dicintai Kroy, bukan ibunya.

Tapi selama bertahun-tahun, ayahnya tidak berusaja menjelaskan dan justru menjauhi Serish seperti penyakit. Segala perhatian yang tersisa dan dimiliki Kroy diberikan kepada Leonhard, lelaki yang kemudian menjadi ‘kakak’ Serish.

Jadi bagaimana Serish bisa menyukai lelaki seperti itu sebagai ayahnya?

Meskipun kini dia tahu alasan sang duke melakukan itu, dia tetap tidak bisa memaafkan lelaki itu.

“Ayahanda,” Serish membungkuk saat berdiri di depan meja kerja Kroy. “Selamat malam.”

“Apa yang kau bicarakan dengan kaisar?”

Lelaki itu tidak membuang waktu dan langsung pada intinya. Rasa sakit di hati Serish berubah menjadi kecewa, sebelum kemudian mengeras menjadi topeng ketidakpedulian.

“Saya tidak bisa membicarakannya kepada sembarang orang.”

Mata biru dingin lelaki itu menyorot tajam kepada Serish. “Apa kau tahu kepada siapa kau bicara sekarang?”

“Ya, my lord. Saya berbicara kepada Duke Vivaldi.” Tatapan Serish tertuju pada Leon yang berdiri di sebelah ayahnya dengan postur kaku, persis seperti ekspresinya.

Meja kerja di depannya digebrak oleh sang duke. Wajah yang selalu dingin tanpa ekspresi yang dimilikinya kali itu berubah merah oleh kemarahan. Bukan sekedar marah.

Murka.

Serish tahu alasannya, tapi bagaikan jamur beracun, dia tetap memancing emosi sang duke.

“Lancang!” lelaki itu berdiri dan menghampirinya dengan aura mengerikan, lalu berdiri menjulang di depan Serish. “Ulangi kata-katamu tadi.”

Serish tahu dia seharusnya meminta maaf dan meralatnya. Itu yang akan dilakukannya dulu. Tapi kini, setelah mengetahui kebenarannya, perempuan itu hanya ingin melampiaskan kemarahannya.

Jadi Serish tersenyum dangkal, membungkuk dengan sopan dan mengulangi jawabannya.

“Saya berbicara kepada Duke Vivaldi.”

“Serish,” Leon akhirya bersuara, menegurnya dengan tajam. Namun ada kepanikan yang samar di mata biru gelap lelaki itu.

“Bagus sekali,” geram ayahnya. “Karena kau akan menjadi ratu dan memperoleh dukungan dari kubu bangsawan kini kau membuang keluargamu,” Serish merasa lelaki itu berusaha keras untuk tidak tenggelam dalam emosinya dan memukul Serish.

Duke Vivaldi tidak pernah memukul Serish, tapi kali itu dia jelas ingin melakukannya.

“Anda berlebihan. Saya tidak mungkin dipilih oleh para bangsawan jika bukan karena nama Vivaldi, jadi tidak mungkin saya membuang Vivaldi.” Mata Serish yang menatapnya sebiru langit cerah. “Saya hanya sangat menyadari seperti apa posisi saya di tempat ini.”

.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status