Rezal menyesap kopinya setelah selesai mengakhiri rapat mingguan bersama para karyawan. Sesekali matanya mengecek lembaran kertas di tangannya, mencoba memastikan jika tidak ada poin yang terlewatkan.
"Pak, hari jum'at nih. Enaknya makan apa ya?" Jedi mengingatkan karena jujur saja perutnya sudah lapar.
"Delivery pizza aja," sahut Raga merenggangkan punggungnya.
"Pizza terus lo, mau mati?" Arman mencibir.
"Ke restoran mau?" tanya Rezal menengahi perdebatan karyawannya.
"Boleh, Pak. Saya kangen sambelnya." Fira menjawab semangat.
"Oke, langsung berangkat aja ke sana. Sebentar lagi istirahat makan siang." Rezal berdiri dan berlalu keluar.
Semua karyawan kompak bersorak dan keluar ruangan, kembali ke meja masing-masing untuk bersiap-siap.
Saat akan kembali ke ruangannya, Rezal melihat Naya yang tengah fokus menatap laptopnya. Perlahan dia mendekat dan berdiri di depan meja gadis itu. "Sibuk, Nay?"
Naya mendongak dan menggeleng, "Lagi bantuin Mas Jedi ngedit, Pak."
Rezal melihat laptop Naya yang sedang menampilkan aplikasi edit video. Rezal mengangguk paham. "Simpen dulu, udah mau istirahat."
"Nanggung, Pak."
Mendengar itu, Rezal menaikkan alisnya bingung. Untuk pertama kalinya dia melihat Naya begitu fokus. Yang Rezal tahu, Naya itu setipe dengan para karyawannya. Tak jarang dari ruangannya, dia mendengar gelak tawa dari luar. Tentu saja karena ulah karyawannya. Namun ketika Naya serius seperti ini, dia seperti melihat sesuatu yang baru. Meskipun hanya anak magang, tapi gadis itu memiliki rasa tanggung jawab dan ketekunan. Perlahan Rezal meraih laptop Naya dan menyimpan video hasil editan itu. Naya ingin protes tapi dia mendadak terdiam karena terpaku dengan wajah Rezal. Kapan lagi dia bisa melihat wajah menawan itu dari dekat?
"Pak?" panggil Naya pelan. Rezal hanya berdehem tanpa menatapnya.
"Bapak pake skincare apa? Kok wajahnya mulus banget."
Terkejut, Rezal beralih pada Naya yang menatapnya lekat. Bahkan gadis itu tak sungkan untuk memperlihatkan tatapan kagumnya. Rezal juga mendengar tawa tertahan dari Raga yang duduk di samping Naya. Rezal tersadar dan menggeleng pelan. Dia kembali fokus pada laptop Naya, berusaha untuk tidak menjawab pertanyaan aneh itu. Jujur saja, dia tidak tahu harus menjawab apa. Rezal belum terbiasa dengan gadis muda seperti Naya.
"Skincare-nya Pak Rezal air wudhu, Nay,” celetuk Raga.
Naya menatap Raga kesal, "Basi banget Mas air wudhu, nggak sekalian air ketuban?"
"Udah selesai, sekarang kamu ikut kita." Setelah itu Rezal berbalik masuk ke ruangannya.
"Cuek banget sih, bikin gemes!" gumam Naya meremas tangannya erat.
Raga yang mendengar itu hanya menggelengkan kepalanya pelan. Semua orang tahu jika Naya mulai tertarik dengan bosnya. Namun mereka semua hanya menganggap apa yang dilakukan Naya adalah sebuah hiburan. Kapan lagi mereka bisa melihat bosnya melakukan interaksi lucu dengan gadis labil seperti Naya?
"Pak Rezal susah dideketin, Nay. Ati-ati aja. Dulu Fira juga sempet deketin, tapi nggak dapet. Akhirnya dia nyerah dan nerima lamaran suaminya sekarang," jelas Raga melirik Fira jahil.
"Apaan sih lo, bocor banget itu mulut. Butuh pembalut?" Fira melempar penanya kesal.
Naya mengerutkan bibirnya sambil berpikir. Dia mencerna ucapan Raga. "Emang bener ya, Pak Rezal belum punya pacar?"
"Setauku sih belum," jawab Raga mulai berdiri dari mejanya.
"Kalo aku deketin boleh nggak?" tanya Naya beralih pada Fira, "Gimana, Mbak? Di-acc nggak?"
Fira mengangguk semangat, "Mbak restuin, Nay. Kadang Pak Bos juga butuh belaian kasih sayang biar wajahnya bersinar dikit."
"Wajah Pak Rezal udah bersinar kok, Mbak. Aku sampe silau liatnya."
"Apaan sih bocah!" Raga tertawa dan berdiri, bersiap untuk berangkat.
"Kita mau ke mana sih?" tanya naya bingung.
"Makan, Nay. Di restorannya Pak Rezal."
Naya yang mendengar itu langsung berubah semangat. Dia tidak sabar melihat sisi lain dari Rezal selain di kantor.
***
Naya tertawa melihat tingkah Jedi dan Raga. Potongan buah di piringnya bahkan tak kunjung habis saat melihat aksi Jedi dan Raga yang seperti kartun Tom & Jerry. Di ruangan khusus dengan meja besar ini, semua karyawan humas berkumpul. Sejak datang dengan tumpangan mobil Arman, Naya tidak melihat keberadaan pujaan hatinya, tapi dia sempat melihat mobil pria itu sudah terparkir sempurna di depan restoran.
"Pantes Astrid makan ati terus. Orang kelakuan lo kaya iblis!" ucap Jedi merapikan kemejanya yang kusut karena ulah Raga.
"Bodo amat, yang penting ada yang sayang. Emangnya lo, kaum prihatin."
Lagi-lagi Naya tertawa mendengar itu. Bahkan Fira yang duduk di sampingnya sudah menangis karena tertawa. Sesuatu yang tidak penting pun bisa menjadi besar jika terjadi di lingkaran karyawan. Untung saja itu hanya berlaku dalam urusan bully mem-bully, bukan urusan pekerjaan.
Pintu ruangan terbuka dan muncul beberapa pelayan restoran yang membawa makanan. Sangat banyak, bahkan mereka juga membawa meja dorong untuk mengangkut makanan.
"Mbak, siapa yang ulang tahun?" tanya Naya sedikit terkejut dengan banyaknya makanan yang datang.
"Iya juga ya. Kenapa banyak banget? Padahal cuma 18 orang, tapi udah kayak prasmanan di nikahan."
Setelah makanan telah tertata rapi di atas meja. Mendadak pertengkaran yang dilakukan Jedi dan Raga terhenti. Bahkan sekarang mereka terlihat akur dengan mengambil beberapa video untuk diunggah di akun instagram. Tak lama Rezal masuk diikuti dengan wanita paruh bawa yang berpenampilan bak sosialita. Bahkan wajah tua dan tubuh berisinya tidak mengurangi kecantikannya sedikit pun.
"Pantes makanannya banyak. Ada Bundahara toh?" Raga berdiri dan mencium tangan wanita paruh baya itu. Perlahan semua karyawan mengikuti apa yang dilakukan Raga.
"Ibu itu siapa, Mbak?" tanya Naya setelah mencium tangan wanita itu. Meskipun belum kenal, tapi dia harus tetap sopan bukan?
"Itu Ibunya Pak Rezal. Pantes banyak makanan, ternyata Ibunya ada di sini."
"Ibu Pak Rezal?" tanya Naya kencang membuat semua orang mulai menatapnya bingung.
Naya meringis dengan wajah yang memerah. Dia melirik Ibu Rezal yang juga menatapnya, bahkan Rezal sendiri juga menatapnya aneh. Rasanya Naya ingin kabur saja dari tempat ini.
"Kamu panggil Tante?" tanya wanita itu berjalan mendekat. Tidak ada raut kesombongan di wajahnya. Bahkan Rezal sudah was-was dengan apa yang akan Ibunya lakukan setelah ini.
"Nggak, Tante. Naya cuma kaget aja kalo Tante itu Ibunya Pak Rezal," jawab Fira mencoba membantu Naya yang masih menahan rasa malunya.
"Naya?" tanya wanita itu bingung. "Nama kamu Naya?"
Naya mengangguk membenarkan. Perlahan Ibu Rezal menatap anaknya dengan senyuman lebar. Dia beralih pada Naya dan mengelus pipinya pelan. "Ternyata kamu cantik juga. Kamu kan yang kasih makanan buat anak tante?"
"Ma," tegur Rezal. Demi Tuhan, banyak karyawannya di sini!
"Makanan?" tanya Naya bingung. Namun sedetik kemudian dia langsung teringat, "Oh, yang makan siang sama kue itu ya, Tan? Iya, itu dari Ibuk saya karena Pak Rezal udah minjemin jas hujan kemarin."
Rezal hanya bisa menghela nafas dan memejamkan matanya erat. Sepertinya hal yang dia takutkan telah terjadi. Naya dan Ibunya itu satu spesies dan jika disatukan, sesuatu yang besar akan terjadi.
"Oh, dari kamu." Ibu Rezal melirik anaknya jahil. "Kuenya enak lo, Nay."
Naya tertawa, "Makasih, Tante. Itu resep turun-temurun dari keluarga Ibuk."
"Kalo Tante pesen bisa nggak?" Perlahan Ibu Rezal menarik tangan Naya untuk duduk di kursi. Membuat para karyawan yang tadinya menatap mereka penasaran mulai beralih untuk mengambil makanan.
"Bisa kok, Tan." Naya mengangguk semangat. Ternyata dia juga bisa mendapatkan rejeki di tempat magang. "Kebetulan Ibuk juga jualan kue."
"Jadi emang jualan, Nay? Pantes rasanya endul." Lagi-lagi Ibu Rezal melirik anaknya. "Tante minta kontak kamu, biar gampang ngobrolnya."
"Boleh, Tan." Naya mulai menyebutkan nomernya.
Setelah selesai, Ibu Resal berdiri dan menatap semua orang dengan wajah yang berseri. Dia sudah menganggap karyawan Rezal sebagai anaknya sendiri. Maka dari itu dia menyambutnya dengan senang hati di tempatnya.
"Makan yang banyak, ya. Itu Tante ada menu baru juga, bisa dicoba. Hari ini uang kas-nya disimpen dulu, nggak usah bayar. Soalnya Tante lagi bahagia bisa kenalan sama calon mantu." Ibu Rezal mengelus kepala Naya dan berlalu keluar dari ruangan.
Suara sorakan terdengar dan Naya hanya bisa menunduk malu. Perlahan dia melirik ke arah Rezal yang juga menatapnya. Naya tidak bisa membaca arti tatapan itu, tapi yang pasti apapun itu tatapan Rezal selalu berhasil membuatnya terpesona.
"Pak, biasa aja dong liatnya. Anak orang malu, Pak." Jedi kembali tertawa setelah mengatakan itu.
"Pak, saya beneran baper sama omongan calon mertua tadi. Gimana dong, Pak?" Naya bertanya tanpa sungkan.
Rezal hanya bisa menggelengkan kepalanya pasrah dan mulai makan. Dia mencoba mengabaikan segala godaan yang mengarah padanya dan Naya. Atau godaan itu hanya berpengaruh padanya? Karena Naya sendiri terlihat biasa dan sesekali tertawa mendengar candaan yang ada. Memang wajahnya sedikit memerah, tapi Rezal akui jika Naya mampu mengendalikan ekspresinya dengan baik.
***
Menjadi seorang istri di usia muda tidak pernah Naya pikirkan sebelumnya. Meskipun usianya sudah menginjak 21 tahun, tetap saja di jaman sekarang usia tersebut masih terbilang cukup muda untuk membina rumah tangga.Berbeda dengan kebanyakan anak muda lainnya, Naya memilih untuk mengambil jalannya sendiri. Dia rela mengorbankan masa mudanya untuk menikah dengan Rezal. Bersyukur pria itu juga mengerti dirinya.Selama empat bulan ini, Rezal berperan sebagai suami yang bijaksana. Dia sadar akan usia Naya yang masih muda.
Naya menatap pantulan dirinya di depan cermin dengan lekat.Dressselutut berwarna hitam yang dia pakai terlihat pas ditubuhnya. Rambutnya juga terurai indah dengan gelombang di bagian ujungnya. Naya melakukan semuanya sendiri, termasukmake-upsederhana di wajahnya.Malam ini Rezal mengajaknya
Hari yang panas membuat Naya ingin segera membersihkan diri. Setelah pulang dari kampus dia berniat untuk mengurung diri di kamar. Entah mengerjakan tugas, mengedit video, mengedit foto, atau yang lainnya. Naya hanya ingin bersantai mengingat jika akhir-akhir ini waktunya cukup terkuras untuk tugas kampus. Tentu saja, dia sudah semester atas. Naya tidak bisa lagi berleha-leha seperti saat menjadi mahasiswa baru dulu.Setelah menyalakan AC, Naya menghempaskan tubuhnya di tempat tidur. Tangannya meraih ponsel dan melihat pesan singkat dari Rezal. Hanya sebuah gambar, tidak ada tulisan sebagai penjelas. Begitu singkat dan tidak bisa berbasa-basi.Naya terkekeh saat
Rezal memasuki rumahnya sambil merenggangkan dasi yang terasa mencekik leher. Hari ini jadwalnya cukup padat tapi sebisa mungkin dia akan pulang tepat waktu. Entah kenapa setelah menikah, Rezal jarang lembur di kantor. Jika memang ada pekerjaan, dia lebih memilih untuk mengerjakannya di rumah sambil menikmati wajah ayu istrinya.Dengan bersiul, Rezal membuka pintu kamarnya. Di kamar, dia melihat Naya tengah mengambil beberapa baju dari lemari. Di sampingnya juga ada koper kecil berwarna hitam."Kamu ngapain?" tanya Rezal bingung.Naya menoleh dan tersenyum melihat kedatangan suaminya. Saat Rezal sudah berada di depannya, Naya segera mencium tangan suaminya. Sebagai tanda hormat, kebiasaan yang tidak pernah ia lupakan sejak masih pacaran."Ini lagi nyiapin baju buat Mas Rezal besok," ucap Naya kembali mem
Pernikahan bukanlah akhir dari perjuangan, melainkan awal dari sebuah kenyataan. Pada tahap ini, tiap pasangan dituntut untuk saling menerima satu sama lain. Baik itu sifat baik dan sifat buruk, baik itu kekurangan ataupun kelebihan.Seperti yang terjadi pada Rezal dan Naya setelah menikah. Masa pendekatan yang begitu singkat membuat mereka sama-sama terkejut dengan kebiasaan masing-masing. Naya yang masih muda cenderung santai dan apa adanya, berbeda dengan Rezal yang lebih disiplin dan bijaksana. Jarak usia juga bisa menjadi faktor perbedaan tersebut. Namun itu tidak mereka jadikan alasan untuk saling menarik diri, justru dengan adanya perbedaan itu mereka saling melengkapi dan jatuh cinta setiap harinya.Di sebuah kamar, Rezal tampak berbaring santai dengan laptop Naya di pangkuannya. Tidak ada yang dia lakukan, hanya melihat-lihat isi folder yang ada. Sedangkan istrinya tengah berada di kama
Cahaya kilat yang terang membuat Naya menutup matanya erat. Tak lama terdengar suara petir yang membuat semua orang, termasuk dirinya mulai membaca doa dalam hati. Entah kenapa cuaca akhir-akhir ini begitu menakutkan. Naya terpaksa meneduh di pinggir jalan saat hujan turun dengan derasnya.Hari ini memang Naya disibukkan dengan kegiatan kampus sampai malam. Saat dia akan pulang, ternyata Tuhan tidak mengabulkan doanya. Naya sudah berdoa agar hujan tidak turun tapi takdir berkata lain. Di sini lah dia sekarang, meneduh di pinggir jalan bersama dengan pengendara motor lainnya.Pada saat seperti ini Naya hanya bisa mengumpat dalam hati. Dia menyesal tidak siap sedia jas hujan di motornya. Sudah menjadi kebiasaannya melupakan benda penting itu.Saat akan menghubuhi Rezal pun, Naya berdecak kesal. Lagi-lagi dia mengumpati kebodoh