Hari sabtu merupakan hari bebas untuk Naya. Dia tidak perlu datang ke kantor karena akhir pekan. Biasanya, dia memanfaatkan waktu liburnya untuk bermanja dengan kasurnya mengingat kegiatan magangnya yang cukup melelahkan. Namun Naya tidak bisa melakukannya kali ini, ada panggilan mendadak dari teman kampusnya yang membutuhkan jasanya dalam bidang fotografi. Demi uang, Naya selalu bersemangat untuk menjemputnya.
Di sini lah dia sekarang, di sebuah klinik kecantikan yang membuatnya terkagum. Tentu dia sering melewati klinik ini, tapi dia tidak pernah memasukinya. Hanya kaum jutawan yang bisa duduk di kursi empuk ini. Beruntung sekali dirinya.
"Gue pikir lo yang mau difoto," ucap Naya membuka katalog klinik di atas meja.
Rama menggeleng, "Bukan, tante gue minta cariin fotografer."
"Tante lo kerja di sini?"
Lagi-lagi Rama menggeleng. Dia menatap Naya dengan senyuman lebarnya, "Tante gue yang punya."
"Wah, kalo bayarannya pake treatment perawatan boleh kok, gue mau." Naya terlihat sangat antusias.
Rama mendengkus. Dia mulai melirik jam tangannya kesal. Sudah berapa lama mereka menunggu tantenya untuk keluar. Kenapa lama sekali?
"Lagian ya, kenapa sih cewek banyak banget perawatannya? Padahal kan tinggal makan sayur, beres urusan."
Naya menatap Rama tidak percaya. Sebenarnya dia tidak heran jika ada pria yang mengatakan itu. Namun entah kenapa hal itu mengusik dirinya yang merupakan seorang wanita.
"Ram, coba liat sini."
Perlahan Rama mulai menatap Naya. Gadis itu tampak serius dengan tatapannya. "Lo suka makan sayur?" tanya Naya masih dengan ekspresinya.
Dahi Rama berkerut, "Suka dong, emang kenapa?"
"Terus kenapa lo nggak ganteng?"
"Anjrit! Sialan lo!" Rama dengan cepat meraih majalah yang ada di atas meja dan memukul kepala Naya. Bukan sekali, melainkan berkali-kali sampai akhirnya terdengar suara yang menghentikan keributan mereka berdua.
"Ada apa ini, Ram?" Suara lembut itu membuat Naya mendongak.
"Nggak jadi, Tan. Aku cari fotografer lain aja." Rama mendengkus.
"Mana bisa? Bintitan baru tau rasa lo!" Naya melotot dan merapikan tampilannya yang berantakan. Perlahan dia bangkit dan tersenyum pada wanita yang masih berdiri di depan mereka.
"Tantenya Rama ya?" Naya mulai mengulurkan tangannya. "Saya Naya, Tan. Temennya Rama."
"Temen bangsat!" rutuk Rama kesal.
"Oh, kamu yang namanya Naya. Kenalin saya Rana, Tantenya anak bandel ini."
Naya tertawa dan kembali duduk saat Rana memintanya. Perlahan wanita itu mulai menjelaskan jasa apa yang dia butuhkan dari Naya. Rana ingin Naya memotret produk kecantikannya untuk bahan promosi. Cukup mudah, Naya mahir dalam hal ini.
"Fotonya di sini aja. Ambil angle yang sekiranya masuk ke tema," ucap Rana.
"Siap, Bos!" Naya mulai menyiapkan kameranya.
Naya akan mengerjakan pekerjaannya dengan senang hati. Kapan lagi dia bisa menghasilkan uang dari hobinya? Lagi-lagi pikiran untuk meringankan beban ibunya yang membuatnya rela berada di sini. Bisa saja dia menghabiskan akhir pekannya bersama teman-temannya, tapi dia lebih memilih berkutat dengan kamera yang berhasil dia curi dari Nara, sepupunya.
"Eh temen lo pada ngumpul nih, lo nggak ikutan?" Rama menunjukkan ponselnya yang menampilkan video sahabat Naya yang sedang berkumpul.
"Nanti, habis selesai ini baru nyusul ke mall. Lumayan dapet uang jajan."
Rana kembali dengan tas yang berisikan produk kecantikannya. Tak salah jika wanita itu memiliki sebuah klinik, lihat saja kulit mulus itu. Naya yakin jika nyamuk tidak akan rela menggigit kulitnya.
Saat sedang asik menata posisi produk, Naya mendengar suara yang tidak asing di telinganya. Dia berbalik dan terkejut saat mendapati Rezal juga berada di tempat ini.
Untuk apa pria itu datang ke klinik kecantikan?
Dari kejauhan, Rezal terlihat tengah berbicara dengan Rana. Entah kenapa mendadak dadanya terasa panas. Dia merasa konyol. Apa secepat ini dia merasakan sesuatu yang istimewa untuk pria itu? Selama ini Naya yakin jika dia hanya mengagumi Rezal, tapi yang dia rasakan saat ini berbanding terbalik dengan pikirannya.
"Fokus woi!" Rama menendang kaki Naya yang sedang melamun.
Naya menggelengkan kepalanya dan mulai fokus pada objek di depannya. Kepalanya kembali menggeleng saat pikiran tentang Rezal tak kunjung menghilang.
Fokus, Nay. Fokus!
Setelah berhasil mengambil beberapa gambar, Naya kembali mengambil produk lainnya untuk di foto. Lagi-lagi matanya melirik Rezal dan Rana yang masih berbincang di sofa yang jauh darinya.
Tidak mungkin jika Rezal melakukan perawatan di sini, Naya sangat yakin. Pria itu hanya ingin bertemu Rana. Apa hubungan Rezal dengan Rana? Mendadak rasa penasaran membuatnya lagi-lagi hilang fokus.
"Lo ngapain sih, Nay?" tanya Rama saat Naya melamun.
"Cowok yang sama Tante Rana itu siapa?" tanya Naya pada akhirnya. Dia tidak bisa memendam rasa penasarannya.
Rama mengerutkan dahinya saat melihat Tantenya bersama dengan seorang pria. Perlahan kepalanya menggeleng, "Nggak tau. Pacarnya kali," jawab Rama acuh.
Kesal, Naya merasa kesal mendengar itu. Dia mendengkus dan kembali fokus pada pekerjaannya. Dia seperti hilang harapan. Semangatnya kemarin seolah menguap entah ke mana. Tentu saja! Tidak mungkin jika pria seperti Rezal masih sendiri. Kenapa dia mempercayai ucapan Raga? Lagi pula harapannya sangat tipis untuk bisa dilirik pria seperti Rezal.
"Lo haus nggak? Gue ambil minum dulu ya." Naya hanya mengangguk sebagai jawaban. Dia terlalu malas untuk berbicara. Suasana hatinya sudah hancur.
"Naya?" Suara itu membuat Naya berbalik. Perlahan dia tersenyum canggung. Rezal sudah mengetahui keberadaannya sekarang.
"Pak Rezal," sapa Naya. Dia berharap Rama akan segera kembali. Setelah asumsi negatif yang Naya buat sendiri akan hubungan Rezal dan Rana, dia kembali merasa canggung. Seperti dulu.
"Kamu ngapain di sini?"
Naya mengangkat kameranya, "Menjemput rezeki, Pak. Kalo Bapak ngapain di sini? Perawatan?" tanya Naya tidak bisa menahan diri.
Rezal dengan cepat menggeleng, "Nggak, cuma buat jadwal untuk perawatan Mama saya."
Mulut Naya membulat mendengar itu, "Saya kira pacaran tadi, Pak."
"Pacaran?"
Naya mengangguk dan kembali melanjutkan pekerjaannya, "Saya kira Tante Rana pacarnya Bapak."
Dahi Rezal berkerut. "Kenapa kamu nggak sapa saya kalau udah tau saya di sini dari tadi?"
Naya membatu dan meremas kameranya erat. Dia tidak berniat untuk kembali menatap Rezal yang berada di belakangnya. Entah kenapa untuk saat ini objek di depannya terlihat jauh lebih menarik.
"Saya kan lagi kerja, Pak."
"Nay, nih gue ambilin jus kesukaan lo. Nemu banyak tadi di kulkas." Rama datang dengan dua minuman di tangannya. Pria itu cukup bingung melihat pria yang bersama Tantenya tadi sedang bersama Naya saat ini.
"Makasih ya, Ram." Naya mengambil minumannya cepat dan meneguknya dengan tergesa, mencoba untuk menghilangkan rasa gugup dan canggungnya. Rezal masih berdiri di depannya dan Naya tidak tahu harus melakukan apa sekarang.
"Bapak mau?" tanya Naya menawarkan minumannya.
Rezal mengangkat alisnya merasa aneh dan kemudian menggeleng. Dia menatap Rama yang sedang memainkan ponselnya. Tak lama pria yang bernama Rama itu pamit untuk masuk ke ruangan Rana.
Rezal melipat kedua tangannya di dada dan menatap Naya yang masih meneguk minumannya, "Kamu sudah punya pacar?"
"Hah?" Naya terkejut.
"Kamu sudah punya pacar?" Ulang Rezal.
Naya tertawa canggung, "Ya masa Bapak aja yang bisa punya pacar."
"Rana bukan pacar saya."
Mata mereka bertemu. Sedetik Naya sempat lupa bagaimana caranya untuk minum. Tatapan Rezal begitu dalam sampai menembus jantungnya. Berlebihan memang, tapi itu yang dia rasakan sekarang.
"Kalau gitu Rama juga bukan pacar saya," bisik Naya pelan.
Rezal tersenyum dan menggelengkan kepalanya tidak percaya. Apa yang baru saja dia lakukan? Rezal berbalik saat Rana dan Rama datang. Wanita itu memberikan sebuah kantung kertas padanya, kantung yang berisi beberapa krim kecantikan untuk ibunya.
"Ini pesanan Mama kamu ya, Zal. Aku juga udah bikin jadwal buat hari selasa."
"Oke. Makasih ya. Aku balik duluan." Rezal berbalik untuk pergi. Sebelum benar-benar pergi, pria itu menatap Naya sebentar dan kembali berjalan.
Apa? Apa yang sebenarnya terjadi? Naya tidak mengerti apa maksud Rezal melakukan ini padanya. Dia seperti melihat sisi yang berbeda dari pria itu.
***
Menjadi seorang istri di usia muda tidak pernah Naya pikirkan sebelumnya. Meskipun usianya sudah menginjak 21 tahun, tetap saja di jaman sekarang usia tersebut masih terbilang cukup muda untuk membina rumah tangga.Berbeda dengan kebanyakan anak muda lainnya, Naya memilih untuk mengambil jalannya sendiri. Dia rela mengorbankan masa mudanya untuk menikah dengan Rezal. Bersyukur pria itu juga mengerti dirinya.Selama empat bulan ini, Rezal berperan sebagai suami yang bijaksana. Dia sadar akan usia Naya yang masih muda.
Naya menatap pantulan dirinya di depan cermin dengan lekat.Dressselutut berwarna hitam yang dia pakai terlihat pas ditubuhnya. Rambutnya juga terurai indah dengan gelombang di bagian ujungnya. Naya melakukan semuanya sendiri, termasukmake-upsederhana di wajahnya.Malam ini Rezal mengajaknya
Hari yang panas membuat Naya ingin segera membersihkan diri. Setelah pulang dari kampus dia berniat untuk mengurung diri di kamar. Entah mengerjakan tugas, mengedit video, mengedit foto, atau yang lainnya. Naya hanya ingin bersantai mengingat jika akhir-akhir ini waktunya cukup terkuras untuk tugas kampus. Tentu saja, dia sudah semester atas. Naya tidak bisa lagi berleha-leha seperti saat menjadi mahasiswa baru dulu.Setelah menyalakan AC, Naya menghempaskan tubuhnya di tempat tidur. Tangannya meraih ponsel dan melihat pesan singkat dari Rezal. Hanya sebuah gambar, tidak ada tulisan sebagai penjelas. Begitu singkat dan tidak bisa berbasa-basi.Naya terkekeh saat
Rezal memasuki rumahnya sambil merenggangkan dasi yang terasa mencekik leher. Hari ini jadwalnya cukup padat tapi sebisa mungkin dia akan pulang tepat waktu. Entah kenapa setelah menikah, Rezal jarang lembur di kantor. Jika memang ada pekerjaan, dia lebih memilih untuk mengerjakannya di rumah sambil menikmati wajah ayu istrinya.Dengan bersiul, Rezal membuka pintu kamarnya. Di kamar, dia melihat Naya tengah mengambil beberapa baju dari lemari. Di sampingnya juga ada koper kecil berwarna hitam."Kamu ngapain?" tanya Rezal bingung.Naya menoleh dan tersenyum melihat kedatangan suaminya. Saat Rezal sudah berada di depannya, Naya segera mencium tangan suaminya. Sebagai tanda hormat, kebiasaan yang tidak pernah ia lupakan sejak masih pacaran."Ini lagi nyiapin baju buat Mas Rezal besok," ucap Naya kembali mem
Pernikahan bukanlah akhir dari perjuangan, melainkan awal dari sebuah kenyataan. Pada tahap ini, tiap pasangan dituntut untuk saling menerima satu sama lain. Baik itu sifat baik dan sifat buruk, baik itu kekurangan ataupun kelebihan.Seperti yang terjadi pada Rezal dan Naya setelah menikah. Masa pendekatan yang begitu singkat membuat mereka sama-sama terkejut dengan kebiasaan masing-masing. Naya yang masih muda cenderung santai dan apa adanya, berbeda dengan Rezal yang lebih disiplin dan bijaksana. Jarak usia juga bisa menjadi faktor perbedaan tersebut. Namun itu tidak mereka jadikan alasan untuk saling menarik diri, justru dengan adanya perbedaan itu mereka saling melengkapi dan jatuh cinta setiap harinya.Di sebuah kamar, Rezal tampak berbaring santai dengan laptop Naya di pangkuannya. Tidak ada yang dia lakukan, hanya melihat-lihat isi folder yang ada. Sedangkan istrinya tengah berada di kama
Cahaya kilat yang terang membuat Naya menutup matanya erat. Tak lama terdengar suara petir yang membuat semua orang, termasuk dirinya mulai membaca doa dalam hati. Entah kenapa cuaca akhir-akhir ini begitu menakutkan. Naya terpaksa meneduh di pinggir jalan saat hujan turun dengan derasnya.Hari ini memang Naya disibukkan dengan kegiatan kampus sampai malam. Saat dia akan pulang, ternyata Tuhan tidak mengabulkan doanya. Naya sudah berdoa agar hujan tidak turun tapi takdir berkata lain. Di sini lah dia sekarang, meneduh di pinggir jalan bersama dengan pengendara motor lainnya.Pada saat seperti ini Naya hanya bisa mengumpat dalam hati. Dia menyesal tidak siap sedia jas hujan di motornya. Sudah menjadi kebiasaannya melupakan benda penting itu.Saat akan menghubuhi Rezal pun, Naya berdecak kesal. Lagi-lagi dia mengumpati kebodoh