Selamat membaca. Mohon bantuannya untuk love dan komennya ya Kak. Makasi udah mampir. Semoga suka."Cindelaras Putri Arjuna. Ibumu tidak mengizinkan nama Andromeda ada di belakang namamu," sambung Kakek lagi. "Tapi berkat bujukan dari Asykar, Ibu pemilik panti tempat kau tinggal tetap bersedia untuk terus mengabarkan mengenai tumbuh kembangmu. Ia rutin mengirimi kami fotomu setiap kau berulang tahun."Kuhirup napas dalam dan mencoba meredam rasa sedih yang saat ini sedang kurasakan."Apa ayahku masih hidup?"Dengan kursi rodanya kakek Sultan berjalan menghampiriku, lalu mengenggam erat tanganku."Cinde, kau adalah satu-satunya cucu kakek. Arjuna sudah ... " Ia menjeda kalimatnya, terlihat matanya mulai mengembun. "Empat tahun lalu, saat hendak kembali ke tanah air, ayahmu beserta istri dan anaknya, yang juga adikmu, mengalami kecelakaan. Pesawatnya jatuh dan meledak," ujarnya nyaris tanpa suara."Kemudian satu tahun setelahnya,
"Cinde, nanti sebelum memimpin hotel, kamu akan kakek sekolahkan ke New York untuk mempelajari bisnis. Setelah itu ke Jepang untuk mengetahui tentang hotel kita di sana," ucap Kakek setelah kami selesai makan siang.Saat itu kami tengah berada di teras belakang, tepat di depan ruang makan. Tempat yang langsung mengarah ke sebuah taman yang juga berukuran luas. Di sisi kirinya terdapat sebuah kolam renang berhiaskan bebatuan alam di sekelilingnya. Selain itu juga terdapat banyak bunga bougenville dan soka di beberapa tempat.Kakek duduk di atas kursi rodanya dengan menghadap ke arah taman belakang. Sedangkan Prabu berada di belakangnya. Ia mendorong kursi roda kakek karena Om Asykar diminta kakek untuk mengurus sesuatu di hotel."Apa Cinde sanggup, Kek?" jawabku sambil menunduk."Kamu adalah gadis yang cerdas, Cinde. Kakek yakin kamu sanggup. Lagi pula seperti yang tadi kakek ucapkan, Kakek sendiri yang akan membimbingmu. Tentu saja dengan bantuan
"Iya, Pak. Maaf," Sahutku sambil menunduk.Selesai melampiaskan kekesalannya, Pak Bimo pergi meninggalkanku yang masih terdiam di depan wastafel cuci piring.Sudah satu bulan aku bekerja di bagian dapur hotel milik Kakek. Sejak itu, dalam satu minggu selalu ada saja benda yang kupecahkan. Padahal pekerjaanku hanya mencuci piring. Pekerjaan yang sudah sangat biasa kulakukan sejak tinggal bersama ibu angkatku dulu. Namun, memang jumlah piring yang aku cuci berjumlah sangat banyak dan harus kukerjakan dalam waktu cepat."Udah, sini, Gue bantu."Raja, rekanku sesama karyawan dapur langsung mengambil alih tugasku. Tangannya cekatan mencuci semua tumpukan piring yang masih tersisa."Eh, nggak usah, Ja. Ini, kan, tugasku. Nanti kalau kamu yang ngerjain, bisa-bisa aku kena omel Pak Bimo lagi," sahutku tetap ber-aku-kamu padanya, walaupun ia menggunakan gue dan o."Udah, nggak apa. Gue ngerjain ini sekalian mau ngasih lo contoh. Biar lo
Mas Pangeran sama terkejutnya denganku. Matanya melebar dan mulutnya menyebut namaku tanpa suara. Mungkin kalau kakekku tidak ada di sini, ia akan langsung menyerbuku dengan banyak pertanyaan. Karena saat terakhir kali kami bertemu, aku meninggalkannya begitu saja di halte bus depan komplek perumahan ibu. "Cinde, kok, malah melamun begitu?" tanya Kakek sambil nenautkan alisnya. "Ini, lho, gurunya sudah datang.""Iya, Kek.""Putri Cinde?"Akhirnya Mas Pange mengeluarkan suara. Aku menunduk untuk menghindari tatapan heran Mas Pange."Jadi, kalian sudah saling kenal?" tanya Kakek. Matanya bergantian melihatku dan Mas Pange. "Pangeran ini adalah tetangga Cinde di rumah lamanya, Tuan." Om Asykar mewakiliku menjawab pertanyaan Kakek. "Oo. Malah bagus kalau begitu, kalian bisa lebih santai belajarnya. Sekarang, kakek tinggal dulu, ya. Kamu belajar yang rajin," ucap Kakek sambil me
"Kamu, siapa nama kamu?" tanya Prabu kepada Mas Pange."Pangeran, Mas," jawab Mas Pangeran sambil berdiri. Lalu mulai berjalan perlahan menghampiri Prabu. "Ok, Pangeran, duduknya tidak perlu sedekat itu sama Cinde, dan matamu tidak perlu seperti itu saat melihat dia." Prabu menunjukku dengan dagunya.Membuat Mas Pange segera menghentikan langkahnya. Sontak kalimat terakhirnya membuat wajahku merah. Apa maksudnya? Tadi Dia bilang penampilanku saat ini cantik, terus dia tidak mengizinkan Mas Pange untuk duduk terlalu dekat denganku. Kami, kan, sedang belajar, masa belajar duduknya jauh-jauhan."Oh, iya. Mas. Kenalin, itu Prabu, cucu kakek juga. Kak, ini Mas Pange, guru privat aku."Dua laki-laki itu saling memandang dan tidak ada satu pun yang mau memulai untuk mengulurkan tangannya ke yang lain. Mas Pange yang tadi sempat berdiri, juga langsung kembali ke posisinya semula. Dengan keberanian yang tersisa, aku mencoba b
Chef Rena tiba-tiba mendorongku kasar, sesaat aku baru saja tiba di ruangan yang terletak di sebelah dapur. Tempat yang biasanya digunakan untuk berganti pakaian atau sekedar beristirahat. Chef Rena bahkan tidak segan menghinaku, meski di sana ada beberapa staf dapur. Namun aku tidak melihat sosok Raja di antara mereka. Kemana dia? Apa hari ini dia tidak masuk kerja? Ini sudah hampir jam masuk, seingatku Raja tidak pernah terlambat. Apa ia sudah duluan ke dapur, ya? Sejak tadi aku berpikir kesalahan apa yang kubuat kali ini? Perasaan aku belum terlambat, masih ada waktu sekitar lima belas menit hingga waktu masuk. Biasanya juga kalau aku melakukan kesalahan, Pak Bimo sebagai penanggung jawab dapurlah, yang seharusnya marah. "Chef, apa salah, Saya? Kenapa saya di dorong-dorong?""Masih nanya lagi! Lo tu jangan pura-pura bodoh, Cinde! Lo jangan sok kecakepan juga, deh, jadi cewek. Di dapur, lo udah berani-beraninya godain Raja. Eh, ini di lu
"Kalian mau apa!" tanyaku pada sekelompok wanita di depanku.Mereka semua terlihat begitu menakutkan. Terutama pimpinan mereka Chef Rena dan Kak Drewnella.Kak Drew lalu mengikat tanganku dengan tali, sambil memaksaku berlutut, kemudian ia mendongakkan kepalaku ke arah Chef Rena. "Malam ini, kita cuma mau kasih peringatan buat lo. Tapi ... kalau besok gue masih ngeliat lo kegenitan sama Raja dan Pak Prabu, maka yang lo terima, akan jauh lebih menyedihkan daripada ini. Ngerti, Lo!" pekik Chef Rena penuh emosi. Padahal wajahnya sangat manis, tapi sayang kelakuannya minus. Sosok wanita cantik yang sangat menakutkan. Lebih menyedihkan dari ini? Memangnya apa yang akan mereka perbuat padaku? "Drew." Chef Rena membuka tangannya seperti meminta sesuatu. Tak lama kemudian Kak Drew memberinya sebuah gunting.Ia lalu mulai menggunting rambutku. Aku yang masih dalam keadaan terikat berusaha untuk menolak dan melepaskan di
"Apa, Dipecat? Tapi kenapa, Ja? Memang kamu sudah ngelakuin kesalahan apa sampai harus dipecat?" tanyaku tak terimaRaja hanya mengangkat kedua bahu. "Kata Pak Bimo, dia hanya menyampaikan, Itu sudah keputusan Pak Prabu, ga bisa diganggu gugat.""Sini, biar aku yang bicara langsung sama Pak Prabu!" ucapku dengan nada yang sedikit emosi. Raja menautkan alis, "Sebagai apa, Cin?""Ya sebagai cucu dari ...." "Lo yakin omongan lo bakal di denger sama Pak Prabu? Orang Pak Bimo aja ga dianggap. Apalagi omongan karyawan rendahan macam kita berdua ini." Raja memutus kalimatku barusan. Oh iya, di sini kan, tidak ada yang tau kalau aku adalah cucu kakek. Hampir saja aku membuka identitasku.Tapi, kalau Raja tidak ada, bagaimana dengan nasibku? Selama ini, kan, di dapur ini, cuma Raja yang mau jadi temanku. Dia juga yang udah ngajarin aku banyak hal, dan sering membantuku agar terbebas dari omelan Pak Bimo. Besok-b