Share

Mengekang Raga

"Habis dari mana kamu, Fan?" Meira langsung mengejar Arfan yang baru saja membuka pintu rumah. Wanita itu sudah menunggu kepulangan suaminya itu cukup lama di sofa ruang tamu. Dan nyaris tengah malam Arfan baru saja tiba di rumah.

Namun, bukannya menjawab apalagi menjelaskan, yang ditunggu malah tidak menghiraukannya sama sekali. Arfan terus melangkah menuju kamar dan meninggalkan Meira yang masih berdiri di ruang tamu. Seolah-olah keberadaan Meira seperti mahluk tak kasat mata di mata Arfan.

"Fan! Aku tanya sama kamu!" teriak Meira putus asa. Akhirnya dengan menghentak-hentakan kaki, Meira menyusul Arfan ke kamar.

"Ngapain kamu ke rumah sakit?" tanya Meira lagi setelah dua pertanyaan sebelumnya Arfan abaikan. Dan kali ini pun sama. Arfan masih bungkam seolah-olah tidak mendengar pertanyaan Meira, membuat wanita itu semakin kesal.

"Apa jangan-jangan keluarga Alya ada yang sakit?" tebak Meira.

"Benar? Gitu, Fan?" lanjut Meira karena Arfan masih mengabaikan pertanyaannya.

"Terus, ngapain dia nemuin kamu?" Meira memikirkan jawaban dari pertanyaannya sendiri. "Ah, ya." Kini Meira menatap Arfan dengan yakin. Seolah-olah ia telah menemukan jawaban dari semua pertanyaannya. "Dia pasti minta kamu membiayai pengobatan keluarganya, kan?" tebak Meira.

"Iya, kan?" teriak Meira. Ia tidak terima jika sampai Alya meminta itu pada Arfan.

Namun, bukannya menjawab, Arfan justru balas membentak Meira lebih keras lagi. "Diam!"

Mata laki-laki itu melotot ke arah Meira. Tatapannya bahkan seperti hendak menerkam Meira dan menelan wanita itu bulat-bulat. Arfan sudah cukup menahan diri dengan diam. Ia lelah. Pikirannya kacau tidak karuan. Akan tetapi, bukannya membuatnya tenang, Meira malah seperti bensin yang sengaja mengguyurnya saat dirinya tengah terbakar.

Usai menatap Meira dengan tatapan seperti itu, Arfan memilih pergi dari kamar. Ia kembali mengunci diri di ruang kerjanya. Ia tidak mau sampai lepas kendali karena ucapan Meira.

***

"Jangan lupa nanti makan malam di rumah Mama," Meira mengingatkan Arfan yang tengah menikmati sarapannya. "Aku sudah pesan kadonya, jadi pulang kerja kita bisa langsung ke sana."

Arfan diam. Seolah-olah ia tidak mendengar Meira bicara. Ulang tahun mamanya kali ini tidak lebih penting dari Aleta. Saat ini yang ada dipikiran Arfan hanya Aleta. Ia tidak sabar untuk bertemu dengan dokter yang menangani Aleta. Arfan mau pengobatan yang terbaik untuk Aleta. Kalau perlu, ia akan membawa anak itu ke luar negeri.

"Kamu dengar aku bicara, kan, Fan?" Meira menaruh sendoknya dengan keras sehingga menimbulkan bunyi suara sendok beradu piring dengan cukup keras.

Arfan langsung menatap Meira yang sedang menatapnya dengan kesal. "Bisa enggak pagi-pagi enggak usah ribut?"

"Kamu yang mancing aku, Fan! Aku ngomong sama kamu, tapi kamu cuekin terus! Siapa yang enggak kesal coba?"

Arfan memilih meletakkan sendoknya kemudian meninggalkan Meira. Laki-laki itu meraih tas kerjanya yang ia taruh di meja ruang keluarga, menyambar kontak mobil dan ponselnya kemudian pergi.

[Aku jemput kamu sekarang.]

Arfan mengirim pesan itu kepada Alya saat sudah berada di mobil. Perjalanan dari rumah Alya ke rumah sakit tempat periksa Aleta cukup jauh. Arfan tidak tega jika Alya harus bergonta ganti bus atau mengendarai sepeda motor sendiri. Arfan tahu betul bagaimana Alya, jika tidak dalam keadaan genting, ia tidak akan mau menggunakan jasa taksi online.

"Aku harus berhemat," ucap Alya dulu saat mereka masih kuliah.

Alya, Meira, dan Arfan berkuliah di tempat yang sama, angkatan yang sama, dan jurusan yang sama. Alya bersahabat dengan Meira karena orang tua Alya bekerja di rumah Meira. Ibu Alya ART dan bapak Alya supir keluarga Meira. Sehingga sejak kecil Alya dan Meira terbiasa bersama. Keluarga Meira mengizinkan orang tua Alya membawa Alya ke rumah mereka saat bekerja.

Berbeda dengan Meira dan Arfan yang berasal dari keluarga kaya raya, Alya kuliah dengan beasiswa dan bahkan harus bekerja paruh waktu demi bisa mencukupi biaya kuliahnya. Alya tidak tega jika seluruh biaya kuliahnya harus ditanggung orang tuanya. Apalagi saat Alya tengah menyusun skripsi, bapaknya menderita struk.

Itu sebabnya Alya tumbuh menjadi pribadi yang di mata Arfan sangat hemat.

Lama centang dua pada pesan Arfan tak kunjung berganti warna. Ia ingin menelepon Alya, tetapi sungkan. Alya pasti tidak akan mau mengangkat teleponnya.

Akhirnya Arfan memutuskan untuk melajukan mobilnya ke arah rumah Alya. Kemarin ia mengantar Alya pulang dengan alasan ingin bertemu Aleta, sehingga Arfan sudah mengetahui rumah Alya yang sekarang. Sayangnya Aleta sudah tidur saat Arfan tiba.

Arfan sudah tidak peduli lagi pada Meira yang pasti akan mengadu pada mamanya kalau ia menemui Alya. Karena Arfan memang berencana untuk memberitahu seluruh keluarganya mengenai Aleta.

Arfan menoleh saat mendengar bunyi notifikasi pesan masuk di ponselnya. Dengan cepat ia meraih ponsel yang ditaruh di jok sebelahnya.

[Enggak usah repot-repot. Aku sudah di perjalanan.]

Arfan menjatuhkan bahunya saat membaca balasan dari Alya.

"Ya udah," gumamnya.

Arfan kemudian berputar balik menuju rumah sakit. Ia berniat untuk menunggu Alya di sana.

[Sudah sampai mana?]

Arvan mengirim pesan untuk Alya setelah satu jam menunggu dan ibu dari putrinya itu belum kunjung tiba.

[Sebentar lagi.]

Kali ini Arfan tidak perlu menunggu lama, Alya langsung membalas pesannya. Tanpa Arfan sadari bibirnya tertarik ke belakang. Segaris senyum yang sudah sangat lama tidak pernah terlihat dari wajah Arfan, kini tersungging dengan manis.

[Oke, aku tunggu. Hati-hati, ya.]

Berkali-kali Arfan membuka ponselnya, tetapi Alya tidak membalas lagi.

Entah sudah berapa kali Arfan menoleh ke arah pintu masuk, berharap segera bisa Alya lagi. Ia sudah tidak sabar ingin kembali bertemu mantan istrinya itu.

"Lama banget, sih?" gerutu Arfan. Meski ia tahu sebenarnya dirinyalah yang datang kepagian. Dokter yang menangani Aleta praktik pukul sembilan dan Arfan datang sekitar setengah delapan.

Akhirnya daripada bengong Arfan beranjak menuju food court untuk membeli camilan. Ia tadi belum menyelesaikan sarapannya sehingga perutnya masih sedikit lapar. Ia juga berjaga-jaga kalau-kalau Alya belum sempat sarapan di rumah.

Dipilihnya aneka kue cantik dan kelihatan enak. Tak lupa ia juga memesan satu cup capuccino dan satu cup latte. Setelah dirasa cukup, ia membayarnya dan kembali ke kursi yang ia duduki tadi.

Baru saja Arfan menyesap capuccinonya, Alya datang.

"Hei, u-udah sampai?" tanya Arfan sembari menengok ke atas menatap wajah Alya yang masih berdiri di sampingnya.

Alya mengangguk. "Maaf ya, lama."

"Ah, enggak apa-apa. Akunya aja yang kepagian." Arfan menggeser posisi duduknya. Ia takut Alya tida nyaman jika mereka duduk terlalu dekat. Jika melihat penampilan Alya sekarang, wanita itu pasti sangat menjaga dirinya dari laki-laki. Dalam hati, Arfan merasa sangat bangga pada Alya.

"Latte." Arfan mengangsurkan cup latte yang ia beli pada Alya.

"Ah, ya. Makasih." Alya tersenyum kaku sembari menerima cup tersebut.

"Udah sarapan? Dokternya masih sekitar setengah jam lebih datangnya."

"Udah, kok."

"Oh. Ini, kue." Arfan menggeser kue-kue yang ia beli ke arah Alya. Kini mereka berdua duduk bersama dan hanya terhalang satu kursi tunggu yang di atasnya terdapat beberapa kue.

"Makasih." Alya memegang cup latte tersebut dengan kedua tangannya. Ia merasa canggung duduk berdekatan dengan Arfan seperti ini. Meski di ruangan ini banyak sekali orang yang juga sedang menunggu seperti dirinya. Akan tetapi, tetap saja Alya merasa tidak nyaman karena Arfan bukan lagi suaminya.

"Aleta gimana? Kamu tinggal enggak minta ikut?" Arfan mencoba mencairkan suasana.

"Enggak, kok. Dia sama ibu."

"Oh. Enggak rewel kalau kamu tinggal lama kayak gini?"

"Enggak."

"Oh."

Karena jawaban Alya selalu singkat, Arfan bingung hendak bertanya apalagi.

Di saat Arfan dan Alya sama-sama terdiam, tiba-tiba Meira datang dan menatap keduanya dengan mata berkilat-kilat.

"Oh, jadi kamu sampai enggak ke kantor karena ke sini?" seru Meira membuat orang-orang yang ada di sekitar mereka menoleh melihatnya.

"Demi wanita ini?" lanjut Meira masih dengan nada bicara yang sama.

"Cukup, Mei!" tegas Arfan dengan suara rendah, tetapi penuh wibawa.

"Siapa yang sakit? Siapa? Hah?" Bukannya diam, Meira malah semakin menjadi-jadi. "Bapak kamu sakit lagi? Butuh uang lagi? Sampai kamu ngemis-ngemis minta ketemu sama suamiku?" tunjuk Meira kepada Alya.

"Cukup, Mei!" Kali ini Arfan membentak Meira dengan suara cukup keras. Laki-laki itu kini berdiri di hadapan istrinya. Keduanya kini saling bertatapan dengan sengit.

Tentu hal itu membuat orang-orang yang ada di sekitar mereka mulai berbisik-bisik dan menyimpulkan sesuatu.

Alya yang merasa sangat malu dengan peristiwa ini hanya menoleh kecil ke kanan dan ke kiri. Rasa-rasanya ia ingin masuk ke dalam tanah saat itu juga.

"Kamu bisa mengekang ragaku. Melacak dimanapun posisiku," desis Arfan tepat di depan wajah Meira. "Tapi tidak dengan hatiku! Ingat itu!"

Tanpa berpikir panjang lagi, Arfan langsung meraih lengan Alya dan membawa wanita itu menjauh dari Meira.

"Arfan!" teriak Meira tanpa peduli saat ini ia ada dimana.

Komen (4)
goodnovel comment avatar
Isnia Tun
Pelakor ketakutan sendiri...dulu mencuri suami orang skrg takut suami nya di curi mantan istrinya
goodnovel comment avatar
Louisa Janis
rasain lo PERAMPOK suami orang enak nggak di anggap kasian deh lo
goodnovel comment avatar
Aleeaaz
Bar bar ni Meira
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status