Share

Mengekang Raga

Penulis: Srirama Adafi
last update Terakhir Diperbarui: 2022-11-28 11:39:22

"Habis dari mana kamu, Fan?" Meira langsung mengejar Arfan yang baru saja membuka pintu rumah. Wanita itu sudah menunggu kepulangan suaminya itu cukup lama di sofa ruang tamu. Dan nyaris tengah malam Arfan baru saja tiba di rumah.

Namun, bukannya menjawab apalagi menjelaskan, yang ditunggu malah tidak menghiraukannya sama sekali. Arfan terus melangkah menuju kamar dan meninggalkan Meira yang masih berdiri di ruang tamu. Seolah-olah keberadaan Meira seperti mahluk tak kasat mata di mata Arfan.

"Fan! Aku tanya sama kamu!" teriak Meira putus asa. Akhirnya dengan menghentak-hentakan kaki, Meira menyusul Arfan ke kamar.

"Ngapain kamu ke rumah sakit?" tanya Meira lagi setelah dua pertanyaan sebelumnya Arfan abaikan. Dan kali ini pun sama. Arfan masih bungkam seolah-olah tidak mendengar pertanyaan Meira, membuat wanita itu semakin kesal.

"Apa jangan-jangan keluarga Alya ada yang sakit?" tebak Meira.

"Benar? Gitu, Fan?" lanjut Meira karena Arfan masih mengabaikan pertanyaannya.

"Terus, ngapain dia nemuin kamu?" Meira memikirkan jawaban dari pertanyaannya sendiri. "Ah, ya." Kini Meira menatap Arfan dengan yakin. Seolah-olah ia telah menemukan jawaban dari semua pertanyaannya. "Dia pasti minta kamu membiayai pengobatan keluarganya, kan?" tebak Meira.

"Iya, kan?" teriak Meira. Ia tidak terima jika sampai Alya meminta itu pada Arfan.

Namun, bukannya menjawab, Arfan justru balas membentak Meira lebih keras lagi. "Diam!"

Mata laki-laki itu melotot ke arah Meira. Tatapannya bahkan seperti hendak menerkam Meira dan menelan wanita itu bulat-bulat. Arfan sudah cukup menahan diri dengan diam. Ia lelah. Pikirannya kacau tidak karuan. Akan tetapi, bukannya membuatnya tenang, Meira malah seperti bensin yang sengaja mengguyurnya saat dirinya tengah terbakar.

Usai menatap Meira dengan tatapan seperti itu, Arfan memilih pergi dari kamar. Ia kembali mengunci diri di ruang kerjanya. Ia tidak mau sampai lepas kendali karena ucapan Meira.

***

"Jangan lupa nanti makan malam di rumah Mama," Meira mengingatkan Arfan yang tengah menikmati sarapannya. "Aku sudah pesan kadonya, jadi pulang kerja kita bisa langsung ke sana."

Arfan diam. Seolah-olah ia tidak mendengar Meira bicara. Ulang tahun mamanya kali ini tidak lebih penting dari Aleta. Saat ini yang ada dipikiran Arfan hanya Aleta. Ia tidak sabar untuk bertemu dengan dokter yang menangani Aleta. Arfan mau pengobatan yang terbaik untuk Aleta. Kalau perlu, ia akan membawa anak itu ke luar negeri.

"Kamu dengar aku bicara, kan, Fan?" Meira menaruh sendoknya dengan keras sehingga menimbulkan bunyi suara sendok beradu piring dengan cukup keras.

Arfan langsung menatap Meira yang sedang menatapnya dengan kesal. "Bisa enggak pagi-pagi enggak usah ribut?"

"Kamu yang mancing aku, Fan! Aku ngomong sama kamu, tapi kamu cuekin terus! Siapa yang enggak kesal coba?"

Arfan memilih meletakkan sendoknya kemudian meninggalkan Meira. Laki-laki itu meraih tas kerjanya yang ia taruh di meja ruang keluarga, menyambar kontak mobil dan ponselnya kemudian pergi.

[Aku jemput kamu sekarang.]

Arfan mengirim pesan itu kepada Alya saat sudah berada di mobil. Perjalanan dari rumah Alya ke rumah sakit tempat periksa Aleta cukup jauh. Arfan tidak tega jika Alya harus bergonta ganti bus atau mengendarai sepeda motor sendiri. Arfan tahu betul bagaimana Alya, jika tidak dalam keadaan genting, ia tidak akan mau menggunakan jasa taksi online.

"Aku harus berhemat," ucap Alya dulu saat mereka masih kuliah.

Alya, Meira, dan Arfan berkuliah di tempat yang sama, angkatan yang sama, dan jurusan yang sama. Alya bersahabat dengan Meira karena orang tua Alya bekerja di rumah Meira. Ibu Alya ART dan bapak Alya supir keluarga Meira. Sehingga sejak kecil Alya dan Meira terbiasa bersama. Keluarga Meira mengizinkan orang tua Alya membawa Alya ke rumah mereka saat bekerja.

Berbeda dengan Meira dan Arfan yang berasal dari keluarga kaya raya, Alya kuliah dengan beasiswa dan bahkan harus bekerja paruh waktu demi bisa mencukupi biaya kuliahnya. Alya tidak tega jika seluruh biaya kuliahnya harus ditanggung orang tuanya. Apalagi saat Alya tengah menyusun skripsi, bapaknya menderita struk.

Itu sebabnya Alya tumbuh menjadi pribadi yang di mata Arfan sangat hemat.

Lama centang dua pada pesan Arfan tak kunjung berganti warna. Ia ingin menelepon Alya, tetapi sungkan. Alya pasti tidak akan mau mengangkat teleponnya.

Akhirnya Arfan memutuskan untuk melajukan mobilnya ke arah rumah Alya. Kemarin ia mengantar Alya pulang dengan alasan ingin bertemu Aleta, sehingga Arfan sudah mengetahui rumah Alya yang sekarang. Sayangnya Aleta sudah tidur saat Arfan tiba.

Arfan sudah tidak peduli lagi pada Meira yang pasti akan mengadu pada mamanya kalau ia menemui Alya. Karena Arfan memang berencana untuk memberitahu seluruh keluarganya mengenai Aleta.

Arfan menoleh saat mendengar bunyi notifikasi pesan masuk di ponselnya. Dengan cepat ia meraih ponsel yang ditaruh di jok sebelahnya.

[Enggak usah repot-repot. Aku sudah di perjalanan.]

Arfan menjatuhkan bahunya saat membaca balasan dari Alya.

"Ya udah," gumamnya.

Arfan kemudian berputar balik menuju rumah sakit. Ia berniat untuk menunggu Alya di sana.

[Sudah sampai mana?]

Arvan mengirim pesan untuk Alya setelah satu jam menunggu dan ibu dari putrinya itu belum kunjung tiba.

[Sebentar lagi.]

Kali ini Arfan tidak perlu menunggu lama, Alya langsung membalas pesannya. Tanpa Arfan sadari bibirnya tertarik ke belakang. Segaris senyum yang sudah sangat lama tidak pernah terlihat dari wajah Arfan, kini tersungging dengan manis.

[Oke, aku tunggu. Hati-hati, ya.]

Berkali-kali Arfan membuka ponselnya, tetapi Alya tidak membalas lagi.

Entah sudah berapa kali Arfan menoleh ke arah pintu masuk, berharap segera bisa Alya lagi. Ia sudah tidak sabar ingin kembali bertemu mantan istrinya itu.

"Lama banget, sih?" gerutu Arfan. Meski ia tahu sebenarnya dirinyalah yang datang kepagian. Dokter yang menangani Aleta praktik pukul sembilan dan Arfan datang sekitar setengah delapan.

Akhirnya daripada bengong Arfan beranjak menuju food court untuk membeli camilan. Ia tadi belum menyelesaikan sarapannya sehingga perutnya masih sedikit lapar. Ia juga berjaga-jaga kalau-kalau Alya belum sempat sarapan di rumah.

Dipilihnya aneka kue cantik dan kelihatan enak. Tak lupa ia juga memesan satu cup capuccino dan satu cup latte. Setelah dirasa cukup, ia membayarnya dan kembali ke kursi yang ia duduki tadi.

Baru saja Arfan menyesap capuccinonya, Alya datang.

"Hei, u-udah sampai?" tanya Arfan sembari menengok ke atas menatap wajah Alya yang masih berdiri di sampingnya.

Alya mengangguk. "Maaf ya, lama."

"Ah, enggak apa-apa. Akunya aja yang kepagian." Arfan menggeser posisi duduknya. Ia takut Alya tida nyaman jika mereka duduk terlalu dekat. Jika melihat penampilan Alya sekarang, wanita itu pasti sangat menjaga dirinya dari laki-laki. Dalam hati, Arfan merasa sangat bangga pada Alya.

"Latte." Arfan mengangsurkan cup latte yang ia beli pada Alya.

"Ah, ya. Makasih." Alya tersenyum kaku sembari menerima cup tersebut.

"Udah sarapan? Dokternya masih sekitar setengah jam lebih datangnya."

"Udah, kok."

"Oh. Ini, kue." Arfan menggeser kue-kue yang ia beli ke arah Alya. Kini mereka berdua duduk bersama dan hanya terhalang satu kursi tunggu yang di atasnya terdapat beberapa kue.

"Makasih." Alya memegang cup latte tersebut dengan kedua tangannya. Ia merasa canggung duduk berdekatan dengan Arfan seperti ini. Meski di ruangan ini banyak sekali orang yang juga sedang menunggu seperti dirinya. Akan tetapi, tetap saja Alya merasa tidak nyaman karena Arfan bukan lagi suaminya.

"Aleta gimana? Kamu tinggal enggak minta ikut?" Arfan mencoba mencairkan suasana.

"Enggak, kok. Dia sama ibu."

"Oh. Enggak rewel kalau kamu tinggal lama kayak gini?"

"Enggak."

"Oh."

Karena jawaban Alya selalu singkat, Arfan bingung hendak bertanya apalagi.

Di saat Arfan dan Alya sama-sama terdiam, tiba-tiba Meira datang dan menatap keduanya dengan mata berkilat-kilat.

"Oh, jadi kamu sampai enggak ke kantor karena ke sini?" seru Meira membuat orang-orang yang ada di sekitar mereka menoleh melihatnya.

"Demi wanita ini?" lanjut Meira masih dengan nada bicara yang sama.

"Cukup, Mei!" tegas Arfan dengan suara rendah, tetapi penuh wibawa.

"Siapa yang sakit? Siapa? Hah?" Bukannya diam, Meira malah semakin menjadi-jadi. "Bapak kamu sakit lagi? Butuh uang lagi? Sampai kamu ngemis-ngemis minta ketemu sama suamiku?" tunjuk Meira kepada Alya.

"Cukup, Mei!" Kali ini Arfan membentak Meira dengan suara cukup keras. Laki-laki itu kini berdiri di hadapan istrinya. Keduanya kini saling bertatapan dengan sengit.

Tentu hal itu membuat orang-orang yang ada di sekitar mereka mulai berbisik-bisik dan menyimpulkan sesuatu.

Alya yang merasa sangat malu dengan peristiwa ini hanya menoleh kecil ke kanan dan ke kiri. Rasa-rasanya ia ingin masuk ke dalam tanah saat itu juga.

"Kamu bisa mengekang ragaku. Melacak dimanapun posisiku," desis Arfan tepat di depan wajah Meira. "Tapi tidak dengan hatiku! Ingat itu!"

Tanpa berpikir panjang lagi, Arfan langsung meraih lengan Alya dan membawa wanita itu menjauh dari Meira.

"Arfan!" teriak Meira tanpa peduli saat ini ia ada dimana.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Komen (5)
goodnovel comment avatar
Helmy Rafisqy Pambudi
Arfan km laki2 kok ya mu aja ya JD boneka..kalo gak cinta n.nyamn mbok ya di cerein tu maera
goodnovel comment avatar
Isnia Tun
Pelakor ketakutan sendiri...dulu mencuri suami orang skrg takut suami nya di curi mantan istrinya
goodnovel comment avatar
Louisa Janis
rasain lo PERAMPOK suami orang enak nggak di anggap kasian deh lo
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terbaru

  • Usai Bercerai   Selamat Tinggal

    Lelaki itu tersenyum melihat Alya bisa kembali bahagia. Senyum tanpa beban ternyata bisa kembali terpancar dari wajah Alya. Prima lega melihat itu. Mungkin jika dulu Prima memaksa Alya untuk tetap bersamanya, belum tentu Alya bisa sebahagia sekarang. Prima tahu betul tidak mudah untuk memulai hubungan baru dengan seseorang yang belum sepenuhnya lepas dari masa lalunya. Dan Prima menyadari kalau hati Alya masih terpaku pada sosok Arfan. Meski laki-laki itu pernah menciptakan luka yang demikian dalam di hati Alya.Sebenarnya hari itu Prima berniat untuk menemui Alya. Ia sudah mendatangi kota di mana Alya tinggal untuk mengucapkan selamat tinggal pada perempuan yang pernah menjadi ratu di hatinya. Karena setelah empat tahun dirinya berpisah dengan Alya, pada akhirnya kini ia telah menemukan tambatan hatinya yang baru. Seseorang yang menjadi partner bisnis dan juga partner hidupnya.Namun, ia tidak sampai hati untuk menemui Alya secara langsung. Prima tidak ingin bayangan masa lalu mengo

  • Usai Bercerai   Sepasang Mata

    Setelah dua minggu melahirkan, kondisi Meira sudah pulih. Hanya saja putranya memang belum boleh dibawa pulang karena kondisinya masih harus mendapatkan perawatan di rumah sakit. Pagi itu Meira sedang menikmati roti bakar dengan selai strawberry dan secangkir cokelat panas di teras belakang. Udara pagi di tempat terbuka membuat pikirannya lebih rileks. Pada saat itu mamanya tiba-tiba datang dengan pakaian rapi."Loh, Mama mau ke mana pagi-pagi gini udah rapi?" tanya Meira sembari memperhatikan penampilan mamanya dari ujung kepala sampai ujung kaki. Rambutnya terurai dengan dicatok curly. Kemeja berwarna putih dengan kancing berwarna gold dipadu dengan celana panjang warna milo. Mama Meira memang tidak tampak menua. Sehingga saat bersama Meira di tempat umum, banyak orang mengira kalau mereka kakak beradik. Terlebih penampilan Bu Henela sangat fashionable.Bu Helena tidak langsung menjawab. Ia duduk di kursi tepat sebelah meja yang berada di sisi kiri Meira. Wanita itu menatap putrin

  • Usai Bercerai   Dua Minggu Lalu

    Meski pasrah, jauh di dalam lubuk hati Meira yang paling dalam, ia berharap jika Emir mau bertanggung jawab atas anak yang telah dilahirkannya. Karena sekarang semua orang sudah tahu kalau bayi itu bukan anak Arfa, jadi Meira merasa tidak punya tameng lagi untuk melindungi masa depan putranya.Jika semua tidak terungkap Meira merasa aman karena orang lain akan menganggap bayi itu adalah anak Arfan. Namun, sekarang semua berbeda. Meira yakin kalau mantan mama mertuanya tidak akan bisa diam saat mengetahui kenyataan kalau bayi yang dilahirkan Meira bukanlah cucunya.Setelah menunggu hampir satu jam, Emir akhirnya tiba di kamar rawat Meira. Lelaki itu awalnya mengira Meira sakit, karena semenjak peristiwa itu, ia tak berani mencari informasi tentang Meira. Ia tahu yang telah dilakukannya bersama Meira salah. Dan ia harap, hal itu tidak akan berpengaruh terhadap pernikahan Meira meski dulu ia mengharapkan Meira."Duduk dulu, Mir!" titah papa Meira sembari menekan-nekan buku-buku jemarinya

  • Usai Bercerai   Langkah Selanjutnya

    "Maksud kalian apa minta Arfan tes DNA?"Semua orang yang ada ruang rawat Meira menoleh ke arah pintu. Tampak Bu Fania dan Pak Arya sudah berdiri dengan wajah tegang. Kontan Meira dan kedua orang tuanya panik melihat itu."Kenapa diam?" tanya Bu Fania lagi. Wanita itu menatap geram ke arah putranya. Kemudian kembali bertanya sembari berjalan cepat ke arah Arfan. "Kamu nyembunyiin sesuatu dari Mama, Fan?"Arfan yang tidak menyangka sama sekali kedua orang tuanya akan datang, tidak bisa berpikir apa-apa. Otaknya serasa kosong sehingga dia tidak bisa menjawab pertanyaan mamanya.Sementara Meira yang kondisinya belum sepenuhnya membaik, sangat tersiksa dengan keadaan ini. Ia ingin berlari sejauh mungkin dari situasi itu. Ia tidak cukup punya muka jika sampai mantan mertuanya tahu kalau dirinya pernah melakukan kesalahan fatal."Ya." Semua menoleh ke arah papa Meira kecuali Meira yang menundukkan kepala. Laki-laki yang berdiri di samping kiri bed Meira kini menjadi pusat perhatian."Saya

  • Usai Bercerai   Harapan

    Meira dan Arfan berjalan beriringan keluar dari ruang sidang. Sengaja Meira tidak mengizinkan kedua orang tuanya ikut masuk ke ruangan. Karena ia tidak ingin kedua orang tuanya menyaksikan detik-detik kehancuran hidupnya.Perceraian Arfan dan Meira berjalan lancar dengan sebuah kesepakatan. Meira mau bercerai dengan Arfan asal kekhilafannya Arfan rahasiakan dari keluarga besar mereka. Tentu buat Arfan itu tidak jadi masalah. Terlebih laki-laki itu sudah bertekad walaupun anak yang dikandung Meira bukan anaknya, ia akan tetap bertanggung jawab sebagai papanya. Karena anak itu ada ketika Meira masih menjadi istrinya.Pada persidangan mereka yang terakhir tadi, Arfan membacakan ikrar talak dengan suara bergetar. Bagaimanapun Meira pernah menjadi bagian dari hidupnya. Sehingga saat menyadari dengan ucapan talak itu semua akan berakhir dan berubah, dada Arfan terasa nyeri. Begitupun dengan Meira. Ia tidak kuasa menahan agar buliran bening tidak berjatuhan dari pelupuk matanya. Dadanya sa

  • Usai Bercerai   Percayalah

    "F-Fan, du-duduk dulu, Fan." Bu Helena beranjak dari ranjang untuk mendekati menantunya yang masih berdiri di ambang pintu. Dipegangnya lengan Arfan yang sangat tegang. "Kita bicarakan ini baik-baik, ya! Mama juga baru tahu, Fan. Ayo!"Arfan menurut saja saat mama mertuanya menuntun ke sofa kamar Meira. Sesaat otak Arfan memang seperti kosong setelah sebelumnya terasa seperti tersengat listrik dengan tegangan yang sangat tinggi.Sementara Meira masih mematung di ranjangnya. Ia benar-benar tidak menyangka kalau Arfan ternyata datang dan mendengarkan pembicaraannya dengan sang mama."Mei, duduk sini! Kita bicarakan semua baik-baik!" titah Bu Helena pada putrinya.Meira tak langsung beranjak. Sesaat ia menatap Arfan. Meski dari posisinya ia hanya bisa melihat bagian belakang kepala Arfan. Meira menghela napas kasar. Ia benar-benar tidak bisa membayangkan bagaimana raut wajah Arfan saat ini."Mei! Apa perlu Mama jemput?" Bu Helena berusaha tenang meski sebenarnya ingin meneriaki putrinya

  • Usai Bercerai   Malaikat Pencabut Nyawa

    [Sayang, mau aku bawain makanan apa?] Arfan mengirim pesan tersebut sekaligus pada dua nomor di daftar kontak ponselnya. Nomor Alya dan Meira. Bagaimanapun perasaan Arfan saat ini, ia tidak bisa lagi mengelak untuk tidak memberikan perhatian pada Meira. Sama seperti Alya. Selisih kehamilan Alya dan Meira kurang lebih tiga bulan karena program bayi tabung Alya dan Arfan terhitung cukup lancar. Dua istri hamil bersamaan tentu membuat Arfan harus sering bolak-balik ke rumah kedua istrinya itu. Hanya saja yang membuat Arfan sedikit lega, Meira tak semanja dan semerepotkan dugaannya. Perempuan yang sebelumnya selalu banyak menuntut dan manja itu justru berubah lebih kalem dan tak banyak menuntut. Arfan pikir itu pengaruh bayi yang ada dalam rahim Meira.[Enggak usah, aku udah makan sama Mama.] Meira terlebih dahulu membalas pesan Arfan. Di awal-awal perubahan sikap Meira yang terkesan menghindar, sebagai laki-laki yang bertekad untuk memperbaiki sikap, Arfan cukup tersinggung. Namun, me

  • Usai Bercerai   Resah

    Kabar kehamilan Meira disambut hangat oleh keluarga besar Arfan dan juga keluarga besar Meira. Mereka mengadakan pesta dalam rangka tasyakuran atas kehamilan yang sudah dinanti lima tahun lamanya. Hal itu tentu membuat Alya ingin menghilang untuk sementara waktu.Alya belum punya nyali untuk menghadapi keluarga besar Arfan dan Meira dengan status istri kedua. Saat menjadi istri satu-satunya Arfan saja Alya tidak dianggap, apalagi saat ini."Fan, boleh enggak besok aku ... di rumah aja?" tanya Alya saat ia dan Arfan selesai makan malam.Dahi Arfan mengernyit. Awalnya ia tidak mengerti apa yang sedang dibicarakan Alya. Namun, sejurus kemudian ia paham.Disingkirkannya piring bekas makan yang ada dihadapannya. Kemudian, diambilnya jemari Alya yang sedang menangkup gelas panjang berisi air putih."Kalau kamu enggak siap, enggak usah datang enggak apa-apa," jawab Arfan dengan lembut. Ia pun masih trauma mengingat peristiwa lima tahun yang lalu saat Alya dituduh mencuri. Ia tidak ingin hal

  • Usai Bercerai   Layu dan Berguguran

    Alya termenung menatap permukaan kolam renang yang tenang. Pantulan cahayanya berkilauan membuat Alya betah berlama-lama duduk di situ. Alya masih ingat betul, dulu sering sekali ia habisnya waktu bersama Arfan di tempat itu. Bercerita apapun sampai mereka lupa waktu.Sesederhana itu bahagia bagi mereka dulu. Meski kehadiran Alya tidak diterima dengan baik oleh keluarga Arfan.Alya tersenyum miris. Terkadang hidup memang selucu itu. Sekarang di saat seluruh keluarga besar Arfan bisa menerimanya dengan tangan terbuka justru saat ini ia tidak bahagia. Apalagi sebabnya kalau bukan karena dirinya kini harus berbagi cinta.Sudah tiga malam Arfan menginap di rumah Meira. Sebenarnya Alya ingin sekali menghubungi laki-laki itu karena besok jadwal mereka cek ke dokter untuk program bayi tabung. Hanya saja, ia tidak mau mengganggu waktu Arfan bersama Meira.Entah sudah berapa kali Alya mengecek ponselnya untuk melihat apakah ada pesan dari Arfan, tetapi tidak ada aktivitas apapun pada benda di

Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status