Entah kali keberapa Arfan menghela napas. Dadanya begitu sesak. Sampai-sampai semalaman ia tidak bisa tidur. Matanya terpejam, tetapi pikirannya kemana-mana. Sejak Meira menyampaikan kalau Alya meminta bertemu dengannya, pikiran Arfan tidak bisa sejenak pun terlepas dari mantan istrinya itu.
Lima tahun sudah mereka berpisah, dan tidak sekalipun Alya menghubunginya. Bahkan saat Alya melahirkan. Karena dulu saat Alya meninggalkan rumah, kondisinya sedang hamil lima bulan. Dan sekarang, Alya meminta untuk bertemu dengannya. Arfan yakin, pasti ada hal besar sehingga wanita yang masih sangat ia cintai itu sampai meminta bertemu dengannya.Arfan beranjak dari ranjang setelah meraup kasar wajahnya."Mau kemana?"Arfan menoleh saat mendengar Meira bertanya."Kamu belum tidur?"Meira menggelengkan kepalanya. "Belum.""Aku ... mau cari udara segar."Tanpa menunggu respon Meira, Arfan meninggalkan tempat tidur mereka. Tempat tidur yang dulu begitu hangat saat Alya masih ada di sisinya. Dan kini tempat itu seperti bongkahan es, dingin dan membeku. Persis seperti hati Arfan.Arfan duduk di kursi kayu yang ada di tepi kolam renang yang berada di bagian belakang rumahnya. Entah berapa lama ia hanya duduk diam menatap kursi rotan gantung yang ada di pojok kanan dari tempat duduknya. Dulu, tempat itu adalah sport favorit Alya untuk membaca buku saat menemani Arfan berenang. Dan sudah lima tahun, kursi itu tidak ada yang menempati."Ayo, turun!" seru Arfan kala itu, lebih tepatnya lima tahun yang lalu, sehari sebelum Alya pergi."Enggak! Dingin!"Arfan justru iseng memercikan air ke arah Alya membuat wanita itu menjerit-jerit meminta Arfan menghentikannya. Alya memang tidak suka air dingin. Itu sebabnya ia paling malas kalau Arfan memintanya menemani berenang. Alya pasti akan meminta untuk menemani Arfan sambil membaca di kursi gantungnya."Dingin, Fan! Udah! Aku basah, nih!" seru Alya sembari tertawa lepas kala itu, saat Arfan tidak mau berhenti memercikan air dari kolam renang ke arah Alya.Arfan bahkan masih ingat betul bagaimana Alya tertawa hari itu. Bagaimana wajah kekasih hatinya itu saat kedinginan karena Arfan memaksanya turun ke kolam renang. Alya benar-benar menggigil dan di kolam renang yang kini hanya jadi pelengkap rumah itu, mereka berdua berpelukan. Sayangnya itu dulu, lima tahun yang lalu.Arfan menoleh saat lampu utama yang ada di area kolam renang itu menyala. Meira berdiri di ambang pintu kaca menatap Arfan yang sejak tadi duduk diam."Udah enggak sabar buat ketemu Alya sampai enggak bisa tidur?" sindir Meira.Arfan berdiri dari kursi, tersenyum miris ke arah Meira. Kemudian berjalan perlahan memasuki rumah."Bertahun-tahun, Fan! Bertahun-tahun aku ada di sisi kamu. Apa enggak ada sedikitpun tempat di hati kamu buat aku?" kesal Meira yang diabaikan oleh lelaki yang dicintainya itu.Arfan menghentikan langkah kemudian menoleh ke belakang, menatap Meira yang masih berdiri menatapnya dengan tatapan kesal. "Udah larut, tidur." Arfan kembali berbalik dan meneruskan langkahnya. Namun, kali ini ia tidak kembali ke kamar, melainkan ke ruang kerja dan mengunci pintunya.***Alya menghentikan langkah sejenak saat dari kejauhan melihat Arfan sudah duduk menunggunya. Laki-laki itu tampak begitu menawan dengan kemeja hitamnya. Kontras dengan kulitnya yang putih bersih. Wajah Arfan bahkan masih terlihat sama dari saat terakhir kali ia melihatnya."Fan, aku minta maaf ...," lirih Alya dengan jantung berdebar di luar kendali. Ada kerinduan berbalut rasa bersalah menyelinap perlahan kemudian menguasai perasaan Alya.Tak mau terlarut dalam perasannya, Alya memilih untuk kembali melangkah dan menemui Arfan. Saat ini Aleta yang utama.Kini giliran Arfan yang tidak berkedip saat Alya telah berdiri di depannya. Ia bahkan sampai lupa untuk menyapa."A-Alya?" ucap Arfan setelah beberapa saat tertegun menatap mantan istrinya.Arfan benar-benar terpesona melihat penampilan Alya saat ini. Alya yang kini berdiri di depannya jauh berbeda dengan Alya lima tahun yang lalu. Alya kini tampak begitu anggun dengan hijab yang menjuntai menutupi nyaris separuh tubuhnya. Wajahnya tampak semakin cantik dan bersinar dengan hijab berwarna navy itu. Tanpa Arfan sadari, ia berdiri dari kursinya sementara tatapannya tak beralih dari Alya sedetikpun.Alya mengangguk perlahan kemudian menunduk ditatap seperti itu oleh Arfan. Ada yang berdenyut nyeri di dalam dadanya saat Alya menyadari bahwa lelaki yang sedang menatapnya itu bukan lagi miliknya."Gimana kabarnya, Fan?" tanya Alya sembari tersenyum kaku beberapa saat kemudian."Ba-baik, Al. Ka-kamu sendiri?" Arfan membuang muka sekilas sembari mengusap tengkuknya. Rasanya Arfan masih tidak percaya kalau Alya kini berdiri di depannya. Apalagi dengan penampilan barunya.Alya kembali mengangguk. "Baik."Alya hendak duduk, Arfan yang masih sangat terkejut akhirnya menyadari kalau mereka sejak tadi hanya berdiri. "Ah, iya, duduk, Al! Silakan!""Mau minum apa?" tawar Arfan beberapa saat setelah mereka duduk dan sama-sama membisu. Keduanya bingung hendak memulai pembicaraan dari mana."Latte aja.""Ah, iya. Sebentar."Arfan kemudian memanggil pelayan cafe dan memesan latte untuk Alya. Minuman favorit Alya sejak dulu."Maaf ...." Alya kembali memulai percakapan setelah mereka berdua sama-sama kembali terdiam."Ah, iya, Al. Aku ... aku yang minta maaf," ucap Arfan dengan dada yang teramat sesak. "Maaf sudah banyak sekali menyakiti kamu.""It's oke." Alya berusaha menjaga mimik wajahnya agar terlihat biasa. Meski sebenarnya saat ini ia ingin sekali menangis. Menangis dalam pelukan Arfan dan menceritakan kondisi Aleta. Namun, Alya sadar itu tak mungkin ia lakukan.Keduanya kembali terdiam. Arfan terlalu bingung untuk berbicara apa. Hanya dengan kembali bisa melihat wajah Alya saja baginya sudah lebih dari cukup. Arfan bahkan merasa ini cuma mimpi. Sampai berkali-kali ia mencubit pahanya sendiri.Arfan sangat takut untuk sekadar bertanya, ada apa? Kenapa Alya sampai ingin bertemu dengannya? Dan pertanyaan-pertanyaan lainnya.Arfan takut, saat ia menanyakan itu semua, lalu Alya menjelaskan, setelah itu wanita yang sangat ia rindukan itu akan segera pergi meninggalkannya lagi. Arfan belum rela Alya pergi lagi dari hadapannya. Arfan masih ingin melihat Alya, ingin bisa selama mungkin bersama dengan wanita yang setiap desah napasnya ada namanya tersemat di sana."Ini ... foto-foto Aleta," ucap Alya sembari mengangsurkan amplop cokelat kepada Arfan. "Maaf baru bisa ngasih liat kamu."Arfan menerima amplop itu kemudian membukanya. Ada beberapa foto di dalamnya, foto-foto Aleta sejak baru lahir sampai sekarang. Dilihatnya satu per satu foto anak yang bahkan belum pernah ditemui oleh Arfan."Siapa yang mengazaninya?" tanya Arfan saat melihat foto yang ia tebak adalah foto Aleta beberapa saat setelah lahir.Dulu saat tahu Alya hamil, Arfan memang sudah berlatih azan. Arfan ingin anaknya mendengar suaranya yang paling merdu saat nanti mereka bertemu pertama kalinya."Bapak," jawab Alya dengan tenggorokan tercekat.Dadanya sangat sakit mengingat peristiwa itu. Aleta dulu terpaksa lahir di usia kehamilan 35 minggu. Kondisi Alya yang lemah membuatnya pendarahan.Begitu berpisah dengan Arfan, apalagi sebulan setelahnya mendengar Arfan menikah lagi, Alya merasa tidak ingin hidup lagi. Ia merasa hidup yang telah ia lalui sudah cukup. Ia sudah merasakan bagaimana hidup bahagia bersama orang yang ia cintai, sampai akhirnya mereka harus berpisah. Alya merasa hidupnya sudah cukup dan ia tidak ingin hidup lagi.Namun, tiada bosan orang tua Alya menyemangati Alya, mengingatkan Alya bahwa di dalam perutnya ada bayi yang membutuhkannya. Ada bayi yang yang harus ia lahirkan dengan sehat dan ia rawat sampai dewasa.Sayangnya saat Alya telah kembali bangkit bersamaan dengan kehadiran Aleta dalam hidupnya, Tuhan kembali mengujinya."Aleta ... dia ...."Arfan mengalihkan pandangannya kepada Alya saat wanita itu kembali mulai bicara. Arfan bisa melihat satu tetes bening terjatuh dari pelupuk mata Alya."Sakit," lanjut Alya dengan suara yang nyaris tidak bisa Arfan dengar."Sakit?" ulang Arfan yang tidak menyangka sama sekali.Alya mengangguk. "Leukimia," jawab Alya setengah berbisik karena tenggorokan terasa begitu sakit saat mengatakan kata itu.Dunia Arfan terasa berhenti berputar saat mendengar jawaban Alya. Ia terdiam, mematung, dan tidak tahu harus berkata apa. Sesuatu yang ada di dalam dadanya terasa tercabut paksa, menyisakan kesakitan yang teramat sangat. Mungkin rasa itu sama seperti dulu saat ia tahu bahwa Alya telah meninggalkannya.Lelaki itu tersenyum melihat Alya bisa kembali bahagia. Senyum tanpa beban ternyata bisa kembali terpancar dari wajah Alya. Prima lega melihat itu. Mungkin jika dulu Prima memaksa Alya untuk tetap bersamanya, belum tentu Alya bisa sebahagia sekarang. Prima tahu betul tidak mudah untuk memulai hubungan baru dengan seseorang yang belum sepenuhnya lepas dari masa lalunya. Dan Prima menyadari kalau hati Alya masih terpaku pada sosok Arfan. Meski laki-laki itu pernah menciptakan luka yang demikian dalam di hati Alya.Sebenarnya hari itu Prima berniat untuk menemui Alya. Ia sudah mendatangi kota di mana Alya tinggal untuk mengucapkan selamat tinggal pada perempuan yang pernah menjadi ratu di hatinya. Karena setelah empat tahun dirinya berpisah dengan Alya, pada akhirnya kini ia telah menemukan tambatan hatinya yang baru. Seseorang yang menjadi partner bisnis dan juga partner hidupnya.Namun, ia tidak sampai hati untuk menemui Alya secara langsung. Prima tidak ingin bayangan masa lalu mengo
Setelah dua minggu melahirkan, kondisi Meira sudah pulih. Hanya saja putranya memang belum boleh dibawa pulang karena kondisinya masih harus mendapatkan perawatan di rumah sakit. Pagi itu Meira sedang menikmati roti bakar dengan selai strawberry dan secangkir cokelat panas di teras belakang. Udara pagi di tempat terbuka membuat pikirannya lebih rileks. Pada saat itu mamanya tiba-tiba datang dengan pakaian rapi."Loh, Mama mau ke mana pagi-pagi gini udah rapi?" tanya Meira sembari memperhatikan penampilan mamanya dari ujung kepala sampai ujung kaki. Rambutnya terurai dengan dicatok curly. Kemeja berwarna putih dengan kancing berwarna gold dipadu dengan celana panjang warna milo. Mama Meira memang tidak tampak menua. Sehingga saat bersama Meira di tempat umum, banyak orang mengira kalau mereka kakak beradik. Terlebih penampilan Bu Henela sangat fashionable.Bu Helena tidak langsung menjawab. Ia duduk di kursi tepat sebelah meja yang berada di sisi kiri Meira. Wanita itu menatap putrin
Meski pasrah, jauh di dalam lubuk hati Meira yang paling dalam, ia berharap jika Emir mau bertanggung jawab atas anak yang telah dilahirkannya. Karena sekarang semua orang sudah tahu kalau bayi itu bukan anak Arfa, jadi Meira merasa tidak punya tameng lagi untuk melindungi masa depan putranya.Jika semua tidak terungkap Meira merasa aman karena orang lain akan menganggap bayi itu adalah anak Arfan. Namun, sekarang semua berbeda. Meira yakin kalau mantan mama mertuanya tidak akan bisa diam saat mengetahui kenyataan kalau bayi yang dilahirkan Meira bukanlah cucunya.Setelah menunggu hampir satu jam, Emir akhirnya tiba di kamar rawat Meira. Lelaki itu awalnya mengira Meira sakit, karena semenjak peristiwa itu, ia tak berani mencari informasi tentang Meira. Ia tahu yang telah dilakukannya bersama Meira salah. Dan ia harap, hal itu tidak akan berpengaruh terhadap pernikahan Meira meski dulu ia mengharapkan Meira."Duduk dulu, Mir!" titah papa Meira sembari menekan-nekan buku-buku jemarinya
"Maksud kalian apa minta Arfan tes DNA?"Semua orang yang ada ruang rawat Meira menoleh ke arah pintu. Tampak Bu Fania dan Pak Arya sudah berdiri dengan wajah tegang. Kontan Meira dan kedua orang tuanya panik melihat itu."Kenapa diam?" tanya Bu Fania lagi. Wanita itu menatap geram ke arah putranya. Kemudian kembali bertanya sembari berjalan cepat ke arah Arfan. "Kamu nyembunyiin sesuatu dari Mama, Fan?"Arfan yang tidak menyangka sama sekali kedua orang tuanya akan datang, tidak bisa berpikir apa-apa. Otaknya serasa kosong sehingga dia tidak bisa menjawab pertanyaan mamanya.Sementara Meira yang kondisinya belum sepenuhnya membaik, sangat tersiksa dengan keadaan ini. Ia ingin berlari sejauh mungkin dari situasi itu. Ia tidak cukup punya muka jika sampai mantan mertuanya tahu kalau dirinya pernah melakukan kesalahan fatal."Ya." Semua menoleh ke arah papa Meira kecuali Meira yang menundukkan kepala. Laki-laki yang berdiri di samping kiri bed Meira kini menjadi pusat perhatian."Saya
Meira dan Arfan berjalan beriringan keluar dari ruang sidang. Sengaja Meira tidak mengizinkan kedua orang tuanya ikut masuk ke ruangan. Karena ia tidak ingin kedua orang tuanya menyaksikan detik-detik kehancuran hidupnya.Perceraian Arfan dan Meira berjalan lancar dengan sebuah kesepakatan. Meira mau bercerai dengan Arfan asal kekhilafannya Arfan rahasiakan dari keluarga besar mereka. Tentu buat Arfan itu tidak jadi masalah. Terlebih laki-laki itu sudah bertekad walaupun anak yang dikandung Meira bukan anaknya, ia akan tetap bertanggung jawab sebagai papanya. Karena anak itu ada ketika Meira masih menjadi istrinya.Pada persidangan mereka yang terakhir tadi, Arfan membacakan ikrar talak dengan suara bergetar. Bagaimanapun Meira pernah menjadi bagian dari hidupnya. Sehingga saat menyadari dengan ucapan talak itu semua akan berakhir dan berubah, dada Arfan terasa nyeri. Begitupun dengan Meira. Ia tidak kuasa menahan agar buliran bening tidak berjatuhan dari pelupuk matanya. Dadanya sa
"F-Fan, du-duduk dulu, Fan." Bu Helena beranjak dari ranjang untuk mendekati menantunya yang masih berdiri di ambang pintu. Dipegangnya lengan Arfan yang sangat tegang. "Kita bicarakan ini baik-baik, ya! Mama juga baru tahu, Fan. Ayo!"Arfan menurut saja saat mama mertuanya menuntun ke sofa kamar Meira. Sesaat otak Arfan memang seperti kosong setelah sebelumnya terasa seperti tersengat listrik dengan tegangan yang sangat tinggi.Sementara Meira masih mematung di ranjangnya. Ia benar-benar tidak menyangka kalau Arfan ternyata datang dan mendengarkan pembicaraannya dengan sang mama."Mei, duduk sini! Kita bicarakan semua baik-baik!" titah Bu Helena pada putrinya.Meira tak langsung beranjak. Sesaat ia menatap Arfan. Meski dari posisinya ia hanya bisa melihat bagian belakang kepala Arfan. Meira menghela napas kasar. Ia benar-benar tidak bisa membayangkan bagaimana raut wajah Arfan saat ini."Mei! Apa perlu Mama jemput?" Bu Helena berusaha tenang meski sebenarnya ingin meneriaki putrinya
[Sayang, mau aku bawain makanan apa?] Arfan mengirim pesan tersebut sekaligus pada dua nomor di daftar kontak ponselnya. Nomor Alya dan Meira. Bagaimanapun perasaan Arfan saat ini, ia tidak bisa lagi mengelak untuk tidak memberikan perhatian pada Meira. Sama seperti Alya. Selisih kehamilan Alya dan Meira kurang lebih tiga bulan karena program bayi tabung Alya dan Arfan terhitung cukup lancar. Dua istri hamil bersamaan tentu membuat Arfan harus sering bolak-balik ke rumah kedua istrinya itu. Hanya saja yang membuat Arfan sedikit lega, Meira tak semanja dan semerepotkan dugaannya. Perempuan yang sebelumnya selalu banyak menuntut dan manja itu justru berubah lebih kalem dan tak banyak menuntut. Arfan pikir itu pengaruh bayi yang ada dalam rahim Meira.[Enggak usah, aku udah makan sama Mama.] Meira terlebih dahulu membalas pesan Arfan. Di awal-awal perubahan sikap Meira yang terkesan menghindar, sebagai laki-laki yang bertekad untuk memperbaiki sikap, Arfan cukup tersinggung. Namun, me
Kabar kehamilan Meira disambut hangat oleh keluarga besar Arfan dan juga keluarga besar Meira. Mereka mengadakan pesta dalam rangka tasyakuran atas kehamilan yang sudah dinanti lima tahun lamanya. Hal itu tentu membuat Alya ingin menghilang untuk sementara waktu.Alya belum punya nyali untuk menghadapi keluarga besar Arfan dan Meira dengan status istri kedua. Saat menjadi istri satu-satunya Arfan saja Alya tidak dianggap, apalagi saat ini."Fan, boleh enggak besok aku ... di rumah aja?" tanya Alya saat ia dan Arfan selesai makan malam.Dahi Arfan mengernyit. Awalnya ia tidak mengerti apa yang sedang dibicarakan Alya. Namun, sejurus kemudian ia paham.Disingkirkannya piring bekas makan yang ada dihadapannya. Kemudian, diambilnya jemari Alya yang sedang menangkup gelas panjang berisi air putih."Kalau kamu enggak siap, enggak usah datang enggak apa-apa," jawab Arfan dengan lembut. Ia pun masih trauma mengingat peristiwa lima tahun yang lalu saat Alya dituduh mencuri. Ia tidak ingin hal
Alya termenung menatap permukaan kolam renang yang tenang. Pantulan cahayanya berkilauan membuat Alya betah berlama-lama duduk di situ. Alya masih ingat betul, dulu sering sekali ia habisnya waktu bersama Arfan di tempat itu. Bercerita apapun sampai mereka lupa waktu.Sesederhana itu bahagia bagi mereka dulu. Meski kehadiran Alya tidak diterima dengan baik oleh keluarga Arfan.Alya tersenyum miris. Terkadang hidup memang selucu itu. Sekarang di saat seluruh keluarga besar Arfan bisa menerimanya dengan tangan terbuka justru saat ini ia tidak bahagia. Apalagi sebabnya kalau bukan karena dirinya kini harus berbagi cinta.Sudah tiga malam Arfan menginap di rumah Meira. Sebenarnya Alya ingin sekali menghubungi laki-laki itu karena besok jadwal mereka cek ke dokter untuk program bayi tabung. Hanya saja, ia tidak mau mengganggu waktu Arfan bersama Meira.Entah sudah berapa kali Alya mengecek ponselnya untuk melihat apakah ada pesan dari Arfan, tetapi tidak ada aktivitas apapun pada benda di