Bitha berusaha menjalani hari-harinya seperti biasa. Bangun pagi, menulis artikel, lalu berangkat ke kantor. Mual masih sering datang, terutama saat perut kosong, tapi itu tak membuatnya berlama-lama di rumah. Bagi Bitha, bekerja adalah satu-satunya cara untuk tetap waras. Siang itu, ia duduk bersama Gina di kantin kantor. Sesekali mereka tertawa kecil membicarakan gosip internal redaksi. Dari sudut matanya, Gina sebenarnya sudah lama memperhatikan cincin berkilau yang selalu melingkar di jari manis sahabatnya itu. Cincin yang jelas bukan sembarangan. Pikirannya melayang pada kejadian beberapa waktu lalu—saat Bitha menerima bunga dan gaun dari Pramudya Notonegoro. Mungkinkah cincin itu juga dari Pram? batinnya. Asumsinya menguat, tapi Gina memilih menahan lidahnya. Ia tahu, jika memang benar, Bitha pasti punya alasan kenapa tidak pernah bercerita. Apalagi sejak berita heboh tentang kedekatan Pram dengan putri seorang menteri, sahabatnya itu terlihat makin berhati-hati. Yang jela
Pram baru saja terjaga ketika matanya menangkap sosok Bitha keluar dari kamar mandi. Rambutnya masih basah, menetes pelan di atas bathrobe putih yang membalut tubuh mungilnya. Seketika naluri lelakinya berontak. Andai saja ia tak harus segera terbang ke Edinburgh, Pram pasti sudah menarik istrinya itu kembali ke ranjang. Ditahannya napas, menelan saliva yang terasa pahit di tenggorokan. Wajahnya pun memanas, sulit sekali menyamarkan gejolak itu. “Mas Pram sudah bangun?” suara lembut Bitha memecah keheningan. Pram buru-buru berdeham, membersihkan tenggorokan yang tercekat oleh pemandangan barusan. “Hmm…” “Berangkat jam berapa?” tanya Bitha lagi sambil mengeringkan rambutnya dengan handuk kecil. “Sekitar jam delapan.” “Mandi dulu gih, habis itu langsung sarapan.” Pram mengangguk dan beranjak dari tempat tidur. Saat Bitha mendekat untuk menyerahkan handuk, sejenak mata mereka bertemu. Ada jeda singkat, seakan waktu menahan langkah. Entah dorongan dari mana, Pram tiba-ti
Kamar Bitha malam itu tampak berbeda. Tirai putih baru terpasang, sprei bersih berganti dengan warna lembut, dan beberapa bunga melati ditaburkan di meja rias. Lampu temaram kuning menciptakan suasana hangat—meski semua serba sederhana, aura malam pengantin tetap terasa. Bitha duduk di tepi ranjang dengan kebaya putihnya, kepalanya tertunduk. Ia masih gemetar, sulit percaya kalau statusnya kini sudah berubah. Suaminya… adalah Pram. Lelaki yang selama ini hanya ia tatap dari kejauhan, dengan segala jarak status, kini ada di sampingnya. Pintu kamar pelan terbuka. Pram masuk dengan langkah tenang, lalu menutup pintu di belakangnya. Untuk sesaat, ia hanya berdiri, menatap Bitha yang terlihat begitu rapuh di atas ranjang. “Bitha…” suara Pram rendah, nyaris bergetar. Bitha mengangkat wajah, matanya masih basah. “Mas…” hanya itu yang keluar, lalu ia buru-buru menunduk lagi. Pram menghampiri, duduk di sampingnya. Tangannya terulur, meraih jemari Bitha yang dingin. Ia menggenggamnya
Begitu tatapan mereka bersitatap, ruangan itu seakan kehilangan suara. Hanya detak jantung Bitha yang terdengar menggema di telinganya sendiri. Ia melangkah pelan, kakinya gemetar, namun tetap maju hingga berdiri di sisi bapaknya. Bapak Bitha meliriknya dengan wajah keras, lalu kembali menatap Pram. “Kamu tahu apa yang sudah kamu lakukan pada anak saya?” suaranya berat, penuh tekanan. Pram menghela napas panjang, lalu menegakkan duduknya. Mata tajamnya menatap langsung ke arah Bapak Bitha. “Saya tahu, Pak. Dan saya tidak akan lari dari tanggung jawab.” Bitha terkejut. Ia menoleh cepat ke arah Pram, matanya membesar. Bagian dari dirinya ingin lega mendengarnya, namun bagian lain masih dihantam rasa takut—takut semua ini hanya janji kosong. Bapaknya mengetukkan jari di meja kayu, suaranya meninggi. “Kalau begitu, katakan di depan kami semua. Apa maksudmu dengan tanggung jawab itu?!” Pram menelan saliva. Sekilas ia melirik ke arah Bitha yang wajahnya pucat pasi. Ada rindu,
Seketika udara beku. Wajah bapaknya menegang, bola matanya membulat penuh amarah. “Apa kamu bilang barusan?” “Hamil, Pak….” suara Bitha pecah. “Bitha nggak bisa sembunyi lagi…” Braak! Telapak tangan bapaknya menghantam meja kayu hingga bergema. “Astaga, Bitha! Kamu bikin malu keluarga! Siapa laki-laki itu?!” Tangisan Bitha semakin pecah. Ia hanya bisa menggeleng, takut menyebut nama. “Jangan diem! Kamu pikir bisa sembunyi?! Siapa ayah dari anak itu?!” Suara bapaknya meninggi, nadanya penuh amarah bercampur kekecewaan. “Pak, tolong jangan marahi dulu…” Mbak Ratih mencoba menengahi. Tapi ayahnya bangkit, berdiri tegak menatap Bitha yang terisak di kursinya. “Kamu sadar nggak, Bitha? Semua orang hormat sama keluarga ini, dan kamu tega bikin aib begini?!” “Iya, Pak… Bitha tau salah. Tapi—” “Diam!” potong bapaknya dengan suara menggelegar. “Kalau kamu nggak segera kasih tau siapa laki-laki itu, jangan harap Bapak bisa anggap kamu anak lagi!” Bitha terisak makin keras. Raha
Hari itu langit tampak mendung ketika Bitha melangkah memasuki gedung menjulang tinggi milik K-media Tv group. Langkahnya gontai namun tak punya pilihan. Jantungnya sendiri berpacu tak karuan. Bitha melangkah masuk sambil membaca doa-doa agar ia tidak di tolak. Atau Pram berfikir ia hanya ingin memanfaatkan dirinya. “Permisi mbak, saya Jurnalis dari Redaksi Litera, ingin menemui Pak Pramudya, apa beliau ada?” Bitha bertanya sopan, ketika kakinya berdiri tepat di depan meja resepsionis. “Maaf sekali mbak, namun sudah seminggu ini Pak Pramudya sedang tidak di tempat, sedang melakukan perjalanan dinas ke luar negeri.” Bitha mengangguk pun menggigit bibir. Pantas saja panggilan-panggilan telfonnya tak pernah di angkat. Namun itu bukan alasan. Karena Pram bukan orang biasa yang hanya berpindah keluar negeri maka nomornya akan langsung berganti. Jelas Pram menghindarinya. “Oh, baiklah… kalau boleh, saya bisa minta tolong sampaikan pada beliau, saya mencarinya… saya jurnalis dari Lit