Share

Usai Ciuman Panas di Ranjang CEO
Usai Ciuman Panas di Ranjang CEO
Penulis: Lia.F

1 - Ajakan Gila

Penulis: Lia.F
last update Terakhir Diperbarui: 2025-08-21 11:48:10

“Bapak mau tidur dengan saya, gak?”

Kalimat itu meluncur begitu saja dari bibir Bitha.

Beberapa kepala di ballroom sekitar sontak menoleh. Tapi Bitha tidak menarik ucapannya kembali. Jangan sebut Bitha wanita gila kalau ia sendiri tak cukup berani memulai.

Masalah penampilan? Itu jelas bukan kendala. Semua orang tahu, Bitha tampak memesona malam ini—gaunnya pas, rambutnya disanggul elegan, dan matanya… menyala dengan tekad yang belum pernah ia tunjukkan sebelumnya.

Sesaat sebelumnya, ia bahkan tidak berniat bertanya dengan pria itu. Ia hanya duduk di kursi sudut, menatap email dari pimpinan redaksinya—pemindahan desk ke romansa. Ironis, setelah bertahun-tahun menulis gosip basi, ia justru harus menulis tentang gairah terpendam untuk edisi ke depan? Padahal pagi tadi pacarnya, Gilang, mendadak putus setelah sebuah ciuman terakhir.

Ciuman. Selalu begitu. Setiap kali bibirnya menyentuh pria, hubungan mereka tamat. Seolah ia memang dikutuk.

“Begitu ada pria menyentuhmu, besoknya mereka akan menjauh,” kata seorang ‘orang pintar’ dulu. Dan sialnya, semakin lama semakin masuk akal.

Maka ketika bisik-bisik itu muncul—“Pak Pramudya lewat…”—ia menoleh. CEO flamboyan K-Media. Playboy kelas kakap. Satu bulan bisa ganti pacar entah berapa kali. 

Bitha tersenyum miring. Justru itu. Apa pria seperti dia bukan kandidat sempurna? Kalau benar kutukan itu nyata, siapa peduli jika korbannya playboy? Tidak ada hati yang perlu disakiti. Hanya eksperimen—dan bahan artikel yang bisa menyelamatkan kariernya.

Tapi menurut ramalan sial yang ia tak pernah bisa ia percayai– kutukan itu selalu terjadi kerap setelah ia mencoba tahap lebih serius. Kenapa tidak langsung intinya saja? Berhubungan misalnya?

Jika benar Pramudya adalah pria pemikat yang gemar mempermainkan wanita, bukankah itu justru menguntungkan? Artinya, dia tak perlu khawatir soal perasaan. Tidak akan ada luka, tidak akan ada ikatan. Ini murni eksperimen. Murni… demi eksperimen kutukan dan tulisan artikelnya. Sekali mendayung dua tiga pulau terlampaui, bukan?

Langkah Bitha mantap saat ia berjalan melintasi lounge. Tumit sepatunya berdetak ringan di lantai marmer, mengikuti ritme jantung yang berdegup tak beraturan di balik dadanya. Setiap tamu yang ia lewati menoleh sekilas—bukan hanya karena gaun hitamnya yang elegan membingkai tubuh rampingnya dengan pas, tapi juga karena aura percaya diri yang menguar.

Ia menghentikan langkah saat tiba di meja ujung ruangan, tempat Pramudya kini duduk bersama seorang pria dan wanita—kemungkinan asisten dan sekretaris pribadinya. Suasana sekitar terasa meredup sesaat saat Bitha berdiri di sampingnya.

Pramudya menoleh. Perlahan. Tatapannya tajam namun tidak terburu-buru, seolah sedang menilai siapa perempuan yang cukup berani memanggil namanya seperti itu.

Pramudya menatapnya dalam diam. Senyumnya tidak muncul—yang ada hanya ekspresi tenang, nyaris datar. Tapi alisnya  sedikit terangkat. Mungkin bingung. Mungkin tertarik.

“Maaf bisa diulang?”

Nada suara bariton itu datar nan pendek. Kalimat singkat meluncur dari bibir Pramudya Notonegoro Notonegoro tanpa ekspresi berarti. Tapi cukup untuk menguji mental Bitha.

Wajar saja—pria ini bukan sembarang lelaki. Nama, reputasi, dan sorot matanya sudah menjadi dinding tinggi yang tidak bisa sembarang orang terobos.

Bitha membalas dengan senyum. Tak lebar, tak terlalu mencolok—hanya seulas tipis yang tersusun rapi di atas bibir merahnya. Senyum menggoda yang ia kenakan seperti senjata.

“Saya, Bitha Araminta. Salah satu jurnalis yang diundang secara khusus untuk acara ini,” ucapnya ringan, nyaris manja.

Tangannya terulur, anggun, menawarkan jabat tangan. Tapi Pramudya hanya menatapnya lalu diam. Tangannya tetap tenang di atas meja, tidak bergerak sedikit pun. 

Semenit kemudian ia membalas uluran tangan perempuan di hadapannya. Anehnya, dirinya tersentak kecil saat Bitha mengayunkan tangannya. Ia menghempaskan tangan Bitha. Kemudian menatap wajahnya sekedar menilai tanpa berkata apa-apa.

Dagu Pramudya terangkat sedikit. Keangkuhan yang terasa melekat sempurna pada jas mahal itu membungkus tubuhnya. Sikap seorang pria yang terbiasa melihat dunia membungkuk padanya—bukan sebaliknya.

“Bisakah kita bicara… secara pribadi. Hanya beberapa menit.” 

Mata Pramudya menyempit sedikit. Nada suara Bitha memang sopan tapi intonasinya tidak biasa. “Saya butuh bapak untuk membantu saya…” 

“Jadi… bapak mau tidur dengan saya, gak ya?”

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Usai Ciuman Panas di Ranjang CEO   Bab 39

    Setelah momen canggung dengan Radja pagi tadi, Bitha sempat mengira semuanya akan berakhir di sana. Namun ternyata tidak. Siang hari, usai jam istirahat, sekretaris Radja menyampaikan pesan agar Bitha segera menemui lelaki itu di ruang kerjanya. “Siang, Pak…” Bitha menyapa pelan setelah lebih dulu mengetuk pintu ruangan Direktur. “Ah, Bitha… silakan duduk.” Radja menunjuk kursi yang berhadapan langsung dengan meja kerjanya. Bitha menuruti, melangkah perlahan lalu duduk hati-hati. Ada gurat canggung di tiap geraknya, sementara kepalanya dipenuhi tanya. Untuk urusan apa seorang Direktur sebesar Radja ingin berbicara langsung dengannya? Biasanya, hal-hal seperti ini cukup disampaikan lewat manajer atau kepala redaksi. “Begini, Bitha… bukankah kamu sudah dipindahkan ke desk romansa?” Radja membuka pembicaraan dengan nada tenang. “Ya, Pak. Itu benar. Hampir dua bulan ini saya berpindah ke desk romansa,” jawab Bitha hati-hati. “Baik…” Radja merapikan posisi duduknya, tampak in

  • Usai Ciuman Panas di Ranjang CEO   Bab 38

    “Mas, bisa nggak kita kembali ke apartemen aku aja.” Bitha bersuara ketika mereka berada dalam mobil menuju rumah. Rumah itu masih terasa asing bagi Bitha. Juga terlampau luas. “Kenapa?” Pram menatap Bitha. Wanita itu sedang menyandarkan kepalanya ke dada bidang Pram. “mm, barang-barangku masih disana, juga aku masih belum nyaman tinggal dirumah baru itu.” “Nanti juga terbiasa, kamu tidak sendirian disana, ada saya.” Pram meyakinkan, jari jemarinya mengelus kepala Bitha, menenangkan. Bitha menjauhkan diri dan menatap Pram. “Aku masih belum percaya, kalau kamu suami aku sekarang… trus aku nggak yakin bisa jalani ini secara sembunyi-sembunyi.” Pram menghela nafas. Di tatapnya mata Bitha dan segala kerapuhan yang terlihat jelas disana. “Bitha, bersabarlah sedikit, saya perlu menyiapkan semua ini sebelum mengumumkan pernikahan kita pada publik.” Bitha menggigit bibirnya. Ada keraguan disana. Bitha hanya tak yakin, menjalani hari-harinya lalu menjadi istri Pram. Sudah terg

  • Usai Ciuman Panas di Ranjang CEO   Bab 37

    Suara mesin USG berdengung pelan, layar menampilkan gambar hitam putih yang berdenyut samar. Bitha menatapnya dengan cemas, sementara Pram berdiri di samping ranjang, matanya fokus pada layar itu. Jam delapan malam, mereka baru bisa mengunjungi Dokter kandungan. Selain alasana keamanan, akan lebih beresiko jika menampakkan diri terang-terangan menemui dokter kandungan di siang hari. Pun Dokter Hanum, adalah dokter profesional yang sudah menerima kesepakatan, untuk tidak memboroskan latar belakang pasiennya. Meski ia tau jelas siap pria yang datang kali ini. Bukan pria sembarangan. Dokter Hanum, wanita paruh baya dengan senyum menenangkan, menekan probe lembut di perut Bitha. “Nah, ini dia janinnya… usia sekitar 8 minggu,” ucapnya. Ia menunjuk titik kecil yang berdenyut di layar. “Bisa Ibu lihat, bentuknya memang masih sangat kecil. Tapi detak jantungnya sudah terlihat jelas—sekitar 150 kali per menit. Itu normal untuk usia kandungan segini.” Bitha menelan saliva, suaranya hampi

  • Usai Ciuman Panas di Ranjang CEO   Bab 36

    Pram terbangun pagi itu, namun sisi ranjang di sebelahnya kosong. Alisnya berkerut, matanya menyipit mencari. Yang terdengar hanya gemericik air dari kamar mandi. Mungkinkah itu Bitha? Ia melirik ke arah jendela, tirai sudah sedikit tersibak, cahaya pagi menembus masuk. Sambil menguap, Pram meraih ponsel di nakas. Jam sudah menunjukkan pukul delapan. Ia menyandarkan punggung ke kepala ranjang, tapi suara air itu terus saja mengusik pikirannya. Bayangan Bitha, berdiri tenang di bawah pancuran, membuat dadanya bergejolak. Ada sesuatu yang bergerak begitu liar dalam dirinya. “Sial…” desisnya. Tak tahan lagi, Pram bangkit dari tempat tidur. Ia langkahkan kaki tegas menuju kamar mandi. Demi Tuhan, ia tak bisa membiarkan jarak sekecil ini memisahkan mereka. Ia harus menyusul Bitha—sekarang juga. Pram membuka pintu kamar mandi, membuat Bitha terlonjak kaget. Lelaki itu tanpa ragu menanggalkan pakaian satu per satu, seolah-olah, mereka adalah pasangan suami istri normal dan itu ad

  • Usai Ciuman Panas di Ranjang CEO   Bab 35

    Pram menekan dahinya lebih dalam ke dahi Bitha, napasnya memburu namun tetap teratur, seakan ingin memastikan setiap kata yang ia ucapkan benar-benar meresap ke hati gadis itu. “Tidak ada yang lain, Bitha… hanya saya. Hanya saya yang akan ada di hati dan pikiran kamu.” Suara Pram melembut meski terdengar posesif. Bitha memejamkan mata, menahan sesak yang mendaki di dadanya. Tangannya masih mencengkeram bahu Pram, karena tubuhnya gemetar. “Saya tidak pernah ingin menyakitimu,” Pram melanjutkan, suaranya nyaris berbisik. “Tapi kamu harus tahu… saya tidak akan sanggup membagi kamu dengan siapa pun.” Bitha membuka matanya, menatap wajah pria itu dari jarak sedekat-dekatnya. Ada ketakutan, tapi juga ada sesuatu yang lain—perasaan yang tak bisa ia definisikan, antara marah, resah, sekaligus… terlindungi. “Mas…” lirihnya lagi, kali ini lebih dalam, penuh perasaan yang tak terucap. Pram mengusap pipinya dengan lembut, bertolak belakang dengan sikap kerasnya barusan. “Kamu milik sa

  • Usai Ciuman Panas di Ranjang CEO   Bab 34

    “Pak, kita singgah ke restoran dulu.” Perintah Pram, pada Pak Adi. Sang sopir hanya mengangguk di kursi pengemudi. Namun Bitha tampaknya tak setuju. Dia berpaling ke arah Pram dengan kerutan tajam di dahi. “Aku mau langsung pulang!” Pungkasnya tak suka. “Ini bukan permintaan Bitha.” Bitha mencebik kesal dan melotot pada Pram. “Ngerti nggak sih, aku bilang mau pulang, perut aku nggak enak… aku nggak suka nyium bau makanan, nanti aku muntah disana.” Pram menatap Bitha balik. Dia menghela nafas. Baiklah kali ini dia mengalah. Pram tau jelas seperti apa wanitanya. “Baik, kita makan dirumah.” Namun Bitha tak bersuara lagi, ia hanya membuang muka menatap ke arah jendela. Menatap pada jalanan sore kota Jakarta yang mulai padat. Hanya keheningan yang menemani keduanya saat didalam mobil. Bitha jelas-jelas masih melancarkan bendera perang pada Pram. Pertengkaran mereka yang sudah-sudah belum menyusut dari hati Bitha. Dia masih kesal. Bitha kembali di buat heran ketika mob

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status