Share

Usai Ciuman Panas di Ranjang CEO
Usai Ciuman Panas di Ranjang CEO
Author: Lia.F

Bab 1

Author: Lia.F
last update Last Updated: 2025-08-21 11:48:10

Bitha duduk di sudut ruangan dengan napas berat. Baru saja ia tiba di acara peluncuran aplikasi World Book—sebuah platform digital baru yang diklaim akan menjadi rumah bagi para penulis dan pembaca dari seluruh dunia. Lampu-lampu sorot berwarna biru pucat menari di langit-langit hotel, membanjiri ruangan dengan cahaya semu yang terlalu riang untuk seorang tamu yang hatinya sedang berantakan.

Email dari redakturnya masih terpampang jelas di layar ponsel. Ia dipindahkan ke desk romansa. Setelah berjuta hari lamanya hanya tahu soal affair aktor A dengan penyanyi B, perceraian C dengan pejabat D, atau selebriti E yang tiba-tiba nyaleg, kini ia diminta menulis kisah cinta? Ironis. Redakturnya selalu bilang, “Jurnalis sejati bisa menulis apa saja.” Tapi bagi Bitha, itu sama saja seperti meminta orang buta menilai warna.

Dan seolah hidup belum cukup menyebalkan. Seakan kutukan itu belum cukup, pagi tadi mantannya memutuskan hubungan mereka. Gilang—pria yang kemarin malam masih memeluknya tanpa jarak—tiba-tiba menguap begitu saja dari hidupnya. Sebuah ciuman terakhir menjadi garis mati. Bitha bahkan tak yakin harus tertawa karena konyol atau menangis karena sakit hati.

Betapa menakjubkan, betapa cepat cinta bisa menguap… setelah sebuah ciuman. Bolehkah Bitha bertepuk tangan riuh jika berhadapan dengan pria itu?

“Kutukan itu mungkin benar, Bitha. Perhatikan saja. Begitu ada pria yang mencoba menyentuhmu, maka keesokan harinya mereka akan menjauh.”

Kata-kata yang ‘katanya’ orang pintar terngiang di kepalanya, menempel seperti noda di kaca yang tak bisa dibersihkan.

Ia menyandarkan tubuhnya di kursi empuk berbentuk melingkar, tempat duduk yang memuat lima orang di sekeliling meja kecil berlapis kaca. Sesekali, ia menyesap air putih dari gelas tinggi yang diletakkan tanpa minat di depannya.

Apakah dirinya benar-benar mengerikan? Hingga selalu dijauhi para lelaki? Pertanyaan itu berulang-ulang menyesaki kepalanya. Ia ribuan kali sudah menatap bayangan sendiri di cermin, mencari celah—cacat, kekurangan, sesuatu yang membuat orang lari. Namun tak pernah menemukannya.

“Pak Pramudya lewat…” bisik perempuan lain, matanya melirik ke arah pintu masuk lounge.

Bitha menoleh sekilas. Wajar jika pria itu jadi pusat perhatian. CEO dari salah satu media penyiaran terbesar di Indonesia, K-Media, yang anak perusahaannya menggurita, menjangkau hampir semua sisi industri hiburan negeri ini. Nama besar yang tidak asing, nyaris mitos di kalangan mereka.

“Sukses, ganteng, cerdas… nyaris sempurna.” sahut yang lain.

Perempuan bergaun pink mengerucutkan bibir, skeptis.“Ganteng sih ganteng…” timpal yang lain, nada suaranya penuh gosip. “Tapi playboy, ih. Sebulan bisa ganti pacar entah berapa kali. Serem juga sih.”

Yang lain langsung menatapnya, lalu mengangguk-angguk kompak.

Karena memang benar. Siapa yang bisa menolak Pramudya Notonegoro meskipun pacarnya entah keberapa?

Kali ini dengan ide yang—jujur saja—terdengar cukup gila terbesit di benak Bitha.

Ia menatap lurus ke arah pria yang tengah berbincang santai dengan beberapa kolega bisnisnya di dekat podium. Sorot matanya tajam, penuh tekad yang tak biasa. Jas abu gelap membalut tubuh tinggi pria itu dengan sempurna. Sikapnya tenang, pun penuh kendali.

“Kamu dikutuk, Bitha. Lelaki tidak akan pernah betah di dekatmu.” suara itu selalu mengaung di kepalanya yang kacau.

Mata Bitha menyipit saat menargetkan Pramudya. Dirinya menimbang apakah bisa membuktikan dua variabel dalam asumsinya.

Ya, anggap saja dia memang gila. Tapi menurut ramalan sial yang ia tak pernah bisa ia percayai– kutukan itu selalu terjadi kerap setelah ia mencoba tahap lebih serius. Kenapa tidak langsung intinya saja? Berhubungan misalnya?

Dan Pramudya Notonegoro Notonegoro—CEO yang katanya menyukai banyak wanita itu—terlihat seperti kandidat sempurna untuk eksperimennya.

Bitha bangkit dari kursinya bahkan sebelum sempat mendengar komentar dari perempuan sebelahnya. Tekadnya sudah bulat. Ia tidak ingin diremehkan lagi—terutama soal cinta yang kandas begitu saja.

Jika benar Pramudya adalah pria pemikat yang gemar mempermainkan wanita, bukankah itu justru menguntungkan? Artinya, dia tak perlu khawatir soal perasaan. Tidak akan ada luka, tidak akan ada ikatan. Ini murni eksperimen. Murni… demi eksperimen kutukan dan tulisan artikelnya. Sekali mendayung dua tiga pulau terlampaui, bukan?

Langkah Bitha mantap saat ia berjalan melintasi lounge. Tumit sepatunya berdetak ringan di lantai marmer, mengikuti ritme jantung yang berdegup tak beraturan di balik dadanya. Setiap tamu yang ia lewati menoleh sekilas—bukan hanya karena gaun hitamnya yang elegan membingkai tubuh rampingnya dengan pas, tapi juga karena aura percaya diri yang menguar.

Ia menghentikan langkah saat tiba di meja ujung ruangan, tempat Pramudya kini duduk bersama seorang pria dan wanita—kemungkinan asisten dan sekretaris pribadinya. Suasana sekitar terasa meredup sesaat saat Bitha berdiri di sampingnya.

Ia berdeham pelan, lalu bersuara.

“Pak Pramudya Notonegoro?”

Suara Bitha terdengar tenang—bahkan terlalu tenang untuk seseorang yang baru saja nekat menyapa pria paling berpengaruh di K-Media TV.

Pramudya menoleh. Perlahan. Tatapannya tajam namun tidak terburu-buru, seolah sedang menilai siapa perempuan yang cukup berani memanggil namanya seperti itu.

Jangan sebut Bitha wanita gila kalau ia sendiri tak cukup berani memulai.

Masalah penampilan? Itu jelas bukan kendala. Semua orang tahu, Bitha tampak memesona malam ini—gaunnya pas, rambutnya disanggul elegan, dan matanya… menyala dengan tekad yang belum pernah ia tunjukkan sebelumnya.

Pramudya menatapnya dalam diam. Senyumnya tidak muncul—yang ada hanya ekspresi tenang, nyaris datar. Tapi alisnya sedikit terangkat. Mungkin bingung. Mungkin tertarik.

“Dengan?”

Nada suara bariton itu datar nan pendek. Kalimat singkat meluncur dari bibir Pramudya Notonegoro Notonegoro tanpa ekspresi berarti. Tapi cukup untuk menguji mental Bitha.

Wajar saja—pria ini bukan sembarang lelaki. Nama, reputasi, dan sorot matanya sudah menjadi dinding tinggi yang tidak bisa sembarang orang terobos.

Bitha membalas dengan senyum. Tak lebar, tak terlalu mencolok—hanya seulas tipis yang tersusun rapi di atas bibir merahnya. Senyum menggoda yang ia kenakan seperti senjata.

“Saya, Bitha Araminta. Salah satu jurnalis yang diundang secara khusus untuk acara ini,” ucapnya ringan, nyaris manja.

Tangannya terulur, anggun, menawarkan jabat tangan. Tapi Pramudya hanya menatapnya lalu diam. Tangannya tetap tenang di atas meja, tidak bergerak sedikit pun.

Semenit kemudian ia membalas uluran tangan perempuan di hadapannya. Anehnya, dirinya tersentak kecil saat Bitha mengayunkan tangannya. Ia menghempaskan tangan Bitha. Kemudian menatap wajahnya sekedar menilai tanpa berkata apa-apa.

Dagu Pramudya terangkat sedikit. Keangkuhan yang terasa melekat sempurna pada jas mahal itu membungkus tubuhnya. Sikap seorang pria yang terbiasa melihat dunia membungkuk padanya—bukan sebaliknya.

“Bisakah kita bicara… secara pribadi. Hanya beberapa menit.”

Mata Pramudya menyempit sedikit. Nada suara Bitha memang sopan tapi intonasinya tidak biasa. “Saya butuh bapak untuk membantu saya…”

“Bapak mau tidur dengan saya, gak?.”

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Usai Ciuman Panas di Ranjang CEO   Bab 12

    Di dalam mobil, sepanjang perjalanan menuju apartemen, pikiran Bitha terus berkelana. Terlalu banyak pertanyaan yang menggantung tanpa jawaban. Andai saja ia bisa bertanya secara gamblang. Namun sejak awal, ia sudah terikat pada kesalahan yang sama sekali tidak ia duga bahwa hubungan one night stand yang membuat segalanya berantakan. Sejak itu, Bitha tak pernah bisa benar-benar leluasa berhadapan dengan pria itu. Lidahnya kelu, pikirannya terkekang. Ada sesuatu dalam dirinya yang terus menahan—menahan untuk tahu lebih banyak, meski begitu ingin. Menahan diri untuk tidak semakin jauh terlibat, meski rasa penasaran menuntut sebaliknya. Begitu tiba di apartemen, Bitha langsung merebahkan tubuhnya. Setidaknya, untuk saat ini ia bisa menarik napas sedikit lega. Ia tadi sudah meminta izin datang terlambat ke kantor, satu jam, hanya untuk memberi ruang bagi dirinya sendiri. Menatap kosong ke arah langit-langit, pikirannya justru semakin kacau. Apa sebenarnya yang ia rasakan pada seora

  • Usai Ciuman Panas di Ranjang CEO   Bab 11

    Bitha mencoba memaksa kesadarannya kembali. Tapi kepalanya makin berat, pandangan berkunang, dan rasa kantuk menyerbu cepat.“Kurasa… wawancaranya cukup sampai di sini.” Ia bangkit berdiri, namun tubuhnya oleng. Hampir saja ia jatuh kembali ke sofa, kalau bukan karena Pram yang sigap meraih lengannya dan menahan tubuhnya. Pram menghela napas panjang. Tatapannya tertahan pada wajah Bitha yang kini memerah oleh alkohol, terlihat rapuh dan sekaligus memikat. “Ini akibatnya… kamu mencuri seperti tikus kecil,” gumamnya lirih, antara omelan dan kelembutan. Mau tak mau, ia meraih tubuh setengah mabuk itu ke dalam dekapannya. Dengan kerelaan yang tersamar dalam sikap dingin, Pram akhirnya menggendong Bitha—membawanya menuju kamar, seolah menyeret sekaligus menyelamatkannya dari permainan yang tadi ia sendiri ciptakan. Bitha tak melawan, justru membiarkan dirinya terhanyut. Ada rasa aman sekaligus berbahaya saat tubuhnya diangkat ke pelukan Pram. Dalam kabut mabuknya, Bitha sempat bertan

  • Usai Ciuman Panas di Ranjang CEO   Bab 10

    “Pemain apa yang kamu maksud?”Pram tersenyum samar, nyaris tak terbaca apakah itu ejekan atau kekaguman. Ia menyandarkan tubuhnya lebih dalam, menatap Bitha dengan sorot mata yang berkilat misterius. “Rumor punya cara sendiri untuk membuat seorang pria terdengar lebih… menarik.” Ia meneguk anggurnya pelan, lalu menurunkan gelas itu di meja, sengaja membiarkan keheningan menyusup di antara mereka. Tatapannya tetap terkunci pada Bitha—seolah menimbang apakah gadis di hadapannya sekadar berani, atau benar-benar tahu apa yang ia ucapkan. “Ah…” gumam Bitha, ujung pulpennya tergigit samar di sela bibir. Ada ketidaksadaran dalam gerakannya, namun justru itulah yang memancing atensi. Bitha menelan ludah, lalu menunduk ke catatannya. Ujung pulpennya tergigit samar di bibir—gerakan refleks, tapi justru membuat atmosfer semakin panas.“Pertanyaan selanjutnya…” suaranya nyaris bergetar, “Banyak wanita menyebut Anda casanova. Apakah itu sekadar citra media, atau kenyataan?”Pram hanya terdi

  • Usai Ciuman Panas di Ranjang CEO   Bab 9

    Apa jawaban itu cukup… atau kamu ingin saya membuktikan dengan cara lain?” Pram sengaja membiarkan keheningan menggantung, hanya bunyi detak jam dinding yang terdengar. Pandangan matanya tak lepas dari wajah Bitha yang kini terlihat bimbang, antara ingin tahu dan ingin menjauh. “Apa maksud anda… membuktikan dengan cara lain?” suara Bitha keluar lebih lirih dari yang ia harapkan. Pram menunduk sedikit lagi, matanya tajam menelisik gerak-gerik gadis itu. “Kamu seorang jurnalis, kan? Bukankah tugasmu mencari kebenaran, Bitha?“ Bitha menelan ludah. Ia merasa jebakan samar sedang dipasang di hadapannya. Kata-kata Pram bukan jawaban, tapi juga bukan penolakan—hanya undangan samar yang bisa menjerumuskannya. “Saya ingin tahu,” bisik Pram, nada suaranya begitu pelan hingga hanya Bitha yang bisa mendengar, “seberapa jauh keberanianmu untuk menuliskan sesuatu yang belum pernah orang lain dengar dari saya.” Bitha menggenggam sendok lebih erat, berusaha menutupi kegelisahan yang kini

  • Usai Ciuman Panas di Ranjang CEO   Bab 8

    Banu menepati janjinya. Tepat pukul lima sore, sebuah mobil hitam mengilap berhenti di depan kantor Litera. Seorang sopir membukakan pintu, dan Banu berdiri di sampingnya dengan senyum sopan yang sudah terlatih. “Selamat sore, Mbak Bitha. Silakan,” ucap Banu, dengan nada profesional khas asisten pribadi. Tanpa banyak kata, Bitha melangkah masuk ke dalam mobil. Banu duduk di depan, bersebelahan dengan sopir. Sementara Bitha duduk sendirian di belakang. Kabin mobil sunyi, hanya suara mesin dan lalu lintas Jakarta di kejauhan yang terdengar samar. Tapi di dalam kepala Bitha, suasananya jauh dari tenang. Banyak pertanyaan beterbangan liar—tentang alasan kenapa Pram mengajaknya ke vila pribadi, alih-alih di tempat umum. Tentu saja dia bisa menolak. Tapi tidak, Bitha ingin tau lebih jauh tentang pria itu. Namun yang mengganjal adalah, Bitha bukan takut pada Pram. Ia tahu pria itu terlalu pintar untuk melakukan hal ceroboh yang bisa mencoreng reputasinya sendiri. Yang ia takutkan

  • Usai Ciuman Panas di Ranjang CEO   Bab 7

    Bitha menyugar rambut hitam legamnya, begitu refleks yang sering dilakukan jika pikirannya buntu. Bukan karena tak dapat menulis artikel yang relevan. Namun ada hal lain lagi dibenaknya yang lebih dari sekedar tulisan. Esoknya setelah pertemuan mereka—Pram dan dirinya di hotel Golden. Jari jemari Bitha seolah mendapat dorongan mistis, seperti nyala sihir yang menggerakkan tangannya leluasa untuk mengetik bait-bait tulisan seputar dunia romansa. Sentuhan Pram. Wangi tubuhnya. Cara pria itu menatap seolah menelanjangi pikirannya satu per satu.Bitha menuliskan semuanya dengan jujur, tanpa sensor, tanpa malu. Ia menjabarkan detail demi detail pertemuan mereka dalam artikel di bab awal yang akhirnya menuai pujian dari sang redaktur. Dan Bitha seharusnya merasa puas.Tapi tidak.Ada kehampaan yang mengendap pelan-pelan. Sebuah rasa kehilangan yang tidak seharusnya ada. Bukan kehilangan pujian, bukan kehilangan validasi. Tapi kehilangan arah pada dirinya sendiri.Ia sadar—tanpa sepenuhnya

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status