Share

2 - Serius?

Author: Lia.F
last update Last Updated: 2025-08-21 11:48:14

“Jadi... bapak mau tidur dengan saya, gak ya?”

Begitu kalimat itu meluncur dari bibir Bitha, ketika mereka telah berdiri di sudut terpencil ballroom jauh dari hingar-bingar pesta, namun cukup dekat untuk merasakan napas masing-masing.

Pramudya tidak bereaksi. Ekspresinya tetap datar. Misterius seperti biasa. Namun, mata birunya bagai samudera— luas dan… berbahaya.

Sesaat, keduanya diam. Hanya tatapan yang bertukar. Mata yang sama-sama menilai, mengukur, dan mencoba saling mendahului dalam permainan tak kasatmata.

Tapi Bitha tak peduli. Jika Pram menolak, dia tidak akan muncul lagi di hadapan pria ini. Ia akan mengubur rasa malu dan harga diri di lubang terdalam egonya. Tapi jika Pram menerima…

Astaga. Bitha menelan ludah. Membayangkannya saja sudah membuat nalar tergelincir.

Gila. Dia memang sudah gila. Akal sehatnya baru muncul di ujung kesadaran.

“Saya baru dipindahkan ke desk romansa. Dan… image bapak sebagai Casanova, saya rasa bisa memudahkan saya menulis.” Tatapannya menancap berani, seolah ingin menguji kilatan dalam manik mata Pramudya.

Ramalan sialan itu. Harus ia buktikan sekarang. Dan siapa lagi yang lebih tepat untuk menjadi objek eksperimen jika bukan Pramudya Notonegoro? Si Casanova kalangan elite. Lelaki yang namanya saja bisa bikin separuh kota basah dan separuhnya lagi terbakar.

Akhirnya, suara itu keluar dari bibir Pram—dalam, rendah, dan tanpa ekspresi.

“Kenapa?”

Satu kata, tapi mampu membelah logika dan hasrat.

Posturnya tegap, dominan. Sosok yang jelas bisa membuat siapa pun bertekuk lutut, dan Pram tahu itu. Dia tidak perlu menyombongkan diri—ia hanya berdiri, dan dunia mengalah.

Bitha berdeham, menegakkan dagunya. Ego seorang Bitha tak akan memberi ruang pada keraguan.

“Riset,” katanya mantap.

“Saya perlu riset… untuk tulisan saya.”

Alis Pram terangkat. Kali ini jelas, keheranan muncul di wajahnya.

Riset?

Senyum miringnya mulai terbentuk.

“Dan kenapa saya harus setuju?” Pram akhirnya bersuara, datar, dingin. “Terlebih, saya bahkan tidak mengenal kamu.”

Bitha membeku. Tangannya refleks meremas sisi gaunnya, jemari hampir menggenggam sampai kusut. Sial. Apa itu artinya ia ditolak? Malu membanjiri dirinya, rasa getir bercampur dengan denyut aneh di pelipisnya. Alkohol yang ia minum sejak tadi membuat kepalanya ringan, tapi rasa malu itulah yang membuatnya seperti hendak pecah.

“Apakah kamu mabuk, Nona Bitha?” Pram melanjutkan, suaranya tetap tenang, nyaris terlalu tenang.

“Saya yakin itu bukan hal asing bagi Bapak,” Bitha menambahkan, “Saya membutuhkan bapak, saya lelah, tolong saya…saya tidak tau lagi harus bagaimana.” Bitha mencengkram kerah jas Pram kuat. Matanya lekat menatap CEO -nya itu. Lirih pun getir mata Bitha berkaca-kaca.

Pram hanya mengangguk perlahan. Lalu helaan napas panjang keluar dari dadanya.

Namun, alih-alih membiarkan, Pram maju setengah langkah. Jemarinya terangkat, berhenti beberapa senti dari wajah gadis itu. Tatapan birunya mengeras, seperti sedang bertarung dengan dirinya sendiri. Ia jarang—hampir tak pernah—memperbolehkan jarak sedekat ini.

Ujung jarinya akhirnya menyentuh dagu gadis itu, sesaat—cukup untuk memaksa wajahnya mendongak. Ada kilatan sakit yang singgah di mata Pram, napasnya tersendat, namun ia tak menarik diri.

“Baik.” katanya pelan.

Apa?

Degup jantung Bitha seperti merosot ke bawah.

“Hah? Bagaimana, pak?”

“Saya bilang, baik.” ulang Pram, datar. Pasti. Seperti keputusan bisnis yang diambil tanpa perlu emosi. "Mari?"

Bitha membeku. Mulutnya terbuka sedikit, tapi tak ada kata yang keluar.

Untuk sesaat, pikirannya blank. Jadi… ini nyata.

Pria di depannya ini memang brengsek. Tak ada alasan moral, tak ada penolakan basa-basi.

Dengan mudahnya dia menerima.

Pram melirik arlojinya. Lalu menatap Bitha sekali lagi, singkat.

“Temui saya di Hotel Golden. Pukul setengah dua belas. Tunggu di lobi.”

Setelah itu, dia berbalik. Pergi begitu saja. Tanpa penjelasan. Tanpa tanya balik. Tanpa menoleh.

Dan Bitha berdiri di sana, tubuhnya diam tapi dadanya gemetar.

***

HOTEL GOLDEN, 23.28 WIB

Langit malam menurunkan hujan gerimis, memburamkan kaca besar di lobi hotel mewah itu. Lampu gantung kristal menggantung bak mimpi yang terlampau mahal, dan aroma mawar putih dari diffuser menusuk indera penciuman Bitha.

Dia duduk di pojok lobi, kaki disilangkan, jari-jari menggenggam tas tangan kecil dengan kaku. Bitha masih mengenakan gaun yang sama, gaun hitam sexy dengan tali spageti kecil.

Bitha mencoba tetap terlihat tenang. Ia meyakinkan dirinya bahwa ini cuma bagian dari riset jurnalistik miliknya. Dan pembuktian akan ramalan itu. Bitha bukan wanita yang dikutuk.

Namun rasanya semua itu bohong. Tangan Bitha kebas. Keringat dingin mulai membasahi punggungnya meski suhu ruangan sangat bersahabat. Ia menoleh ke jam dinding.

Ia mulai merasa konyol. Ini gila. Harusnya dia pulang. Harusnya dia tak menantang pria seperti Pramudya Notonegoro.

Langkahnya ringan, tapi di balik diamnya ada gugup yang menyelinap tajam. Ia bahkan nyaris lupa bagaimana caranya bernapas dengan benar.

Lift naik pelan. Detik terasa lebih lambat. Bitha bisa mendengar detak jantungnya sendiri, begitu keras seolah akan memecahkan dadanya. Tangannya berkeringat. Tapi ia tetap diam, menjaga ekspresi. Bitha menarik napas panjang. Matanya menatap angka 1708 yang tergantung elegan di pintu cokelat tua itu.

Lalu, jari-jarinya terulur. Membuka pintu kamar yang tidak tertutup sempurna.

Pintu terbuka dengan bunyi klik lembut. Cahaya temaram menyambutnya. Aroma kayu dan sandalwood memenuhi udara.

Pramudya Notonegoro berdiri membelakanginya, di dekat jendela besar. Tubuhnya bersandar santai pada bingkai jendela.

Kemeja putihnya sudah terbuka setengah, lengannya digulung rapi hingga siku. Ketika Pram membalikkan tubuhnya menghadap Bitha, semakin gugup.

“Duduk.” Pram bersuara lembut, mempersilahkan Bitha duduk.

Bitha mengangguk dan duduk di sofa putih. Gugup, ia meremas gaunnya. Tapi dagunya harus tetap terangkat tinggi kan, untuk menutupi semua kepanikan yang masih menggelayuti hatinya.

Bitha masih diam, Netra nya mengamati langkah kaki Pram yang kini meletakkan gelas kristalnya di meja, lalu duduk tepat bersebelahan dengan Bitha.

Tertegun, Bitha membalas tatapan pria di sebelahnya. Berkali-kali ia menelan ludah dalam diam, mencoba meredam kegugupan yang menyeruak.

“Jadi, kamu yakin dengan ini?” Pram akhirnya bersuara. Suara dalam dan tenangnya saja sudah cukup untuk membuat jantung Bitha berdentum lebih cepat.

Bitha mengangguk cepat.

“Ya, saya yakin.”

Hanya satu sentuhan, dan semuanya akan terbukti. Dia tidak sedang dalam kutukan sialan itu. Begitu Bitha membatin.

Pram mengangkat sudut bibirnya, samar. Lalu menghela napas pelan, seolah bersiap memasuki permainan yang tak bisa lagi mereka hentikan.

Pram masih lekat menatap Bitha. Diam-diam, ia mengangkat tangannya, lalu menyentuh pipi gadis itu dengan pelan. Sentuhan itu lembut, begitu lembut hingga membuat Bitha nyaris menutup mata. Bukan sentuhan yang kasar atau menuntut. Justru terasa hangat, tenang, dan… memabukkan.

Sungguh, Bitha terpesona. Wajah tampan ini persis di hadapannya bak mimpi indah. Seakan kehilangan nalar, Bitha mengangkat tangannya meraih pipi Pram. Ada kilatan terkejut di wajah pria itu, menjadikan Bitha bersemangat. Itu menggemaskan sekaligus lucu, maka Bitha mendekat lebih dulu. Rasa hati tak bisa menahan, Bitha berniat mencium bibir Pram, namun Pram mengalihkan wajahnya. Hingga bibir Bitha jatuh di rahang Pram. Mengerjap-ngerjap malu, Bitha pun menjauhkan wajahnya dari Pram. Berpaling.

Tapi Pram tak membiarkan itu, ia kembali menangkup wajah Bitha dengan kedua tangan besar nya. Di kecupnya pipi Bitha, lembut. Bitha pun menelan salivanya. Bitha sama sekali tidak seperti yang ia bayangkan. Di mana sosok Casanova itu? Ke mana aura liar dan angkuh yang selama ini dikabarkan tentang pria ini? Apa Pram selalu seperti ini pada setiap wanita?

Bitha tak tahu. Tapi yang jelas, sentuhan itu seperti mantra. Mantra yang menggoda, menyeretnya perlahan dan berbahaya.

Tidak, Bitha tak boleh terlena. Ini bukan tentang perasaan. Ini tentang pembuktian. Maka ia tetap diam, menunggu. Menanti apa yang akan terjadi setelah ini.

Apa Pram akan bereaksi? Apa dia akan alergi? Mual? Muntah-muntah? Atau bahkan pingsan seperti yang pernah terjadi sebelumnya?

Namun tidak. Pram tetap di tempatnya. Tenang. Tak tergoyahkan. Tatapannya menembus—gelap, sehitam malam. Mata yang indah sekaligus tajam.

Dan Bitha mendadak merasa… kecil.

Bukan karena takut. Tapi karena untuk pertama kalinya, seseorang menyentuhnya tanpa terluka.

Kutukan itu… tak berlaku pada seorang Pramudya Notonegoro?

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Usai Ciuman Panas di Ranjang CEO   Bab 39

    Setelah momen canggung dengan Radja pagi tadi, Bitha sempat mengira semuanya akan berakhir di sana. Namun ternyata tidak. Siang hari, usai jam istirahat, sekretaris Radja menyampaikan pesan agar Bitha segera menemui lelaki itu di ruang kerjanya. “Siang, Pak…” Bitha menyapa pelan setelah lebih dulu mengetuk pintu ruangan Direktur. “Ah, Bitha… silakan duduk.” Radja menunjuk kursi yang berhadapan langsung dengan meja kerjanya. Bitha menuruti, melangkah perlahan lalu duduk hati-hati. Ada gurat canggung di tiap geraknya, sementara kepalanya dipenuhi tanya. Untuk urusan apa seorang Direktur sebesar Radja ingin berbicara langsung dengannya? Biasanya, hal-hal seperti ini cukup disampaikan lewat manajer atau kepala redaksi. “Begini, Bitha… bukankah kamu sudah dipindahkan ke desk romansa?” Radja membuka pembicaraan dengan nada tenang. “Ya, Pak. Itu benar. Hampir dua bulan ini saya berpindah ke desk romansa,” jawab Bitha hati-hati. “Baik…” Radja merapikan posisi duduknya, tampak in

  • Usai Ciuman Panas di Ranjang CEO   Bab 38

    “Mas, bisa nggak kita kembali ke apartemen aku aja.” Bitha bersuara ketika mereka berada dalam mobil menuju rumah. Rumah itu masih terasa asing bagi Bitha. Juga terlampau luas. “Kenapa?” Pram menatap Bitha. Wanita itu sedang menyandarkan kepalanya ke dada bidang Pram. “mm, barang-barangku masih disana, juga aku masih belum nyaman tinggal dirumah baru itu.” “Nanti juga terbiasa, kamu tidak sendirian disana, ada saya.” Pram meyakinkan, jari jemarinya mengelus kepala Bitha, menenangkan. Bitha menjauhkan diri dan menatap Pram. “Aku masih belum percaya, kalau kamu suami aku sekarang… trus aku nggak yakin bisa jalani ini secara sembunyi-sembunyi.” Pram menghela nafas. Di tatapnya mata Bitha dan segala kerapuhan yang terlihat jelas disana. “Bitha, bersabarlah sedikit, saya perlu menyiapkan semua ini sebelum mengumumkan pernikahan kita pada publik.” Bitha menggigit bibirnya. Ada keraguan disana. Bitha hanya tak yakin, menjalani hari-harinya lalu menjadi istri Pram. Sudah terg

  • Usai Ciuman Panas di Ranjang CEO   Bab 37

    Suara mesin USG berdengung pelan, layar menampilkan gambar hitam putih yang berdenyut samar. Bitha menatapnya dengan cemas, sementara Pram berdiri di samping ranjang, matanya fokus pada layar itu. Jam delapan malam, mereka baru bisa mengunjungi Dokter kandungan. Selain alasana keamanan, akan lebih beresiko jika menampakkan diri terang-terangan menemui dokter kandungan di siang hari. Pun Dokter Hanum, adalah dokter profesional yang sudah menerima kesepakatan, untuk tidak memboroskan latar belakang pasiennya. Meski ia tau jelas siap pria yang datang kali ini. Bukan pria sembarangan. Dokter Hanum, wanita paruh baya dengan senyum menenangkan, menekan probe lembut di perut Bitha. “Nah, ini dia janinnya… usia sekitar 8 minggu,” ucapnya. Ia menunjuk titik kecil yang berdenyut di layar. “Bisa Ibu lihat, bentuknya memang masih sangat kecil. Tapi detak jantungnya sudah terlihat jelas—sekitar 150 kali per menit. Itu normal untuk usia kandungan segini.” Bitha menelan saliva, suaranya hampi

  • Usai Ciuman Panas di Ranjang CEO   Bab 36

    Pram terbangun pagi itu, namun sisi ranjang di sebelahnya kosong. Alisnya berkerut, matanya menyipit mencari. Yang terdengar hanya gemericik air dari kamar mandi. Mungkinkah itu Bitha? Ia melirik ke arah jendela, tirai sudah sedikit tersibak, cahaya pagi menembus masuk. Sambil menguap, Pram meraih ponsel di nakas. Jam sudah menunjukkan pukul delapan. Ia menyandarkan punggung ke kepala ranjang, tapi suara air itu terus saja mengusik pikirannya. Bayangan Bitha, berdiri tenang di bawah pancuran, membuat dadanya bergejolak. Ada sesuatu yang bergerak begitu liar dalam dirinya. “Sial…” desisnya. Tak tahan lagi, Pram bangkit dari tempat tidur. Ia langkahkan kaki tegas menuju kamar mandi. Demi Tuhan, ia tak bisa membiarkan jarak sekecil ini memisahkan mereka. Ia harus menyusul Bitha—sekarang juga. Pram membuka pintu kamar mandi, membuat Bitha terlonjak kaget. Lelaki itu tanpa ragu menanggalkan pakaian satu per satu, seolah-olah, mereka adalah pasangan suami istri normal dan itu ad

  • Usai Ciuman Panas di Ranjang CEO   Bab 35

    Pram menekan dahinya lebih dalam ke dahi Bitha, napasnya memburu namun tetap teratur, seakan ingin memastikan setiap kata yang ia ucapkan benar-benar meresap ke hati gadis itu. “Tidak ada yang lain, Bitha… hanya saya. Hanya saya yang akan ada di hati dan pikiran kamu.” Suara Pram melembut meski terdengar posesif. Bitha memejamkan mata, menahan sesak yang mendaki di dadanya. Tangannya masih mencengkeram bahu Pram, karena tubuhnya gemetar. “Saya tidak pernah ingin menyakitimu,” Pram melanjutkan, suaranya nyaris berbisik. “Tapi kamu harus tahu… saya tidak akan sanggup membagi kamu dengan siapa pun.” Bitha membuka matanya, menatap wajah pria itu dari jarak sedekat-dekatnya. Ada ketakutan, tapi juga ada sesuatu yang lain—perasaan yang tak bisa ia definisikan, antara marah, resah, sekaligus… terlindungi. “Mas…” lirihnya lagi, kali ini lebih dalam, penuh perasaan yang tak terucap. Pram mengusap pipinya dengan lembut, bertolak belakang dengan sikap kerasnya barusan. “Kamu milik sa

  • Usai Ciuman Panas di Ranjang CEO   Bab 34

    “Pak, kita singgah ke restoran dulu.” Perintah Pram, pada Pak Adi. Sang sopir hanya mengangguk di kursi pengemudi. Namun Bitha tampaknya tak setuju. Dia berpaling ke arah Pram dengan kerutan tajam di dahi. “Aku mau langsung pulang!” Pungkasnya tak suka. “Ini bukan permintaan Bitha.” Bitha mencebik kesal dan melotot pada Pram. “Ngerti nggak sih, aku bilang mau pulang, perut aku nggak enak… aku nggak suka nyium bau makanan, nanti aku muntah disana.” Pram menatap Bitha balik. Dia menghela nafas. Baiklah kali ini dia mengalah. Pram tau jelas seperti apa wanitanya. “Baik, kita makan dirumah.” Namun Bitha tak bersuara lagi, ia hanya membuang muka menatap ke arah jendela. Menatap pada jalanan sore kota Jakarta yang mulai padat. Hanya keheningan yang menemani keduanya saat didalam mobil. Bitha jelas-jelas masih melancarkan bendera perang pada Pram. Pertengkaran mereka yang sudah-sudah belum menyusut dari hati Bitha. Dia masih kesal. Bitha kembali di buat heran ketika mob

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status