Share

4 - Ini, gila.

Author: Lia.F
last update Last Updated: 2025-08-21 11:48:22

Bitha tau siapa pria ini, Pramudya Notonegoro.

Nama yang sering bergaung di media sosial dan surat kabar dengan reputasi yang bahkan lebih berisik dari pesonanya. Hari Senin bersama wanita A, Sabtu sudah menggandeng wanita B. Sorotan kamera menyukai wajahnya, tapi yang lebih dicintai media adalah skandalnya. Dan kini, pria itu berdiri tak jauh darinya.

Tangannya masih bertengger ringan di pipi Bitha—lembut, nyaris seperti belaian tapi jelas bukan itu maksudnya. Sentuhan itu terasa seperti ujian. Apakah Bitha akan mundur hanya karena hal sekecil ini?

Tentu saja tidak.

Bukan Bitha namanya jika menyerah hanya karena sentuhan seorang Pramudya Notonegoro. Bitha sudah sering berhadapan dengan banyak pria—yang baru menyentuhnya sekali lalu kabur. Dan kini, pria itu menyentuh pipinya dengan tenang.

Di tengah tatapan seorang Pramudya yang mampu menenggelamkan nalarnya, Bitha memberanikan diri membalas tatapan itu.

Bitha kini yakin mitos dongeng tentang kutukan yang diterimanya sejak dulu adalah ilusi belaka. Buktinya seorang Pramudya tetap duduk tegak di sampingnya, menatap dengan serius juga intens. Meski ada sirat terbaca dalam mata pria itu, seperti penilaian, kebingungan juga … Bitha tak ingin berpikir terlalu jauh.

Dalam diam yang cukup lama mereka bersitatap, Pram mulai mendekat. Bitha tau, bagaimana gerak-gerik seorang pria jika mulai tergoda. Dadanya naik turun, entah karena terbuai atau gugup. Pram telah membawanya ke atas ranjang, menindihnya dengan tubuh hangat yang terasa terlalu dekat.

Bitha di bawahnya mengerang kecil pada setiap sentuhan Pramudya. Dress-nya sudah jatuh setengah, menempel di dada. Jemarinya buru-buru mengeratkan pegangan di bagian itu, takut-takut kainnya benar-benar terlepas karena desakan atau usapan pria itu.

Bitha memejamkan matanya, nafasnya tercekat, jantung nya berdetak cepat. Sungguh, untuk ini ia tak bohong. Bitha gugup. Tapi juga ia tak bisa mundur dan menyerah bukan?

Namun ketika pria itu menyentuh bibirnya, pelan… segalanya seperti berhenti. Waktu, ruang, kesadaran.

Ia mencium Pram bukan sekedar ingin menulis artikel hebat. Bukan sekedar pembuktian. Bitha ingin Pram tau dia bukan wanita polos, yang akan dengan mudah jatuh pada pesona pria ini.

Tubuh pria itu kini menggantung tepat di atasnya. Nafasnya berat, memburu, menyapu kulit Bitha dengan panas yang membuatnya resah. Lalu kecupan itu turun, bergerilya. Dari lehernya yang rapuh, ke tulang selangka yang menegang, hingga ke lengannya. Bibirnya tidak berhenti, bergerak semakin jauh, semakin liar, menjalari kaki jenjang Bitha yang mulai merapat gelisah.

Pram menatapnya sejenak, dengan mata yang gelap dan dalam, lalu kembali mencium bahunya. Bibirnya hangat, tekanannya pelan, tapi cukup untuk membuat Bitha menutup mata rapat-rapat, seperti sedang berusaha menyingkirkan rasa takut yang merambati sela-sela gairah.

Pram terduduk sejenak, melepaskan kemejanya dengan satu gerakan tegas. Otot-otot tubuhnya terbentang, terpahat indah di bawah cahaya lampu yang temaram. Kulit tan miliknya seperti menyimpan panas yang berbeda—panas yang membuat Bitha menelan ludah tanpa sadar.

Ia memberanikan diri mengangkat tangannya, menyusuri dada bidang itu dengan jari-jemari yang gemetar. Sentuhannya ringan, seolah takut melukai, namun cukup untuk membuat Pram mengerang kecil, sebuah desahan rendah yang memicu getar asing di perut Bitha.

Pram menangkap tangannya. Bibir lelaki itu menempel di punggung jemarinya, mengecup perlahan. Bitha menahan napas. Dan saat Pram menyeringai, tatapannya menusuk, Bitha tidak yakin—apakah itu ejekan? Atau sebuah tantangan yang dengan sengaja dilemparkan padanya?

Dengan kesadaran penuh, Bitha membalas ciuman itu. Ia membuka sedikit mulutnya, memberikan ruang bagi gairah yang lebih dalam—lebih riil, lebih membakar. Lidahnya menyentuh Pram dengan keberanian terukur, seperti sebuah pernyataan bahwa ia tak main-main.

Namun justru saat ciuman itu mencapai titik panasnya, Pram menghentikannya. Mendadak.

Seolah tercengang.

Tatapannya gelisah, layaknya melihat sesuatu yang tidak ia perkirakan. Gadis di depannya yang tadi tampak menantang—kini menjadi dominan, mengambil alih kendali. Dan entah mengapa, itu justru mengoyak batas-batas waras dalam kepalanya.

Ia menatap Bitha, sejenak tanpa kata. Bukan karena kehilangan minat—melainkan karena baru saja kehilangan kendali.

“Kenapa berhenti, Pak?”

Suara Bitha terdengar pelan namun bergetar. Entah karena gugup, atau justru karena menahan tawa. Tapi senyum tipisnya menantang—seolah ciuman tadi belum cukup.

Pram menatapnya tajam. Sorot matanya menusuk, namun tak menyembunyikan ketertarikan yang masih mengendap di sana.

Bitha bisa menangkap kebingungan di mata Pram. Samar, nyaris tak kentara, tapi cukup untuk membuatnya tercengang dalam diam.

Kebingungan itu disamarkan dengan baik—oleh Pramudya Notonegoro, pria yang selalu tampil yakin, tangguh, dan tak tersentuh. Tapi tidak malam ini. Tidak saat bibir mereka bersentuhan.

Karena Pram tak juga menjawab, Bitha menyentuh lengannya.

Yang benar saja, setelah menghentikan ciuman ini tiba-tiba?

Karena tak juga mendapat respons, Bitha mengatur napasnya pelan. Jantungnya masih berdentum, tapi ia memilih untuk tetap maju. Ia tahu risiko dari setiap langkah ini—tapi ia juga tahu, ada sesuatu di balik diamnya Pram. Sesuatu yang belum selesai.

Dengan lembut, ia mencondongkan tubuhnya dan menciumnya sekali lagi. Perlahan. Menenangkan.

Bukan ciuman untuk membakar, tapi untuk meredakan badai yang tak kasat mata di balik tatapan pria itu.

Mata Pram melebar begitu bibir Bitha kembali menyentuhnya. Tak ada jeda bagi logika, tak ada ruang bagi pertahanan. Dia tak menyangka—bahwa gadis itu berani sejauh ini. Bahkan lebih berani dari apa yang semula ia kira.

Tatapan mereka bertemu di sela ciuman yang hangat. Dan dalam keheningan itu, sesuatu dalam diri Pram mulai retak. Ada rasa yang menyesak naik ke dada, mengoyak tenangnya selama ini.

Ciuman itu… memabukkan. Bukan karena hasrat, tapi karena makna di baliknya. Seperti oase yang tak pernah ia sadari telah ia rindukan.

Seperti dahaga yang terlalu lama ia abaikan—hingga saat ini, saat bibir itu menenangkannya dengan lembut…

Tangan Pram terangkat, bergerak nyaris tanpa sadar—lalu menjerat lembut leher Bitha. Bukan kasar, tapi cukup untuk membuatnya tak bisa menjauh. Ia tak ingin itu terjadi. Tidak sekarang.

Logikanya mulai memudar, dibungkam oleh gelombang hasrat yang terlalu lama terkubur.

Ia tidak tahu kapan terakhir kali merasakan ini… perasaan begitu hidup, begitu haus, begitu gila. Dan kini, Bitha adalah satu-satunya yang bisa memuaskan dahaga itu.

Tubuh gadis itu menempel erat padanya—melebur dalam setiap napas.

Degup jantungnya berdentum di dada Pram, menyatu dengan detak liar miliknya. Dan di sanalah mereka, terikat oleh sesuatu yang bahkan tak bisa mereka definisikan.

Dia tidak bisa membiarkan gadis ini pergi. Tidak malam ini.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Usai Ciuman Panas di Ranjang CEO   Bab 39

    Setelah momen canggung dengan Radja pagi tadi, Bitha sempat mengira semuanya akan berakhir di sana. Namun ternyata tidak. Siang hari, usai jam istirahat, sekretaris Radja menyampaikan pesan agar Bitha segera menemui lelaki itu di ruang kerjanya. “Siang, Pak…” Bitha menyapa pelan setelah lebih dulu mengetuk pintu ruangan Direktur. “Ah, Bitha… silakan duduk.” Radja menunjuk kursi yang berhadapan langsung dengan meja kerjanya. Bitha menuruti, melangkah perlahan lalu duduk hati-hati. Ada gurat canggung di tiap geraknya, sementara kepalanya dipenuhi tanya. Untuk urusan apa seorang Direktur sebesar Radja ingin berbicara langsung dengannya? Biasanya, hal-hal seperti ini cukup disampaikan lewat manajer atau kepala redaksi. “Begini, Bitha… bukankah kamu sudah dipindahkan ke desk romansa?” Radja membuka pembicaraan dengan nada tenang. “Ya, Pak. Itu benar. Hampir dua bulan ini saya berpindah ke desk romansa,” jawab Bitha hati-hati. “Baik…” Radja merapikan posisi duduknya, tampak in

  • Usai Ciuman Panas di Ranjang CEO   Bab 38

    “Mas, bisa nggak kita kembali ke apartemen aku aja.” Bitha bersuara ketika mereka berada dalam mobil menuju rumah. Rumah itu masih terasa asing bagi Bitha. Juga terlampau luas. “Kenapa?” Pram menatap Bitha. Wanita itu sedang menyandarkan kepalanya ke dada bidang Pram. “mm, barang-barangku masih disana, juga aku masih belum nyaman tinggal dirumah baru itu.” “Nanti juga terbiasa, kamu tidak sendirian disana, ada saya.” Pram meyakinkan, jari jemarinya mengelus kepala Bitha, menenangkan. Bitha menjauhkan diri dan menatap Pram. “Aku masih belum percaya, kalau kamu suami aku sekarang… trus aku nggak yakin bisa jalani ini secara sembunyi-sembunyi.” Pram menghela nafas. Di tatapnya mata Bitha dan segala kerapuhan yang terlihat jelas disana. “Bitha, bersabarlah sedikit, saya perlu menyiapkan semua ini sebelum mengumumkan pernikahan kita pada publik.” Bitha menggigit bibirnya. Ada keraguan disana. Bitha hanya tak yakin, menjalani hari-harinya lalu menjadi istri Pram. Sudah terg

  • Usai Ciuman Panas di Ranjang CEO   Bab 37

    Suara mesin USG berdengung pelan, layar menampilkan gambar hitam putih yang berdenyut samar. Bitha menatapnya dengan cemas, sementara Pram berdiri di samping ranjang, matanya fokus pada layar itu. Jam delapan malam, mereka baru bisa mengunjungi Dokter kandungan. Selain alasana keamanan, akan lebih beresiko jika menampakkan diri terang-terangan menemui dokter kandungan di siang hari. Pun Dokter Hanum, adalah dokter profesional yang sudah menerima kesepakatan, untuk tidak memboroskan latar belakang pasiennya. Meski ia tau jelas siap pria yang datang kali ini. Bukan pria sembarangan. Dokter Hanum, wanita paruh baya dengan senyum menenangkan, menekan probe lembut di perut Bitha. “Nah, ini dia janinnya… usia sekitar 8 minggu,” ucapnya. Ia menunjuk titik kecil yang berdenyut di layar. “Bisa Ibu lihat, bentuknya memang masih sangat kecil. Tapi detak jantungnya sudah terlihat jelas—sekitar 150 kali per menit. Itu normal untuk usia kandungan segini.” Bitha menelan saliva, suaranya hampi

  • Usai Ciuman Panas di Ranjang CEO   Bab 36

    Pram terbangun pagi itu, namun sisi ranjang di sebelahnya kosong. Alisnya berkerut, matanya menyipit mencari. Yang terdengar hanya gemericik air dari kamar mandi. Mungkinkah itu Bitha? Ia melirik ke arah jendela, tirai sudah sedikit tersibak, cahaya pagi menembus masuk. Sambil menguap, Pram meraih ponsel di nakas. Jam sudah menunjukkan pukul delapan. Ia menyandarkan punggung ke kepala ranjang, tapi suara air itu terus saja mengusik pikirannya. Bayangan Bitha, berdiri tenang di bawah pancuran, membuat dadanya bergejolak. Ada sesuatu yang bergerak begitu liar dalam dirinya. “Sial…” desisnya. Tak tahan lagi, Pram bangkit dari tempat tidur. Ia langkahkan kaki tegas menuju kamar mandi. Demi Tuhan, ia tak bisa membiarkan jarak sekecil ini memisahkan mereka. Ia harus menyusul Bitha—sekarang juga. Pram membuka pintu kamar mandi, membuat Bitha terlonjak kaget. Lelaki itu tanpa ragu menanggalkan pakaian satu per satu, seolah-olah, mereka adalah pasangan suami istri normal dan itu ad

  • Usai Ciuman Panas di Ranjang CEO   Bab 35

    Pram menekan dahinya lebih dalam ke dahi Bitha, napasnya memburu namun tetap teratur, seakan ingin memastikan setiap kata yang ia ucapkan benar-benar meresap ke hati gadis itu. “Tidak ada yang lain, Bitha… hanya saya. Hanya saya yang akan ada di hati dan pikiran kamu.” Suara Pram melembut meski terdengar posesif. Bitha memejamkan mata, menahan sesak yang mendaki di dadanya. Tangannya masih mencengkeram bahu Pram, karena tubuhnya gemetar. “Saya tidak pernah ingin menyakitimu,” Pram melanjutkan, suaranya nyaris berbisik. “Tapi kamu harus tahu… saya tidak akan sanggup membagi kamu dengan siapa pun.” Bitha membuka matanya, menatap wajah pria itu dari jarak sedekat-dekatnya. Ada ketakutan, tapi juga ada sesuatu yang lain—perasaan yang tak bisa ia definisikan, antara marah, resah, sekaligus… terlindungi. “Mas…” lirihnya lagi, kali ini lebih dalam, penuh perasaan yang tak terucap. Pram mengusap pipinya dengan lembut, bertolak belakang dengan sikap kerasnya barusan. “Kamu milik sa

  • Usai Ciuman Panas di Ranjang CEO   Bab 34

    “Pak, kita singgah ke restoran dulu.” Perintah Pram, pada Pak Adi. Sang sopir hanya mengangguk di kursi pengemudi. Namun Bitha tampaknya tak setuju. Dia berpaling ke arah Pram dengan kerutan tajam di dahi. “Aku mau langsung pulang!” Pungkasnya tak suka. “Ini bukan permintaan Bitha.” Bitha mencebik kesal dan melotot pada Pram. “Ngerti nggak sih, aku bilang mau pulang, perut aku nggak enak… aku nggak suka nyium bau makanan, nanti aku muntah disana.” Pram menatap Bitha balik. Dia menghela nafas. Baiklah kali ini dia mengalah. Pram tau jelas seperti apa wanitanya. “Baik, kita makan dirumah.” Namun Bitha tak bersuara lagi, ia hanya membuang muka menatap ke arah jendela. Menatap pada jalanan sore kota Jakarta yang mulai padat. Hanya keheningan yang menemani keduanya saat didalam mobil. Bitha jelas-jelas masih melancarkan bendera perang pada Pram. Pertengkaran mereka yang sudah-sudah belum menyusut dari hati Bitha. Dia masih kesal. Bitha kembali di buat heran ketika mob

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status