Pram menekan dahinya lebih dalam ke dahi Bitha, napasnya memburu namun tetap teratur, seakan ingin memastikan setiap kata yang ia ucapkan benar-benar meresap ke hati gadis itu. “Tidak ada yang lain, Bitha… hanya saya. Hanya saya yang akan ada di hati dan pikiran kamu.” Suara Pram melembut meski terdengar posesif. Bitha memejamkan mata, menahan sesak yang mendaki di dadanya. Tangannya masih mencengkeram bahu Pram, karena tubuhnya gemetar. “Saya tidak pernah ingin menyakitimu,” Pram melanjutkan, suaranya nyaris berbisik. “Tapi kamu harus tahu… saya tidak akan sanggup membagi kamu dengan siapa pun.” Bitha membuka matanya, menatap wajah pria itu dari jarak sedekat-dekatnya. Ada ketakutan, tapi juga ada sesuatu yang lain—perasaan yang tak bisa ia definisikan, antara marah, resah, sekaligus… terlindungi. “Mas…” lirihnya lagi, kali ini lebih dalam, penuh perasaan yang tak terucap. Pram mengusap pipinya dengan lembut, bertolak belakang dengan sikap kerasnya barusan. “Kamu milik sa
“Pak, kita singgah ke restoran dulu.” Perintah Pram, pada Pak Adi. Sang sopir hanya mengangguk di kursi pengemudi. Namun Bitha tampaknya tak setuju. Dia berpaling ke arah Pram dengan kerutan tajam di dahi. “Aku mau langsung pulang!” Pungkasnya tak suka. “Ini bukan permintaan Bitha.” Bitha mencebik kesal dan melotot pada Pram. “Ngerti nggak sih, aku bilang mau pulang, perut aku nggak enak… aku nggak suka nyium bau makanan, nanti aku muntah disana.” Pram menatap Bitha balik. Dia menghela nafas. Baiklah kali ini dia mengalah. Pram tau jelas seperti apa wanitanya. “Baik, kita makan dirumah.” Namun Bitha tak bersuara lagi, ia hanya membuang muka menatap ke arah jendela. Menatap pada jalanan sore kota Jakarta yang mulai padat. Hanya keheningan yang menemani keduanya saat didalam mobil. Bitha jelas-jelas masih melancarkan bendera perang pada Pram. Pertengkaran mereka yang sudah-sudah belum menyusut dari hati Bitha. Dia masih kesal. Bitha kembali di buat heran ketika mob
Pram membanting ponselnya ke atas tempat tidur. Suara benturannya menggema di dalam mansion yang sunyi. Tidak ada yang bisa ia lakukan di tempat asing ini selain menahan pikiran yang terus berputar-putar di sekitar Bitha. Dengan langkah kasar, ia menuju meja kerja. Laptop dibuka, dan layar menampilkan rekaman CCTV dari apartemen Jakarta. Tepat di sana—Bitha baru saja pulang dari reuni. Pram menajamkan pandangan. Ia memperhatikan setiap gerak-gerik istrinya dengan intensitas berlebihan, seakan satu detik saja tak boleh terlewat. Bitha berjalan menuju kamar, membuka lemari, lalu menarik sehelai piyama dari dalamnya. Setelah itu, perlahan gaun putih yang melekat di tubuhnya ia lepaskan. Pram meneguk saliva, rahangnya mengeras. Ada sesuatu yang bergejolak di dalam dirinya ketika menatap tubuh mulus yang kini hanya ia kuasai lewat layar kecil itu. Frustrasi menggumpal di dadanya. Rindu, kesal, dan rasa posesif menubruk jadi satu, memenuhi ruang kosong di hatinya. Ia ingin ada di
Bitha panik, matanya menyapu sekeliling meja, mencari tisu. Wajahnya tegang, bibirnya terus menggumam minta maaf. “Tunggu sebentar, saya ambilkan tisu…” ucapnya terbata. Ia bergegas menuju meja, lalu kembali dengan langkah tergesa. Dengan hati-hati, ia mulai membersihkan noda di kemeja putih pria itu. “Sudah, lumayan bersih…” ujarnya pelan, masih menunduk. Radja hanya terkekeh. Tatapannya tidak lepas dari wajah Bitha, begitu intens hingga membuatnya semakin salah tingkah. “Seingatku, dulu aku nggak pernah nemu cewek semanis kamu di sekolah,” ucapnya begitu saja. Bitha mendongak kaget, alisnya terangkat tinggi. Ia belum sempat merespons ketika pria itu tersenyum miring. “Bercanda,” Radja menimpali ringan, lalu mengulurkan tangan. “Radja.” Bitha sempat ragu sejenak, tapi akhirnya menyambut uluran itu dengan canggung. “Bitha.” Sentuhan singkat itu terasa lebih lama dari seharusnya, membuat jantung Bitha berdegup tidak karuan. “Bro…” seorang pria menepuk bahu Radja.
Sabtu pagi, Bitha enggan bangun dari tempat tidur. Rencananya, akhir pekan ini hanya akan ia isi dengan bermalas-malasan. Apalagi setelah momen menyebalkan bersama Pram semalam, mood-nya benar-benar jatuh. Nafas berat berulang kali lolos dari bibirnya, seolah sakit hati masih bertahan di dadanya, menyesakkan setiap ruang. “Aku apa dibanding Janestha…” gumamnya lirih, nyaris seperti bisikan yang ditujukan pada diri sendiri. Tiba-tiba, ponsel di atas bantal bergetar. Layar menyala berkali-kali, menampilkan rentetan pesan dari grup SMA. ANGGITA Girls, malam ini reuni jangan lupa! NOVIA Yuhuuu, gue baru dari butik cari dress code. Putih kan ya! GINA Pergi barengan kan? Jemput ya cyiiin! Bitha sontak terduduk. Reuni. Ia bahkan melupakan janji itu. Beberapa minggu terakhir, hidupnya hanya berputar di sekeliling Pram, hingga urusan lain nyaris ia abaikan. Jika punya pilihan, Bitha tak ingin pergi. Namun apa dikata janji telah ia ikrarkan pada teman satu geng nya semasa SM
Bitha berusaha menjalani hari-harinya seperti biasa. Bangun pagi, menulis artikel, lalu berangkat ke kantor. Mual masih sering datang, terutama saat perut kosong, tapi itu tak membuatnya berlama-lama di rumah. Bagi Bitha, bekerja adalah satu-satunya cara untuk tetap waras. Siang itu, ia duduk bersama Gina di kantin kantor. Sesekali mereka tertawa kecil membicarakan gosip internal redaksi. Dari sudut matanya, Gina sebenarnya sudah lama memperhatikan cincin berkilau yang selalu melingkar di jari manis sahabatnya itu. Cincin yang jelas bukan sembarangan. Pikirannya melayang pada kejadian beberapa waktu lalu—saat Bitha menerima bunga dan gaun dari Pramudya Notonegoro. Mungkinkah cincin itu juga dari Pram? batinnya. Asumsinya menguat, tapi Gina memilih menahan lidahnya. Ia tahu, jika memang benar, Bitha pasti punya alasan kenapa tidak pernah bercerita. Apalagi sejak berita heboh tentang kedekatan Pram dengan putri seorang menteri, sahabatnya itu terlihat makin berhati-hati. Yang jela