LOGIN“Pak…saya tidak bisa melakukan ini.”
Sebaris kata itu akhirnya meluncur dari bibir Bitha. Nalarnya mulai mengikis pesona dari seorang Pramudya Notonegoro. Si Casanova yang terkenal lihai mempermainkan hati wanita. Jika ini berlanjut, Bitha tak yakin bisa menyelamatkan dirinya nanti. Terus terang pesona seorang Pramudya memang tak bisa di bantah. Lebih dari sekedar tampan dan kaya raya, tapi sentuhannya juga lembut nan penuh pemujaan.
Posisi itu jelas membakar dada Pram lebih dari sebelumnya. Sejak awal ia berusaha lembut, menahan sisi liarnya, menjaga kendali. Tapi kali ini, sesuatu yang lain di dalam dirinya menyeruak, liar, tak terbendung—terutama saat gadis itu menatapnya berani dan bertanya dengan nada setengah sinis.“Apa kamu memiliki pengaman?”
Kata-kata itu menyalakan bara yang sudah sejak tadi ia tekan. Lihatlah, dengan lihainya Bitha mencoba menantangnya, memancingnya agar kehilangan kendali. Rahang Pram mengeras. Urat di lehernya menegang, sorot matanya makin gelap. Tangannya terangkat, menaut erat di leher jenjang Bitha, lalu menyusup ke rambutnya yang terurai. Cengkeraman itu tidak menyakitkan, tapi jelas penuh kuasa—menunjukkan bahwa kendali bisa ia ambil kapan pun ia mau. Napasnya berat, panas, memburu di wajah Bitha yang masih duduk di pangkuannya. “Kau benar-benar berani bermain api,” gumamnya rendah, suara seraknya lebih menggetarkan daripada teriakan. Bitha tersenyum miring, tidak gentar sedikit pun meski tubuhnya jelas terperangkap. Dan di antara jarak yang terlalu dekat itu, apa pun yang terjadi setelah ini, bukan lagi sekadar permainan ego—melainkan tarikan hasrat yang siap menelan mereka berdua. Malah gadis itu, dengan ketenangan yang mengejutkan, mulai membuka satu per satu kancing kemeja Pram. Gerakannya perlahan, penuh perhitungan, seolah ingin melihat sejauh mana Pram sanggup bertahan. Pram hanya sempat menahan napas, dadanya naik turun lebih cepat dari sebelumnya. Ia tidak melakukan apa pun, membiarkan jemari Bitha bekerja. Ia masih ingin mengikuti permainan liar yang diciptakan gadis itu—ingin tahu sampai di mana keberaniannya berani melangkah. Tapi ia tetaplah lelaki. Dan lelaki sekuat apa pun akan mudah tersulut begitu jari-jari lembut itu menyusuri sisi tubuhnya yang kini mulai terbuka tanpa balut kain. Jemari Bitha menyentuh garis otot dada dan perutnya, meninggalkan jejak tipis seperti bara yang membakar kulitnya. Pram menggertakkan giginya, menahan erangan yang hampir lolos. Matanya mengunci tajam ke arah Bitha, seolah memperingatkan bahwa sebentar lagi, giliran dirinya yang akan membalikkan keadaan. Namun Bitha tampak semakin menikmati posisinya. Senyuman tipis terbit di bibirnya, sinis sekaligus menantang. Dan bagi Pram, itu adalah provokasi terakhir yang membuat darahnya mendidih. Bitha sempat menyusuri sisi tubuh Pram dengan jemari yang nakal, seolah ingin menunjukkan betapa ia bisa mengendalikan situasi. Senyuman tipisnya menusuk ego Pram, bagai api kecil yang terus menyulut bara dalam dirinya. Namun kesabaran lelaki itu akhirnya habis. Dengan gerakan cepat, Pram meraih pinggang Bitha, membalikkan tubuh gadis itu hingga punggungnya menempel lagi pada ranjang. Cengkeramannya keras, nyaris membuat Bitha terperanjat. Napas Pram memburu, dadanya naik turun penuh amarah yang bercampur gairah. “Kau pikir aku bisa terus diam membiarkanmu bermain di atas kepalaku, hm?” suaranya rendah, serak, nyaris seperti geraman. Mata mereka bertemu lagi—dan kali ini, tatapan Pram jauh berbeda. Tidak ada sisa kelembutan. Yang ada hanyalah dominasi, liar, dan panas. Jari-jarinya mencengkeram leher Bitha dengan tegas, tapi tidak menyakitkan, hanya cukup untuk membuat gadis itu tahu siapa yang kini mengendalikan. Bitha tersenyum samar meski dadanya berdebar keras. Justru ekspresi menantang itu membuat Pram makin terbakar. Ia menunduk cepat, menciumi leher gadis itu tanpa memberi kesempatan Bitha berbalik menguasai. Dan kali ini—Pram tidak berniat berhenti. Pram menekan tubuh Bitha kuat ke ranjang, satu tangannya masih mencengkeram leher jenjang itu, sementara tangan lainnya mengunci kedua pergelangan tangan Bitha di atas kepala. Bitha mencoba menggeliat, tapi jelas ia tak lagi berdaya. “Aku sudah cukup bersabar dengan mulut liarmu,” desis Pram, matanya menyala menatap lurus ke dalam mata Bitha. “Kau kira aku pengecut? Kau salah besar.” Bitha menelan ludah, bibirnya masih berani melengkung sinis. “Kalau begitu… buktikan.” Kata-kata itu bagai pemantik. Pram mendekat, bibirnya menghantam bibir Bitha dengan keras, tanpa ruang untuk bernapas. Tidak ada kelembutan, hanya intensitas yang mendebarkan, membuat Bitha terpaksa menyesuaikan diri pada ritme yang ia pimpin. Ia menciumi wajah, rahang, dan leher Bitha tanpa jeda, membuat gadis itu mengerang tertahan. Napasnya kacau, tubuhnya gemetar—antara melawan dan menyerah. Pram tersenyum miring melihat itu. “Kau bisa pura-pura sekuat apapun, tapi tubuhmu tahu siapa yang mengendalikannya sekarang.” Bitha ingin membalas dengan kata-kata pedas, tapi suaranya terputus ketika Pram kembali menekan ciumannya lebih dalam, lebih buas, hingga ia benar-benar kehilangan kendali atas dirinya. Bitha menggeliat di bawah tubuh Pram, tadinya ingin melawan, tapi tubuhnya justru berkhianat. Napasnya tersengal, dadanya naik turun semakin cepat setiap kali bibir Pram berpindah dari lehernya ke rahangnya, lalu kembali merebut bibirnya tanpa ampun. Pegangan Pram di pergelangan tangannya membuat Bitha makin terjebak. Semakin ia meronta, semakin kencang cengkeraman itu menahan. Dan anehnya, justru dari situ tubuhnya semakin bergetar hebat. Pikirannya kacau—ia ingin tetap terlihat kuat, sinis, penuh kendali. Tapi lidahnya kelu, tubuhnya lemas, dan hanya erangan kecil yang lolos dari bibirnya. Pram berhenti sejenak, menatap wajah gadis itu lekat. Matanya redup, tapi tajam dan menuntut. Jari-jarinya melonggarkan cengkeraman, hanya untuk mengusap garis rahang Bitha dengan cara yang membuatnya semakin sulit bernapas. Senyum miring itu muncul kembali. Ia menunduk, suaranya rendah, berat, menyusup ke telinga Bitha. “Sampai sejauh mana kau bisa mengendalikan ini…?” Bibir Pram kembali menutup mulut Bitha, kali ini lebih rakus, lebih dalam, seolah menelan habis setiap inci keberadaannya. Tubuhnya menekan tubuh gadis itu ke ranjang, tangan yang semula mengurung kini bergerak turun, menyapu garis pinggang hingga membuat Bitha melengkungkan punggung tanpa sadar. Gaun tipis itu akhirnya benar-benar jatuh, meninggalkan kulit pucat Bitha terbuka lebar di hadapan tatapan maskulin yang lapar. Pram berhenti sejenak, matanya menelusuri tubuh gadis itu dengan sorot yang tak terbaca—antara kagum, buas, dan haus. Napasnya memburu, tapi senyuman tipis di sudut bibirnya jelas penuh tantangan. Bitha menggeliat, ingin mengembalikan kendali. Ia menarik kepala Pram, menempelkan bibir mereka lagi sambil mendorong tubuhnya hingga berganti posisi di atas. Rambut panjangnya jatuh berantakan di wajah Pram, dan untuk sesaat, ia tampak seperti yang berkuasa. Jemarinya menyapu dada bidang Pram, menekan otot-otot yang tegang, turun perlahan ke perut, hingga Pram menahan napas dengan rahang mengeras. Namun, itu hanya berlangsung singkat. Dengan gerakan mendadak, Pram memutar tubuh mereka kembali, membuat Bitha terperangkap di bawahnya. “Kau pikir bisa mengendalikanku?” suaranya serak, nyaris seperti geraman. Dan sebelum Bitha sempat membalas, tubuh Pram sudah menyatu dengan tubuhnya—dalam ritme yang keras, menuntut, namun memabukkan. Suara Bitha pecah menjadi erangan, tak lagi bisa disembunyikan. Setiap kali Pram menekan, tubuhnya merespons, melengkung, menuntut lebih banyak, hingga tak jelas siapa yang sebenarnya menyerah. Ruangan itu penuh dengan suara kulit yang bertemu kulit, napas yang saling berburu, dan gumaman tertahan yang nyaris seperti sumpah. Sensasi itu begitu dalam, begitu liar, hingga batas antara perang ego dan menyerah total lenyap—yang tersisa hanya dua tubuh yang terikat dalam satu tarikan hasrat, tak peduli pada dunia di luar sana. Tubuh mereka bergerak dalam irama yang semakin cepat, semakin panas, hingga Bitha kehilangan kendali atas napasnya sendiri. Tangannya mencengkeram kuat bahu Pram, kukunya nyaris meninggalkan jejak di kulit pria itu. Suara desahannya pecah, meluncur tanpa bisa ia bendung, seiring setiap hentakan yang membuat tubuhnya bergetar. Pram menunduk, menutup suara itu dengan ciuman dalam yang rakus, seolah ingin menelan setiap keluhan dan erangan yang keluar dari bibir Bitha. Tubuhnya tak memberi ruang jeda, menekan, menuntut, mendorong sampai batas yang membuat Bitha melengkungkan punggungnya, nyaris terisak oleh intensitas yang tak pernah ia bayangkan. “Pram…” suaranya pecah, antara rintihan dan permohonan. Ia tak lagi tahu apakah sedang melawan atau menyerah. Yang jelas, tubuhnya bergetar hebat, seperti dihantam gelombang yang tak terbendung. Pram merasakan itu. Nafasnya semakin berat, rahangnya mengeras, tapi tatapannya terkunci di wajah Bitha yang tercabik-cabik antara rasa sakit, nikmat, dan pengakuan yang tak terucap. Ia menahan sebentar, lalu menghantam kembali dengan tenaga terakhir, membuat Bitha menjerit kecil, tubuhnya melayang dalam ledakan sensasi yang membutakan."Ah..."
Klimaks itu datang bagai badai—membakar urat nadi, melumpuhkan logika, dan membuat Bitha terperangkap dalam pusaran nikmat yang begitu memabukkan. Ia menggenggam leher Pram erat, seolah tak ingin terlepas, sementara tubuhnya gemetar tanpa kendali. Pram menyusul tak lama kemudian, tubuhnya menegang, napasnya pecah, suaranya terdengar rendah namun penuh intensitas ketika ia mencapai puncaknya bersama Bitha. Untuk sesaat, waktu berhenti—tak ada yang tersisa kecuali suara napas mereka yang bersahut-sahutan, tubuh yang masih melekat, dan sisa gairah yang melemahkan. Pram akhirnya jatuh di samping Bitha, lengan masih melingkar di pinggangnya, dada bidangnya naik-turun cepat. Bitha menutup mata, bibirnya masih basah, tubuhnya masih bergetar. Hening menggantung di antara mereka, hanya diisi oleh sisa detak jantung yang liar. Dan sebelum tidur menghampiri, Pram berbisik rendah di telinga gadis itu, suara yang dalam dan menegaskan kembali posisinya. “Kamu tidak akan pernah bisa mengendalikan saya” Kamar itu kini hanya dipenuhi aroma tubuh dan sisa panas yang menggantung di udara. Tirai tipis bergoyang pelan tertiup angin dari celah jendela, namun di atas ranjang, keduanya masih terikat dalam keheningan yang berat. Bitha terbaring miring, rambutnya yang berantakan menutupi sebagian wajah. Kulitnya masih lembap, dadanya naik-turun belum sepenuhnya stabil. Ia menatap kosong ke arah langit-langit, seolah mencari alasan kenapa ia bisa sejauh ini bersama seorang pria yang baru saja ia hina habis-habisan. Pram menoleh, tubuhnya masih berbaring setengah miring menghadap Bitha. Ia tak mengatakan apa-apa, hanya menatap punggung gadis itu, lalu dengan perlahan menyentuh pinggangnya. Sentuhan itu bukan lagi sekasar tadi, melainkan hangat, penuh kuasa. “Apa ini juga masuk dalam risetmu?” suara Pram akhirnya pecah, rendah, berat, masih ada sisa nafas memburu di ujungnya. Bitha diam sejenak. Ia ingin menjawab dengan sarkasme, tapi bibirnya hanya bergerak tipis, menahan sesuatu yang tak terucap. Ada getir, ada rasa yang tiba-tiba asing bagi dirinya. “Kalau iya, apakah kamu puas jadi objek penelitian?” akhirnya ia berbisik, mencoba tetap menjaga dagunya tinggi meski suara bergetar."Balik badan."
Setelah momen canggung dengan Radja pagi tadi, Bitha sempat mengira semuanya akan berakhir di sana. Namun ternyata tidak. Siang hari, usai jam istirahat, sekretaris Radja menyampaikan pesan agar Bitha segera menemui lelaki itu di ruang kerjanya. “Siang, Pak…” Bitha menyapa pelan setelah lebih dulu mengetuk pintu ruangan Direktur. “Ah, Bitha… silakan duduk.” Radja menunjuk kursi yang berhadapan langsung dengan meja kerjanya. Bitha menuruti, melangkah perlahan lalu duduk hati-hati. Ada gurat canggung di tiap geraknya, sementara kepalanya dipenuhi tanya. Untuk urusan apa seorang Direktur sebesar Radja ingin berbicara langsung dengannya? Biasanya, hal-hal seperti ini cukup disampaikan lewat manajer atau kepala redaksi. “Begini, Bitha… bukankah kamu sudah dipindahkan ke desk romansa?” Radja membuka pembicaraan dengan nada tenang. “Ya, Pak. Itu benar. Hampir dua bulan ini saya berpindah ke desk romansa,” jawab Bitha hati-hati. “Baik…” Radja merapikan posisi duduknya, tampak in
“Mas, bisa nggak kita kembali ke apartemen aku aja.” Bitha bersuara ketika mereka berada dalam mobil menuju rumah. Rumah itu masih terasa asing bagi Bitha. Juga terlampau luas. “Kenapa?” Pram menatap Bitha. Wanita itu sedang menyandarkan kepalanya ke dada bidang Pram. “mm, barang-barangku masih disana, juga aku masih belum nyaman tinggal dirumah baru itu.” “Nanti juga terbiasa, kamu tidak sendirian disana, ada saya.” Pram meyakinkan, jari jemarinya mengelus kepala Bitha, menenangkan. Bitha menjauhkan diri dan menatap Pram. “Aku masih belum percaya, kalau kamu suami aku sekarang… trus aku nggak yakin bisa jalani ini secara sembunyi-sembunyi.” Pram menghela nafas. Di tatapnya mata Bitha dan segala kerapuhan yang terlihat jelas disana. “Bitha, bersabarlah sedikit, saya perlu menyiapkan semua ini sebelum mengumumkan pernikahan kita pada publik.” Bitha menggigit bibirnya. Ada keraguan disana. Bitha hanya tak yakin, menjalani hari-harinya lalu menjadi istri Pram. Sudah terg
Suara mesin USG berdengung pelan, layar menampilkan gambar hitam putih yang berdenyut samar. Bitha menatapnya dengan cemas, sementara Pram berdiri di samping ranjang, matanya fokus pada layar itu. Jam delapan malam, mereka baru bisa mengunjungi Dokter kandungan. Selain alasana keamanan, akan lebih beresiko jika menampakkan diri terang-terangan menemui dokter kandungan di siang hari. Pun Dokter Hanum, adalah dokter profesional yang sudah menerima kesepakatan, untuk tidak memboroskan latar belakang pasiennya. Meski ia tau jelas siap pria yang datang kali ini. Bukan pria sembarangan. Dokter Hanum, wanita paruh baya dengan senyum menenangkan, menekan probe lembut di perut Bitha. “Nah, ini dia janinnya… usia sekitar 8 minggu,” ucapnya. Ia menunjuk titik kecil yang berdenyut di layar. “Bisa Ibu lihat, bentuknya memang masih sangat kecil. Tapi detak jantungnya sudah terlihat jelas—sekitar 150 kali per menit. Itu normal untuk usia kandungan segini.” Bitha menelan saliva, suaranya hampi
Pram terbangun pagi itu, namun sisi ranjang di sebelahnya kosong. Alisnya berkerut, matanya menyipit mencari. Yang terdengar hanya gemericik air dari kamar mandi. Mungkinkah itu Bitha? Ia melirik ke arah jendela, tirai sudah sedikit tersibak, cahaya pagi menembus masuk. Sambil menguap, Pram meraih ponsel di nakas. Jam sudah menunjukkan pukul delapan. Ia menyandarkan punggung ke kepala ranjang, tapi suara air itu terus saja mengusik pikirannya. Bayangan Bitha, berdiri tenang di bawah pancuran, membuat dadanya bergejolak. Ada sesuatu yang bergerak begitu liar dalam dirinya. “Sial…” desisnya. Tak tahan lagi, Pram bangkit dari tempat tidur. Ia langkahkan kaki tegas menuju kamar mandi. Demi Tuhan, ia tak bisa membiarkan jarak sekecil ini memisahkan mereka. Ia harus menyusul Bitha—sekarang juga. Pram membuka pintu kamar mandi, membuat Bitha terlonjak kaget. Lelaki itu tanpa ragu menanggalkan pakaian satu per satu, seolah-olah, mereka adalah pasangan suami istri normal dan itu ad
Pram menekan dahinya lebih dalam ke dahi Bitha, napasnya memburu namun tetap teratur, seakan ingin memastikan setiap kata yang ia ucapkan benar-benar meresap ke hati gadis itu. “Tidak ada yang lain, Bitha… hanya saya. Hanya saya yang akan ada di hati dan pikiran kamu.” Suara Pram melembut meski terdengar posesif. Bitha memejamkan mata, menahan sesak yang mendaki di dadanya. Tangannya masih mencengkeram bahu Pram, karena tubuhnya gemetar. “Saya tidak pernah ingin menyakitimu,” Pram melanjutkan, suaranya nyaris berbisik. “Tapi kamu harus tahu… saya tidak akan sanggup membagi kamu dengan siapa pun.” Bitha membuka matanya, menatap wajah pria itu dari jarak sedekat-dekatnya. Ada ketakutan, tapi juga ada sesuatu yang lain—perasaan yang tak bisa ia definisikan, antara marah, resah, sekaligus… terlindungi. “Mas…” lirihnya lagi, kali ini lebih dalam, penuh perasaan yang tak terucap. Pram mengusap pipinya dengan lembut, bertolak belakang dengan sikap kerasnya barusan. “Kamu milik sa
“Pak, kita singgah ke restoran dulu.” Perintah Pram, pada Pak Adi. Sang sopir hanya mengangguk di kursi pengemudi. Namun Bitha tampaknya tak setuju. Dia berpaling ke arah Pram dengan kerutan tajam di dahi. “Aku mau langsung pulang!” Pungkasnya tak suka. “Ini bukan permintaan Bitha.” Bitha mencebik kesal dan melotot pada Pram. “Ngerti nggak sih, aku bilang mau pulang, perut aku nggak enak… aku nggak suka nyium bau makanan, nanti aku muntah disana.” Pram menatap Bitha balik. Dia menghela nafas. Baiklah kali ini dia mengalah. Pram tau jelas seperti apa wanitanya. “Baik, kita makan dirumah.” Namun Bitha tak bersuara lagi, ia hanya membuang muka menatap ke arah jendela. Menatap pada jalanan sore kota Jakarta yang mulai padat. Hanya keheningan yang menemani keduanya saat didalam mobil. Bitha jelas-jelas masih melancarkan bendera perang pada Pram. Pertengkaran mereka yang sudah-sudah belum menyusut dari hati Bitha. Dia masih kesal. Bitha kembali di buat heran ketika mob







