Inicio / Fantasi / VALYZARYON Pedang Naga Hitam / BAB 1. Udara yang menyempit

Compartir

VALYZARYON Pedang Naga Hitam
VALYZARYON Pedang Naga Hitam
Autor: Scorpio_san

BAB 1. Udara yang menyempit

Autor: Scorpio_san
last update Última actualización: 2025-12-09 20:37:43

Bumi semakin rapuh. Hampir setiap hari bau darah tercium dimana-mana dan mayat-mayat manusia berserakan layaknya dedaunan kuning di musim gugur. Nyawa manusia sudah seperti tidak ada harganya lagi. Di injak, di buang, di asingkan. Tengkorak-tengkorak malang itu, benar-benar sudah kehilangan kondrat kemanusiaanya.

Di sebuah halaman rumah yang mulai berlumut, aku berdiri dengan mata yang sudah basah. Aku menatap nanar, rumah megah yang sudah satu minggu ini ku tinggalkan. Sesak, kala melihat penampakan yang tak pernah ku duga sebelumnya.

Sepasang tengkorak dengan baju yang sangat ku kenali, kini terbaring menyedihkan didepan rumah. Kalung salib melingkar disalah satu tengkorak itu. Dan aku yakin, dia adalah ibu ku. Dan yang disampaingnya, itu pasti tengkorak ayah ku. Karena masih ada jam tangan melingkar di pergelangan tangan kirinya. Jam tangan yang dulu aku belikan untuknya.

Dada yang mulai sesak, nafas yang sudah tersengal sejak awal datang ke tempat itu. Dengan lutut yang sudah kehilangan tenaga, aku bersimpuh tepat di depan tengkorak kedua orang tua ku. Aroma tanah lembab sudah menguasai udara, seolah rumah dan kedua orang tua ku itu perlahan di kubur oleh alam.

“Ayah.., ibu..,” lirih ku dengan suara berat yang tertahan di pangkal tenggorokan.

Aku mendunduk. Tangis yang semula samar, kini berubah menjadi suara isakan yang menggema di area pengap itu.

Mata ku menelanjangi setiap sudut halaman, taka da satupun yang manusiawi disana. Semua lantai sudah kotor, dipenuhi lumut dan juga akar menjalar. Benar-benar diluar akal sehat.

“Aaaaaaaaaaaaaaaaaahhhh!” teriakku frustasi.

Sesak yang menyeruak, membuat kepala dan dada ku serasa bertukar tempat. Sakit, perih, gila, bingung, ah.. semuanya bercampur menjadi satu, membuat isi kepala seolah akan meledak saat ini juga.

Dengan langkah gontai, aku masuk ke dalam rumah. Aku melangkah pelan, berusaha untuk mencari petunjuk apapun dan sekecil apapun itu, sambil satu persatu ku angkat jenazah kedua orang tua ku untuk masuk ke dalam rumah.

Belum berapa lama aku duduk di dalam rumah, terdengar suara aneh, kresek-kresek. Seperti suara dedaunan kering yang terinjak. Di susul suara tawa yang membuat bulu kuduk merinding secara bersamaan.

Ku putar bola mata, ku telanjangi setiap sisi rumah yang sudah berbau lapuk itu. Ada banyak mata yang sudah memperhatikan ku. Aku sadar seratus persen. Dari mulai mata yang putih besar, mata sipit dengan bola mata hitam yang seperti hendak keluar, dan juga mata merah menyala dengan senyum menyeringai.

Dengan susah payah aku menelan saliva berat. Dada ku turun naik, wajah ku mulali pucat.

“Ayah…, ibu…, aku harus gimana sekarang?” rintih ku dengan kaki yang sudah ku tekuk hingga mencapai dada. Sebisa mungkin, aku bersembunyi dari semua tatapan itu.

****

Aku adalah Caesar Atala Raharja. Seorang remaja berusia 17 tahun.

Aku terkenal sebagai anak yang periang dan mudah bergaul dengan orang lain. Terbukti secara nyata, dengan kehidupan di sekolah yang menyenangkan karena memiliki banyak teman. Hampir satu sekolah mengenal sosok Aku yang periang ini.

Hal yang paling membuat Aku menyesal adalah, kejadian dimana aku bertengkar dengan kedua orang tua ku, saat aku meminta izin untuk berangkat ke acara perkemahan yang di adakan oleh sekolah dibukit seberang rumah.

Sebenarnya, jarak dari bukit itu ke rumah ku tidak cukup jauh. Membutuhkan waktu satu jam untuk bisa sampai kesana, kalau jalan kaki. Dan limabelas menit, kalau menggunakan sepeda motor.

Alasan utama kedua orang tuaku melarang aku ikut kemah itu adalah, perihal berita yang saat ini sedang menjadi buah bibir di kalangan masyarakat.

Berita tentang kematian secara mendadak tanpa virus ataupun menyebab yang jelas. Korban pasti langsung berubah menjadi tengkorak, hanya dalam waktu hitungan menit saja.

Awalnya kabar itu hanya rumor dari mulut ke mulut, dan tidak terbukti kebenarannya, namun setelah kepergianku hari itu, kabar mulai disiarkan oleh media nasional karena jumlah korban yang semakin meningkat.

“Maafin aku.., maafin aku...,” lirih ku masih dengan kaki yang ku tekuk hingga mencapai dada.

Aku tidak pernah menyangka, akan hidup sebatang kara di usia yang baru menginjak 17 tahun.

Kalau saja aku tahu semuanya akan seperti ini, mungkin aku akan memilih untuk tetap tinggal dan mati bersama kedua orang tua ku.

****

Continúa leyendo este libro gratis
Escanea el código para descargar la App

Último capítulo

  • VALYZARYON Pedang Naga Hitam   BAB 9. Hutan Fuchigami

    Tugas kami, menjelajahi Hutan Fuchigami adalah untuk mencari kristal energi sihir yang tersembunyi, dan kembali sebelum matahari tergelincir. Sederhana? Mata lo jebol. Aku sampai keringat dingin sepanjang latihan. Kalian tahu, Hutan Fuchigami, ternyata benar-benar seperti dunia lain. Akar menggantung seperti tali-tali makhluk hidup yang siap menjerat siapapun yang lewat. Kabut hitam samar membelai tanah, udara terasa seperti merayap menyapa permukaan kulit dan berbisik di telinga, membuat bulu kuduk berdiri sempurna. Kami berjalan pelan. Elvian di depan, Alana dan Samuel di tengah, sedangkan aku di belakang sambil sesekali menatap ke segala arah seperti anak hilang yang sedang mencari sinyal ditengah hutan. “Lo oke, Caesar?” bisik Alana tanpa menoleh. “Masih bisa napas, sih,” jawabku pelan, “walau kaki gue kayak jalan di kuburan raksasa.” Celoteh ku. "BZZZZTT!" Suara tajam dari balik semak, membuat Elvian langsung ber

  • VALYZARYON Pedang Naga Hitam   BAB 8 Kedatangan Elvian

    Keesokan paginya, suasana SMA Senin sudah seperti arena gladiator. Kami semua mengenakan jubah tempur khusus yang sudah disiapkan. Btw bukan sekadar seragam sihir biasa, ini semacam pakaian taktis yang bisa menyesuaikan dengan elemen sihir masing-masing. Bahkan gelang sihir yang melingkar di pergelangan kami juga berbeda. Bukan hanya itu, tongkat yang biasa kami gunakan, lambat laut berubah mejadi sebilah pedang. Aku sampai terkejut ketika melihat pedangku yang berukuran besar dengan cahaya hitam mengelilingi setiap bagiannya. “Wah! Serius ini punya gue? Kenapa kayak di film-film?” aku terus berdecak kagum melihat keistimewaan pedang ku sendiri. Pedang ku berbeda dari yang lain. Aku melihat pedang yang lain tidak sebesar milik ku. Dan cahaya mereka juga tidak sepekat punyaku. “Itu pedang Naga Hitam,” kata Samuel membuat aku terlonjak kaget. Karena entah sejak kapan dia ada dibelakangku. Mendengar ucapan Samuel, teman-teman

  • VALYZARYON Pedang Naga Hitam   BAB 7. Elvian Ardelas

    Langit malam di SMA Senin terasa sunyi tapi penuh dengan tekanan. Bulan merah pucat menggantung malas di atas atap sekolah. Angin berembus pelan, membawa aroma rumput dan dupa. Aku menggenggam kalung berliontin salib yang melingkar di leherku. Air mataku tiba-tiba mengalir bersama dengan sesak yang membuat dadaku terasa seperti terhimpit bongkahan batu besar. Entah sudah berapa lama aku disini. Jujur, aku merindukan tempat asalku. Merindukan ibu dan ayah. Rindu dengan kehidupan normal yang aku jalani sebelumnya. Wajahku mendongak. Menatap rembulan indah itu. Aku tetap membiarkan lelehan air mata membasahi kedua pipiku. Aku juga tidak peduli kalau ada yang melihat dan menganggap aku cengeng. Persetan dengan hal itu. Sedang asyik menikmati malam seorang diri, tiba-tiba terdengar langkah yang semula pelan, kini menjadi lebih keras. Menandakan kalau orang yang sedang berjalan itu, kini sudah lebih dekat denganku. Aku menoleh ke arah kedatangannya. Seorang laki-laki yang usianya tid

  • VALYZARYON Pedang Naga Hitam   BAB 6. Energi Sihir

    Yuzi berjalan ke tengah arena, jubahnya mengepak ringan meski tak ada angin yang menerpa. Keren sekali. Definisi orang keren tidak banyak tingkah ya Yuzi Takahiro. “Caesar!” panggilnya tiba-tiba. “Y-ya, Sensei?” sahut ku terbata. “Kamu belum punya tongkat, kan?” tanyanya lagi. Aku menggeleng. Tak lama, Yuzi mengangkat tangannya pelan. Dari langit, cahaya biru turun, melengkung seperti petir yang berhasil dijinakkan. Cahaya itu menyatu, menjadi sebilah tongkat panjang, gelap berkilau, dengan ukiran nama, Caesar A. Raharja yang di ukir dengan warna biru keemasan. Tongkat itu mengarahkannya padaku. Seolah tahu, kalau akulah pemiliknya. Tak lama, tongkat itu melayang tepat di depan wajah ku. “Ini milikmu.” Kata Yuzi, seolah memecah lamunan singkatku. Aku menatap tongkat itu, seraya menelan salivaku yang sudah terasa pahit. Bahkan udara di sekitar tongkat itu terasa berdenyut dan sedikit panas, hingga membuat ku langsung berkeringat. Belum lagi di belakangku, aku bisa mendengar

  • VALYZARYON Pedang Naga Hitam   BAB 5. Rumor Yuzi

    Tak lama setelah perkenalan yang lebih ke sebuah intimidasi di awal itu, datangla Yuzi Takahiro. Si rambut api yang katanya cukup terkenal dikalangan dunia sihir. Walau aku sendiri tidak yakin karena belum melihat langsung. Seperti dugaan, mereka semua menyambut Yuzi dengan sangat antusisa. Terlebih anak-anak gadis yang seperti melihat barang langka yang ingin mereka miliki seutuhnya. Yuzi berdiri di depan kelas dengan wajah yang sangat tenang. Tatapannya menyapu seluruh ruangan, sebelum akhirnya kembali menatapku yang masih berdiri dengan jantung berdebar tak karuan. “Duduklah, Caesar!” ucapnya. Aku langsung duduk. Sial! Aku hampir terpeleset karena buru-buru. Dan sontak membuat gelak tawa teman-teman sekelas ku termasuk Samuel, menggema diruangan kelas itu. Ingin rasanya ku sembunyikan wajah merah ku saat ini juga. “Kalian hari ini tidak akan belajar teori.” Ujar Yuzi sembari memainkan kapur yang berwarna putih ditangannya. Semua siswa langsung duduk tegak, termasuk aku. Kalo

  • VALYZARYON Pedang Naga Hitam   BAB 4. Suasana Kelas

    Pluk!! Aku langsung menoleh, ketika ada seseorang yang tiba-tiba menepuk pundak ku. Membuat mata kami langsung bertemu tatap. Tepat di depanku, ada seorang remaja yang kisaran usianya mungkin sama dengan ku. Perawakannya tinggi dengan bola mata biru ke unguan dan juga rambut dengan warna senada dengan matanya. Remaja itu tersenyum kearahku. Dia seperti sudah mengenalku, lebih dari yang aku tahu. “Caesar ya?” tanyanya, masih dengan senyuman yang ia pertahankan. Aku mengangguk samar. Baru sadar, kalau mulut ku sedikit mengerucut. Langsung saja ku ukir senyum seindah mungkin. Berharap, dia tidak menyadari kekesalan ku, karena dia tiba-tiba datang dan membuat ku kaget. “Gue Samuel. Samuel Elgara. Lo bisa panggil Samuel.” Jelasnya, masih dengan senyum yang merekah. Aku mengangguk samar, kemudian mengulurkan tangan, “Gue Caesar. Lo bisa panggil gue Kae aja biar singkat.” Setelah selesai berkenalan, Samuel mengajakku untuk pergi ke kelas. Pertanyaan ku tentang tempat ini belu

Más capítulos
Explora y lee buenas novelas gratis
Acceso gratuito a una gran cantidad de buenas novelas en la app GoodNovel. Descarga los libros que te gusten y léelos donde y cuando quieras.
Lee libros gratis en la app
ESCANEA EL CÓDIGO PARA LEER EN LA APP
DMCA.com Protection Status