Compartir

BAB 3. SMA Senin

Autor: Scorpio_san
last update Última actualización: 2025-12-09 20:38:01

Aku menggeliat merasakan tubuh ku yang sudah seperti hancur. Persendiannya yang linu, belum lagi dahagaku yang sudah membuat kerongkongan seperti berkarat. Entah sudah berapa lama, aku tidak minum.

Aku kini sudah mulai menuntun mata, untuk terbuka secara perlahan. Bukan karena ingin bangun, tapi karena aroma sup yang sudah mengolok-ngolok hidung dan juga cacing di perutku. Padahal, mata masih asih ngantuk dan malas juga sih sebenarnya.

Seketika, saat mata ku mulai terbuka, aku langsung mengernyit. Aku bingung, sebenarnya aku sedang ada di mana. Tempat ini begitu asing. Bukan kamarku, buka juga kamar diasrama sekolah ku.

Aku langsung bangun dan duduk bersila, dengan keduan mata mulai menelanjangi tiap sudut ruangan kecil yang selama satu malam itu membuat tidur ku nyenyak.

“Ah iya, penyihir_” mata aku sedikit menyipit, kemudian aku memukul kepala yang mulai berdenging. “Bego! Mana ada penyihir zaman sekarang. Tolol! Lo cuma ngimpi,”

Walaupun sudah melontarkan kalimat itu, tapi jujur, aku masih bisa mengingat dengan jelas, tentang pertemuan ku dengan Yuzi semalam.

“Tapi semuanya nyata banget,” gumamku pelan.

Aku kembali memperhatikan ruangan itu dan berakhir pada baju yang saat ini aku pakai.

Kedua mataku membulat, ketika melihat baju yang ku pakai. Baju stelan olahraga berwarna putih hitam, dengan nama SMA Senin di pojok kanan atas. Dan ada nama Caesar Atala Raharja di sudut kiri atas.

Aku juga menyadari ada sesuatu yang melingkar di pergelangan tangan sebelah kiri. Benda melingkar berbentuk kain berwarna biru keunguan dan ada dimbol SMA Senin juga di tengah-tengahnya.

“Tidur mu nyenyak?”

Belum sempat selesai mencerna situasi yang sedang terjadi, seseorang tiba-tiba datang tanpa mengetuk pintu.

Kedua mata ku kembali membulat, ketika melihat Yuzi sudah berdiri di mulut pintu dengan senyum khasnya yang sempat membuat aku terpesona malam itu. Disanalah aku mulai sadar, bahwa semua yang terjadi padaku bukanlah mimpi atau khayalan belaka.

Yuzi berjalan perlahan dengan kedua tangan yang sudah terselip di kedua sisi celana.

“Sudah lima hari kamu tidur. Apa masih belum puas?” katanya.

Seolah tidak puas membuatku membelalakan mata, kini Yuzi kembali menyampaikan berita yang tidak kalah mencengangkan.

“Lima hari?!” pekik ku tak percaya.

Mulut ku menganga. Hampir saja air liur itu menetes dan membuat pulau kecil di bawahnya.

“Tutup mulut mu, sebelum lalat hijau menggerogoti sisa makanan di gigi mu.” Ujar Yuzi dengan kepala menggeleng.

Aku seketika menutup mulu menggunakan kedua tangan. Tak lama dari itu, datang seorag pelayan degan satu mangkuk sup dan juga nasi yang masih mengepul, aroma yang tadi menggugah selera, kini sudah tersaji didepan ku.

Cacing sialan ini sudah meronta. Tahu saja rupanya, kalau ada makanan enak didepan mata.

“Letakkan disini.” Titah Yuzi pada sang pelan, yang langsung mendapat anggukan.

Kedua mataku berkedip cepat. Satu perintah sepele itu, bahkan bisa membuat sang pelayan patu. Bukan hanya itu, sang pelayan juga sampai membungkukkan tubuhnya, hanya untuk memberi hormat pada laki-laki rambut api itu.

Karena merasa diperhatikan, Yuzi menatapku sebentar, kemudain tersenyum. Dia tidak bicara apapun. Tapi hanya dengan gerakan mata saja, sudah membuat aku tahu, kalau dia menyuruhku makan, dan menyudahi opini didalam kepalaku yang terus sahut menyahut.

Selama acara makan,Yuzi tidak henti-hentinya memperhatikan pergerakan ku. Dari mulai aku menyuap, mengunyah dan menelan. Sesekali dia tersenyum dan mengelengkan kepalanya lagi.

“Jangan ngeliatin gue kayak gitu. Gue tahu, gue ganteng,” celotehku seraya menyembunykan ketegangan yang membuat keringat dingin mengalir ditulang punggung.

“Cepat persiapkan diri mu. Akan ku perkenalkan kamu dengan teman-teman sekelas mu.” Final Yuzi, sebelum akhirnya dia pergi meninggalkan aku yang masih mengantongi tanda tanya besar dikepala.

Dia sama sekali tidak memberi kesempatan aku untuk bertanya, atau minimal memberi tahu aku sedang dimana sekarang.

Dengan tergesa, aku langsung melahap habis sup yang rasanya luar biasa lezat.

Tapi untuk beberapa detik kemudian, aku kembali mengingat tentang kejadian orang tuaku yang sudah berubah menjadi tengkorak. Rasanya aneh sekali. Aku tidak merasakan sakit hati atau duka sedikitpun. Padahal kejadian itu masih ku ingat dengan sangat jelas.

Aku langsung cuci muka, gosok gigi lalu berlari keluar kamar.

Lagi-lagi aku kembali terkejut, ketika melihat suasa di luar kamar yang tidak kalah kuno nya.

“Gila!” Pekik ku takjub.

“Gue dibawa ke Jepang?” gumam ku pelan dengan saliva yang sulit sekali ku telan.

***

Continúa leyendo este libro gratis
Escanea el código para descargar la App

Último capítulo

  • VALYZARYON Pedang Naga Hitam   BAB 9. Hutan Fuchigami

    Tugas kami, menjelajahi Hutan Fuchigami adalah untuk mencari kristal energi sihir yang tersembunyi, dan kembali sebelum matahari tergelincir. Sederhana? Mata lo jebol. Aku sampai keringat dingin sepanjang latihan. Kalian tahu, Hutan Fuchigami, ternyata benar-benar seperti dunia lain. Akar menggantung seperti tali-tali makhluk hidup yang siap menjerat siapapun yang lewat. Kabut hitam samar membelai tanah, udara terasa seperti merayap menyapa permukaan kulit dan berbisik di telinga, membuat bulu kuduk berdiri sempurna. Kami berjalan pelan. Elvian di depan, Alana dan Samuel di tengah, sedangkan aku di belakang sambil sesekali menatap ke segala arah seperti anak hilang yang sedang mencari sinyal ditengah hutan. “Lo oke, Caesar?” bisik Alana tanpa menoleh. “Masih bisa napas, sih,” jawabku pelan, “walau kaki gue kayak jalan di kuburan raksasa.” Celoteh ku. "BZZZZTT!" Suara tajam dari balik semak, membuat Elvian langsung ber

  • VALYZARYON Pedang Naga Hitam   BAB 8 Kedatangan Elvian

    Keesokan paginya, suasana SMA Senin sudah seperti arena gladiator. Kami semua mengenakan jubah tempur khusus yang sudah disiapkan. Btw bukan sekadar seragam sihir biasa, ini semacam pakaian taktis yang bisa menyesuaikan dengan elemen sihir masing-masing. Bahkan gelang sihir yang melingkar di pergelangan kami juga berbeda. Bukan hanya itu, tongkat yang biasa kami gunakan, lambat laut berubah mejadi sebilah pedang. Aku sampai terkejut ketika melihat pedangku yang berukuran besar dengan cahaya hitam mengelilingi setiap bagiannya. “Wah! Serius ini punya gue? Kenapa kayak di film-film?” aku terus berdecak kagum melihat keistimewaan pedang ku sendiri. Pedang ku berbeda dari yang lain. Aku melihat pedang yang lain tidak sebesar milik ku. Dan cahaya mereka juga tidak sepekat punyaku. “Itu pedang Naga Hitam,” kata Samuel membuat aku terlonjak kaget. Karena entah sejak kapan dia ada dibelakangku. Mendengar ucapan Samuel, teman-teman

  • VALYZARYON Pedang Naga Hitam   BAB 7. Elvian Ardelas

    Langit malam di SMA Senin terasa sunyi tapi penuh dengan tekanan. Bulan merah pucat menggantung malas di atas atap sekolah. Angin berembus pelan, membawa aroma rumput dan dupa. Aku menggenggam kalung berliontin salib yang melingkar di leherku. Air mataku tiba-tiba mengalir bersama dengan sesak yang membuat dadaku terasa seperti terhimpit bongkahan batu besar. Entah sudah berapa lama aku disini. Jujur, aku merindukan tempat asalku. Merindukan ibu dan ayah. Rindu dengan kehidupan normal yang aku jalani sebelumnya. Wajahku mendongak. Menatap rembulan indah itu. Aku tetap membiarkan lelehan air mata membasahi kedua pipiku. Aku juga tidak peduli kalau ada yang melihat dan menganggap aku cengeng. Persetan dengan hal itu. Sedang asyik menikmati malam seorang diri, tiba-tiba terdengar langkah yang semula pelan, kini menjadi lebih keras. Menandakan kalau orang yang sedang berjalan itu, kini sudah lebih dekat denganku. Aku menoleh ke arah kedatangannya. Seorang laki-laki yang usianya tid

  • VALYZARYON Pedang Naga Hitam   BAB 6. Energi Sihir

    Yuzi berjalan ke tengah arena, jubahnya mengepak ringan meski tak ada angin yang menerpa. Keren sekali. Definisi orang keren tidak banyak tingkah ya Yuzi Takahiro. “Caesar!” panggilnya tiba-tiba. “Y-ya, Sensei?” sahut ku terbata. “Kamu belum punya tongkat, kan?” tanyanya lagi. Aku menggeleng. Tak lama, Yuzi mengangkat tangannya pelan. Dari langit, cahaya biru turun, melengkung seperti petir yang berhasil dijinakkan. Cahaya itu menyatu, menjadi sebilah tongkat panjang, gelap berkilau, dengan ukiran nama, Caesar A. Raharja yang di ukir dengan warna biru keemasan. Tongkat itu mengarahkannya padaku. Seolah tahu, kalau akulah pemiliknya. Tak lama, tongkat itu melayang tepat di depan wajah ku. “Ini milikmu.” Kata Yuzi, seolah memecah lamunan singkatku. Aku menatap tongkat itu, seraya menelan salivaku yang sudah terasa pahit. Bahkan udara di sekitar tongkat itu terasa berdenyut dan sedikit panas, hingga membuat ku langsung berkeringat. Belum lagi di belakangku, aku bisa mendengar

  • VALYZARYON Pedang Naga Hitam   BAB 5. Rumor Yuzi

    Tak lama setelah perkenalan yang lebih ke sebuah intimidasi di awal itu, datangla Yuzi Takahiro. Si rambut api yang katanya cukup terkenal dikalangan dunia sihir. Walau aku sendiri tidak yakin karena belum melihat langsung. Seperti dugaan, mereka semua menyambut Yuzi dengan sangat antusisa. Terlebih anak-anak gadis yang seperti melihat barang langka yang ingin mereka miliki seutuhnya. Yuzi berdiri di depan kelas dengan wajah yang sangat tenang. Tatapannya menyapu seluruh ruangan, sebelum akhirnya kembali menatapku yang masih berdiri dengan jantung berdebar tak karuan. “Duduklah, Caesar!” ucapnya. Aku langsung duduk. Sial! Aku hampir terpeleset karena buru-buru. Dan sontak membuat gelak tawa teman-teman sekelas ku termasuk Samuel, menggema diruangan kelas itu. Ingin rasanya ku sembunyikan wajah merah ku saat ini juga. “Kalian hari ini tidak akan belajar teori.” Ujar Yuzi sembari memainkan kapur yang berwarna putih ditangannya. Semua siswa langsung duduk tegak, termasuk aku. Kalo

  • VALYZARYON Pedang Naga Hitam   BAB 4. Suasana Kelas

    Pluk!! Aku langsung menoleh, ketika ada seseorang yang tiba-tiba menepuk pundak ku. Membuat mata kami langsung bertemu tatap. Tepat di depanku, ada seorang remaja yang kisaran usianya mungkin sama dengan ku. Perawakannya tinggi dengan bola mata biru ke unguan dan juga rambut dengan warna senada dengan matanya. Remaja itu tersenyum kearahku. Dia seperti sudah mengenalku, lebih dari yang aku tahu. “Caesar ya?” tanyanya, masih dengan senyuman yang ia pertahankan. Aku mengangguk samar. Baru sadar, kalau mulut ku sedikit mengerucut. Langsung saja ku ukir senyum seindah mungkin. Berharap, dia tidak menyadari kekesalan ku, karena dia tiba-tiba datang dan membuat ku kaget. “Gue Samuel. Samuel Elgara. Lo bisa panggil Samuel.” Jelasnya, masih dengan senyum yang merekah. Aku mengangguk samar, kemudian mengulurkan tangan, “Gue Caesar. Lo bisa panggil gue Kae aja biar singkat.” Setelah selesai berkenalan, Samuel mengajakku untuk pergi ke kelas. Pertanyaan ku tentang tempat ini belu

Más capítulos
Explora y lee buenas novelas gratis
Acceso gratuito a una gran cantidad de buenas novelas en la app GoodNovel. Descarga los libros que te gusten y léelos donde y cuando quieras.
Lee libros gratis en la app
ESCANEA EL CÓDIGO PARA LEER EN LA APP
DMCA.com Protection Status