“Kok, kamu bawa-bawa masalah pribadi kita sih, Dik. Aku kan, hanya menegur dia saja supaya bersikap sopan di rumah ini,” elak Mas Arman.“Sama saja, Mas. Karena ini bukan urusan Mas Arman, jadi Mas dilarang ikut campur. Lagi pula sejak kapan Mas Arman jadi sok peduli begitu padaku?”“Aku ini suamimu! Jelas aku peduli.”“Ck, basi, Mas. Apa madumu itu sudah pahit atau malah sudah busuk, jadi kamu bersikap begini padaku?”“Fatki! Aku sudah bilang aku hanya menegur anak itu saja! Jangan lantas kamu hubungkan dengan masalah kita!” bentak Mas Arman. Dia sepertinya sangat marah.Ibu yang sedang asyik nonton TV pun tergopoh-gopoh menghampiri kami.“Apa sih, Man, kok, malah marah-marah begini? Kamu juga Fatki pasti kamu kan, yang sudah buat suamimu marah begini?” ucap ibu.“Iya, memang benar Bu, aku yang buat Mas Arman marah, lantas Ibu mau apa?” tanyaku kesal.Sumpah demi apa pun aku kali ini tidak bisa mengontrol emosi. Hatiku benar-benar panas.“Eh, dasar bocah gendeng! Ini otak dipakai. Sa
Assalamualaikum selamat siang semuaaa Alhamdulillah Fatki sudah tayang lagi. Yuk, bantu follow akunku biar aku makin semangat nulisnya ☺️Happy reading everyone wajib like dan komentar.🌸🌸🌸POV Reni“Mbak, mau tanya kalau kita mau ke kota karang itu lewat mana, ya?” tanyaku pada Mbak yang tadi menegurku. Syukurlah dia belum pergi.“Itu jauh banget naik bus saja 6 jam perjalanan. Emang Mbaknya mau ke tempat siapa?”“Mau ke rumah saudara. Jemput mamaku di sana,” jawabku berbohong. Aku tidak mungkin menceritakan masalahku ke sembarang orang. Takutnya nanti malah ada orang jahat padaku.“Oh, gitu, apa ada alamatnya?” tanyanya penasaran.“Ada, aku ingat alamatnya karena mamaku semalam telepon.”“Oh. Biasanya sih, kalau mau ke sana suka ada bus yang isi bensin di sini. Nah, nanti kamu ikut saja,” jelasnya. Pandangannya tak luput dari tas ransel yang kubawa.“Busnya warna apa, Mbak?”“Enggak tentu si, warna apa aku tidak paham, tapi yang jelas di kaca belakang bus ada tulisannya kok, Raja
“Iya, Mbak enggak apa-apa. Kita ngobrol di sini saja. Oh, iya, bajuku ada yang basah karena tadi hujan di jalan. Boleh saya masuk kamar mandinya lagi untuk cuci bajuku?” Kulihat dia gelisah, tangannya meraba-raba kantong celananya. Aku tahu pasti dia enggak ada uang untuk membayarkan sewa kamar mandiku.“Tenang saya bayar sendiri, Mbak. Saya kalau duit recehan ada tadi sebelum berangkat aku bongkar celengan,” kataku lagi seraya tertawa sumbang. Tiga kali sudah aku berbicara pada gadis baik hati ini.“I—iya, bukan maksudku begitu. Anu, saya ternyata enggak ada uang,” katanya lagi seraya menggaruk pipinya yang kurasa tak gatal.Aku segera masuk ke kamar mandi mencuci bajuku yang basah karena kehujanan semalam. Untung tadi aku beli perlengkapan mandi sekaligus sabun cuci jadi aman.“Mbak, jemurnya di mana?” tanyaku lagi. Aku berasa jadi orang paling merepotkan hari ini.“Di sana aja Mbak, bawah pohon mangga tadi. Aman kok,” jawabnya ramah.Aku istirahat di teras masjid Pertamina ini m
“Aku juga sudah tidak punya ayah, Rum. Ayahku meninggal saat aku masih kecil. Lalu ibuku menikah lagi.”“Jadi, ibumu sama ayah tirimu kerja di kota, Ren?” Aku mengangguk.“Ayah tirimu baik?” Aku mengangguk lemah. Tak mungkin kubuka identitas ayah di sini. Salah ucap aku tidak bisa kabur dari sini.“Syukurlah kalau baik. Kalau ayahku menikah lagi dan aku punya ibu tiri pasti lain lagi ceritanya. Di mana-mana kan, Ibu tiri jahat,” ujar Arum lagi.“Tapi, enggak semuanya juga ibu tiri jahat dan bapak tiri baik, Rum. Terganggu pribadi masing-masing.”“Iya, betul. Ngomong-ngomong umurmu berapa tahun, Ren? Sepertinya kamu lebih muda dariku?”“Aku 15 tahun, kalau kamu?”“Aku 17 tahun kelas XI SMA.”“Wah, ternyata kamu sekolah SMA? Keren sekali. Gimana rasanya sekolah? Apa seperti di TV itu?”“Kamu lihat TV?”“Iya, di rumah tetangga. He he he. Apa kamu punya TV, Ren?”“Punya, aku punya semuanya, tapi aku tidak betah di rumah. Makanya aku mau nyusul ibuku saja,” jawabku lagi-lagi berbohong.~K~
"Mbak kok, ada Mas Fais di sana" Tunjuk Susanti.Benar juga ada Mas Fais dan Mbak Lintang di depan ruko kami.Ada juga Bu Hajjah Halimah. Mungkin saja itu yang dimaksud Bu Hajjah halimah bahwa akan ada pembeli rukonya."Mungkin Mas Fais yang akan beli rukonya Bu Hajjah Halimah, San""Berarti nanti ruko yang Mbak sewa jadi milik Mas Fais, ya, Mbak?“Ya mungkin saja, begitu, San. Ayok, kita masuk! Aku sudah tidak sabar mau masuk rukoku,” ajakku pada Susanti. Dia pun tak kalah semangatnya denganku.Dengan mengucap Bismillah aku masuk rukoku. Tempat usaha baruku. Di sini semoga rezekiku tambah banyak dan berkah jadi bisa membuka lapangan pekerjaan bagi orang lain.Begitu masuk aku langsung sujud syukur. Susantilah pun ikut sujud syukur. Aku sampai menitikkan air mata. Aku tidak pernah menyangka akan melangkah sejauh ini.Pernikahan pahit yang kujalani membawa hikmah yang begitu besar. Mungkin jika aku tidak ditinggal nikah lagi sama Mas Arman, aku tidak akan sampai di titik ini.Aku masi
“Woi, Mbak sini! Jangan berdiri aja di situ, mau jadi manekin! Enggak usah jaim-jaim ayo, sini dari pada enggak ada tempat duduk!” teriak Susanti. Seketika semua orang menoleh padaku. Bu Hajjah Halimah dan rombongan tertawa.Ya Allah tuh, anak kapan enggak buat aku malu!“Assalamu’aliakum ... permisi Bu Hajjah, maaf ini kami merepotkan,” sapaku basa basi. Segera kuambil tempat duduk dekat Susanti.“Wa’alaikumsalam ... Mbak Fatki silakan pesan nanti biar sekalian sama Ibu.”“Kita? Idih, Mbak Fatki aja kali, aku mah enggak merepotkan,” sahut Susanti. Lagi-lagi rombongan Bu Hajjah tertawa karena ulah Susanti.“Maaf, Bu Hajjah ....” ucapku lagi benar-benar tidak enak.“Santai aja, Mbak Fatki. Oh, iya, dari ruko, ya?”“Iya, Bu Hajjah. Kami habis beres-beres lantai atas. Makanya capek banget ini langsung cus cari makan,” jawab Susanti.“Masya Allah rajin sekali. Berarti bakalan disayang bos kalau rajin gitu,” timpal Mbak Lintang.”“He’em betul, Mbak. Buktinya ini ditraktir bakso, tanpa pot
“Iya, benar itu aku yang buat. Dari mulai design, pilih bahan dan juga jahitnya. Ustazah yang nyerahin semuanya jadi aku kerjakan sebisanya,” jawabku jujur.“Tapi, hasilnya luar biasa wow loh, Mbak. Aku kira Mbak Zahra beli di butik khusus baju pengantin. Mana harganya murah lagi,” sahut Mbak Lintang.“Masya Allah. Terima kasih, Mbak. Aku juga masih terus belajar biar jahitan makin bagus dan rapi,” jawabku senang sekaligus heran. Orang sekelas mereka memuji design dan jahitanku.“Besok, Ibu juga insya Allah mau jahit sama kamu saja lah, Mbak. Nanti sewaktu nikahan Fawas,” ucap Bu Hajjah Halimah.“Masya Allah yang benar, Bu? Dengan senang hati akan aku layani," jawabku.“Sorry, Bu. Aku enggak mau! Aku sudah ada langganan butik terkenal,” sahut pacarnya Mas Fawas. Seketika aku tidak enak hati.“Loh, bukannya semalam Kak Dewi juta bilang bagus, ya?” tanya Mbak Lintang.“Iya sih, tapi kalau yang buat designerku jauh lebih hebat dan lebih bagus dari itu,” jawabnya.“Kalau Kak Dewi enggak
“Mbak Fatki, ya Allah!” Susanti panik lalu menolongku.Badanku sakit sekali. Intan benar-benar keterlaluan. Aku sudah tahan diri untuk tidak meladeninya ini malah dia seenaknya sendiri.“P—ak Fais?” Intan tergagap. Dia menutup mulutnya sendiri. Pasti dia kaget dan tidak menyangka dosen idolanya ada di sini.“A—duh, maaf. Sa—ya tidak sengaja,” ucap Intan lagi. Dia seperti orang kebingungan.Susanti meradang. Didorongnya Intan dia menabrak kursi jatuh terjengkang, hingga drees Intan tersingkap.Semua orang kaget kami langsung jadi pusat perhatian. Pasti Bu Hajjah Halimah dan rombongan sangat malu karena kejadian ini. Mereka tidak tahu apa-apa malah ikut jadi sorotan.“Kamu kurang ajar sekali!” Mas Arman marah dan hendak menampar Susanti, tapi tangannya ditahan Mas Fawas. Mas Arman aneh, bukannya menolong adiknya malah sibuk membalas Susanti.“Tahan, Bro! Jangan main kasar sama perempuan. Malu sama gender kita,” ucap Mas Fawas.“Jangan ikut campur! Anak labil ini sudah mendorong adikku.