"Mbak kok, ada Mas Fais di sana" Tunjuk Susanti.Benar juga ada Mas Fais dan Mbak Lintang di depan ruko kami.Ada juga Bu Hajjah Halimah. Mungkin saja itu yang dimaksud Bu Hajjah halimah bahwa akan ada pembeli rukonya."Mungkin Mas Fais yang akan beli rukonya Bu Hajjah Halimah, San""Berarti nanti ruko yang Mbak sewa jadi milik Mas Fais, ya, Mbak?“Ya mungkin saja, begitu, San. Ayok, kita masuk! Aku sudah tidak sabar mau masuk rukoku,” ajakku pada Susanti. Dia pun tak kalah semangatnya denganku.Dengan mengucap Bismillah aku masuk rukoku. Tempat usaha baruku. Di sini semoga rezekiku tambah banyak dan berkah jadi bisa membuka lapangan pekerjaan bagi orang lain.Begitu masuk aku langsung sujud syukur. Susantilah pun ikut sujud syukur. Aku sampai menitikkan air mata. Aku tidak pernah menyangka akan melangkah sejauh ini.Pernikahan pahit yang kujalani membawa hikmah yang begitu besar. Mungkin jika aku tidak ditinggal nikah lagi sama Mas Arman, aku tidak akan sampai di titik ini.Aku masi
“Woi, Mbak sini! Jangan berdiri aja di situ, mau jadi manekin! Enggak usah jaim-jaim ayo, sini dari pada enggak ada tempat duduk!” teriak Susanti. Seketika semua orang menoleh padaku. Bu Hajjah Halimah dan rombongan tertawa.Ya Allah tuh, anak kapan enggak buat aku malu!“Assalamu’aliakum ... permisi Bu Hajjah, maaf ini kami merepotkan,” sapaku basa basi. Segera kuambil tempat duduk dekat Susanti.“Wa’alaikumsalam ... Mbak Fatki silakan pesan nanti biar sekalian sama Ibu.”“Kita? Idih, Mbak Fatki aja kali, aku mah enggak merepotkan,” sahut Susanti. Lagi-lagi rombongan Bu Hajjah tertawa karena ulah Susanti.“Maaf, Bu Hajjah ....” ucapku lagi benar-benar tidak enak.“Santai aja, Mbak Fatki. Oh, iya, dari ruko, ya?”“Iya, Bu Hajjah. Kami habis beres-beres lantai atas. Makanya capek banget ini langsung cus cari makan,” jawab Susanti.“Masya Allah rajin sekali. Berarti bakalan disayang bos kalau rajin gitu,” timpal Mbak Lintang.”“He’em betul, Mbak. Buktinya ini ditraktir bakso, tanpa pot
“Iya, benar itu aku yang buat. Dari mulai design, pilih bahan dan juga jahitnya. Ustazah yang nyerahin semuanya jadi aku kerjakan sebisanya,” jawabku jujur.“Tapi, hasilnya luar biasa wow loh, Mbak. Aku kira Mbak Zahra beli di butik khusus baju pengantin. Mana harganya murah lagi,” sahut Mbak Lintang.“Masya Allah. Terima kasih, Mbak. Aku juga masih terus belajar biar jahitan makin bagus dan rapi,” jawabku senang sekaligus heran. Orang sekelas mereka memuji design dan jahitanku.“Besok, Ibu juga insya Allah mau jahit sama kamu saja lah, Mbak. Nanti sewaktu nikahan Fawas,” ucap Bu Hajjah Halimah.“Masya Allah yang benar, Bu? Dengan senang hati akan aku layani," jawabku.“Sorry, Bu. Aku enggak mau! Aku sudah ada langganan butik terkenal,” sahut pacarnya Mas Fawas. Seketika aku tidak enak hati.“Loh, bukannya semalam Kak Dewi juta bilang bagus, ya?” tanya Mbak Lintang.“Iya sih, tapi kalau yang buat designerku jauh lebih hebat dan lebih bagus dari itu,” jawabnya.“Kalau Kak Dewi enggak
“Mbak Fatki, ya Allah!” Susanti panik lalu menolongku.Badanku sakit sekali. Intan benar-benar keterlaluan. Aku sudah tahan diri untuk tidak meladeninya ini malah dia seenaknya sendiri.“P—ak Fais?” Intan tergagap. Dia menutup mulutnya sendiri. Pasti dia kaget dan tidak menyangka dosen idolanya ada di sini.“A—duh, maaf. Sa—ya tidak sengaja,” ucap Intan lagi. Dia seperti orang kebingungan.Susanti meradang. Didorongnya Intan dia menabrak kursi jatuh terjengkang, hingga drees Intan tersingkap.Semua orang kaget kami langsung jadi pusat perhatian. Pasti Bu Hajjah Halimah dan rombongan sangat malu karena kejadian ini. Mereka tidak tahu apa-apa malah ikut jadi sorotan.“Kamu kurang ajar sekali!” Mas Arman marah dan hendak menampar Susanti, tapi tangannya ditahan Mas Fawas. Mas Arman aneh, bukannya menolong adiknya malah sibuk membalas Susanti.“Tahan, Bro! Jangan main kasar sama perempuan. Malu sama gender kita,” ucap Mas Fawas.“Jangan ikut campur! Anak labil ini sudah mendorong adikku.
“Mas, maaf gara-gara aku baju Mas Fais jadi basah kena tumpahan kuah bakso. Sudah gitu tadi Mas Fais ikut jatuh, ” ucapku tulus kuanggukkan kepala berkali-kali. Aku ingat orang Korea dari film yang kutonton kalau minta maaf sedikit membungkukkan badan.“Eh ... iya, Mbak. Sudah jangan begitu aku tidak apa-apa."“Iya, Mas aku juga minta maaf ya, tolong jangan ceritakan pada Ustazah Zahra kami malu,” sahut Susanti dia ikut-ikutan membungkukkan badan.“Kalian Ini, aku sudah bilang tidak apa-apa santai saja. Kalau gitu aku permisi duluan, ya?” Aku dan Susanti kompak mengangguk.Setelah mobil Mas Fais pergi, kami juga segera pulang. Sore ini gagal total balik lagi ke ruko gara-gara ulah si Intan biang kerok itu.“Mbak, kita pulang kan?” tanya Susanti.“Iya, pulang. Besok pagi-pagi sekali kita ke Ruko sekalian kamu cari orang ya, San, untuk bantu-bantu bersih-bersih lantai bawah. Kalau siang beres sorenya kita bisa langsung angkut barang,” kataku.“Siap, Bu Bos! Kita ketemuan jam berapa?”“
“Itulah kehidupan, San. Memang kadang tak adil untuk kita. Kita hanya tinggal menjalaninya saja.”“Iya, Mbak. Aku sudah kenyang Mbak kalau dibuli. Dari kecil aku dibuli. Bukan karena suatu kesalahan yang aku perbuat, tapi karena kemiskinan kami. Makanya aku tumbuh jadi pribadi yang mudah emosi dan gampang tersinggung. Aku juga jadi lebih peduli pada orang lain. Aku merasakan enggak enaknya dibuli, jadi kalau ada orang lain yang buli jiwa bar-barku meronta-ronta. Ingin membela dan membalasnya.”“Iya, San, Mbak paham. Alhamdulillah enggak kerasa kita sudah sampai. Terima kasih banyak ya, sudah jadi pendengar setia Mbak hari ini. Besok jangan lupa pagi-pagi,” ucapku seraya melepas helm.“Siap, Bos!”Baru saja Susanti hendak pergi, datang Intan dan pacar barunya alias mantan pacar Susanti.Mereka bertemu pandang, Susanti hendak pergi, tapi ditahan oleh Intan. Ck, ini orang pasti mau buat masalah lagi.“Mau apa?” tanya Intan.“Mau buat perhitungan sama kamu, karena kamu tadi sudah sok, ja
“Aah, ayangku, kamu pulangnya lama sekali sih, aku kan, kangen berat padamu,” teriak Ika dengan manjanya lalu memeluk bapak. Bapak menoleh pada kami. Mungkin karena merasa tidak enak pada kami bapak melepaskan pelukan Ika.“Pak!” Kusalami bapak.Ibu diam saja. Beliau menutup kembali pintu ruang jahitku lalu masuk kamar. Begitu pun Mas Arman. Dia langsung masuk lamar lagi tanpa mau bersalaman dulu dengan bapak.Sepertinya bapak tidak mau ambil pusing. Beliau malah sibuk bercengkrama dengan Ika dan mengajak ngobrol anak mereka yang masih di perut Ika. Mengelus mesra perut Ika.Aku yang melihat saja perih apa lagi ibu yang merasakannya juga. Tapi Kenapa ibu tidak juga sadar akan semua kesalahannya? Harusnya ibu bisa mengambil hikmah dari semua ini. Jika kuat bertahan dan berdamai, jika tidak lepaskanlah.Kalau begini ceritanya ibu sama saja menyiksa hatinya sendiri. Anak-anak sudah besar. Mau mempertahankan apa lagi? Seusia ibu dan bapak harusnya bukan lagi memikirkan tentang cinta, tapi
“Jaga mulutmu, Fatki atau aku sobek pakai ini!” Ika mengacungkan silet padaku.“Mengancam? Lakukan saja kalau bisa,” tantangku.Ika diam saja tak berani mendekat. Halah mental kerupuk begitu beraninya main ancam.“Eh, belum tidur Fatki, sudah malam loh, ini?” ujar bapak ketika keluar dari kamar mandi.“Habis negur Ika, Pak. Dia ambil dompet Bapak dari dalam tas. Kataku itu tidak sopan eh, malah Ika marah-marah padaku . Itu dia megang silet katanya mau nyilet mulutku karena tidak mau dinasehati.”Ika tergagap pasti dia tidak akan menyangka kalau aku bakalan mengadu begini.“Ika, ya Allah, jangan ceroboh begini kamu bisa celaka sendiri. Siniin siletnya! Uang di dompet harus dibagi dulu dengan adil!" seru bapak. Ika memberikan silet itu dengan perasaan dongkol padaku. Matanya tajam menatapku. Jelas sekali gambaran kebencian di sana.“Pak, ini selimutnya. Bapak istirahatlah.”“Terima kasih, Nak.” Aku mengiyakan lalu masuk kamar.Rasanya lega dan enak sekali meluruskan pinggang setelah se