🌸“Ada apa ya, Mbak, Nenek lampir itu ke sini? Ih, firasatku enggak enak, nih?” bisik Susanti.Kukedipkan mataku agar Susanti tidak sembarangan ngomong. Tidak enak kalau didengar orang.“Kalau begitu biar saya suruh satpam untuk buka pintu gerbangnya,” ujar Bu Hajjah Halimah.“Jangan, Bu Hajjah! Kami sudah mau pulang ini kebetulan habis Maghrib ada acara pernikahan anaknya guru ngaji saya,” pamitku.Aku tidak mau kalau ibu dan Intan masuk rumah Bu Hajjah Halimah, bisa-bisa panjang urusannya.Bu Hajjah Halimah terlihat bingung. Begitu juga anaknya.“Benaran enggak usah?” tanya beliau lagi.“Iya, benar Bu Hajjah, enggak usah. Itu pasti tadi ibu mertuaku bingung karena aku pergi tidak pamit. Kami buru-buru sekali.” Meski ibu mertuaku jahat padaku tidak lantas aku menjelekkan-jelekkan dirinya di depan orang lain.“Oh, ya, sudah kalau gitu. Kita ketemu besok di ruko. Insya Allah ... kebetulan juga Ibu mau ke sana ada calon pembeli.”“Insya Allah ya, Bu. Kami pamit assalamualaikum ....” K
“Bukan perkara aku lebih nurut ada siapa, Mas, tapi ini tentang etika bertetangga dan adab pada guru. Toh, selama ini aku nurut dan patuh padamu, tapi tidak pernah dihargai sama sekali, kan? Justru pengkhianatan yang aku dapat,” jawabku menohok. Mas Arman melompong seperti gentong. Pasti dia merasa tersindir sekali dengan ucapanku.Dari luar sudah terdengar suara motor Intan. Aku segera masuk tanpa mau mempedulikan panggilan Mas Arman. Berdebat sampai kiamat juga enggak bakalan kelar.Sedikit berlari aku menyambar handuk di jemuran samping dapur lalu masuk kamar mandi.Lebih baik aku mendengar suara gemercik air yang keluar dari kran dari pada hari mendengarkan repetan ibu mertuaku.“Cepetan, Mbak! Kamu mandi apa semedi lama amat!” teriak Intan seraya menggedor-gedor pintu kamar mandi.Klek!“Apa sih, kamu itu, Tan! Ribut aja! Apa mulutmu itu tidak capek?” tegurku.“Mulut-mulutku sendiri kok, bawel si, Mbak. Cepetan awas, aku mau pipis!” Intan mendorong tubuhku hingga hampir terjungk
“Iya, juga, sih, Mbak. Nah ... sudah siap. Ini temanku juga sudah WA aku. Dia juga sudah siap.”“Baik. Sekali lagi terima kasih ya, Mbak. Nanti honornya aku tranfser aja ya, Mbak.”“Iya. Sekali lagi terima kasih banyak ya Mbak, sudah order make -upku.”“Sama-sama. Recommended banget, nih, nanti kalau ada yang tanya sekalian aku promosikan.“Beneran, Mbak, wah, makasih, ya?”Kami keluar bersama. Semua orang yang di ruang makan memandangku takjub. Terutama Mas Arman.“Gimana make-up aku? Bagus kan, Bu, Tan?”Tidak ada yang bersuara, tapi aku tahu di balik diamnya mereka ada rasa takjub yang tidak mau mereka ungkapkan.“Ka—mu cantik sekali, Dik. Aku sampai pangling,” ucap Mas Arnan“Kondangan di mana, sih, Mbak kok, cetar banget. Sampai sewa Mua segala?” tanya Intan penasaran.“Ke nikahan anaknya Ustazah Zahra.”“Oo ... pantes pakaiannya begitu.”Aku melihat gamis yang kupakai tidak ada yang salah malahan bagus, berkelas. Ah, mungkin maksud Intan bukan pakaian seperti miliknya kalau kon
“Tu—nggu dulu, aku ikut ya, Mbak Fatki?” Intan menggandeng lengan tangan dan mencubit pinggangku.“Ikut? Kamu, kan, enggak diundang?” jawabku.Wajah Intan seketika memerah bak kepiting rebus pasti dia menahan malu. Ha ha ha makanya jangan main kasar. Emang enak aku kerjain. Kalau enggak mau dicubit jangan nyubit orang duluan.“A—ku mau temanin Mbak Fatki,” ujar Intan lagi. Tidak mau menyerah rupanya. Intan ngebet sekali ikut pasti karena ada pak dosen idolanya. He he he dasar ABG labil.“Enggak bisa, ini sudah malam nanti kita telat datang ke acaranya apalagi kamu dandanya lama banget. Kasihan ini Mas Fais nunggu lama. Iya, kan, Mas?” sahut Susanti.“I—ya, ini umiku sudah kirim pesan menanyakan sudah sampai mana,” jawabnya tanpa menoleh pada kami. Pandangannya sibuk ke ponsel.“Nah, betul sekali. Ayo, kita berangkat!” ajakku.Aku lihat Intan sangat kesal lalu membanting pintu.Aku dan Susanti duduk di bangku belakang. Mobil Mas Fais ini sangat bagus. Honda Civic keluaran terbaru. Mulu
“I—ya, Mbak ... maaf deh!Mas Fais muncul dari sebelah kiri bersama rombongan pengantin pria.Sekarang Mas Fais sudah ganti kostum. Kalau tadi pakai kemeja sekarang dia ganti pakai batik. Itu mungkin yang membuat dia izin sebentar karena mau ganti baju.Mas Fais tersenyum ke arah kami seraya melambaikan tangannya. Susanti ikut melambaikan tangannya. Aku diam saja tengok kanan-kiri takut salah. Sudah ger-er ternyata bukan melambaikan tangannya pada kami.Mas Fais mempersilakan rombongan itu untuk masuk ke dalam lewat pintu khusus untuk tamu laki-laki.Ternyata tamunya di pisah. Antara laki-laki dan perempuan.Setelah mengantar rombongan pengantin itu Mas Fais menghampiri kami.“Maaf ya, Mbak, lama banget ya, nunggunya, tadi rombongan pengantinnya salah jalan alias kesasar jadi, nunggu di depan dulu. Terus kami melaksanakan salat isya dulu di masjid sebelah. Ayo, masuk, sudah ditunggu, Umi,” jawab Mas Fais.“Enggak apa-apa Mas, mau lama kayak apa pun aku tetap setia menunggu,” ujar S
“Mbak benar kan, itu Mbak Lintang? Itu, tu ... lagi ngobrol sama Mas Fais.” Kuikuti arah jari Susanti. Benar saja itu Mas Fais sedang ngobrol dengan Mbak Lintang. Mereka terlihat akrab sekali.“Cocok ganteng dan cantik udah gitu sama-sama tajir melintir, tir, tir,” ujar Santi.“Iya, benar. Memang ya, kalau jodoh itu ada kemiripan.”“Ke sana, yuk, Mbak. Kita belum disapa sama Mbak Lintang.”“Eh, jangan ... enggak usah sok akrab. Mereka orang kaya, beda dengan kita, San.”“Eh, iya, juga, sih, Mbak. Ya, udah kita foto aja, yuk, kita kan, belum foto.”Akhirnya aku dan Susanti foto-foto sendiri dengan berbagai gaya. Di sini tidak ada yang kenal kami, jadi mereka hanya menyapa saja. Sedang tuan rumah masih sibuk.Aku sama sekali tidak mempermasalahkan itu dan aku sangat maklum. Sudah diundang ke sini aja aku bahagia sekali.“Coba lihat, San, fotonya?” Kulihat foto kami berdua. Memang cantik dari biasanya pantas saja di rumah tadi semua orang pangling.“Kirim ke HP-ku ya, San, mau aku kirim
Assalamualaikum selamat pagi semua Alhamdulillah Fatki sudah tayang lagi ... siapa nih, yang sudah nungguin ... btw bantu follow akunku yuk! Biar aku makin semangat nulisnya.Happy reading, wajib like dan komentar 💕🌸🌸🌸Brak!Brak!Kutendang berkali-kali hingga pintu dapur ini benar-benar roboh.Lampu dapur langsung hidup. Ada ibu, Reni, dan Intan yang sudah siap menerkamku. Di tangan mereka masing-masing membawa senjata untungnya sih, bukan senjata tajam hanya sapu dan gebukan kasur saja.“Fatki ya, ampun! Tingkahmu sudah kayak maling saja!” bentak ibu seraya berkacak pinggang. Aku sama sekali tidak takut.“Untung tadi belum kita teriaki maling, Bu. Kalau kita teriaki terus digebukin masa kayaknya seru, biar kapok sekalian!” sahut Intan.“Kelakuan perempuan kok, kayak, gitu! Ibu enggak mau tahu kamu dandanin pintu ini malam ini juga! Kalau tidak kamu tidur di luar!”Aku malas dengar repetan ibu. Gegas aku ambil gelas dan minum. Rasanya haus sekali.“Ini kuping dengar, enggak, sih
“Entah deh, enggak janji. Tergantung Fatki mau bersikap manis atau tidak. Sudah kamu jangan seperti orang bodoh begitu. Nikmati saja peranmu. Kamu kan, ganteng, jadi wajar kalau punya istri dua. Lagi pula kamu itu jangan hanya menyalahkan Ibu saja. Ini sudah terlanjur. Kita kan, sudah sepakat. Lagi pula kamu suka juga kan, sama Reni.”“Suka, Bu, tapi aku tidak cinta padanya.”“Halah, persetan dengan cinta. Nanti kalau anakmu sudah lahir juga kamu bakalan cinta sama dia.”“Entahlah, Bu. Tapi, hidupku tanpa Fatki rasanya hambar sekali. Apalagi tadi Fakti pergi sama dosennya Intan. Itu ancaman banget untukku, Bu.” Curhat Mas Arman.“Halah, enggak usah khawatir dan kamu itu enggak usah terlalu dramatis, Man. Mana mungkin itu dosen terpikat sama Fatki. Meski, dia itu cantik, tapi yang laki-laki butuhkan itu bukan hanya cantik. Keturunannya pun dibutuhkan. Ibu yakin itu laki-laki bujang enggak mau sama Fatki. Mahasiswinya saja banyak yang cantik, tajir, pintar, dan juga subur.”“Iya, aku ta