Share

03. Terlalu Menggoda

"Waw, ini pertama kalinya aku melihat mansion di tengah hutan."

Sebagai orang biasa, hidup di kehidupan normal bermasyarakat modern, Elora terus dibuat takjub dengan apa yang dilihatnya, terutama mansion Grim, rumah besar yang dihuni oleh Duke.

Bangunan megah itu memiliki dua pilar utama yang dirambati oleh tanaman benalu dengan bunga-bunga ungu kecil, di lantai atas terdapat balkon yang juga penuh oleh tanaman merambat.

Sebenarnya, hampir seluruh tembok telah dirambati tanaman serta lumut, nyaris seperti menyatu dengan alam. Jadi, tidak jelas apa warna asli tembok luar mansion itu.

Di depan pintu, terlihat ada dua orang, satunya pemuda berambut coklat keemasan, satunya pria tua yang memakai seragam pelayan lengkap dengan bros perak berbentuk lambang keluarga Grim di dadanya.

Damio memperkenalkan mereka. Dia lebih dahulu menunjuk ke si pria tua, "Elora, ini kepala pelayan di rumah ini, namanya Haervis." Kemudian dia beralih menuding ke pemuda dengan sorot mata datar tadi. "... ini pengawal pribadiku, Fionnan."

Sang kepala pelayan membungkuk sedikit di hadapan Elora, sementara pemuda itu hanya menunduk sedikit—dia sepertinya curiga.

Damio kembali bicara, "ini Elora, mulai sekarang, dia akan tinggal bersama kita. Kalian juga pasti sudah sadar kalau dia vampire dari daratan Vesper, tapi jangan khawatir, dia sangat lemah, tidak membahayakan sama sekali."

Elora menatap Damio. Dia kembali takut.

Entah kenapa, perasaannya makin tidak enak di rumah ini. Di novel tak dijelaskan lebih lanjut tentang sosok Duke Damiano Grim, karena dia hanyalah karakter sampingan.

***

Elora menghabisnya waktu sore dengan berendam air hangat, membersihkan tubuh.

Usai mandi, dia memakai gaun tidur kasual. Gaun selutut berwarna putih berbahan sutra itu memiliki renda. Alhasil, Elora kelihatan begitu cantik dan feminin sekarang.

"Aku masih tidak percaya ini terjadi. kok bisa? Apa aku mati? Aku tidak ingat apa-apa." Dia bicara sendiri sambil duduk di pinggiran ranjang, lalu memperhatikan sekitar.

Suasana kamar mewah ini agak redup, lampu utama telah dimatikan, sehingga tingga penerangan dari lampu di meja-meja.

Perabotan di sini serba kayu terhias oleh ukiran indah bernilai seni tinggi, jendela-jendela tinggi terpasang tirai putih lembut. Indah dan mewah.

"Jadi begini rumah seorang bangsawan? aroma udaranya saja berbeda ..." Elora masih kikuk dan grogi melihat semua barang di sini. Dia mengusap-usap hidungnya, "... ini barusan harum, kenapa jadi bau manis lagi?"

"Mungkin karena kamu mencium darahku."

"Ah!" Elora menoleh kaget.

Ternyata, Damio sudah berdiri di ambang pintu kamar yang terbuka. Seperti biasa, langkahnya tak terdengar, seperti angin lewat.

"Apa aku mengagetkanmu? Maaf, kamu harusnya menutup pintu dengan benar. Apa kamu sengaja ingin diintip seseorang?" kata pria itu sambil berjalan masuk, dan menutup pintu.

Dia mendekat, seenaknya duduk di tepian ranjang pula, tepat di sebelah Elora.

Elora pindah posisi duduk lebih jauh. Akan tetapi, Damio terus mendekatinya.

Senyum misterius mengembang di bibir pria bangsawan itu. Senyuman yang sukses membuat Elora terpesona sekaligus ketakutan lagi.

Pria itu bertanya, "Kenapa tegang sekali? aku tidak berencana menyakitimu . Kita sudah melakukan perjanjian, jadi kamu aman denganku."

"Aku tidak bodoh, aku harus tetap waspada, kamu berbahaya."

Mendengar itu, Senyuman Damio perlahan menjadi seringai, makin menegangkan untuk dilihat.

Dia mencubit dagu Elora, lalu menyindir lirih, "Kamu sudah tahu aku berbahaya, tapi kamu tetap nekad masuk wilayahku. Apa namanya kalau bukan bodoh?"

Elora menjauhkan wajahnya, namun tak berani menepis jemari Damio dari dagunya.

Damio berbisik lagi, "tapi tidak apa-apa, seseorang kalau putus asa cenderung bertindak bodoh. Kamu takut para pemburu vampire kerajaan, jadi kamu mencari perlindungan kepadaku. Nekad, tapi cukup pintar."

Saat wajah Damio makin dekat, gelora aneh dalam diri Elora bangkit. Antara insting vampire yang tergoda oleh darah pria itu, juga sisi wanitanya yang terbuai dengan ketampanannya.

Aroma darah pria itu mulai merambat dari hidung ke kepalanya. Dia memohon, "Tolong menjauhlah sedikit dariku."

"Kenapa?"

"Aku tidak tahan."

"Apanya?"

Elora tidak menjawab, rasanya ingi menerkam Damio saat ini juga.

Sentuhan Jari Damio beralih dari dagu ke pinggiran bibir Elora. Dia menekan bibir bawah wanita itu, melihat gigi taring mungilnya.

Dia tersenyum, lalu menggoda lagi dan lagi, "aku tahu kamu belum puas tadi. Kamu mau lagi? mau darahku lagi, iya 'kan?"

Elora meneguk ludah, mulutnya sudah sedikit terbuka. Pandangan matanya megarah ke leher mulus Damio.

Damio makin mendekatkan wajah mereka. Dia berkata, "aku sudah bilang 'kan, kamu boleh menghisap darahku kapanpun."

"Tapi ... kamu nanti ..."

"Aku kuat. Kalau hanya untuk memenuhi kebutuhan dahaga vampire kecil sepertimu, tidak akan membuatku lemas sama sekali."

Elora benar-benar dibuat gila dan mabuk kepayang oleh pria ini. Akal sehatnya perlahan lenyap kalau sudah terlalu tergoda.

Damio mendekatkan bibir di telinga Elora. Dia juga bisa mecium aroma harum khas sabun mawar mengelilingi leher wanita vampire ini.

"Gigit saja aku, puaskan dahaga kamu malam ini," bisiknya penuh rayuan.

Elora bimbang. Bagaimana kalau dia kecanduan darah Damio? Apa nantinya bisa diperbudak?

Tetapi, dia sudah tak kuat menahan ini, jadi dia kembali menggigit leher Damio di sekitar gigitannya tadi siang.

Karena terlalu semangat, dia sampai mendorong Damio hingga jatuh terbaring di atas ranjang.

Elora menindih dada keras Damio, makin nempel ke leher pria itu. Dia kelihatan seperti vampire yang belum minum selama berabad-abad.

Damio tersenyum, sambil mengelus rambut panjang Elora. "Kamu liar sekali malam ini."

***

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Kikiw
ini Damio bener2 diluar nurul tingkahnya
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status