Bab 5
*
“It's a fucking scandal, Pa!” Angga menelan ludah dengan susah payah saat mendapati Bima berdiri di depan pintu kamar dengan tatapan melongo.
Bima Pramudya, lelaki yang selama ini terlihat begitu setia. Lelaki yang terlihat sangat harmonis, hingga dengan pesonanya bisa membangun kepercayaan dari anak-anak dan istrinya, bahkan orang lain di luar sana.
Tangan itu memasukkan kembali ponsel ke dalam saku celana. Angga menatap tajam pada papanya, tapi perlahan air di sudut matanya luruh seketika.
Bibirnya bahkan bergetar tak mampu berkata apa-apa. Ia seolah kehilangan kata untuk kejadian dan suasana yang saat ini ia hadapi.
Angga mendekat pada Bima. Kini keduanya berdiri berhadapan. Angga menyeka sudut matanya, sedangkan Bima menatap anak sulungnya dengan wajah pias, malu, juga sulit dijelaskan.
Sementara Selly hanya berdiri di belakang Angga, tak berani mendekat pada Bima. Ia takut Angga mendorongnya lagi, bahkan dorongan tadi berhasil membuat punggungnya terasa sakit, juga kepalanya sedikit pusing terantuk dinding apartemen.
Angga masih menatap tajam papanya. Ia memejamkan mata demi meredam rasa sakit yang tengah ia rasa. Kepercayaan yang selama ini dibangunnya untuk Bima, runtuh seketika. Lelaki itu mengkhianati mamanya, dan ia tak bisa memaafkan itu semua. Angga tak habis pikir apa yang menyebabkan papanya selingkuh. Angga tak habis pikir kenapa papanya melakukan itu semua, padahal mama begitu setia padanya. Mama begitu baik melayaninya.
Angga tak pernah melihat kekurangan yang berarti pada mamanya. Perempuan berusia empat puluh itu masih cantik, anggun, dan penuh kasih sayang.
Apa yang kurang?
Angga terus bertanya dalam hatinya.
Mungkin yang menyebabkan Bima berpaling dari Nindita adalah karena perempuan itu tak lagi bisa menghangatkan seperti dulu saat masih muda. Seiring dengan usia yang bertambah, kepuasan akan kehangatan itu semakin berkurang. Hanya itu yang Angga pikirkan alasan papanya. Hanya tentang kepuasan dan keegoisan seorang lelaki. Bima memilih wanita yang lebih muda dan lebih seksi dari mama. Perempuan yang bisa memberikan permainan lebih di ranjangnya.
Bahkan Angga tak bisa membayangkan raut sedih mamanya jika ia sampai mengetahui itu semua. Angga menggeleng dengan raut wajah kecewa karena terluka.
“Kenapa, Pa?” tanya Angga lirih. Tatapannya masih tak beralih dari Bima.
Bima hanya diam tak menjawab, ia mengurut keningnya yang terasa berdenyut. Menandakan akan banyak masalah yang akan terjadi setelah hari ini.
Karena tak mendengar jawaban, Angga terus bertanya. Ia memang bisa berspekulasi sendiri, tapi sebagai seorang anak yang diruntuhkan kepercayaannya, ia berhak untuk bertanya alasannya.
“Kenapa, Pa?” Kini Angga merapatkan giginya karena sang papa tak membuka mulut untuk menjawab.
Bima masih diam. Ia tahu dijawab atau tidak, tetap tak bisa mengubah luka dalam hati anaknya.
“Jawab, Pa!” bentak Angga. Suaranya menggelegar seisi ruangan. Lelaki dengan ketinggian seratus tujuh puluh delapan centi itu mengepalkan tangan. Pertama kali dalam hidupnya Angga membentak dan mengepalkan tangan untuk papanya.
Bentakan Angga membuat Selly di belakangnya menjauh pelan karena takut dan terkejut. Selly takut akan menjadi pelampiasan kemarahan Angga, sementara Bima, lelaki yang dicintainya masih diam seribu bahasa.
“Ini nggak seperti yang kamu lihat, Ga.” Bima membuka mulutnya.
“Seperti apa yang Angga lihat, Pa? Seperti apa?” teriak Angga lagi. Ia tak peduli jika ada orang yang mendengar kegaduhan di unit itu.
“Angga lihat papa sekamar dengan perempuan lain. Angga lihat papa selingkuh. Angga lihat papa menghianati mama. Begitu, kan, Pa?”
“Kamu nggak bisa menyimpulkan berdasarkan apa yang kamu lihat, Ga.” Bima berusaha menjelaskan, tapi di telinga Angga hanya serupa kalimat kesalahan yang coba diulang-ulang.
“Oh, selama ini papa kerja keras lembur sampai malam cuma buat bayar jal a ng ini?” sarkas Angga tak tahan dengan kelakuan Bima.
Selly yang mendengar ia dihina oleh Angga langsung terisak. Ia merasa dirinya tak sekotor itu, dan tak pantas mendapatkan hinaan semacam itu.
Plak!
Sebuah tamparan keras mendarat di pipi Angga.
“Jaga mulutmu, Ga. Papa tidak pernah mengajarkanmu menghina orang seperti itu!”
Angga memegang pipinya yang terasa berdenyut. Ia menyeringai tajam pada papanya, sebagai tanda ia tak takut sama sekali akan tamparannya. Jujur saja, jika Angga saat ini beradu dengan Bima, kemungkinan besar Angga yang akan memenangkan pertandingan. Namun, akal sehat Angga masih berfungsi, meskipun ia sangat ingin menghajar Bima, tapi akal sehat menahannya.
Angga masih menatap tajam pada papanya, kini Bima pun membalas tatapan anaknya tak kalah tajam. Keduanya sedang berperang dengan tatapan, sama-sama terbakar emosi, tapi masih sama-sama tahu siapa yang ada di depannya masing-masing.
“Kalau aku tidak boleh menghina perempuan itu dengan sebutan ja la ng, berarti boleh dengan sebutan la cu r.” Angga menoleh pada Selly yang terdiam kaku. Kini ia telah benar-benar menangis karena takut.
“Lu boleh pilih, suka disebut sebagai apa, la cur atau ja la ng? Dua-duanya memiliki kedudukan tinggi di dunia scandal. Atau lu pengen dipanggil pelakor?” tanya Angga menatap sinis pada Selly.
“Yang terakhir itu lebih populer di zaman sekarang,” ucap Angga lagi merendahkan.
“Stop, Angga!” teriak Bima menghentikan anaknya. Ia tak bisa terima perempuan yang ia cintai dihina oleh anaknya sendiri. Meskipun terkesan sangat egois, Bima ingin Angga dan Selly akur, bahkan ia ingin Nindita dan Selly akan akur setelah mengetahui semua ini.
Teriakan itu membuat Angga menoleh pada Bima. Ia kembali menyeringai pada papanya.
“Aku hanya butuh jawaban, Pa! Kenapa papa menghianati mama?” Urat-urat leher Angga tampak muncul menegang, menandakan betapa ia sedang marah saat ini.
“Dia bukan ja la ng. Papa menikah siri dengan Selly.” Jawaban itu keluar dari mulut Bima.
Seketika lutut Angga terasa lemah, ia runtuh ke lantai tempat kini ia berdiri. Hal yang paling menyakitkan dari sebuah pengkhianatan adalah, ketika seseorang masih berharap bahwa yang diketahui, yang ia hadapi hanyalah sebuah mimpi. Sementara sakit di dalam dadanya terus menerus terasa. Ia berharap rasa percaya itu bisa balik seperti sediakala. Namun, semua nyata. Kepercayaan itu hilang.
Angga merasa berada di titik paling lemah saat ini. Tak hanya tubuhnya yang bergetar, tapi hatinya terasa remuk tak berbentuk. Ia tak pernah membayangkan akan sebuah pengkhianatan apalagi bersiap untuk keadaan sekarang.
Angga benar-benar terpuruk, luruh di depan kaki papanya.
“Kenapa, Pa?” tangis Angga di depan kaki Bima, seperti seorang anak kecil yang meminta dikasihani.
“Papa dan Selly saling mencintai. Kamu nggak akan mengerti di posisi itu.”
Angga tertawa sinis mendengar itu. Cinta seperti apa yang Bima maksud, Angga tak mengerti. Lalu, apa yang selama ini dijalankan bersama mamanya. Itu bukan cinta?
“Lalu, bagaimana dengan mama?” tanya Angga.
Sejenak Bima terdiam.
“Papa juga mencintainya.” Jawaban Bima membuat Selly menatap sendu padanya. Ia terluka dengan jawaban itu. Meskipun ia tahu Bima mencintainya, tetap saja ia terluka saat mendengar kata cinta keluar dari mulutku untuk wanita lain.
Angga menggeleng tak mengerti. Ia bangun dan mengamati sekeliling apartemen itu, lalu Angga menabrak tubuh papanya dan menerobos masuk ke dalam kamar. Di dalam kamar, ia melihat sprei yang acak-acakan, juga pakaian dalam yang berserakan di lantai. Pemandangan itu seketika membuat Angga emosi.
Angga berteriak sekerasnya, melampiaskan emosi yang sedang meluap dalam dirinya.
“Ranjang ini,” ucapnya dengan tangan yang terkepal, lalu ia menarik sprei itu dengan kekuatan penuh dan emosi, kemudian mengacaknya.
Angga mengitari seluruh sudut kamar dan mengacak semua barang-barang yang ada di situ. Vas bunga, jam beker, alat make up milik Selly, semua menjadi sasaran amukan Angga.
Angga tak peduli pada semua situasi. Ia bahkan tak peduli pada ucapan papa yang menyuruhnya berhenti. Angga juga tak peduli saat dua orang satpam masuk ke dalam apartemen untuk mengamankan, ia melihat sudah begitu banyak orang di luar sana yang melihat kegaduhan yang ia perbuat.
“Persetan dengan cinta yang papa punya. Aku hanya melihat papa sebagai pemuja selangkangan. Tak lebih!”
Angga terlalu kecewa. Prasangka yang selama ini ia simpan tentang video itu memang benar itu papanya. Meskipun lelaki itu menyangkal, Angga membuktikannya hari ini.
Lelaki dengan seragam sekolah itu keluar dari apartemen, ia melihat banyak orang di luar. Orang-orang yang merekam kejadian di dalam untuk dijadikan bahan postingan. Angga menatap satu persatu dari mereka, bahkan ada Ellia di situ.
Angga berjalan dengan dada yang terasa panas. Lalu, ia berbalik dan menatap tajam salah satu yang merekamnya.
Brak!
Dengan gerakan cepat, Angga merebut salah satu ponsel yang sedang merekam, lalu dilemparkannya jauh, hingga membuat mata semua orang melotot melihat aksi itu.
“Aku tandai kalian satu persatu. Jika rekaman itu sampai ada di media sosial, mati kalian!”
Angga mengancam. Saat ini ia tidak sedang menjaga dirinya sendiri. Namun ia sedang menjaga mamanya. Ia tak ingin wanita itu terluka.
Extra Part POV Bima.Hidupku nyaris sempurna bersama Nindita dengan dikarunia tiga orang anak. Karir juga semakin merangkak pesat, hingga aku diangkat menjadi branch manager di perusahaan tempatku bekerja. Tentu perjalanan itu tak lepas dari dorongan dan semangat dari Nindita, ia selalu ada di belakangku dalam situasi apa pun.Hal yang paling kusukai dari Nindita adalah cara bicaranya yang lembut, begitu tahu bahwa lelaki paling tak bisa diusik harga dirinya. Jadi, saat aku lelah bekerja dan menceritakan keluh kesah, ia hanya mendengar, tanpa menyela lebih dulu karena ia tahu persis aku hanya butuh didengarkan, bukan butuh nasehat tanpa diminta.Nindita tak hanya cantik, tapi juga cekatan. Ia sanggup mengerjakan pekerjaan rumah sendirian, terkadang aku yang merasa kasihan dan sering menolongnya. Namun, ketika aku menawarkan untuk menyewa ART, ia menolak karena akan bosan di rumah tanpa pekerjaan. Ia ingin uangnya ditabung untuk pendidikan anak-anak. Kami hidup rukun dan damai, dengan
Bab 62.Hari berganti bulan dengan segala aktivitas yang dilalui. Angga tetap fokus membersihkan namanya di sekolah itu agar orang tak mengenalnya dengan kenangan yang buruk. Meskipun sedikit terlambat, di tahun terakhir ia benar-benar belajar dengan giat, ia juga mengikuti setiap olimpiade yang diadakan di sekolah. Bukan untuk menang, tapi untuk menjaga konsistensi dalam belajar, juga menantang diri dengan soal-soal. Matematika yang dulu ia anggap biasa saja, meskipun menurut teman-teman ia mahir dalam bidang itu, kini ia fokus pada pelajaran eksak itu.Menurut Angga, Matematika seperti memberikan tantangan dalam belajarnya. Ia bisa berpikir lebih fokus dan lebih kritis dalam menyelesaikan soal-soal.Hingga kini, di kamarnya tak hanya ada piala penghargaan dari pertandingan basket. Namun, ada beberapa piala olimpiade Matematika tingkat sekolah.Media sosialnya banyak memberikan komentar dan pujian. Namun, tak sedikit juga yang masih mengenangnya sebagai anak yang memergoki perseling
Bab 61."Ck!" Angga berdecak kesal. Tangisan bayi membuatnya tak fokus belajar. Semakin hari berada di apartemen itu semakin membuatnya tak nyaman dan bising. Padahal ia perlu belajar dengan giat untuk tes segala macam. Tentu butuh keheningan untuk fokus dalam semua pelajarannya.Angga keluar dari kamar, ia ingin mengambil minuman untuk sekadar menenangkan pikirannya. Saat ia keluar, ia bersitatap dengan Bima yang sedang menuju kamar bayi mereka yang baru berusia beberapa bulan."Kenapa, Sel? Kok bisa Rafa nangis dari tadi sih?" tanya Bima yang baru saja ingin merebahkan diri, tapi suara tangisan bayi yang dinamai Rafa itu kembali membangunkannya."Nggak tau, Mas. Dari tadi nangis mulu.""Urus dengan baik, Sel. Kamu nggak bisa kasih ketenangan buat dia, kalau sibuk main hp terus."Selly menatap tak suka pada suaminya. Sementara Bima tahu bahwa Selly sejak tadi hanya bermain ponsel, tanpa peduli pada tangisan anak kecil itu."Jangan nuduh aku nggak becus, Mas! Aku bahkan besarin Enzy
Bab 60."Menikahlah lagi, Pa!" ucap Sam pada papanya.Surya yang sedang menyesap teh hangat itu hampir saja tersedak minuman. Dari semua hal yang terjadi dalam hidup Sam, sungguh sama sekali tak terbayang olehnya anak itu akan mengatakan kalimat itu.Beberapa saat hening dan keduanya saling menatap. Surya bahkan tak tahu harus menanggapi seperti apa. Ia senang, tapi pikirannya tetap memikirkan bagaimana sikap Sam nantinya jika ia menikah lagi."Aku serius, Pa. Aku rasa, rumah ini sudah saatnya memerlukan seorang perempuan yang bisa menjaga dan menyayangi." Sam mengangguk yakin, ia sudah memutuskan itu semua. Ia terlalu banyak protes untuk hidupnya sendiri, yang nyatanya tak ada yang berubah.Sam merasa terlalu egois jika terus membiarkan papanya hidup seorang diri, apalagi melihat mamanya yang bisa hidup bahagia setelah bercerai. Sam merasa ia telah mengekang papa. Ia merasa papa juga butuh teman hidup untuk berbagi keluh kesah, dan bahagia.Ya, papanya layak bahagia.Surya tak menik
Bab 59."Ma, menikahlah lagi!" ucap Angga menatap sang mama yang seketika mengerutkan keningnya.Nindita masih tak mengerti apa yang Angga pikirkan saat ini. Ia sendiri tak yakin sudah sembuh dari luka lamanya bersama Bima, dan menikah lagi adalah hal yang harus dipikirkan secara matang. Tak hanya tentang hatinya sendiri, tapi juga tentang mental anak-anaknya. Nindita merasa tak siap dengan itu semua. Ia merasa jika pun akan menikah, pasti anak-anak butuh waktu untuk bisa menerima kehidupan baru bersama orang baru.Belum lagi usia Nindita yang tak lagi muda dan memiliki tiga orang anak yang sudah besar dan tentu butuh biaya banyak untuk kehidupan. Lalu, siapa yang akan menikahinya?Masih dengan kebingungan yang belum berakhir, tiba-tiba pandangnya beralih ke pintu di mana dua orang lelaki masuk ke rumah mereka. Dua orang yang Nindita kenal sejak dulu."Aa Wisnu? Imran?" Sungguh Nindita tak mengerti dengan semua itu. Mengapa tiba-tiba orang-orang di masa lalu Nindita berada di sini di
Bab 58.Jadwal Angga semakin padat setelah memutuskan untuk aktif bernyanyi di YouTube dan media sosial lainnya. Namun, baginya pendidikan tetap nomor satu. Tahun terakhir harus lebih baik dari sebelumnya. Ia berusaha membagi waktu sebijak mungkin agar semua aktivitasnya terlaksana dengan baik. Angga dan Sam juga mengikuti serangkaian tes untuk bisa masuk ke perguruan tinggi. Melengkapi persyaratan sejak dini untuk bisa menjadi siswa yang akan dikenang dengan catatan baik.Video Angga dan Sam sering viral setelah malam itu. Keduanya mengcover lagu-lagu yang sedang viral di Tiktok, dan merekamnya di kamar Sam. Saat Sam memberitahu pada papanya, bahkan Surya membantu membelikan apa yang mereka butuhkan untuk merekam.Nama Angga dan Sam menjadi terkenal di sekolah, bukan lagi sebagai pembuat onar. Namun, kini sebagai siswa kreatif dan berbakat. Bahkan terkadang siswa-siswi di sekolah meminta berfoto layaknya selebritis."Sok ngartis lo," ejek Angga pada Sam yang terlihat begitu percaya