Bab 4
*
“Ma, berangkat ya.” Angga mencium tangan Nindita seraya memberi salam untuknya.
Inaya dan Khanza sudah berada di dalam mobil Bima. Lelaki itu yang akan mengantarkan dua anak gadisnya ke sekolah, karena arah kantornya pun sama. Lokasi sekolah Inaya lebih dulu dibandingkan dengan lokasi sekolah Khanza. Setelah itu Bima akan berjalan lurus hingga sampai di gedung perkantoran.
Setelah semuanya pamit pada Nindita, mobil meluncur menjauh dari pekarangan rumah hingga hilang dari pandangan Nindita saat mobil memasuki jalan raya. Motor Angga iring-iringan dengan mobil sang papa.
Dari semua lokasi sekolah, SMA Angga yang paling dekat. Pemuda itu mencoba memulai harinya kembali setelah semua keresahan yang melanda hatinya.
Motor besar Angga sudah memasuki area sekolah, ia membunyikan klakson pada papanya, pertanda bahwa ia sudah sampai di sekolah dan siap untuk belajar. Dari spion terlihat Bima tersenyum dan adik-adiknya yang melambai pada Angga.
Angga diizinkan membawa motor karena ia sering latihan basket dan pulang sore hari. Sementara Inaya dan Khanza saat pulang akan dijemput oleh Nindita.
Motor berbelok ke kiri, di mana gerbang sekolah yang luas itu berada. Anak-anak satu persatu masuk ke dalam sekolah. Di depan gerbang ada seorang satpam yang berjaga dan bertugas menyeberangi anak-anak yang naik angkot di seberang jalan.
Tiba-tiba sebuah rencana terlintas di benak Angga. Jawaban papanya kemarin sama sekali tak bisa ia terima. Angga merasa tak bisa percaya pada papanya. Entah sejak kapan kepercayaan itu mulai memudar, karena Angga sendiri sempat melihat wajah itu pias ketakutan. Jawaban Bima memang tak berbelit dan masuk akal, tapi tetap saja Angga tak yakin.
Ada sesuatu yang janggal dalam hatinya. Padahal biasanya ia tak pernah meragukan papanya. Kali ini, Angga merasa kata hatinya lebih tajam daripada kepercayaan.
Jemari putih berbulu di bagiannya itu membuat Angga begitu yakin bahwa yang di video itu adalah papanya. Seseorang tak pernah salah mengenali orang yang sangat dikenalinya.
Baru saja Angga menghentikan motornya, tiba-tiba ia berbalik arah yang membuat satpam yang berjaga itu bertanya, karena ia melihat jam di tangannya sudah hampir waktu masuk kelas.
“Mau ke mana, Mas?” tanya security pada Angga. Lelaki yang memakai seragam putih abu-abu itu menoleh, menanggapi pertanyaan sang satpam.
“Pulang bentar, Pak. PR Bu Nia ketinggalan di rumah.” Dua kali dalam hidupnya Angga berbohong, dan mungkin akan seterusnya berbohong untuk menutupi kebohongan lainnya.
Satpam terlihat mengangguk, ia tahu betul bagaimana judesnya Bu Nia di mata siswa.
Tanpa banyak membuang waktu lagi, Angga menancap gas ke arah kantor papanya. Ia ingin mengikuti mobil papanya, mungkin akan sempat karena Bima pasti menurunkan Inaya dan Khanza di sekolah masing-masing, yang tentu akan menyita sedikit waktu.
Angga menutup kaca helmnya. Ia memantau jalan raya yang begitu padat di pagi hari. Hingga sampai di lampu merah, ia melihat mobil Bima berhenti. Angga ikut berhenti, sedikit menepi dan menutup diri dari jangkauan pandangan spion mobil papanya.
Lampu berubah menjadi hijau. Para pengendara dengan pelan dan hati-hati mulai merayap di tengah padatnya pengendara.
Angga terus melajukan motornya, hingga saat tiba di lokasi bangunan kantor Bima, ia memelankan laju. Angga tak ingin ketahuan saat papanya berbelok masuk ke parkiran kantor.
Angga membuka helmnya ketika ia lihat mobil papanya bukan berbelok ke arah kantor, melainkan berjalan lurus ke depan. Semakin tak karuan dalam hatinya.
Benar. Lelaki remaja itu merasa ada yang disembunyikan oleh papanya. Kecurigaannya sangat beralasan, ia mengikuti mobil Bima dengan hati-hati. Angga tak mau ketahuan sedang mengintai papanya.
Mobil di depan tampak memelankan lajunya, Angga berhenti sejenak dan mengamati ke mana mobil itu masuk. Semakin mencurigakan saat mobil Bima memasuki sebuah gedung apartemen. Dari jauh Angga melihat papanya keluar dari mobil di parkiran, lalu masuk ke dalam gedung. Ia memastikan itu benar papanya. Setelah itu Angga menghidupkan kembali motornya, dan melaju pelan sedikit lagi hingga sampai di bangunan apartemen yang tadi dimasuki oleh papanya.
Di parkiran, Angga mengamati sekitarnya. Ia mulai menyusun strategi agar bisa mendapatkan akses masuk ke dalam sana. Jika dilihat dari mewahnya gedung itu, kemungkinan besar Angga tak bisa masuk jika tidak memiliki akses atau koneksi khusus. Angga terus berpikir beberapa menit lamanya. Ia menyiapkan beberapa kebohongan untuk memperlancar aksinya.
Setelah dirasa cukup dan meyakinkan, Angga dengan santai masuk ke dalam gedung. Ia sempat berpapasan dengan dua satpam di dekat pintu. Ia membuka pintu dan langsung disambut meja resepsionis. Ada seorang perempuan yang masih terlihat muda duduk di situ.
“Selamat pagi, Mas. Ada yang bisa dibantu? tanya sang resepsionis begitu Angga mendekati mejanya.
“Saya mau bertemu seseorang, Mba.”
“Siapa?” tanya resepsionis lagi.
“Mba Selly Anggraini.” Angga menjawab dengan pasti. Padahal ia hanya mengetahui nama itu dari akun tiktok, bisa jadi itu bukan nama aslinya. Terserah lah dengan itu semua, Angga tak peduli.
“Sudah membuat janji temu?”
Angga mengangguk. Jelas ia membohongi resepsionis itu. Perempuan dengan nama Elly tertulis di papan kecil di dadanya itu menatap Angga tak percaya, karena Selly sendiri tidak mengatakan apa pun padanya. Sebagai resepsionis, ia tentu harus menjaga kenyamanan para pemilik apartemen di sana.
“Mbak nggak percaya?” tanya Angga.
“Maaf, Mas. Sudah menjadi kewajiban saya untuk menjaga kenyamanan orang-orang di sini.”
“Tapi, Mba, nggak menjaga kenyamanan hati saya.” Sepertinya Angga harus sedikit melakukan gombalan untuk perempuan itu.
Angga tersenyum manis padanya, menatap lembut pada perempuan yang lebih tua darinya. Ditatap sedemikian dekat oleh remaja yang tampan membuat Elly sedikit salah tingkah. Meskipun Angga masih tujuh belas tahun, tapi wajahnya terlihat tampan gagah dan matang. Angga masih terus menatapnya hingga membuat pipi perempuan itu bersemu merah.
“Umur Mba berapa?” tanya Angga.
“Dua puluh empat, kenapa malah nanya umur?”
“Mba masih terlihat cantik sekali. Lebih muda dari usianya, bahkan teman-temanku yang SMA wajahnya lebih tua. Mungkin seragam mereka dikasih ke mbaknya masih cocok.” Angga mulai menggoda. Mengeluarkan jurus buaya yang sebenarnya dalam hati sudah bergidik geli.
Elly tersenyum malu-malu. Menunduk menghindari tatapan mematikan dari Angga.
Dalam hati Angga mengumpat, kenapa Dinda lama sekali meneleponnya.
[Jangan telepon, jika aku nggak telepon duluan.]
Chat dari Dinda.
Bak gayung bersambut, kekesalan hati Angga mungkin bisa dirasakan oleh Dinda di seberang sana. Beberapa detik kemudian sebuah panggilan W******p ia terima.
Angga menggeser tombol warna hijau dan mengangkatnya.
“Mba, ini resepsionisnya nggak ngebolehin masuk.” Angga berkata sambil menatap resepsionis dan mengedipkan sebelah mata untuknya.
“Aku lupa kasih tau ke resepsionis, masuk aja!” ucap seseorang di seberang sana.
“Mba dengar aku, kan? Yang di depan mba sekarang itu sepupuku.”
Angga mendekatkan ponselnya di depan Elly agar ia bisa mendengarnya.
“Baiklah, Mba!” ucap Elly yakin.
Lega. Angga merasa sangat lega dalam hatinya. Setelah mendapatkan izin, ia mematikan sambungan telepon dengan seorang gadis di seberang sana.
“Pintu nomor 507, di lantai empat.” Elly memberitahu.
“Makasih Mba cantik,” ucap Angga tersenyum lagi pada Elly.
Elly mengangguk, dan Angga langsung menuju pintu masuk lift untuk naik ke lantai empat yang dimaksud olehnya.
Di dalam lift, ia mengirimkan sebuah pesan untuk temannya.
[Thanks! Good job, Dinda!]
Angga langsung memasukkan ponsel ke dalam saku celana sekolahnya. Saat diparkiran tadi, ia memutar otak untuk menemukan cara agar bisa masuk ke dalam sana dengan mudah. Ia tak tahu apa pun tentang Selly kecuali sekadar info di sosial media. Tiba-tiba sebuah ide gila muncul di kepalanya. Ia meminta temannya yang bernama Dinda untuk menelepon sebagai Selly. Angga menyuruh Dinda untuk mempelajari bagaimana suara Selly melalui akun tiktoknya.
Selly banyak merekam video tentang postingan jualan. Hal itu dimanfaatkan oleh Angga, ia menyuruh Dinda meniru suara itu. Dinda adalah salah satu teman Angga yang paling bisa meniru suara orang lain.
Sementara di ponsel Angga, ia mengubah kontak Dinda dengan nama Selly. Dinda juga melakukan hal yang sama, termasuk mengubah foto profilnya.
Nasib baik, Elly tak mengecek nomor ponselnya. Mungkin ia terhipnotis dengan senyuman Angga. Entah. Yang Angga pikirkan hanya agar ia bisa masuk, terserah apa nanti yang akan terjadi setelahnya.
Angga tiba di lantai empat. Ia melangkah ke depan dan mencari nomor pintu yang dimaksud resepsionis. Ia berdiri di depan pintu 507. Sejenak Angga menarik napas dengan dua tangan dimasukkan ke dalam saku celana. Semua yang ia lakukan adalah upaya mencari keadilan untuk mamanya.
Angga menekan bel di pintu. Sekali. Tak ada tanda-tanda pintu akan dibuka. Angga menekan lagi. Masih sama, tak ada tanda-tanda suara derap langkah mendekat ke pintu. Lagi. Angga terus menekan bel hingga pintu itu terbuka.
Angga tersenyum miring melihat Selly membuka pintu. Kini mereka berdiri berhadapan. Beberapa detik mereka saling menatap satu sama lain. Angga menatap tajam dengan senyum sinisnya, dan Selly menatap bingung dengan wajah terkejut.
Selly hanya mengenakan kimono berwarna putih yang bahkan ikatan di pinggang itu tak benar, sehingga memperlihatkan bagian dadanya. Angga menatap jijik padanya. Selly tersadar siapa yang kini di depannya, ia ingin menutup pintu. Namun, sigap tangan kekar Angga mendorong tubuhnya hingga Selly terjatuh di pintu. Lelaki itu masuk ke dalam karena tak ada yang menghalanginya. Angga mengeluarkan ponsel dalam saku celana dan menekan panggilan untuk nomor papanya.
Panggilan tersambung. Angga tersenyum sinis dengan mata yang terpejam dan mengeluarkan tetesan air dari sana. Ia mendengar ponsel papanya berdering di dalam apartemen itu, meski tak tahu di mana persis posisi papanya. Angga terus melakukan panggilan, dan masih mendengar nada yang sama persis dengan ponsel papanya. Selly menarik tangan Angga agar ia pergi, tapi Angga mendorong tubuhnya lagi dan mengisyaratkan untuk diam. Angga berjalan menuju kamar dengan pintu yang terbuka, lalu keluar seseorang yang ia kenal sangat dekat.
“Siapa, Sayang? Kenapa ribut sekali?”
“It’s the fukcing skandal, Pa!” ucap Angga dengan mata yang perlahan menghujan.
Extra Part POV Bima.Hidupku nyaris sempurna bersama Nindita dengan dikarunia tiga orang anak. Karir juga semakin merangkak pesat, hingga aku diangkat menjadi branch manager di perusahaan tempatku bekerja. Tentu perjalanan itu tak lepas dari dorongan dan semangat dari Nindita, ia selalu ada di belakangku dalam situasi apa pun.Hal yang paling kusukai dari Nindita adalah cara bicaranya yang lembut, begitu tahu bahwa lelaki paling tak bisa diusik harga dirinya. Jadi, saat aku lelah bekerja dan menceritakan keluh kesah, ia hanya mendengar, tanpa menyela lebih dulu karena ia tahu persis aku hanya butuh didengarkan, bukan butuh nasehat tanpa diminta.Nindita tak hanya cantik, tapi juga cekatan. Ia sanggup mengerjakan pekerjaan rumah sendirian, terkadang aku yang merasa kasihan dan sering menolongnya. Namun, ketika aku menawarkan untuk menyewa ART, ia menolak karena akan bosan di rumah tanpa pekerjaan. Ia ingin uangnya ditabung untuk pendidikan anak-anak. Kami hidup rukun dan damai, dengan
Bab 62.Hari berganti bulan dengan segala aktivitas yang dilalui. Angga tetap fokus membersihkan namanya di sekolah itu agar orang tak mengenalnya dengan kenangan yang buruk. Meskipun sedikit terlambat, di tahun terakhir ia benar-benar belajar dengan giat, ia juga mengikuti setiap olimpiade yang diadakan di sekolah. Bukan untuk menang, tapi untuk menjaga konsistensi dalam belajar, juga menantang diri dengan soal-soal. Matematika yang dulu ia anggap biasa saja, meskipun menurut teman-teman ia mahir dalam bidang itu, kini ia fokus pada pelajaran eksak itu.Menurut Angga, Matematika seperti memberikan tantangan dalam belajarnya. Ia bisa berpikir lebih fokus dan lebih kritis dalam menyelesaikan soal-soal.Hingga kini, di kamarnya tak hanya ada piala penghargaan dari pertandingan basket. Namun, ada beberapa piala olimpiade Matematika tingkat sekolah.Media sosialnya banyak memberikan komentar dan pujian. Namun, tak sedikit juga yang masih mengenangnya sebagai anak yang memergoki perseling
Bab 61."Ck!" Angga berdecak kesal. Tangisan bayi membuatnya tak fokus belajar. Semakin hari berada di apartemen itu semakin membuatnya tak nyaman dan bising. Padahal ia perlu belajar dengan giat untuk tes segala macam. Tentu butuh keheningan untuk fokus dalam semua pelajarannya.Angga keluar dari kamar, ia ingin mengambil minuman untuk sekadar menenangkan pikirannya. Saat ia keluar, ia bersitatap dengan Bima yang sedang menuju kamar bayi mereka yang baru berusia beberapa bulan."Kenapa, Sel? Kok bisa Rafa nangis dari tadi sih?" tanya Bima yang baru saja ingin merebahkan diri, tapi suara tangisan bayi yang dinamai Rafa itu kembali membangunkannya."Nggak tau, Mas. Dari tadi nangis mulu.""Urus dengan baik, Sel. Kamu nggak bisa kasih ketenangan buat dia, kalau sibuk main hp terus."Selly menatap tak suka pada suaminya. Sementara Bima tahu bahwa Selly sejak tadi hanya bermain ponsel, tanpa peduli pada tangisan anak kecil itu."Jangan nuduh aku nggak becus, Mas! Aku bahkan besarin Enzy
Bab 60."Menikahlah lagi, Pa!" ucap Sam pada papanya.Surya yang sedang menyesap teh hangat itu hampir saja tersedak minuman. Dari semua hal yang terjadi dalam hidup Sam, sungguh sama sekali tak terbayang olehnya anak itu akan mengatakan kalimat itu.Beberapa saat hening dan keduanya saling menatap. Surya bahkan tak tahu harus menanggapi seperti apa. Ia senang, tapi pikirannya tetap memikirkan bagaimana sikap Sam nantinya jika ia menikah lagi."Aku serius, Pa. Aku rasa, rumah ini sudah saatnya memerlukan seorang perempuan yang bisa menjaga dan menyayangi." Sam mengangguk yakin, ia sudah memutuskan itu semua. Ia terlalu banyak protes untuk hidupnya sendiri, yang nyatanya tak ada yang berubah.Sam merasa terlalu egois jika terus membiarkan papanya hidup seorang diri, apalagi melihat mamanya yang bisa hidup bahagia setelah bercerai. Sam merasa ia telah mengekang papa. Ia merasa papa juga butuh teman hidup untuk berbagi keluh kesah, dan bahagia.Ya, papanya layak bahagia.Surya tak menik
Bab 59."Ma, menikahlah lagi!" ucap Angga menatap sang mama yang seketika mengerutkan keningnya.Nindita masih tak mengerti apa yang Angga pikirkan saat ini. Ia sendiri tak yakin sudah sembuh dari luka lamanya bersama Bima, dan menikah lagi adalah hal yang harus dipikirkan secara matang. Tak hanya tentang hatinya sendiri, tapi juga tentang mental anak-anaknya. Nindita merasa tak siap dengan itu semua. Ia merasa jika pun akan menikah, pasti anak-anak butuh waktu untuk bisa menerima kehidupan baru bersama orang baru.Belum lagi usia Nindita yang tak lagi muda dan memiliki tiga orang anak yang sudah besar dan tentu butuh biaya banyak untuk kehidupan. Lalu, siapa yang akan menikahinya?Masih dengan kebingungan yang belum berakhir, tiba-tiba pandangnya beralih ke pintu di mana dua orang lelaki masuk ke rumah mereka. Dua orang yang Nindita kenal sejak dulu."Aa Wisnu? Imran?" Sungguh Nindita tak mengerti dengan semua itu. Mengapa tiba-tiba orang-orang di masa lalu Nindita berada di sini di
Bab 58.Jadwal Angga semakin padat setelah memutuskan untuk aktif bernyanyi di YouTube dan media sosial lainnya. Namun, baginya pendidikan tetap nomor satu. Tahun terakhir harus lebih baik dari sebelumnya. Ia berusaha membagi waktu sebijak mungkin agar semua aktivitasnya terlaksana dengan baik. Angga dan Sam juga mengikuti serangkaian tes untuk bisa masuk ke perguruan tinggi. Melengkapi persyaratan sejak dini untuk bisa menjadi siswa yang akan dikenang dengan catatan baik.Video Angga dan Sam sering viral setelah malam itu. Keduanya mengcover lagu-lagu yang sedang viral di Tiktok, dan merekamnya di kamar Sam. Saat Sam memberitahu pada papanya, bahkan Surya membantu membelikan apa yang mereka butuhkan untuk merekam.Nama Angga dan Sam menjadi terkenal di sekolah, bukan lagi sebagai pembuat onar. Namun, kini sebagai siswa kreatif dan berbakat. Bahkan terkadang siswa-siswi di sekolah meminta berfoto layaknya selebritis."Sok ngartis lo," ejek Angga pada Sam yang terlihat begitu percaya