Share

5. Turth or Dare

Bel pulang sekolah berbunyi, gerombolan Lando sudah bertengger di parkiran. Lando sendiri duduk di atas kap mobilnya, menyesap rokok yang ada ditangan.

"Muka lo kenapa?" tanya Fano yang baru tiba.

"Biasa," jawab Lando, kembali menyebulkan asap rokok ke udara.

"Lo gak tahu Fan? Dia abis di pukulin tadi ...." Temannya seketika mengatupkan bibirnya, karena Lando melototinya.

"Lo berantem lagi? Sama siapa?" tuntut Fano, meminta penjelasan.

Lando mendengus, membuang puntung rokok ke tanah lalu menginjaknya. "Gak penting," ucap Lando.

"Seterah." Fano tak lagi menggubris Lando, ia memilih merokok dari pada menanyai Lando yang keras kepala.

"Lan, itu bukannya cewek yang tadi?" suara Bara menginterupsi mereka semua.

Lando langsung melihat ke arah koridor, di sana cewek yang tadi menyiramnya tengah berjalan beriringan dengan Keyla.

"Dia kenal Keyla?" celetuk Reyhan.

Fano yang awalnya tidak peduli kini mengalihkan perhatiannya ke koridor, saat mendengar nama Keyla disebut.

Lando mengeraskan rahangnya, emosinya menggebu-gebu. Ingatan akan kejadian di kantin kembali berputar di otaknya.

"Lando!" Lando menoleh melihat Reva berlari ke arahnya. "Gila lo!" Lando mendengus, ketika Reva menatapnya dengan nyalang. "Dasar psikopat!"

Lando sama sekali tidak peduli, ia juga tidak merasa bersalah melihat perempuan yang tak sadarkan diri akibat pukulannya yang teramat kencang.

"Bilangin sama temen lo, jangan sok berani jadi cewek." Lando mendecih, ia sudah berbalik hendak pergi tapi seseorang berlari dan sengaja menabrak bahunya.

Lando yang tersulut emosi seketika berbalik. "Woy!" teriak Lando, namun matanya langsung melebar saat melihat siapa pelakunya.

Dia, Levin!

Rival abadinya. Levin mengangkat tubuh cewek itu. Ia mengabaikan Lando namun sekilas Levin menoleh, menatap tajam Lando sebelum berlari menuju UKS.

Lando menatap kepergian Levin, tindakan cowok itu membuat Lando bertanya-tanya. Ada hubungan apa antara Levin dengan cewek itu? Baru kali ini Levin menunjukkan sikap pedulinya pada cewek. Setahu Lando, Levin dan dirinya sama. Sama-sama membenci perempuan.

Tak berselang lama Levin kembali datang, cowok itu menuju meja Lando dan teman-temannya yang sedang berkumpul di pojokan. Tanpa babibu Levin langsung melayangkan bogem mentahnya ke rahang Lando.

Levin membabi buta memukuli Lando, tak memberikan kesempatan Lando untuk melawan. Beruntung teman-teman Lando langsung melerainya, mereka menahan tubuh Levin yang terus-terusan ingin menerjang Lando yang sudah babak belur.

"Gue peringatin sama lo, jangan pernah sentuh dia barang seinci. Apalagi pake tangan kotor lo!" Levin meludah ke samping Lando, lalu pergi meninggalkan  Lando yang tak berdaya.

Lando mengepalkan tangannya. Matanya berkilat, sorot mata Lando masih tertuju pada Vio yang sedang berdiri di dekat mobil Mercedes-Benz warna hitam.

"Rik," panggil Lando. Erik yang duduk di depannya refleks mendongak. "Cari tahu soal dia."

Erik menoleh ke belakang, mengikuti tatapan Lando. Erik yang paham siapa yang dimaksud oleh Lando langsung mengangguk, mengacungkan sebelah jempolnya pada Lando. "Siip."

———————

Pelajaran terakhir baru saja usai, padahal  bel pulang sudah berbunyi sepuluh menit yang lalu. Reva sedari tadi sudah menggerutu, menyumpah serapah guru botak yang memakan waktu lama pada jam pelajaran matematika.

Kepala Reva pening, rasanya mau pecah melihat rumus-rumus yang ada di papan tulis.

"Gila, si botak masih ngasih tugas segala. Hari ini banyak banget sih tugasnya." Reva menelungkupkan wajahnya ke meja, ia mengerang frustasi.

Vio tak menanggapi Reva, ia memilih merapikan buku-bukunya lalu bergegas pulang karena Keyla sudah mengintip di depan  kelasnya dari tadi. Vio menghela napasnya, padahal ia sudah bilang pada cewek itu agar tak perlu menunggu. Tapi lihat, dia begitu keras kkepal.

"Vi."

Vio menoleh ketika mendengar Reva memanggilnya. Cewek itu memiringkan kepalanya menatap Vio.

"Kerjain tugas di rumah gue yok, gue bingung. Gue gak tahu sama rumus-rumusnya, kepala gue mau pecah rasanya." Reva memijit kepalanya, memasang wajah melas.

"Gue gak bisa." Vio kembali melanjutkan kegiatannya.

"Please," rengek Reva. "Kalo bareng-bareng gue bisa minta tolong ajarin lo."

Vio mendengus, bukan diajarin, yang ada Reva hanya akan mencontek hasilnya. Vio sudah hapal dengan karakter Reva. Mana mau dia susah-susah mikir kalau ada jalan instan.

"Vi, please. Lo gak kasian sama gue?" Reva menggenggam tangan Vio, ia menunjukkan puppy eye miliknya. Sebenarnya itu tak membuat Vio terpengaruh, tapi Vio juga tidak enak karena Reva terus merengek. Akhirnya ia menyetujui ajakan Reva.

"Tapi gue musti izin dulu, lo tunggugue di parkiran aja. Ntar gue susulin," ucap Vio.

"Siap, boskuh." Reva mengacungkan kedua jempolnya ke hadapan Vio. "Kalau gitu sampai ketemu di parkiran, bye baby."

Vio mendengus, mendengar Reva lagi-lagi memanggilnya baby. Vio pun beranjak berdiri, ia keluar kelas dan langsung disambut dengan berbagai pertanyaan yang dilontarkan Keyla.

"Vio, kamu gak papa kan?" Keyla memegangi kedua bahu Vio, memperhatikan Vio dari atas sampai bawah. "Gak ada yang luka kan? Ah, hidung kamu." Keyla meringis melihat hidung Vio di plester atasnya. "Sakit banget ya?"

"Gue gak papa. Gak usah berlebihan." Vio menyingkirkan tangan Keyla dari bahunya, ia berjalan  lebih dulu.

"Kyaa, Vio!" Keyla berteriak karena Vio meninggalkannya begitu saja. "Ya, kenapa lo selalu ninggalin gue?"

Vio memutar bola matanya, enggan menanggapi pertanyaan Keyla yang gak penting.

"Vio, nanti kita ke Dokter ya. Aku bilang mama ntar, takutnya hidung kamu retak atau patah," ujar Keyla.

Vio seketika berhenti ia menoleh ke samping. Menatap Keyla yang tampak terkejut. "Gue gak papa, jadi lo gak perlu bawel. Ah, satu lagi. Lo jangan ngomong sama papa dan tante soal kejadian tadi di kantin."

"Tapi Vi————"

"Gue gak mau mereka kepikiran," sela Vio.

Keyla akhirnya menyerah, ia memilih diam. Keduanya berjalan beriringan menuju gerbang. Saat keduanya melewati parkiran, Vio menoleh dan matanya tanpa sengaja berpapasan dengan  sorot mata tajam yang tengah menatapnya.

Sadar akan hal itu, Vio langsung memalingkan wajahnya. Pura-pura tak melihat apa pun. Sepertinya cowok itu sangat membenci Vio. Setelah kejadian siang tadi saja tak ada itikad baik darinya.

Dasar berandalan!

Vio berhenti di samping mobil mama tirinya. Keyla sudah lebih dulu masuk, sementara Vio masih berdiri di luar.

"Loh, Vio kok lo gak masuk?" tanya Keyla.

Vio meremas jemarinya, ia bingung harus izin bagaimana. Vio takut jika mama tirinya tak akan mengizinkannya.

"Ada apa, Viona?" tanya Lina saat melihat Vio termenung.

"Em ... begini Tante ...." Vio gugup, bibirnya tiba-tiba kelu. "Aku, mau ke rumah temen. Boleh?" Vio memberanikan diri menatap wajah mama tirinya.

"Temen?" beo Lina.

"Iya Tante, mau ngerjain tugas. Besok musti dikumpulin." Vio tidak berbohong, karena memang tugasnya besok harus dikumpulkan.

"Pulangnya? Mau mama jemput?" Vio langsung menggeleng.

"Gak usah, Vio bisa naik taksi atau ojol."

"Oke, tapi jangan malem-malem ya. Kalau bisa sebelum papa pulang."

"Iya." Vio mengangguk.

"Tunggu." Keyla menyembulkan kepalanya keluar jendela. "Ponsel kamu." Keyla menyodorkan tangannya ke depan Vio.

"Ponsel? Buat apa?" Vio menaikkan sebelah alisnya, menatap bingung Keyla.

Keyla mengembuskan napas kasar. "Issh, lama buruan."

Tak ingin berdebat dengan Keyla, Vio memberikan ponselnya. Keyla tersenyum lebar saat menerimanya, entah apa yang Keyla lakukan pada ponsel Vio.

"Dah, beres." Ponsel Keyla tiba-tiba berbunyi. "Nih, gue udah save nomor gue di ponsel lo. Jadi kalau ada apa-apa, telepon gue. Oke."

"Hm." Vio mengambil ponselnya, lalu berjalan menuju parkiran.

"Vio, jangan pulang malem-malem!!" teriak Keyla, ketika mobilnya mulai berjalan.

Vio memutar bola matanya, tak menggubris teriakan Keyla. Ia segera menuju parkiran, menghampiri Reva yang sudah menunggunya dari tadi.

Perjalanan ke rumah Reva memakan waktu hampir setengah jam, rumah Reva berada di kawasan perumahan elit. Vio gak heran, melihat penampilan Reva yang serba branded ia sudah menebak jika Reva anak orang kaya.

Mobil Reva tiba di rumahnya, rumah yang sangat besar dan mewah, bergaya Eropa. Vio turun dari mobil, berjalan  mengikuti Reva di belakangnya.

"Rumah lo sepi," gumam Vio saat masuk ke dalam, matanya memperhatikan sekelilingnya.

"Iya, gue cuma tinggal berdua sama abang gue. Ada pembantu si, cuma mereka pulang kalau kerjaan udah beres."

Vio mengangguk. "Lo punya abang?" tanyanya lagi.

"Iya, tuh abang gue." Vio menunjuk ke arah tangga.

Matanya melebar saat melihat gerombolan teman-teman Reva waktu itu. Para senior, Vio mengernyitkan dahinya, bingung. Siapa yang dimaksud abangnya Reva.

"Pulang juga lo," celetuk Sam, membuyarkan lamunan Vio.

Sam berjalan menghampiri Reva. "Kita mau main TOD, kuy ikutan," ajak Sam.

"Gaklah, gue mau ngerjain tugas," sahut Reva, memberikan segelas air pada Vio.

"Oh, pantes ada dia. Hai, Vio." Sam melambaikan tangannya.

"Gak usah ladenin abang gue, mending ke kamar yok." Reva menarik lengan Vio.

"Abang? Jadi Sam itu ...."

"Iya, dia abang gue. Kenapa? Kita gak mirip ya?" Reva terkekeh geli. "Emang, dia jelek sementara gue cantik."

Vio mendengus mendengar Reva yang terlalu percaya diri, ia berjalan mengukuti Reva menaiki tangga dan saat itulah dia berpapasan dengan Levin.

Vio melotot, kenapa juga harus ada Levin si? teriak Vio dalam hati, pasalnya ia belum siap bertemu cowok itu.

Levin menatap Vio, tapi cowok itu sama sekali tak bersuara. Vio memalingkan wajahnya, ia berjalan cepat menuju kamar Reva.

Vio menyesal datang ke rumah Reva, tahu begitu dia lebih baik mengerjakan sendiri di rumah. Sudah satu jam berlalu dan Reva sama sekali tak mengerjakan tugasnya, ujung-ujungnya cewek itu mencontek miliknya.

"Akhirnya, selesai juga." Reva merenggangkan tangannya, menutup buku catatan miliknya. "Lo laper gak?"

Vio menggeleng, ia membereskan buku-bukunya, memasukkannya ke dalam tas. "Gue mau pulang."

"Yaelah, buru-buru amat, mending ikutan main TOD aja yuk," ajak Reva.

"Enggak deh."

"Ayo Vi, kapan lagi lo bisa main ke sini. Seru tahu, pokoknya lo bakal ketagihan."

Vio tetap menolak, tapi Reva si keras kepala bersikukuh memaksa Vio. Dia menyeret Vio ke ruang tamu.

"Ikutan dong," seru Reva saat tiba di ruang tamu.

"Kuy," sahut Agata.

Vio berdiri kaku, ia memalingkan wajahnya. Sadar jika Levin tengah menatapnya dan tatapan cowok itu begitu mengerikan.

Lama-lama Levin kaya Dedy cobuzer, tatap mata saya. Vio mendengus membayangkan hal itu.

"Vi, ayok." Reva menarik tangan Vio, menyuruhnya duduk di samping Reva.

Permainan TOD dimulai, botol mulai diputar oleh Bella. Semua orang tampak tegang, memperhatikan arah tutup botol dan saat botol berhenti seketika mereka bersorak kegirangan, karena botol tepat berhenti di depan  Levin.

"Akhirnya gue bisa balas dendam!" seru Agata.

Levin mendengus, ia tampak tak senang dengan hal itu.

"Truth or dare?" tanya Agata.

"Dare," jawab Levin.

"Cium cewek yang lo suka."

Hening.

Mereka semua saling tatap, kecuali Agata yang menyeringai. Mereka semua tahu betul jika Levin tak menyukai cewek. Tak ada satu pu  cewek yang dia suka hingga detik ini.

"Kalo gak ada lo harus minum jamu pa ...." Agata tercekat saat melihat Levin mencium Viona yang duduk berhadapan dengannya.

Begitupun yang lain, mereka melongo menyaksikan adegan langka itu. Seorang Levin mencium cewek dan cewek itu Viona.

"Daebak!" seru Reva, bibirnya menganga melihat adegan yang membuat jiwa jomblonya berteriak histeris.

"Dia normal?" gumam Sam.

"Hooh," sahut Bella.

Sementara teman-teman yang lain hanya melong, menyaksikan Levin mencium Viona.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status