Home / Young Adult / Viona / 4. Mimisan

Share

4. Mimisan

Author: Butiran Rinso
last update Last Updated: 2021-06-14 20:24:21

Vio menghela napas untuk yang kesekian kali. Melihat antrian yang begitu panjang, membuat kesal Vio semakin memuncak. Gara-gara minumannya diambil Levin, mau gak mau Vio harus membeli di kantin dan mengantri panjang di kasir.

Kaki Vio sudah pegal kelamaan berdiri, hingga akhirnya tiba giliran Vio. Baru saja Vio meletakkan botol airnya, tiba-tiba seseorang menyerobot antrian.

"Kyaaa!!" teriak Vio, hilang sudah kesabarannya.

Cowok itu menoleh, menatap Vio dengan datar.

"Lo harusnya ngantri, bukan nyerobot gitu aja," gerutu Vio.

Cowok itu mendengus, mengabaikan Vio dan kembali berbalik. Vio melotot, emosinya semakin menggebu-gebu. Apa-apaan coba? Dirinya sudah ngantri lama tiba-tiba diserobot gitu aja. Vio jelas gak terima.

"Woy!" Vio menarik seragam cowok itu, menariknya ke belakang. "Mba, punya saya dulu," ucap Vio pada kasir.

"Heh!" Cowok itu menarik bahu Vio, sampai Vio tertarik mundur. "Lo gak tahu siapa gue?"

Vio menaikkan sebelah alisnya, menatap wajah cowok itu. "Gak tuh, gak penting buat gue." Vio kembali berbalik, membayar pada kasir.

"Heh mau ke mana?" Cowok itu menarik Vio yang sudah akan beranjak pergi.

"Bukan urusan lo." Vio menghempas tangan cowok itu dari pergelangan tangannya.

"Lo bener-bener cari masalah."

"Apa?" Vio menoleh dan saat itulah wajah Vio disiram air oleh cowok itu. "Lo!" Vio menatap nyalang cowok itu.

"Kenapa? Mau marah? Itu akibatnya kalo lo berani sama gue." Cowok itu tersenyum sinis, lalu pergi meninggalkan Vio.

Vio mencengkram botol airnya, semua anak melihatnya prihatin. Vio benci ditatap seperti itu dan ini semua gara-gara cowok sialan itu. Vio menoleh ke cowok itu, matanya menatap nyalang punggung cowok itu.

"Kyaaa!!!" teriak Vio, cowok itu menoleh dan Vio langsung menyiramnya dengan air mineral. "Harusnya lo gak nyiram gue," kata Vio.

Cowok itu mengumpat, dia mencengkram kerah seragam Vio. "Lo cewek sialan!" Cowok itu memajukan wajahnya dan Vio tanpa merasa takut membalas tatapan tajam cowok itu.

"Apa?" tantang Vio. "Lo mau pukul gue?"

"Ya, gue bakal pukul lo!" Detik berikutnya Vio tersungkur ke lantai tak sadarkan diri, darah segar mengalir dari hidungnya.

"Lando!" teriak Reva saat melihat kejadian itu. "Gila lo!" Reva menatap tajam Lando yang sama sekali tak merasa bersalah. "Dasar psikopat!" Reva langsung menolong Vio yang tak sadarkan diri. "Vio, bangun Vi."

"Bilangin sama temen lo, jangan sok berani jadi cewek." Lando mendecih, lalu pergi meninggalkan  kerumunan di kantin.

———————

Vio terbangun ketika aroma menyengat menyerbak ke hidungnya. Matanya perlahan terbuka, Vio memandangi langit-langit ruangan berwarna putih.

"Aku di mana?" gumamnya, sembari memegangi kepalanya yang berdenyut.

"Akhirnya kamu sadar juga, kamu di UKS." Vio menoleh, seorang perempuan mengenakan jas putih berdiri di sampingnya. "Minum?"

Vio mengangguk, menerima gelas yang disodorkan perempuan itu. "Makasih," kata Vio, memberikan kembali gelas yang sudah kosong.

"Kepala kamu masih pusing?" tanya perempuan itu.

"Sedikit," jawab Vio.

"Kalau gitu kamu istirahat aja." Vio mengangguk, kembali berbaring. "Saya tinggal dulu ya." Perempuan itu pun pamit keluar.

Selepas kepergian perempuan itu, Vio termenung. Mengingat-ingat kejadian yang membuatnya sampai di UKS. Ingatannya berseliweran di otak, hingga kilas kejadian di kantin terbayang di pikirannya.

Cowok sialan!

Vio menghela napas panjang. "Vio bego banget si lo, harusnya lo diem aja tadi. Ngapain juga lo cari masalah. Bego, bego, bego!" Vio memukul kepalanya sendiri. "Bener-bener bego banget si lo, Viona."

"Emang." Vio terkesiap, ia langsung terbangun saat mendengar suara seseorang.

"Siapa itu?" Mata Vio jelalatan, mengawasi ruangan sekitarnya. "Halo, apa ada orang?" Tapi tak ada sahutan, hingga tiba-tiba terdengar suara benturan keras. Vio langsung menyibak tirai pembatas saat mendengar erangan kesakitan. "Lo!" Mata Vio melotot.

Cowok itu meringis, terduduk di lantai setelah jatuh dari atas brankar. Dia bangun, menepuk celananya yang sedikit kotor.

"Ngapain lo di sini?" tanya Vio, berusaha terlihat tenang.

"Gue?" Cowok itu menatap Vio. "Tidur, tapi gara-gara lo gue jadi gak bisa tidur."

"Hah? Kok jadi gue?" Vio mendengus, tak habis pikir dengan cowok di depannya. Cowok aneh yang yang tadi pagi merebut botol airnya.

"Iya, karena lo berisik banget," kata Levin. Ya, cowok itu memang Levin.

"Emang kedengeran ya?"

"Banget."

Vio terdiam, merutuki bibirnya. Lalu melihat Levin yang masih berdiri, wajah cowok itu penuh lebam bahkan sudut bibirnya berdarah. Apa dia berkelahi lagi? Awalnya Vio ingin mengabaikannya, tapi Vio tidak bisa melihat seseorang terluka seperti itu.

"Lo berantem? Muka lo bonyok, biar gue obati." Vio segera turun dari brankar, berjalan ke lemari mengambil kotak P3K lalu kembali ke hadapan Levin. "Duduk," suruh Vio.

"Gak usah, gue gak bu————"

Vio berdecak, ia menarik Levin dan mendudukkannya di brankar. "Diem."

Levin mengatupkan  bibirnya, ia diam saja. Matanya menatap Vio yang sedang sibuk menuangkan alkohol ke kapas.

"Aaa!" pekik Levin saat Vio menempelkan kapas ke pipinya.

"Sakit?" tanya Vio.

"Menurut lo?" Levin mendengus, memalingkan wajahnya.

"Kalo tahu sakit, kenapa musti berantem sampe luka-luka begini?" kata Vio, ia kembali membersihkan luka Levin.

"Cowok berantem itu wajar." Vio mendongak, menatap sekilas Levin. "Lagian lo bawel banget si."

"Apa? Lo bilang gue bawel." Vio melotot.

"Iya, lo bawel."

Vio kesal, lalu dengan sengaja menekankan napasnya di sudut bibir Levin. Cowok itu memekik dan Vio tersenyum puas melihat Levin kesakitan.

"Sakit itu wajar, masa gitu aja nangis," cibir Vio.

"Siapa nangis?" sahut Levin.

"Lo lah, lebay banget." Vio mengoleskan obat merah ke sudut bibir Levin.

"Awww!" Levin menahan pergelangan tangan Vio, hal itu membuat Vio tertegun. Mata keduanya saling bertemu.

Vio menatap mata Levin, untuk pertama kalinya ia mengagumi keindahan  iris hitam pekat itu. Bahkan Vio sampai terpesona, mata itu terlihat sangat indah dan memgagumkan.

"Hidung lo." Suara Levin menyadarkan Vio. "Hidung lo berdarah lagi."

Vio gelagapan, ia menyeka hidungnya yang terus mengeluarkan darah. Vio yang panik segera berlari keluar UKS menuju toilet. Sesampainya di sana Vio membasuh hidungnya, berharap mimisannya segera berhenti.

———————

Vio kembali ke kelas setelah dari toilet, ia tak mau ke UKS, malu jika bertemu dengan Levin setelah kejadian mimisan tadi. Beruntung kelasnya sedang jam kosong saat ia masuk ke kelas.

"Vio, lo udah mendingan?" tanya Reva ketika Vio tiba di bangkunya.

Vio mengangguk. "Udah mendingan kok."

"Syukur deh, gue tadi panik banget lihat lo pingsan terus ampe mimisan. Untung ada Levin yang langsung bawa lo ke UKS."

Vio terdiam, ia menatap Reva dengan kening mengkerut.

Levin?

Cowok itu yang membawanya ke UKS?

Serius?

"Levin?" beo Vio.

"Iya, Levin udah kaya superhero datang-datang langsung ngangkat tubuh lo terus lari ke UKS."

Vio kembali diam. Pikirannya berkelana ke mana-mana. Apa mungkin tadi Levin di UKS karena jagain dirinya? Vio menggeleng, berusaha menepis pikirannya yang konyol.

Mana mungkin cowok rese itu jagain dirinya, iya gak mungkin. Vio terus meyakinkan dirinya.

"Si Lando emang berengsek beraninya sama cewek," gerutu Reva, kesal. "Tapi kayanya tuh orang udah kena karmanya, karena Levin udah bikin dia bonyok."

"Siapa?" Vio seketika menoleh, menatap Reva dengan mata melotot. Semoga saja dugaanya salah.

"Levin."

"Levin?"

"Iya, abis bawa lo ke UKS, Levin balik lagi ke kantin dan ngehajar si Lando habis-habisan," jelas Reva.

Vio cengo. Jadi lebam di wajah Levin karena dia berantem sama Lando? Dan itu semua karena dirinya? Kepala Vio kembali berdenyut, rasanya seperti mau pecah.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Viona   Malam Terindah

    Meski sempat mengalami penurunan kesehatan selama beberapa hari lepas kepergian Keyla dan mama tirinya ke Australia, kesehatan Viona berangsur pulih berkat dukungan dari Levin yang selalu ada di sampingnya dan juga om Anton yang selalu mengupayakan berbagai opsi untuk penyembuhan. Teman-teman Levin juga selalu mengunjungi Viona, mereka sering menghibur Viona agar tidak larut dalam kesedihan.Awalnya Dokter menolak usul dari om Anton untuk segera melakukan operasi transplantasi sumsum tulang belakang dengan alasan kesehatan Viona yang belum stabil. Namun, setelah beberapa hari pemantauan dan kesehatan Viona mulai membaik. Dokter akhirnya setuju untuk segera melakukan operasi tersebut.Kini sebulan pasca operasi sumsum tulang belakang dijalani Viona. Proses pemulihan Viona juga berjalan lancar. Sekarang keadaannya jauh lebih baik, m

  • Viona   Nggak Sabar

    Reva menatap nanar alat cukur rambut di tangannya. Rasanya begitu berat ketika ia harus memakai alat tersebut. Padahal selama ini ia biasa memakai alat itu untuk mencukur rambut Sam dan teman-teman cowok di tongkrongannya yang nggak mau modal buat kebarbershopdan memilih gratisan memakai jasanya.Viona yang menyadari keterdiaman Reva, sontak menoleh ke belakang. Di mana gadis itu berdiri di belakang kursi rodanya. "Rev, kenapa?" tanyanya.Reva tersadar, dengan cepat mengubah ekspresinya. Ia tidak mau kalau sampai Viona melihat raut wajahnya yang sedih. "Eh, nggak papa kok." Reva menyengir, berharap Viona tidak curiga.Namun, bukan Viona namanya kalau langsung percaya begitu saja. Viona menatap lekat wajah Reva, menyalami pandangan gadis itu, seolah mencari kebenara

  • Viona   Kesempatan Terakhir

    Sudah berbulan-bulan Dimas memandangi Viona yang sedang terlelap dari balik kaca yang ada di pintu ruang rawat Viona. Tak sekalipun ia berani menunjukkan batang hidungnya di depan putri kandungnya itu. Meski keinginan untuk melihat lebih dekat terus menggebu dalam dada, tapi perasaan bersalah menahannya sampai depan pintu.Dimas menyeka air matanya, hal yang sering terjadi setiap kali ia memandangi Viona yang meringis menahan sakit bahkan dalam keadaan tak sadar. Seperti yang saat ini ia saksikan, Viona terus merintih dalam tidurnya. Ingin sekali Dimas masuk ke dalam, membelai lembut kepala putrinya, menenangkan atau kalau perlu mengambil alih rasa sakit itu. Walau ia tahu, keadaannya sudah berubah dan tak ada yang bisa ia benahi lagi. Meskipun rasa penyesalan terus merongrong, tapi semua sudah terlambat, keegoisannya membuat semua yang ia lakukan saat ini pun sia-sia.

  • Viona   Manis

    Setelah seharian mencari ke sana-sini tanpa ada kejelasan, akhirnya Lina menemukan titik terang ketika ia mendapatkan telepon dari Viona yang mengatakan kalau Keyla ada di sana. Berkali-kali Lina mengucap rasa syukur, kekalutan dalam pikiran dan benak yang berkecamuk berangsur melega seiring dengan laju mobil Dimas menuju ke rumah sakit———tempat Viona dirawat saat ini.Awalnya Lina memutuskan untuk pergi dari rumah, bahkan ia sudah mengemasi beberapa pakaiannya dan pakaian Viona untuk beberapa waktu ke depan. Ia ingin menenangkan diri sekaligus memberikan efek jera pada suaminya yang egois dan keras kepala, berharap dengan kepergiannya sesaat akan membuat Dimas paham dan mau berubah.Namun, serangkaian rencana yang sudah ia rancang dengan matang harus berakhir berantakan ketika ia menerima panggilan dari wali kelas Key

  • Viona   Korban

    Semilir angin bertiup lambat, udara yang begitu sejuk saat menjelang sore. Hilir mudik petugas medis menjadi pemandangan yang biasa di koridor rumah sakit. Namun, mata Anton tak sedikitpun teralihkan, fokusnya masih tertuju pada Viona yang tengah duduk di taman ditemani oleh Levin. Senyumnya mengembang melihat keponakannya dapat tersenyum lagi, padahal beberapa hari yang lalu tampak sangat terpuruk. Anton bersyukur karena usahanya meyakinkan pak Tama tidak sia-sia, apalagi fakta kalau mereka merupakan relasi bisnis mempermudah semua usahanya untuk membawa Levin."Jadi, apa langkah selanjutnya Dok? Sepertinya keadaan Viona sudah mulai stabil, apa kita bisa langsung melangkah ke step selanjutnya? Bukankah lebih cepat jauh lebih baik untuk kesembuhan Viona?" Anton menolehkan kepalanya pada Dokter Bima yang berdiri di sampingnya, Dokter spesialis Hematolog yang menangani kasus Viona beberapa

  • Viona   Aku di sini

    Viona terbangun saat merasakan usapan lembut di pipinya, membuat kelopak matanya perlahan terbuka. Samar terlihat wajah seseorang yang selalu mengisi pikirannya akhir-akhir ini, seseorang yang selalu ia tunggu kehadirannya. Namun, ia sadar kalau orang itu tidak mungkin datang dan yang ia lihat hanyalah bayangan semu.Viona menghela napas panjang, begitu kecewa. Ia memalingkan wajahnya ke arah lain. "Kamu di mana Vin, aku merindukanmu," gumam Viona seraya memejamkan matanya kembali, berharap mimpi buruk ini segera usai."Aku di sini." Suara yang sangat familiar itu menyentak Viona, matanya seketika terbuka lebar dan menatap seseorang di sampingnya yang kini terlihat lebih jelas dari sebelumnya."Levin," lirih Viona, setengah tak percaya kalau yang dilihatnya memang Levin, bukan se

  • Viona   Kecolongan

    Viona terbangun ketika mendengar suara dari samping, matanya perlahan terbuka bersamaan dengan harum maskulin yang menyeruak ke indera penciumannya. Samar-samar ia melihat sesosok cowok berdiri membelakangi dirinya, seakan yakin kalau itu Levin, Viona lantas memanggilnya."Levin." Suara Viona yang terdengar pelan berhasil menarik atensi cowok itu. Namun, ia harus menelan kekecewaan ketika netranya menangkap dengan jelas wajah cowok itu saat membalikkan badan dan ternyata cowok itu bukan Levin, melainkan orang lain."Hai," sapa cowok itu, menyunggingkan senyumnya seramah mungkin. "Gimana keadaan lo——""Ngapain lo ke sini?" sergah Vio, memotong ucapan cowok itu. Ekspresinya terlihat tidak menyukai kehadiran cowok itu."Ngapa

  • Viona   Rindu

    Dimas bergegas pulang lebih cepat ketika Laras—istrinya——memberitahukan kalau Viona demam. Putri kesayangannya yang baru berusia satu tahun itu mengalami demam tinggi sejak siang.Sesampainya di rumah, Dimas segera berlarian masuk menuju kamar Viona. Namun, ketika ia sampai di depan kamar, suara dari dalam menghentikan langkahnya."Stop Anton! Hentikan omongkosongmu! Dia bukan anakmu! Harus aku bilang berapa kali, dia bukan anakmu!"Dimas terkesiap kala mendengar teriakan Laras dari dalam kamar. Apalagi istrinya itu menyebut nama Anton, adik angkatnya. Dimas masih terdiam di depan pintu yang tertutup rapat, menahan rasa penasaran yang menggebu-gebutentang apa yang sedang terjadi di dalam sa

  • Viona   Surat Wasiat

    Dimas duduk termenung, memandangi Viona yang terbujur lemas tak berdaya di atas ranjang rumah sakit dengan selang infus menancap di tangannya. Sudah satu jam berlalu ia duduk tanpa melakukan aktivitas apa pun selain menatap wajah pucat Viona, seraya mengusap tangan putrinya itu yang terdapat memar."Putri Anda terkenaLeukemia limfositik kronisatau yang biasa disebut kanker darah."Ucapan Dokter yang memeriksa Viona kembali berputar-putar di kepala Dimas, seperti kaset rusak yang berhasil menghancurkan tembok kokoh dalam hatinya. Sekeras apa pun ia menahan diri untuk tidak menangis, nyatanya pertahanannya runtuh. Air mata yang ditahan di pelupuk mata seketika keluar bagaikan air bah."Maafkan papa, Viona." Dimas terisak, menutup wajahnya yang tak kuasa menu

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status