Vio menghela napas untuk yang kesekian kali. Melihat antrian yang begitu panjang, membuat kesal Vio semakin memuncak. Gara-gara minumannya diambil Levin, mau gak mau Vio harus membeli di kantin dan mengantri panjang di kasir.
Kaki Vio sudah pegal kelamaan berdiri, hingga akhirnya tiba giliran Vio. Baru saja Vio meletakkan botol airnya, tiba-tiba seseorang menyerobot antrian.
"Kyaaa!!" teriak Vio, hilang sudah kesabarannya.
Cowok itu menoleh, menatap Vio dengan datar.
"Lo harusnya ngantri, bukan nyerobot gitu aja," gerutu Vio.
Cowok itu mendengus, mengabaikan Vio dan kembali berbalik. Vio melotot, emosinya semakin menggebu-gebu. Apa-apaan coba? Dirinya sudah ngantri lama tiba-tiba diserobot gitu aja. Vio jelas gak terima.
"Woy!" Vio menarik seragam cowok itu, menariknya ke belakang. "Mba, punya saya dulu," ucap Vio pada kasir.
"Heh!" Cowok itu menarik bahu Vio, sampai Vio tertarik mundur. "Lo gak tahu siapa gue?"
Vio menaikkan sebelah alisnya, menatap wajah cowok itu. "Gak tuh, gak penting buat gue." Vio kembali berbalik, membayar pada kasir.
"Heh mau ke mana?" Cowok itu menarik Vio yang sudah akan beranjak pergi.
"Bukan urusan lo." Vio menghempas tangan cowok itu dari pergelangan tangannya.
"Lo bener-bener cari masalah."
"Apa?" Vio menoleh dan saat itulah wajah Vio disiram air oleh cowok itu. "Lo!" Vio menatap nyalang cowok itu.
"Kenapa? Mau marah? Itu akibatnya kalo lo berani sama gue." Cowok itu tersenyum sinis, lalu pergi meninggalkan Vio.
Vio mencengkram botol airnya, semua anak melihatnya prihatin. Vio benci ditatap seperti itu dan ini semua gara-gara cowok sialan itu. Vio menoleh ke cowok itu, matanya menatap nyalang punggung cowok itu.
"Kyaaa!!!" teriak Vio, cowok itu menoleh dan Vio langsung menyiramnya dengan air mineral. "Harusnya lo gak nyiram gue," kata Vio.
Cowok itu mengumpat, dia mencengkram kerah seragam Vio. "Lo cewek sialan!" Cowok itu memajukan wajahnya dan Vio tanpa merasa takut membalas tatapan tajam cowok itu.
"Apa?" tantang Vio. "Lo mau pukul gue?"
"Ya, gue bakal pukul lo!" Detik berikutnya Vio tersungkur ke lantai tak sadarkan diri, darah segar mengalir dari hidungnya.
"Lando!" teriak Reva saat melihat kejadian itu. "Gila lo!" Reva menatap tajam Lando yang sama sekali tak merasa bersalah. "Dasar psikopat!" Reva langsung menolong Vio yang tak sadarkan diri. "Vio, bangun Vi."
"Bilangin sama temen lo, jangan sok berani jadi cewek." Lando mendecih, lalu pergi meninggalkan kerumunan di kantin.
———————
Vio terbangun ketika aroma menyengat menyerbak ke hidungnya. Matanya perlahan terbuka, Vio memandangi langit-langit ruangan berwarna putih.
"Aku di mana?" gumamnya, sembari memegangi kepalanya yang berdenyut.
"Akhirnya kamu sadar juga, kamu di UKS." Vio menoleh, seorang perempuan mengenakan jas putih berdiri di sampingnya. "Minum?"
Vio mengangguk, menerima gelas yang disodorkan perempuan itu. "Makasih," kata Vio, memberikan kembali gelas yang sudah kosong.
"Kepala kamu masih pusing?" tanya perempuan itu.
"Sedikit," jawab Vio.
"Kalau gitu kamu istirahat aja." Vio mengangguk, kembali berbaring. "Saya tinggal dulu ya." Perempuan itu pun pamit keluar.
Selepas kepergian perempuan itu, Vio termenung. Mengingat-ingat kejadian yang membuatnya sampai di UKS. Ingatannya berseliweran di otak, hingga kilas kejadian di kantin terbayang di pikirannya.
Cowok sialan!
Vio menghela napas panjang. "Vio bego banget si lo, harusnya lo diem aja tadi. Ngapain juga lo cari masalah. Bego, bego, bego!" Vio memukul kepalanya sendiri. "Bener-bener bego banget si lo, Viona."
"Emang." Vio terkesiap, ia langsung terbangun saat mendengar suara seseorang.
"Siapa itu?" Mata Vio jelalatan, mengawasi ruangan sekitarnya. "Halo, apa ada orang?" Tapi tak ada sahutan, hingga tiba-tiba terdengar suara benturan keras. Vio langsung menyibak tirai pembatas saat mendengar erangan kesakitan. "Lo!" Mata Vio melotot.
Cowok itu meringis, terduduk di lantai setelah jatuh dari atas brankar. Dia bangun, menepuk celananya yang sedikit kotor.
"Ngapain lo di sini?" tanya Vio, berusaha terlihat tenang.
"Gue?" Cowok itu menatap Vio. "Tidur, tapi gara-gara lo gue jadi gak bisa tidur."
"Hah? Kok jadi gue?" Vio mendengus, tak habis pikir dengan cowok di depannya. Cowok aneh yang yang tadi pagi merebut botol airnya.
"Iya, karena lo berisik banget," kata Levin. Ya, cowok itu memang Levin.
"Emang kedengeran ya?"
"Banget."
Vio terdiam, merutuki bibirnya. Lalu melihat Levin yang masih berdiri, wajah cowok itu penuh lebam bahkan sudut bibirnya berdarah. Apa dia berkelahi lagi? Awalnya Vio ingin mengabaikannya, tapi Vio tidak bisa melihat seseorang terluka seperti itu.
"Lo berantem? Muka lo bonyok, biar gue obati." Vio segera turun dari brankar, berjalan ke lemari mengambil kotak P3K lalu kembali ke hadapan Levin. "Duduk," suruh Vio.
"Gak usah, gue gak bu————"
Vio berdecak, ia menarik Levin dan mendudukkannya di brankar. "Diem."
Levin mengatupkan bibirnya, ia diam saja. Matanya menatap Vio yang sedang sibuk menuangkan alkohol ke kapas.
"Aaa!" pekik Levin saat Vio menempelkan kapas ke pipinya.
"Sakit?" tanya Vio.
"Menurut lo?" Levin mendengus, memalingkan wajahnya.
"Kalo tahu sakit, kenapa musti berantem sampe luka-luka begini?" kata Vio, ia kembali membersihkan luka Levin.
"Cowok berantem itu wajar." Vio mendongak, menatap sekilas Levin. "Lagian lo bawel banget si."
"Apa? Lo bilang gue bawel." Vio melotot.
"Iya, lo bawel."
Vio kesal, lalu dengan sengaja menekankan napasnya di sudut bibir Levin. Cowok itu memekik dan Vio tersenyum puas melihat Levin kesakitan.
"Sakit itu wajar, masa gitu aja nangis," cibir Vio.
"Siapa nangis?" sahut Levin.
"Lo lah, lebay banget." Vio mengoleskan obat merah ke sudut bibir Levin.
"Awww!" Levin menahan pergelangan tangan Vio, hal itu membuat Vio tertegun. Mata keduanya saling bertemu.
Vio menatap mata Levin, untuk pertama kalinya ia mengagumi keindahan iris hitam pekat itu. Bahkan Vio sampai terpesona, mata itu terlihat sangat indah dan memgagumkan.
"Hidung lo." Suara Levin menyadarkan Vio. "Hidung lo berdarah lagi."
Vio gelagapan, ia menyeka hidungnya yang terus mengeluarkan darah. Vio yang panik segera berlari keluar UKS menuju toilet. Sesampainya di sana Vio membasuh hidungnya, berharap mimisannya segera berhenti.
———————
Vio kembali ke kelas setelah dari toilet, ia tak mau ke UKS, malu jika bertemu dengan Levin setelah kejadian mimisan tadi. Beruntung kelasnya sedang jam kosong saat ia masuk ke kelas.
"Vio, lo udah mendingan?" tanya Reva ketika Vio tiba di bangkunya.
Vio mengangguk. "Udah mendingan kok."
"Syukur deh, gue tadi panik banget lihat lo pingsan terus ampe mimisan. Untung ada Levin yang langsung bawa lo ke UKS."
Vio terdiam, ia menatap Reva dengan kening mengkerut.
Levin?
Cowok itu yang membawanya ke UKS?
Serius?
"Levin?" beo Vio.
"Iya, Levin udah kaya superhero datang-datang langsung ngangkat tubuh lo terus lari ke UKS."
Vio kembali diam. Pikirannya berkelana ke mana-mana. Apa mungkin tadi Levin di UKS karena jagain dirinya? Vio menggeleng, berusaha menepis pikirannya yang konyol.
Mana mungkin cowok rese itu jagain dirinya, iya gak mungkin. Vio terus meyakinkan dirinya.
"Si Lando emang berengsek beraninya sama cewek," gerutu Reva, kesal. "Tapi kayanya tuh orang udah kena karmanya, karena Levin udah bikin dia bonyok."
"Siapa?" Vio seketika menoleh, menatap Reva dengan mata melotot. Semoga saja dugaanya salah.
"Levin."
"Levin?"
"Iya, abis bawa lo ke UKS, Levin balik lagi ke kantin dan ngehajar si Lando habis-habisan," jelas Reva.
Vio cengo. Jadi lebam di wajah Levin karena dia berantem sama Lando? Dan itu semua karena dirinya? Kepala Vio kembali berdenyut, rasanya seperti mau pecah.
Bel pulang sekolah berbunyi, gerombolan Lando sudah bertengger di parkiran. Lando sendiri duduk di atas kap mobilnya, menyesap rokok yang ada ditangan."Muka lo kenapa?" tanya Fano yang baru tiba."Biasa," jawab Lando, kembali menyebulkan asap rokok ke udara."Lo gak tahu Fan? Dia abis di pukulin tadi ...." Temannya seketika mengatupkan bibirnya, karena Lando melototinya."Lo berantem lagi? Sama siapa?" tuntut Fano, meminta penjelasan.Lando mendengus, membuang puntung rokok ke tanah lalu menginjaknya. "Gak penting," ucap Lando."Seterah." Fano tak lagi menggubris Lando, ia memilih merokok dari pada menanyai Lando yang keras kepala.
Viona bersumpah pada dirinya sendiri, untuk tidak lagi datang ke rumah Reva. Vio benar-benar menyesal, sekarang dirinya justru terjebak di dalam rumah Reva tanpa bisa pulang karena di luar hujan deras.Vio benar-benar mengutuk hari ini. Hari yang begitu sial, hari di mana ia kehilangan ciuman pertamanya dan lebih sialnya lagi, Levin yang merenggutnya.Arrggg! Vio mengerang frustasi. Merutuki diri sendiri.Apa tidak ada cowok lain? Kenapa harus Levin?Ponsel Vio tiba-tiba berbunyi, mengalihkan perhatiannya. Vio segera menjauh dari teman-temannya, mencari tempat sepi untuk menjawab telepon."Halo," ucap Vio ketika sambungan telepon diangkat.
Lando mendengus, ketika melihat Levin menggendong seorang cewek. Cewek yang sama dengan cewek kemarin. Lando semakin penasaran apa hubungan Levin dengan cewek itu? Kalau benar cewek itu spesial untuk Levin, itu akan jadi kesempatan bagus bagi Lando menjatuhkan Levin.Lando tersenyum miring, ia kembali berjalan menuju kelasnya. Bel masuk berbunyi dan kebetulan kelas Lando jam kosong. Ia duduk di bangku paling belakang, menyesap rokok dan menyebulkannya ke udara."Lo udah dapet apa yang gue minta?" Suara Lando menginterupsi teman-temannya yang sedang mabar, seketika mereka menoleh. Lando melemparkan tatapannya ke salah satu temannya."Ah, sudah?" ucap Erik yang paham dengan ucapan Lando barusan. "Namanya Viona," kata Erik mulai memberitahu, matanya kembali fokus ke layar ponsel dan jemar
Vio berusaha mengontrol tubuhnya, ia menyeret kakinya melangkah mengikuti Reva masuk ke dalam. Vio mengabaikan Levin yang tengah menatapnya dengan ekspresi tak terbaca.Cowok aneh!Vio heran, kenapa Levin terus memandanginya? Perasaan gak ada yang aneh sama penampilannya. Vio hanya memakai kaus oblong dan celana jeans selutut, ia pikir penampilannya biasa aja.Lalu kenapa Levin menatapnya seperti itu?"Vi, sini dah. Gue kenalin lo sama yang lain." Reva menarik lengan Vio, menyentak Vio dari pikirannya. Reva membawanya ke ruang tengah. "Gaesss, kenalin temen gue. Namanya Viona."Vio menarik kedua sudut bibirnya, mengulas senyum terpaksa. Vio menatap satu-persatu teman-teman Reva, mere
Jika kamu tak mendapatkan kebahagian, maka ciptakanlah sendiri kebahagianmu.-Levin-"Kalo lo merasa gak dapet kebahagian, kenapa gak lo ciptain sendiri?""Hidup itu sulit gak perlu ditambah rumit. Asal lo bahagia, kenapa lo harus peduli dengan apa kata orang. Mereka saja belum tentu peduli sama lo.""Lakukan apa pun yang membuat lo bahagia."Ucapan Levin terus terngiang di pikiran Vio, membangkitkan tekadnya yang telah lama mati suri. Vio memandang Levin yang tengah berjoged bersama badut mampang, tingkah lucunya membuat Vio tanpa sadar ikut tertawa.Jik
Bagaimana bisa gue gak peduli kalau lo orang pertama yang menarik perhatian gue.-Levin-Motor Levin berhenti di depan bangunan tua, dari luar tampak gelap tapi terlihat ada cahaya di dalamnya. Levin turun, ia berjalan tanpa ragu mendobrak pintu hingga menimbulkan bunyi nyaring. Orang-orang di dalamnya terperanjat, mereka menoleh ke arah kedatangan Levin."Cari mati tuh anak," gumam salah seorang."Siapa?" tanya teman di sebelahnya."Temannya Sam.""Wow, coba lihat siapa yang datang? Kita kedatangan tamu tak diundang gaesss!" seru salah seorang yang Levin yakini pentolan dari geng itu. Geng ga
Terkadang manusia itu sok tahu segalanya, padahal tidak tahu apa-apa. Hanya bermulut besar untuk terlihat tangguh. -Viona- Langkah Vio memelan ketika selentingan itu mengusik gendang telinganya. Vio berusaha keras untuk tidak terpancing, sebisa mungkin mengontrol emosi yang mencuat ke ubun-ubun. "Oh, jadi dia cuma anak pungut dong." "Atau mungkin anak pembantunya yang dibiayain sekolah gitu kaya disinetron-sinetron." "Gue kira dia beneran saudaranya Keyla, tapi emang gak mungkin sih kan mereka beda." "Kasian ya gak diakui bapaknya."
Keyla pulang dengan wajah tertunduk, menyembunyikan matanya yang sembab karena berjam-jam ia habiskan untuk menangis di UKS."Kok udah pulang?" tanya Lina yang baru saja keluar dari dapur, ia melirik ke jam dinding yang baru menunjukkan pukul 13.00. Biasanya sekolah dibubarkan pukul 14.00, Lina jadi merasa curiga, ditambah Viona juga tidak ikutan pulang bersamanya. "Viona mana?"Keyla masih memilih diam, meremas jemarinya. Mendengar nama Viona disebutkan, hatinya kembali sesak, sakit luar biasa ketika mengingat kejadian tadi di kantin. Saat dengan lantangnya Vio bilang jika dirinya anak pelakor.Keyla tahu Vio tidak pernah bisa menerimanya, apa pengorbanannya untuk bisa dekat dengan Vio masih kurang? Keyla menurunkan egonya, terus berusaha mendekat meski berkali-kali ditolak. Tapi apa