Share

2. Teman

Bayangan cowok tadi terus mengusik pikiran Vio. Seberusaha apa pun ia mengeluarkan bayangan itu dari otaknya, tetap saja bayangan itu terus berseliweran. Menari-nari tanpa permisi di dalam pikirannya.

Mata elang, hidung mancung, rahang tegas dan bibir tipis, kombinasi yang sempurna. Tak heran jika cowok itu terlihat tampan dan mempesona. Sayangnya dia berwajah dingin dan menyeramkan.

Bodoh!

Rutuk Vio, apa yang salah dengan otaknya? Kenapa bisa-bisanya ia terkesima dengan cowok aneh itu. Vio menepis semua pemikirannya tentang cowok bernama Levin, seniornya kelas XII.

Sepanjang pelajaran berlangsung, Vio tidak bisa fokus karena Reva terus mendumel. Mengomentari apa pun yang diucapkan guru pelajaran. Hingga bel pulang berbunyi.

"Lo mau ikut?" ajak Reva yang sudah selesai mengemasi barang-barangnya, ya karena dia memang hanya mengeluarkan satu buku  saja.

"Ke mana?" tanya Vio tanpa mengalihkan pandangannya dari papan tulis. Vio masih menyelesaikan catatannya.

"Basecamp."

Basecamp?

Itu artinya Vio akan bertemu lagi dengan Levin. Oh, tidak terimakasih. Vio tidak akan bertindak bodoh untuk kedua kalinya.

"Gak deh. Gue belum selesai nyatet."

"Gue tungguin." Reva bersikeras mengajak Vio.

"Tapi————"

"Ayolah, lo bakal punya banyak teman di sana. Gue punya banyak koneksi, termasuk para senior." Vio menoleh, mengernyitkan dahinya.

"Koneksi?" beo Vio.

Reva mengangguk. "Yups, rentan pertemanan gue luas. Lo gak bakal nyesel ikut gue, lo bakal rasain sensasi yang berbeda. Hidup lo gak bakal monoton deh."

Pertemanan?

Bahkan seumur hidup Vio tidak punya teman, ia terlalu apatis dan menutup diri dari pergaulan. Vio tidak suka berhubungan dengan siapa pun, baginya itu hanya akan menimbulkan masalah.

Dan mungkin ini untuk pertama kalinya, Vio memiliki teman. Tapi apa iya Vio harus menerima ajakan Reva? Belum sempat Vio memberi jawaban, suara seseorang sudah lebih dulu menginterupsinya.

"Viona." Vio refleks menoleh saat mendengar namanya di panggil.

Vio menghela napasnya ketika melihat Keyla berdiri di depan pintu kelas, melambaikan tangannya dan tersenyum lebar pada Vio.

"Kamu kenal dia?" Pertanyaan Reva mengalihkan perhatian Vio. "Bukannya dia anak kelas sebelah?

"Em." Vio membereskan buku-bukunya, memasukkannya ke tas.

"Siapa? Temen? Saudara? Atau ...."

Vio memutar bola matanya, jengah dengan sikap Reva yang berlebihan. Dia terlalu kepo.

"Gue pulang dulu, mungkin lain kali gue bisa ikut. Bye." Vio bangkit dan berjalan menuju pintu.

"Mama udah nunggu di depan," ucap Keyla saat Vio keluar dari kelas.

Vio tak menggubrisnya, ia berjalan lebih dulu. Namun Keyla berusaha mensejajarkan langkahnya. Keduanya berjalan beriringan sampai depan.

Sementara Reva menghampiri teman-temannya yang tengah berkumpul di parkiran.

"Itu bukannya temen lo?" tanya Bagas saat Reva datang.

Reva berbalik, matanya tertuju pada sosok Viona yang sedang masuk ke mobil Mercedes-Benz berwarna hitam.

"Iya." Reva duduk di dekat Sam, merebut botol air milik Sam.

"Kyaaasss!!" geram Sam. "Kebiasaan!" gerutunya.

Reva terkekeh tanpa merasa bersalah. "Gue haus. Kering bibir gue ngoceh mulu tadi di kelas."

Sam memutar bola matanya, malas menanggapi. Ia kembali sibuk memainkan ponselnya.

"Mereka sodaraan?" tanya Arga.

Reva menoleh. "Siapa?"

"Temen lo sama Keyla. Dia bukannya anak kelas X IPA 1. Bukannya dia pindahan dari Bandung, jadi gak mungkin dong mereka temenan," jelas Arga.

"Mungkin?" Reva tampak tidak peduli.

"Tapi kalo mereka temenan boleh juga tuh lo deketin, bukannya lo ngincer Keyla?" celetuk Bella.

"Tapi cakepan dia si dari pada Keyla," balas Arga. "Gimana dong?"

"Kalo gitu lo pacarin dua-duanya," timpal Bagas, lalu mereka tergelak. Entah apa yang lucu.

"Cabut yok," seru Levin. Ia turun dari kap mobil.

"Kuy," sahut Agata dan yang lainnya.

Mereka pun masuk ke mobil masing-masing, sebagian mengendarai motor sport.

———————

Vio duduk bersender ke jendela, matanya menatap keluar mobil. Sementara pikirannya berkelana ke mana-mana. Masih teringat jelas di pikiranya, bagaimana Levin menatapnya dari parkiran. Entah kenapa Vio tidak suka ditatap cowok itu.

Tatapannya seolah menelanjangi Vio. Aura cowok itu begitu mencekam. Tapi kenapa cowok itu menatapnya seperti itu? Apa Vio berbuat salah? Bahkan mereka tidak saling mengenal dan baru bertemu tadi.

"Viona."

Viona tersentak ketika mendengar mama tirinya memanggil.

"Ya?" Vio menoleh ke depan.

"Kamu ngelamun? Mama dari tadi ngajak kamu ngobrol loh," ucap Keyla yang duduk di bangku depan.

"Ah, maaf," gumam Vio.

"Gak papa kok. Kamu pasti capek, hari pertama sekolah. Apa sekolah kamu menyenangkan?"

"Iya."

"Baguslah, kalau kamu capek kamu boleh tidur. Nanti mama bangungnin pas sampai."

Vio mengangguk, ia memilih memejamkan mata dan sepanjang perjalanan hanya terdengar suara Keyla yang bercerita kegiatannya di sekolah.

Seandainya mama masih hidup, mungkin Vio akan melakukan hal yang sama. Menceritakan semua kegiatannya, berbagi banyak hal dengan sang mama.

Vio benci keadaanya saat ini. Ia merasa sendirian, kesepian dan hampa. Meski mama tirinya begitu baik, Vio tak bisa menghapus rasa bencinya pada wanita itu. Karena dia penyebab kematian mamanya.

Vio terbangun tengah malam, suara petir terdengar menyambar saling bersahutan. Kilatannya menembus masuk kaca jendela. Tubuh Vio gemetar, ia memeluk lututnya, bersembunyi dibalik selimut.

"Mama," cicit Vio. "Vio takut."

Diluar sedang hujan deras, guntur makin terdengar lantang menggelegar dan tiba-tiba terjadi pemadaman listrik.

"Mama," lirih Vio. Berharap sang mana akan datang. Walau pun itu jelas mustahil.

Vio berusaha menyugesti dirinya agar tetap kuat, menepis rasa takut yang terus merongrong. Lalu terdengar teriakan kencang, diikuti suara tangis histeris. Suaranya berasal dari kamar Keyla.

Tak berselang lama terdengar suara langkah kaki, Vio berjalan ke arah pintu mengintip keluar. Terlihat mama tirinya dan sang papa berjalan tergesa-gesa menuju kamar Keyla.

"Ayo Pa, Keyla pasti ketakutan," ucap Lina terdengar panik.

"Iya Ma." Dimas mengikuti langkah istrinya, buru-buru ke kamar Keyla saat suara tangisan Keyla semakin terdengar kencang.

Vio terduduk lemas di balik pintu, tanpa sadar air matanya jatuh membasahi pipi. Rasa iri menelusup ke dalam hati.

"Vio juga takut pa," lirihnya.

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Oma Euis
duhh jd ke bw sedih,,
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status