Levin tersenyum tipis, matanya tak lepas memandangi bibir Viona yang terus bergerak. Bahkan disaat cewek itu tengah mengomel, Vio justru terlihat sangat imut.
"Kamu dengerin aku nggak?"
"Aww!" Levin meringis, sudut bibirnya terasa perih karena Vio baru saja menekannya dengan kapas. "Dengerin kok."
"Bohong," dengus Vio.
"Beneran." Levin meraih tangan Vio.
"Aku ngomong apaan coba?"
"Kamu bilang." Tangan Levin berpindah ke pipi Vio. "Kalau aku nggak boleh berantem-berantem lagi. Karena kamu nggak mau lihat wajah aku yang ganteng ini babak belur."
Vio memutar bola matanya. "I don't
Motor Levin berhenti di depan gerbang rumah Vio, cewek itu segera turun, melepas helem dan jaket milik Levin."Kamu beneran nggak papa kan?" Pertanyaan sama untuk yang kesekian kali, semenjak kepulangan mendadak dari mall.Vio mengangguk, mengulas senyum tipis sembari memberikan helem dan jaket milik Levin. "No problem, kita masih punya waktu besok, lusa dan seterusnya."Levin meraih tangan Vio, mengusapnya lembut. "Maaf, aku janji sebagai gantinya waktu libur kita bisa habiskan waktu berdua buat kencan, gimana?""Oke." Jawaban singkat ditambah kerlingan mata Vio, berhasil menarik kedua sudut bibir Levin ke atas."Pacar aku mulai genit ya."
Suara pukulan berkali-kali terdengar dari dalam ruangan. Tak lama setelah itu pintu ruangan terbuka, dua remaja yang masih mengenakan seragam putih abu-abu keluar dalam keadaan babak belur."Lando." Wanita yang sedari tadi menunggu di sofa, lantas beranjak menghampiri salah satunya. "Pasti sakit banget?" Wanita itu menatap miris wajah putranya yang penuh dengan lebam, kemudian dibalas gelengan kepala oleh Lando.Sementara cowok yang berdiri di samping Lando, memutar bola matanya, muak melihat adegan yang menurutnya lebay. Cowok itu lebih memilih untuk pergi, namun suara mama Lando berhasil menghentikan langkahnya."Kamu puas, Levin?"Ya, cowok itu memang Levin. Sepulangnya dari rumah Vio, dia langsung disambut oleh papanya yang naik p
"Mama meninggal lima tahun yang lalu, tepat di hari ulang tahunnya yang ketiga puluh delapan," ucap Levin, memecah keheningan beberapa saat yang lalu, setelah Vio selesai bercerita tentang masalah orangtuanya.Sontak Vio seketika menoleh, memperhatikan wajah Levin yang menatap lurus ke depan. Terlihat jelas raut kesedihan di wajah cowok itu. Merasakan kesedihan yang sama atas kehilangan orang yang dicintai, membuat Vio tergerak untuk menguatkan Levin. Dia menggenggam jemari tangan Levin, menatap lekat wajah cowok itu yang kini berganti menatap sendu dirinya."Kamu tahu, apa yang lebih menyakitkan dari kepergian mama?" Tentu Vio tidak tahu, dia tak bereaksi, namun genggaman tangannya pada Levin semakin erat. "Alasan mama meninggal yang lebih menyakitkan. Bahkan sampai detik ini aku belum bisa maafin mereka."
Keyla berjalan menuruni tangga, langkahnya memelan ketika melihat orangtuanya berada di meja makan. Mengabaikan eksistensi keduanya, Keyla terus berjalan. Namun suara bariton Dimas berhasil menghentikan langkah gadis itu."Keyla." Keyla berbalik, menatap papanya yang memanggil tanpa bersuara. "Sarapan dulu." Gadis itu mendengus pelan, ekspresinya begitu dingin. "Key——""Aku nggak laper," tukas Keyla, memotong ucapan papanya. "Mama nggak usah nganter aku." Keyla kembali bersuara saat melihat mamanya hendak beranjak dari tempat duduk. "Hari ini aku naik busway." Tanpa menunggu respon dari keduanya, Keyla berjalan keluar, mengabaikan panggilan mamanya."Key, Keyla." Lina menghela napas berat, cobaan datang bertubi-tubi. Selepas kepergian Viona kini Keyla juga ikut menghakiminy
Sepuluh menit berlalu, tak ada percakapan yang keluar dari mulut Vio maupun Keyla. Keduanya duduk di tepi kolam dengan pandangan lurus ke depan. Keyla yang sedari tadi ingin membuka suara selalu urung setiap kali melirik ekspresi datar Vio, dia tampak ragu-ragu untuk memulai percakapan lebih dulu.Vio menghela napas, jenuh karena harus terperangkap dalam situasi yang tidak nyaman. Hingga akhirnya dia membuka suara lebih dulu agar bisa cepat terbebas dari situasi canggung ini. "Ngapain lo ke sini?" Vio langsungto thepoint."Hah?" Keyla refleks menoleh, sedikit terkejut mendengar suara Vio namun dengan cepat dia menormalkan ekspresinya. "Aku khawatir sama kamu," ucap Keyla. "Tapi syukurlah ternyata kamu baik-baik saja. Aku sempat cemas karena kak Levin nggak bisa dihub————"
Vio membuka pintu kamar ketika suara ketukan dari luar terdengar. Saat pintu terbuka, sebuah senyuman samar menyambutnya. Pipinya memanas, jantung Vio serasa mau copot hanya karena ditatap Levin tanpa berkedip."Kenapa? Jelek ya?" Vio menunduk, memperhatikan penampilannya. "Aku nggak biasa pakaidresspendek begini," ucap Vio, menarik-narik ujungdresssabrina bagian bahu yang sedikit melorot."Cantik," ucap Levin."Ya?" Vio sontak mendongak, matanya saling beradu pandang dengan Levin yang masih setia memandanginya."Dress-nya," lanjut Levin, mendengkus geli saat melihat wajah Vio yang cengo. "Sama yang pakai juga cantik." Levin berbisik di telinga Vio, berhasil menyadarkannya.
Viona berjalan cepat menuju parkiran, mengabaikan panggilan Levin yang berusaha menyusulnya dari belakang."Vio." Levin mengusap kasar wajahnya, bingung dengan sikap Viona yang berubah jadi aneh setelah keluar dari bioskop.Apa mungkin karena ciuman tadi?Apa salahnya dengan hal itu?Levin tak mengerti kenapa Viona harus marah akan hal itu. Bukankah wajar jika sepasang kekasih saling berciuman? Oke, mungkin di sini memang Levin yang salah tempat saja."Hei." Levin meraih tangan Viona, menariknya ke belakang hingga gadis itu tertarik dan menabrak dadanya."Levin!" pekik Vio, matanya melotot karena kaget. "Lepas!" Dia berusaha melepas
Viona terbangun di tengah malam, merasakan tenggorokannya kering dan gatal. Ketika membuka mata sepenuhnya, dia baru sadar kalau Levin tidak ada di sampingnya."Levin," panggil Viona sembari mengucek sebelah matanya, berharap ada sahutan dari dalam kamar mandi. Tapi tak ada sahutan sama sekali yang menandakan kalau cowok itu tidak ada di kamar mandi. "Levin ke mana?" Viona bergumam pelan, turun dari kasur.Karena kehausan, lantas Viona memutuskan untuk mengambil minum sekalian mencari keberadaan Levin. Padahal seingat Viona, Levin tadi menemaninya sampai tertidur. Tapi sekarang cowok itu pergi entah ke mana.Ketika pintu terbuka, suara dentuman keras menyambut gendang telinga Viona. Suara nyaring dari musik yang sedang diputar begitu memekakkan telinga, ditambah lampu temaram dan kemer