LOGIN
"Mama yakin ini tempatnya?"
Mengeratkan genggaman tas gitar di bahu sambil meremas ponsel yang menempel di telinga, aku menatap bangunan di hadapanku dengan tidak pasti. Sebagai orang yang dijuluki buta maps, aku sudah berusaha berulang kali memastikan, membaca setiap jalan, sampai menghafal setiap tikungan. Namun alih-alih sebuah bangunan megah seperti yang terpampang di foto, aku justru menemukan sebuah bangunan dua lantai yang nyaris ambruk. Halamannya dipenuhi kotak sampah yang membumbung tinggi, catnya sudah memudar dan mengelupas di sana-sini, kaca jendelanya tampak memburam. Secara keseluruhan The Blues lebih pantas disebut sebagai rumah jagal daripada sebuah studio musik. "Pokoknya kalau ketemu gedung warna biru, berarti kamu sudah berada di tempat yang tepat. Kamu tinggal masuk aja, Sa." "Gimana kalau mereka sadar?" "Kita sudah bahas ini semalam. Mereka nggak akan memerhatikan kamu secara detail. Selama kamu bisa memainkan gitar seperti Gumi, semuanya pasti aman." Masalahnya, aku bukan Gumi dan permainan gitarku hanya setara Mas-Mas pos ronda yang suka nongkrong saat malam minggu di depan gang. Sedangkan The Blues yang Mama maksud adalah band Rock yang namanya sempat digadang-gadang menjadi kebangkitan musik Rock di Indonesia. Meskipun saat melihat secara langsung sepertinya julukan tersebut terlalu dibesar-besarkan media, karena nama The Blues sendiri sudah meredup. Mereka kesulitan bersaing di era gempuran band indie dan penyanyi solo, serta hanya berhasil mengeluarkan single hit. Bukan sekali dua kali, mereka melakukan perombakan, hingga bongkar pasang personil. Salah satunya Gumi. Setelah melewati perjalanan yang terjal, mengikuti audisi dari ribuan kandidat, Gumi akhirnya terpilih menjadi gitaris baru mereka. Sayangnya, belum sempat Gumi merasakan euforia itu. Dia terlibat kecelakaan mobil dan kini harus terbaring koma di rumah sakit. Sementara sebagai kembaran pengertian, aku diharapkan untuk menggantikan posisinya. "Jangan kecewakan Kakak kamu, Sa. Ini keinginannya, impiannya. Dan yang paling penting, dia sudah tanda tangan kontrak, kalau tiba-tiba Gumi mengundurkan diri, keluarga kita harus bayar pinalti yang nominalnya nggak sedikit." Lantas bagaimana dengan mimpiku? Keinginanku? Harapanku? "Aku juga harus kuliah Ma," kataku berusaha sabar. Mama terdengar menghela napas panjang dari seberang sana. "Kalau Gumi sehat, dia juga pasti nggak mau kamu melakukan ini. Kamu hanya perlu bertahan selama enam bulan sampai kontrak itu selesai, Mama berharap saat itu Gumi udah sadar dan kesehatannya udah pulih, jadi kamu nggak perlu lama-lama menggantikan dia." Sialnya, aku pun tidak memiliki pilihan, bukan? Karena semenjak Papa kami meninggal, maka sejak itu pula Gumi menjadi tulang punggung keluarga. Musibah yang dia alami bukan sekadar menghacurkan mimpinya tapi juga membuat ekonomi keluarga kami terguncang. Bantuanku yang mendapat beasiswa kuliah tidak cukup jika dibandingkan dengan jerih payah dan pengorbanan yang sudah Gumi lakukan. "Kamu nggak perlu takut, kalian kembar identik, nggak akan ada yang tahu kalau kamu pura-pura menjadi Gumi." "Tapi Ma, aku nggak bisa—" "Bisa. Kalian anak Mama, jadi bakat kalian sama. Oke Marsha? Mama udah dipanggil dokter Emran, nanti Mama kabarin lagi kalau pemeriksaan Gumi udah selesai." "Ma, aku—" Sambungan telepon langsung diputus sepihak. Aku menghela napas berat, lalu menyimpan ponsel di saku. Sambil berjalan gontai ke pintu, aku memindai penampilan diriku sendiri dari balik pantulan kaca. Kaos oversized, celana jeans, riasanku dibuat smokey eyes dan sedikit bold, rambut panjangku bahkan sudah dipangkas bob mengikuti gaya rambut Gumi yang sedikit tomboy. Perlahan, aku mendorong pintu itu, lalu mengedarkan pandangan. Hanya ada seorang pria di dalam sana. Dia berdiri dengan punggung yang menghadapku, menunduk dan sedang menyetel piringan di gramafon. Suara musik jadul terdengar menggema membuat suasana menjadi lebih suram. "Halo?" Pria itu tidak mendengar. "Permisi?" Masih tidak ada jawaban. "Hai?" Aku berdeham lebih keras, mencoba menarik perhatian, pria itu akhirnya menoleh, bibirnya yang sedang bersenandung mendadak terdiam, matanya sontak menyipit. "Apa kabar?" tanyaku canggung. Oke, aku pernah melihatnya dari balik layar kaca, tapi Bas Sangkara tampak lebih jangkung saat dilihat secara kasatmata. Dia mengenakan jaket kulit dan celana jeans sobek-sobek. Tampak percaya diri. Rahangnya yang keras dipenuhi bulu-bulu halus, rambut panjangnya diikat manbun. Jika biasanya tampilan seperti itu akan terlihat seperti gelandangan di tubuh orang lain, maka di tubuh Bas, justru membuatnya tampak lebih berbahaya. "Saya—" "Masuk. Ngapain berdiri di situ? Anginnya bikin debu-debu jadi ikut masuk." Oke, sangat ramah, bukan? Aku melakukan yang dia perintahkan, berjalan ke sudut tempat sofa berdebu, kemudian meletakkan tas gitarku. "Saya Megumi Sahira, gitaris baru. Terima kasih sudah memberikan—" "Kamu tahu apa yang kamu lakukan di sini?" potongnya tanpa memandangku. "Latihan." Aku mencicit. "Dan kamu tahu jam berapa sekarang?" Kutelan ludah susah payah. "Kami sudah hampir selesai dan kamu baru datang. Kamu pikir dengan kontrol waktu yang buruk, kamu bisa bertahan?" Sial, aku buru-buru mendekat, sepatu botku nyaris keselimpet di karpet lusuh yang dipenuhi tumpukan kaset. "Maaf, saya benar-benar minta maaf. Beberapa hari ini saya mengalami musibah—" "Ghozali juga sedang dalam kemalangan, Papanya baru saja dimakamkan, tapi dia tahu tanggung jawabnya." Setengah mati aku berusaha untuk tidak menciut saat tatapan Bas terangkat lalu memindai penampilanku lambat-lambat. "Dan sekarang kamu justru sengaja menyepelekan jadwal kami?" "Maaf, Pak." "Pak?" "Kak." "Kak?" Ya ampun, serba salah. "Tuan." "Tuan?" Kini aku tahu kenapa Mama sangat senewen dan memaksaku menggantikan Gumi, karena Bas sangat mengerikan. Bagaimana beliau berharap aku akan betah di tempat seperti ini? Aku berdeham dan mengulangi dengan lebih percaya diri. "Kalau sekiranya Kakak nggak keberatan, sebaiknya Kak Bas lihat dulu gimana kemampuan saya—" Bas mendengkus, tidak terkesan dengan pembelaan yang kuberikan. "Gimana pun hebatnya penampilan kamu, kalau nggak bisa menghargai waktu, bukannya kamu nggak layak?" tanyanya sadis. "Tapi kamu benar, satu kali terlambat bukan berarti kamu buruk, semua orang berhak mendapatkan kesempatan kedua." Kuembuskan napas lega. "Pertama, kamu bisa mulai dari membersihkan ruangan ini." Dengan sigap aku menangkap kemoceng yang dia lemparkan, mulutku megap-megap. "Gi-gimana, Kak?" "Kita nggak mungkin latihan dengan keadaan berantakan seperti ini, kan?" "Ya tapi—" "Kamu juga bisa membersihkan kaca, saya nggak bisa melihat apa-apa dari dalam sini. Saya hampir mengira kamu maling saat celingak-celinguk di depan tadi." Astaga. "Semua barang-barangnya ada di lemari persis di samping kepala kamu." Boleh tidak aku berbalik badan dan melarikan diri saja? Tapi aku sudah setuju pada Mama dan tidak bisa mundur. Aku membuka lemari itu, terbatuk heboh ketika isinya berhamburan keluar. "Gila, apa ini udah setahun nggak dibersihin? Kenapa baju tidur juga ada di sini?" tanyaku. Menjepit sebuah kain dekil di antara tumpukan sapu dan alat pel. "Lebih tepatnya dua tahun." "Terus saya harus gimana?" "Kamu nggak pernah bersih-bersih?" "Yah, maksud saya..." Gimana caranya aku akan menyapu karpet tebal yang berkerak. Dan bahkan aku tidak tahu, kotoran apa saja yang menempel di sana? "Mungkin kalian punya penyedot debu?" Bas berkacak pinggang. "Oke, pakai ini pun nggak pa-pa." Entah kenapa aku merasa ngeri dengan tatapannya yang mengintimidasi. "Biasanya kamu nggak serewel ini." Punggungku langsung dingin. Memang sebelumnya kami kenal? Kenapa dia berkata seolah kami akrab? "Gi-gimana Kak?" "Jangan banyak tanya Gumi, saya tahu kenapa kamu bisa sampai terlambat." Alisnya terangkat, sapu di tanganku bergetar saat bibirnya terbuka dan menggumam. "Kamu selalu tahu caranya membuat orang lain menunggu dengan gelisah sementara di luar sana kamu suka berkeliaran." "Itu—" "Panas banget di luar, ya ampun." Suara bariton mendadak terdengar disusul oleh pintu kaca yang terbuka, menampakkan seorang pria dengan tubuh gempal masuk. "Kemarin hujan mulu sekarang—Gumi? Astaga, akhirnya lo datang juga!" Sepertinya aku dalam masalah besar. ***Aku tidak tahu berapa lama tidur, karena sejujurnya aku menolak untuk tidur.Namun suara hujan yang melambat perlahan terasa candu, membuai hingga mataku otomatis memberat. Atau karena malam sebelumnya aku insomnia, jadi kali ini badanku terasa lebih lelah.Anehnya begitu bangun, alih-alih Ghozali aku justru menemukan Bas di sampingku, masih dengan pakaian yang sama seperti kemarin. Wajahnya tampak kuyu."Morning." Dia menyapa.Aku segera duduk tegak, menyambutnya dalam pelukan, Bas mendekap lama, menyandarkan wajahnya di pundakku."Gumi nggak pa-pa?""Kamu tahu aku di sana?" Kepalaku mengangguk, pelukan Bas terasa mengetat. "Maaf ya, nunggu aku pulang semalam? Aku nggak bisa lewat."Ya ampun, aku menyayanginya. Aku harap Bas tidak akan mengecewakan."Iya. Goz mana?""Sudah pamit barusan, dia bikin sarapan buat kamu tapi sudah dingin. Kamu tidur di sini terlalu nyenyak," jelasnya. Mengurai pelukan kami.
"Kondisi kesehatan Gumi memburuk karena konfrontasi kamu. Jadi bukan salah dia kalau dia minta Bas datang. Dan bukan salah Bas juga kalau lebih memilih menemani Gumi di sini. Kenapa sih, hal sepele kayak gini aja mesti diributin?""Aku nggak ribut Ma, aku cuma nanya apa Bas masih di sana? Di luar tuh hujan, daerah sekitar kami banjir. Jadi Bas nggak mungkin bisa pulang, makanya aku tanya dia di mana. Masih di rumah atau udah jalan ke sini? Kalaupun masih di sana juga aku malah akan bilang lebih baik dia menginap daripada maksa pulang.""Halah banyak alasan, daritadi kamu sibuk nelponin Mama cuma buat tanya ini? Nggak penting banget Sa. Udahlah, Mama banyak kerjaan, nggak bisa ngurusin drama-drama kamu terus. Kalau kamu cemburu, itu masalah kamu, resiko ngambil suami orang. Istigfar Sa.""Mending Mama ngomong gitu ke Gumi.""Gumi udah melewati banyak hal Marsha, dia hampir meninggal. Hidupnya hancur. Dia harus bolak-balik ke rumah sakit. Selama ber
Panggung hari ini benar-benar menggelegar. Telingaku sampai sakit mendengar dari balik earpiece setiap kali Bas berhasil mencapai nada tinggi.Pantas kalau dia memilih melupakan rokok, menjaga pola makan dan sering makan rebus-rebusan yang dianggap Rigen sebagai MPASI, alias makanan untuk bayi. Karena suaranya benar-benar anugerah sekaligus berbau-bau uang.Staminanya pun yang paling menakjubkan. Kalau soal jingkrak-jingkrak perlu kuakui semua personil kalau sudah naik ke panggung seperti orang kesurupan. Ghozali tidak bisa diam, Rigen menggila, dan Bas bikin penonton auto melotot. Tapi umur mereka beda-beda, jadi wajar kalau aku kagum dengan Bas sebab dia yang paling sesepuh di antara kami."Tolong selamatkan aku," kataku begitu kami berempat turun. Adrenalin melonjak, gigi kering karena teriak-teriak. Tapi saat turun kakiku rasanya gemetar.Jefri meringis, menyampirkan handuk ke pundakku dan melempar handuk ke yang lain. Aku menggumamkan terima
"You awake?"Justru sebaliknya, aku belum tidur sama sekali. Semalaman aku insomnia. Dan Bas, meskipun dia di sisiku, memelukku sepanjang malam, aku tetap tidak merasa tenang. Jantungku berdebar, tiap menarik napas rasanya sesak, panas, dan setiap akan memejamkan mata, aku langsung terbangun dengan perasaan siaga.Lalu yang bisa kulakukan adalah mendengarkan suara dengkuran Bas yang halus, melihat bagaimana otot perutnya bergerak dalam napas yang stabil.Dia kelihatan damai, seakan semua masalah telah selesai."Badan aku agak gatal-gatal, kayaknya kurang cocok sama air di pantai.""Gimana? Sini." Dia meraih lenganku yang terjulur, lalu memerhatikan bentol-bentol merah yang nampak di sana. "Kamu ada alergi juga? Panas nggak, Sa?""Nggak, cuma gatal. Setahu aku nggak ada, tapi kulit aku memang sensitif.""Sialan, aku nggak notice ini." Dia mengecupinya dengan implusif seakan dengan begitu akan sembuh. Aku menarik
"Gimana keadaan Gumi? Sebelum berangkat ke sini, Mama sempat menjenguk dia sebentar di rumah sakit. Dia benar-benar kelihatan ringkih.""Masih proses pemulihan, Tante."Beliau tersenyum. "Panggil Mama aja, nggak pa-pa. Mama udah anggap kamu seperti anak sendiri karena kamu juga saudara Gumi. Kalau kamu dan Bas jadi menikah, toh kita akan jadi keluarga." Aku menggumamkan terima kasih dan meralat panggilanku. "Kata Bas Gumi udah pindah ke rumah dan berobat jalan ya?""Iya Ma.""Mama sedih banget, hampir nangis lihat keadaan dia yang selalu ceria mendadak harus terbaring di rumah sakit begitu. Gumi harusnya bisa bersinar di atas panggung di tempat kamu sekarang."Benar, beliau benar.Dadaku berdebar kencang.Bas menginterupsi dengan meletakkan dua gelas di hadapan kami. Aku segera mengurai kepalan tangan yang dingin, dia melihat itu, tatapannya melembut."I love you," bisiknya menunduk di samping pelipisku, lalu me
Bas menjadi pendamping pengantin pria.Dia menemani Noah di area akad selama proses penyambutan Ruka. Bas kelihatan rapi dalam balutan tuxedo, dia tampak berbeda, tidak seperti dirinya yang biasa selalu berantakan dan santai. Rambutnya diikat ketat, dan cambangnya tercukur bersih. Saat berdiri di samping Noah, matanya sibuk menyapu sekitar, ketika menemukanku senyum nakal menari-nari di bibirnya seperti anak lelaki bandel.Lalu musik mengalun lembut dalam penyambutan sang pengantin wanita. Perempuan itu mengenakan gaun pengantin bunga-bunga yang menjuntai, menyapu lantai. Kami berdecak kagum, tidak henti-hentinya memuji betapa manglinginya Ruka dalam gaun pengantin diiringi suasana pantai yang sejuk."Ck, cakep." Mona memuji ogah-ogahan. "Berapa kira-kira budget yang mereka keluarin buat pesta fancy kayak gini?""Entahlah."Bas menghampiri kami, dia duduk di depanku bersama Mama dan Papa.Kemudian acara ijab kabul yang khidmat di







