Share

Vokalis Culas, Aku Bukan Istrimu
Vokalis Culas, Aku Bukan Istrimu
Author: Titi Chu

Part 1: Buta Maps

Author: Titi Chu
last update Last Updated: 2025-11-07 14:15:19

"Mama yakin ini tempatnya?"

Mengeratkan genggaman tas gitar di bahu sambil meremas ponsel yang menempel di telinga, aku menatap bangunan di hadapanku dengan tidak pasti.

Sebagai orang yang dijuluki buta maps, aku sudah berusaha berulang kali memastikan, membaca setiap jalan, sampai menghafal setiap tikungan. Namun alih-alih sebuah bangunan megah seperti yang terpampang di foto, aku justru menemukan sebuah bangunan dua lantai yang nyaris ambruk.

Halamannya dipenuhi kotak sampah yang membumbung tinggi, catnya sudah memudar dan mengelupas di sana-sini, kaca jendelanya tampak memburam. Secara keseluruhan The Blues lebih pantas disebut sebagai rumah jagal daripada sebuah studio musik.

"Pokoknya kalau ketemu gedung warna biru, berarti kamu sudah berada di tempat yang tepat. Kamu tinggal masuk aja, Sa."

"Gimana kalau mereka sadar?"

"Kita sudah bahas ini semalam. Mereka nggak akan memerhatikan kamu secara detail. Selama kamu bisa memainkan gitar seperti Gumi, semuanya pasti aman."

Masalahnya, aku bukan Gumi dan permainan gitarku hanya setara Mas-Mas pos ronda yang suka nongkrong saat malam minggu di depan gang.

Sedangkan The Blues yang Mama maksud adalah band Rock yang namanya sempat digadang-gadang menjadi kebangkitan musik Rock di Indonesia. Meskipun saat melihat secara langsung sepertinya julukan tersebut terlalu dibesar-besarkan media, karena nama The Blues sendiri sudah meredup. Mereka kesulitan bersaing di era gempuran band indie dan penyanyi solo, serta hanya berhasil mengeluarkan single hit.

Bukan sekali dua kali, mereka melakukan perombakan, hingga bongkar pasang personil. Salah satunya Gumi.

Setelah melewati perjalanan yang terjal, mengikuti audisi dari ribuan kandidat, Gumi akhirnya terpilih menjadi gitaris baru mereka. Sayangnya, belum sempat Gumi merasakan euforia itu. Dia terlibat kecelakaan mobil dan kini harus terbaring koma di rumah sakit. Sementara sebagai kembaran pengertian, aku diharapkan untuk menggantikan posisinya.

"Jangan kecewakan Kakak kamu, Sa. Ini keinginannya, impiannya. Dan yang paling penting, dia sudah tanda tangan kontrak, kalau tiba-tiba Gumi mengundurkan diri, keluarga kita harus bayar pinalti yang nominalnya nggak sedikit."

Lantas bagaimana dengan mimpiku? Keinginanku? Harapanku? "Aku juga harus kuliah Ma," kataku berusaha sabar.

Mama terdengar menghela napas panjang dari seberang sana. "Kalau Gumi sehat, dia juga pasti nggak mau kamu melakukan ini. Kamu hanya perlu bertahan selama enam bulan sampai kontrak itu selesai, Mama berharap saat itu Gumi udah sadar dan kesehatannya udah pulih, jadi kamu nggak perlu lama-lama menggantikan dia."

Sialnya, aku pun tidak memiliki pilihan, bukan? Karena semenjak Papa kami meninggal, maka sejak itu pula Gumi menjadi tulang punggung keluarga. 

Musibah yang dia alami bukan sekadar menghacurkan mimpinya tapi juga membuat ekonomi keluarga kami terguncang. Bantuanku yang mendapat beasiswa kuliah tidak cukup jika dibandingkan dengan jerih payah dan pengorbanan yang sudah Gumi lakukan.

"Kamu nggak perlu takut, kalian kembar identik, nggak akan ada yang tahu kalau kamu pura-pura menjadi Gumi."

"Tapi Ma, aku nggak bisa—"

"Bisa. Kalian anak Mama, jadi bakat kalian sama. Oke Marsha? Mama udah dipanggil dokter Emran, nanti Mama kabarin lagi kalau pemeriksaan Gumi udah selesai."

"Ma, aku—"

Sambungan telepon langsung diputus sepihak. Aku menghela napas berat, lalu menyimpan ponsel di saku.

Sambil berjalan gontai ke pintu, aku memindai penampilan diriku sendiri dari balik pantulan kaca. Kaos oversized, celana jeans, riasanku dibuat smokey eyes dan sedikit bold, rambut panjangku bahkan sudah dipangkas bob mengikuti gaya rambut Gumi yang sedikit tomboy.

Perlahan, aku mendorong pintu itu, lalu mengedarkan pandangan.

Hanya ada seorang pria di dalam sana. 

Dia berdiri dengan punggung yang menghadapku, menunduk dan sedang menyetel piringan di gramafon. Suara musik jadul terdengar menggema membuat suasana menjadi lebih suram.

"Halo?"

Pria itu tidak mendengar.

"Permisi?"

Masih tidak ada jawaban.

"Hai?"

Aku berdeham lebih keras, mencoba menarik perhatian, pria itu akhirnya menoleh, bibirnya yang sedang bersenandung mendadak terdiam, matanya sontak menyipit.

"Apa kabar?" tanyaku canggung.

Oke, aku pernah melihatnya dari balik layar kaca, tapi Bas Sangkara tampak lebih jangkung saat dilihat secara kasatmata.

Dia mengenakan jaket kulit dan celana jeans sobek-sobek. Tampak percaya diri. Rahangnya yang keras dipenuhi bulu-bulu halus, rambut panjangnya diikat manbun. Jika biasanya tampilan seperti itu akan terlihat seperti gelandangan di tubuh orang lain, maka di tubuh Bas, justru membuatnya tampak lebih berbahaya.

"Saya—"

"Masuk. Ngapain berdiri di situ? Anginnya bikin debu-debu jadi ikut masuk."

Oke, sangat ramah, bukan?

Aku melakukan yang dia perintahkan, berjalan ke sudut tempat sofa berdebu, kemudian meletakkan tas gitarku.

"Saya Megumi Sahira, gitaris baru. Terima kasih sudah memberikan—"

"Kamu tahu apa yang kamu lakukan di sini?" potongnya tanpa memandangku.

"Latihan." Aku mencicit.

"Dan kamu tahu jam berapa sekarang?"

Kutelan ludah susah payah.

"Kami sudah hampir selesai dan kamu baru datang. Kamu pikir dengan kontrol waktu yang buruk, kamu bisa bertahan?"

Sial, aku buru-buru mendekat, sepatu botku nyaris keselimpet di karpet lusuh yang dipenuhi tumpukan kaset. "Maaf, saya benar-benar minta maaf. Beberapa hari ini saya mengalami musibah—"

"Ghozali juga sedang dalam kemalangan, Papanya baru saja dimakamkan, tapi dia tahu tanggung jawabnya."

Setengah mati aku berusaha untuk tidak menciut saat tatapan Bas terangkat lalu memindai penampilanku lambat-lambat.

"Dan sekarang kamu justru sengaja menyepelekan jadwal kami?"

"Maaf, Pak."

"Pak?"

"Kak."

"Kak?"

Ya ampun, serba salah.

"Tuan."

"Tuan?"

Kini aku tahu kenapa Mama sangat senewen dan memaksaku menggantikan Gumi, karena Bas sangat mengerikan. 

Bagaimana beliau berharap aku akan betah di tempat seperti ini?

Aku berdeham dan mengulangi dengan lebih percaya diri. "Kalau sekiranya Kakak nggak keberatan, sebaiknya Kak Bas lihat dulu gimana kemampuan saya—"

Bas mendengkus, tidak terkesan dengan pembelaan yang kuberikan. "Gimana pun hebatnya penampilan kamu, kalau nggak bisa menghargai waktu, bukannya kamu nggak layak?" tanyanya sadis. "Tapi kamu benar, satu kali terlambat bukan berarti kamu buruk, semua orang berhak mendapatkan kesempatan kedua."

Kuembuskan napas lega.

"Pertama, kamu bisa mulai dari membersihkan ruangan ini."

Dengan sigap aku menangkap kemoceng yang dia lemparkan, mulutku megap-megap. "Gi-gimana, Kak?"

"Kita nggak mungkin latihan dengan keadaan berantakan seperti ini, kan?"

"Ya tapi—"

"Kamu juga bisa membersihkan kaca, saya nggak bisa melihat apa-apa dari dalam sini. Saya hampir mengira kamu maling saat celingak-celinguk di depan tadi."

Astaga. 

"Semua barang-barangnya ada di lemari persis di samping kepala kamu."

Boleh tidak aku berbalik badan dan melarikan diri saja? Tapi aku sudah setuju pada Mama dan tidak bisa mundur.

Aku membuka lemari itu, terbatuk heboh ketika isinya berhamburan keluar. "Gila, apa ini udah setahun nggak dibersihin? Kenapa baju tidur juga ada di sini?" tanyaku. Menjepit sebuah kain dekil di antara tumpukan sapu dan alat pel.

"Lebih tepatnya dua tahun."

"Terus saya harus gimana?"

"Kamu nggak pernah bersih-bersih?"

"Yah, maksud saya..." Gimana caranya aku akan menyapu karpet tebal yang berkerak. Dan bahkan aku tidak tahu, kotoran apa saja yang menempel di sana? "Mungkin kalian punya penyedot debu?"

Bas berkacak pinggang.

"Oke, pakai ini pun nggak pa-pa." Entah kenapa aku merasa ngeri dengan tatapannya yang mengintimidasi.

"Biasanya kamu nggak serewel ini."

Punggungku langsung dingin. Memang sebelumnya kami kenal? Kenapa dia berkata seolah kami akrab?

"Gi-gimana Kak?" 

"Jangan banyak tanya Gumi, saya tahu kamu terlambat karena apa." Alisnya terangkat, sapu di tanganku bergetar saat bibirnya terbuka dan menggumam. "Kamu selalu tahu caranya membuat orang lain menunggu dengan gelisah sementara di luar sana kamu suka berkeliaran."

"Itu—"

"Panas banget di luar, ya ampun." Suara bariton mendadak terdengar disusul oleh pintu kaca yang terbuka, menampakkan seorang pria dengan tubuh gempal masuk. "Kemarin hujan mulu sekarang—Gumi? Astaga, akhirnya lo datang juga!"

Sepertinya aku dalam masalah besar.

***

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Vokalis Culas, Aku Bukan Istrimu   Part 5: Tanaman Rambat

    Secara refleks aku segera memberontak, namun Mas Pj bukanlah tandinganku. Dia begitu kuat, dan begitu bertekad. Bibirnya yang panas menempel di bibirku, mengulum lembut, memaksa bibirku untuk membuka, mendesakkan lidahnya. "Brengsek!" Aku meronta-ronta, lalu dengan sekuat tenaga mendorong dadanya mundur, langsung melompat bangkit siaga. Mataku membelalak, napas terengah dengan bibir menebal. Kami sama-sama terkejut. "Gumi..." bisiknya tak mengerti. Mukanya merah padam, kelihatan kebingungan. "Kenapa?" Dia mencoba menyentuh wajahku, tapi aku segera menepisnya. "Ma-mas yang ke-kenapa?" Sial, aku benci ini, aku benci jika kekuranganku terlihat oleh orang lain, dadaku bergemuruh sedangkan tanganku mulai gemetar ketakutan. "Kamu nggak pa-pa?" "Aku udah menikah," semburku marah, sebisa mungkin bersikap berani. Harap dicatat, Mas Pj juga sudah memiliki istri! "So?" tanyanya tampak tak berdosa. "Kamu lagi datang bulan?" Aku tercengang. "Aku kangen banget sama kamu Gumi,

  • Vokalis Culas, Aku Bukan Istrimu   Part 4: Suara Fals

    Tentu saja aku tidak menginap di gedung The Blues. Ketika selesai membersihkan kamar, pandanganku berkunang-kunang, jadi kuputuskan langsung pulang. Aku beralasan belum membawa pakaian sebagai upaya melarikan diri. Dan kurasa Bas senang dengan keputusan tersebut. Dia menjelaskan. "Nggak masalah kalau kamu nggak nyaman tinggal di sini, tapi usahakan selalu datang tepat waktu karena kita harus kerja." Hei, memangnya dia sendiri nyaman sekamar sama calon mantan istri? Aku tidak tahu kenapa mereka menyembunyikan proses perceraian, tapi jujur bukankah harusnya Gumi pun merasa tersinggung karena selama menikah, dia menjadi istri yang tidak dianggap dan tidak pernah dipublikasikan. Kalau aku jadi Gumi pasti aku sudah menuntut alasan. Kini selagi dalam perjalanan pulang, aku memilih melipir sejenak membeli nasi kebuli untuk makan malam. Gara-gara siang tadi dipaparkan fakta mengejutkan, napsu makanku langsung lenyap. "Berapa semuanya, Bu?" tanyaku begitu si penjual, Ibu Sulastri m

  • Vokalis Culas, Aku Bukan Istrimu   Part 3: Etalase Bolong

    "Kenapa Mama nggak bilang kalau Bas menikah sama Gumi? Sejak kapan dan kenapa aku nggak diundang?""Mama juga nggak diundang.""Informasi sekrusial ini kenapa Mama nggak kasih tau dari awal?""Karena mereka mau cerai. Bas itu udah mengajukan gugatan ke pengadilan. Mereka bahkan udah sidang perdana, dan tinggal nunggu ketok palu.""Terus karena mereka udah otw cerai, informasi ini jadi nggak penting lagi?""Bukan gitu, Sasa."Nah, inilah yang tidak kusuka, Mama selalu punya seribu satu alasan yang membuatku justru terlibat dalam masalah. Memang apa susahnya menjelaskan sepak terjang seluruh kehidupan Gumi, yang mungkin tidak akan sampai lima menit?"Oke," bisikku menarik embuskan napas panjang. Mencoba mengatur nada suara tetap rendah dari balik bilik toilet supaya tidak terdengar yang lain. "Siapa lagi orang yang terlibat sama kehidupan Gumi?""Nggak banyak.""Tolong jangan sembunyi-sembunyi Ma, ini berkaitan sama penyamaran aku juga.""Mama benar-benar minta maaf, Sa, Mama nggak berm

  • Vokalis Culas, Aku Bukan Istrimu   Part 2: Anak Bawang

    Karena bertempur tanpa tahu medan yang akan kita jalani termasuk bunuh diri jadi aku sudah menghafal wajah-wajah penting termasuk anggota The Blues yang lain termasuk sang drummer, Rigen.Dia segera menyongsongku, aku melotot ngeri saat tubuhku yang mungil tenggelam dalam pelukannya yang sesak sementara sapu terjepit di antara kami.Aku menggeliat berusaha melepaskan diri. "Bisa santai sedikit nggak—""Gue pikir lo nggak datang. Minggu lalu gue telepon nomor lo tapi yang angkat petugas ambulan. Setelah itu lo hilang tanpa kabar. Lo yakin nggak pa-pa?" tanyanya mengurai pelukan kami hanya untuk memindai penampilanku.Wajahku memucat. "Itu—""Kelihatannya sih, nggak pa-pa. Syukurlah, gue udah overthinking. Gue pikir lo mengalami kecelakaan terus tiba-tiba koma," tambahnya, tampak puas setelah memastikan aku sehat walafiat.Astaga, apakah semua pria The Blues memiliki kebiasaan buruk memotong lawan bicaranya saat mengobrol?"Bas, lo ingat kan? Minggu lalu?"Kutatap Bas dengan mata membol

  • Vokalis Culas, Aku Bukan Istrimu   Part 1: Buta Maps

    "Mama yakin ini tempatnya?"Mengeratkan genggaman tas gitar di bahu sambil meremas ponsel yang menempel di telinga, aku menatap bangunan di hadapanku dengan tidak pasti.Sebagai orang yang dijuluki buta maps, aku sudah berusaha berulang kali memastikan, membaca setiap jalan, sampai menghafal setiap tikungan. Namun alih-alih sebuah bangunan megah seperti yang terpampang di foto, aku justru menemukan sebuah bangunan dua lantai yang nyaris ambruk.Halamannya dipenuhi kotak sampah yang membumbung tinggi, catnya sudah memudar dan mengelupas di sana-sini, kaca jendelanya tampak memburam. Secara keseluruhan The Blues lebih pantas disebut sebagai rumah jagal daripada sebuah studio musik."Pokoknya kalau ketemu gedung warna biru, berarti kamu sudah berada di tempat yang tepat. Kamu tinggal masuk aja, Sa.""Gimana kalau mereka sadar?""Kita sudah bahas ini semalam. Mereka nggak akan memerhatikan kamu secara detail. Selama kamu bisa memainkan gitar seperti Gumi, semuanya pasti aman."Masalahnya,

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status