Share

Part 2: Anak Bawang

Author: Titi Chu
last update Last Updated: 2025-11-07 14:18:20

Karena bertempur tanpa tahu medan yang akan kita jalani termasuk bunuh diri jadi aku sudah menghafal wajah-wajah penting termasuk anggota The Blues yang lain termasuk sang drummer, Rigen.

Dia segera menyongsongku, aku melotot ngeri saat tubuhku yang mungil tenggelam dalam pelukannya yang sesak sementara sapu terjepit di antara kami.

Aku menggeliat berusaha melepaskan diri. "Bisa santai sedikit nggak—"

"Gue pikir lo nggak datang. Minggu lalu gue telepon nomor lo tapi yang angkat petugas ambulan. Setelah itu lo hilang tanpa kabar. Lo yakin nggak pa-pa?" tanyanya mengurai pelukan kami hanya untuk memindai penampilanku.

Wajahku memucat. "Itu—"

"Kelihatannya sih, nggak pa-pa. Syukurlah, gue udah overthinking. Gue pikir lo mengalami kecelakaan terus tiba-tiba koma," tambahnya, tampak puas setelah memastikan aku sehat walafiat.

Astaga, apakah semua pria The Blues memiliki kebiasaan buruk memotong lawan bicaranya saat mengobrol?

"Bas, lo ingat kan? Minggu lalu?"

Kutatap Bas dengan mata membola, berharap-harap cemas. Pria itu menyipitkan mata lalu memutuskan kalau pertanyaan Rigen tidak penting, lanjut merapikan piringan hitamnya.

"Bukan Gumi kalau nggak bikin masalah," gumamnya tanpa memandangku.

Heh? Apa maksudnya itu? Oke, kuakui Gumi dia adalah perempuan extrovert, berbanding terbalik dengan aku yang lebih memilih mengurung diri di kamar setiap kali ada tamu di rumah. Gumi adalah orang yang justru memeriahkan suasana. Dia mengenal banyak orang, hobinya party-party. Seakan pesta tidak akan berjalan tanpa kehadirannya.

Tapi aku rasa Bas sudah keterlaluan kalau mengganggap sikap luwesnya sebagai kekurangan dan sumber masalah.

"Kami semua khawatir." Rigen kembali berkata, hingga mengalihkan perhatianku. "Bisa bayangin kalau misalnya lo kecelakaan dan nggak bisa hadir?"

Aku menggeleng kaku.

"Yah, gawat, kami harus mengadakan audisi lagi dan milih kandidat lain, dan itu prosesnya bakal makan waktu. Belum ditambah budget buat administrasi. Mas Pj bakalan mencak-mencak padahal kita udah mau persiapan album baru."

Mas Pj adalah manajer kami, aku menyimpan semua informasi yang disemburkan Rigen. "Makasih."

"Kenapa?" tanyanya bingung.

"Makasih udah khawatir."

"Lo ngomong apa sih, Gum?"

Loh, memangnya mengucapkan hal tersebut sangat tabu? Karena bahkan Bas pun menatapku, matanya melotot.

"Sebentar, lo bilang apa tadi?"

"Ma-makasih karena udah khawatir?" ulangku ragu-ragu.

Rigen tertawa hingga tubuh gempalnya berguncang. Aku tidak tahu apa yang salah. Bukankah tadi pun aku mengucapkan kalimat tersebut? Kenapa reaksi mereka sangat berlebihan?

"Anak bawang kita manis banget," puji Rigen di sela-sela tawanya. "Dari mana lo belajar sikap malu-malu begini?"

"Enggh..."

"Mungkin kepala lo beneran kepentok minggu lalu dan sedikit geser," terangnya. "Tapi hasilnya malah lebih bagus."

Ya ampun, apakah Gumi seburuk itu?

"Anyway, gue udah beli makan, kita istirahat dulu dan mulai lagi nanti."

Aku melirik Bas hati-hati. "Tapi aku belum selesai bersihin semua ini."

"Santai aja, itu bisa nanti kok."

Kali ini aku benar-benar menatap sang vokalis meminta konfirmasi. Aku tidak tahu apa yang salah dari wajahku karena Bas seperti memiliki dendam kesumat, bibirnya memberengut sinis. Atau dia sadar aku bukanlah Gumi yang asli?

"Saya nggak mau kamu pingsan."

Tentu saja, kenapa dia harus repot?

"Simpan lagi semua peralatan itu di tempatnya. Pastikan nggak ada yang berantakan."

Sebenarnya aku juga tidak enak hati, datang-datang langsung dikasih makan, tapi mau bagaimana lagi?

Karena insomnia ditambah selama perjalanan aku cemas memerhatikan jalan, aku belum sempat mengisi perut sama sekali. Dan sekarang menghidu aroma dari nasi bungkus yang dibawa Rigen perutku langsung keroncongan.

"Kamu beruntung, nggak setiap hari Rigen mau repot mentraktir makan siang."

"Bohong itu," bantah Rigen. "Kebetulan aja nyokap gue punya lapak nasi padang di depan, dia donatur utama The Blues."

Aku terkekeh canggung.

"Kita nggak punya cukup budget karena semenjak covid banyak kafe yang tutup permanen, jadi pemasukan juga seret, masing-masing dari kita harus ambil side job supaya tetap ada penghasilan."

Kami melangkah ke dalam, dan aku melongo karena ternyata tempat ini lebih parah dari yang kubayangkan. Kalau di depan penuh debu, maka di ruang makan tampak seperti diterjang tornado.

Piring tampak bertumpuk-tumpuk di sink, gelas bertebaran di meja, gulungan tisu seperti ranjau di lantai, begitu melirik ke sofa, sesosok pria kurus kelihatan menggeliat dan menyingkap selimutnya.

"Pagi." Ghozali menyapa.

"Ini udah siang, gila." Kepala belakangnya digeplak asal oleh Rigen, aku meringis.

"Makan."

Kasar sekali. Bukankah wajar kalau dia kelihatan seperti zombie? Aku teringat dia baru saja kehilangan sang Papa, jadi dengan tangkas aku segera mendekat, memberinya sedikit penghiburan.

"Ghozali, aku turut berduka atas apa yang terjadi sama Papa kamu, semoga kamu dan keluarga diberikan ketabahan."

Alis Ghozali langsung mencuat naik, dia menatapku ngeri. "Siapa—?"

Ah, bodohnya, aku belum kenalan. "Saya Megumi Sahira, gitaris yang baru." Kuraih dan kugenggam tangannya, menunjukkan simpati. "Semoga Papa kamu husnul khotimah, masuk surga, dan—"

"Gum?"

"Sebentar Rigen, aku juga udah ditinggal Papa jadi aku tahu betul gimana rasanya kehilangan orang yang disayang."

"Otak lo beneran terkikis ya?"

"Kalian jangan keras-keras sama Ghozali butuh waktu untuk sembuh dari kehilangan, jadi biarkan dia berproses dan menemukan kebahagiaannya sendiri."

Ghozali menepuk-nepuk tanganku meminta dilepas, mulutnya menguap bosan. "Makasih Gum-Gum, walaupun terlambat dua puluh lima tahun, tapi gue menghargai bela sungkawa lo."

25 tahun?

Tanganku menggantung di udara sementara tiga pria itu dengan santai mengambil tempat di meja makan. Rigen bahkan geleng-geleng kepala seakan aku sudah gila. Kulirik Bas sadis, dia tetap lempeng sambil menuang minuman.

Sialan, pria ini baru saja menipuku!

"Jadi Papa kamu?"

"Meninggal waktu gue masih balita, udah lama banget, sih. Gue bahkan udah nggak ingat mukanya kayak gimana."

Bajingan.

"Kemalangan tetap kemalangan walaupun sudah berlalu." Seakan tahu mataku berubah menjadi laser, Bas membela diri. Alisnya yang lebat terangkat congkak. "Duduk, ngapain berdiri saja di situ?"

Dengan perasaan keki aku menjatuhkan bokong di kursi, rasanya ingin mengamuk tapi saat melihat lauk pauk di meja mataku yang berapi-api sontak berbinar.

"Setelah makan, kita beresin kamar di atas," kata Rigen di sela-sela menciduk nasi. Kelihatan paling visioner. "Total ada dua kamar, gue sekamar sama Ghozali. Gumi bawa kopernya ke sini, kan?"

"Belum."

"Besok dibawa."

"Oke."

"Lo sekamar sama Bas."

"Gimana?" Tanganku yang baru saja akan mencomot perdekel berhenti, menatapnya horor. "Kenapa aku harus sama Bas?"

Bas ikut melirikku keji.

Namun balasan Rigen selanjutnya membuatku merinding sebadan-badan. "Ya terus sama siapa? Kalian kan, suami istri, memang harusnya sekamar!"

***

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Vokalis Culas, Aku Bukan Istrimu   Part 5: Tanaman Rambat

    Secara refleks aku segera memberontak, namun Mas Pj bukanlah tandinganku. Dia begitu kuat, dan begitu bertekad. Bibirnya yang panas menempel di bibirku, mengulum lembut, memaksa bibirku untuk membuka, mendesakkan lidahnya. "Brengsek!" Aku meronta-ronta, lalu dengan sekuat tenaga mendorong dadanya mundur, langsung melompat bangkit siaga. Mataku membelalak, napas terengah dengan bibir menebal. Kami sama-sama terkejut. "Gumi..." bisiknya tak mengerti. Mukanya merah padam, kelihatan kebingungan. "Kenapa?" Dia mencoba menyentuh wajahku, tapi aku segera menepisnya. "Ma-mas yang ke-kenapa?" Sial, aku benci ini, aku benci jika kekuranganku terlihat oleh orang lain, dadaku bergemuruh sedangkan tanganku mulai gemetar ketakutan. "Kamu nggak pa-pa?" "Aku udah menikah," semburku marah, sebisa mungkin bersikap berani. Harap dicatat, Mas Pj juga sudah memiliki istri! "So?" tanyanya tampak tak berdosa. "Kamu lagi datang bulan?" Aku tercengang. "Aku kangen banget sama kamu Gumi,

  • Vokalis Culas, Aku Bukan Istrimu   Part 4: Suara Fals

    Tentu saja aku tidak menginap di gedung The Blues. Ketika selesai membersihkan kamar, pandanganku berkunang-kunang, jadi kuputuskan langsung pulang. Aku beralasan belum membawa pakaian sebagai upaya melarikan diri. Dan kurasa Bas senang dengan keputusan tersebut. Dia menjelaskan. "Nggak masalah kalau kamu nggak nyaman tinggal di sini, tapi usahakan selalu datang tepat waktu karena kita harus kerja." Hei, memangnya dia sendiri nyaman sekamar sama calon mantan istri? Aku tidak tahu kenapa mereka menyembunyikan proses perceraian, tapi jujur bukankah harusnya Gumi pun merasa tersinggung karena selama menikah, dia menjadi istri yang tidak dianggap dan tidak pernah dipublikasikan. Kalau aku jadi Gumi pasti aku sudah menuntut alasan. Kini selagi dalam perjalanan pulang, aku memilih melipir sejenak membeli nasi kebuli untuk makan malam. Gara-gara siang tadi dipaparkan fakta mengejutkan, napsu makanku langsung lenyap. "Berapa semuanya, Bu?" tanyaku begitu si penjual, Ibu Sulastri m

  • Vokalis Culas, Aku Bukan Istrimu   Part 3: Etalase Bolong

    "Kenapa Mama nggak bilang kalau Bas menikah sama Gumi? Sejak kapan dan kenapa aku nggak diundang?""Mama juga nggak diundang.""Informasi sekrusial ini kenapa Mama nggak kasih tau dari awal?""Karena mereka mau cerai. Bas itu udah mengajukan gugatan ke pengadilan. Mereka bahkan udah sidang perdana, dan tinggal nunggu ketok palu.""Terus karena mereka udah otw cerai, informasi ini jadi nggak penting lagi?""Bukan gitu, Sasa."Nah, inilah yang tidak kusuka, Mama selalu punya seribu satu alasan yang membuatku justru terlibat dalam masalah. Memang apa susahnya menjelaskan sepak terjang seluruh kehidupan Gumi, yang mungkin tidak akan sampai lima menit?"Oke," bisikku menarik embuskan napas panjang. Mencoba mengatur nada suara tetap rendah dari balik bilik toilet supaya tidak terdengar yang lain. "Siapa lagi orang yang terlibat sama kehidupan Gumi?""Nggak banyak.""Tolong jangan sembunyi-sembunyi Ma, ini berkaitan sama penyamaran aku juga.""Mama benar-benar minta maaf, Sa, Mama nggak berm

  • Vokalis Culas, Aku Bukan Istrimu   Part 2: Anak Bawang

    Karena bertempur tanpa tahu medan yang akan kita jalani termasuk bunuh diri jadi aku sudah menghafal wajah-wajah penting termasuk anggota The Blues yang lain termasuk sang drummer, Rigen.Dia segera menyongsongku, aku melotot ngeri saat tubuhku yang mungil tenggelam dalam pelukannya yang sesak sementara sapu terjepit di antara kami.Aku menggeliat berusaha melepaskan diri. "Bisa santai sedikit nggak—""Gue pikir lo nggak datang. Minggu lalu gue telepon nomor lo tapi yang angkat petugas ambulan. Setelah itu lo hilang tanpa kabar. Lo yakin nggak pa-pa?" tanyanya mengurai pelukan kami hanya untuk memindai penampilanku.Wajahku memucat. "Itu—""Kelihatannya sih, nggak pa-pa. Syukurlah, gue udah overthinking. Gue pikir lo mengalami kecelakaan terus tiba-tiba koma," tambahnya, tampak puas setelah memastikan aku sehat walafiat.Astaga, apakah semua pria The Blues memiliki kebiasaan buruk memotong lawan bicaranya saat mengobrol?"Bas, lo ingat kan? Minggu lalu?"Kutatap Bas dengan mata membol

  • Vokalis Culas, Aku Bukan Istrimu   Part 1: Buta Maps

    "Mama yakin ini tempatnya?"Mengeratkan genggaman tas gitar di bahu sambil meremas ponsel yang menempel di telinga, aku menatap bangunan di hadapanku dengan tidak pasti.Sebagai orang yang dijuluki buta maps, aku sudah berusaha berulang kali memastikan, membaca setiap jalan, sampai menghafal setiap tikungan. Namun alih-alih sebuah bangunan megah seperti yang terpampang di foto, aku justru menemukan sebuah bangunan dua lantai yang nyaris ambruk.Halamannya dipenuhi kotak sampah yang membumbung tinggi, catnya sudah memudar dan mengelupas di sana-sini, kaca jendelanya tampak memburam. Secara keseluruhan The Blues lebih pantas disebut sebagai rumah jagal daripada sebuah studio musik."Pokoknya kalau ketemu gedung warna biru, berarti kamu sudah berada di tempat yang tepat. Kamu tinggal masuk aja, Sa.""Gimana kalau mereka sadar?""Kita sudah bahas ini semalam. Mereka nggak akan memerhatikan kamu secara detail. Selama kamu bisa memainkan gitar seperti Gumi, semuanya pasti aman."Masalahnya,

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status