Share

4. Jejak Lama

Author: Cerita Tina
last update Last Updated: 2025-09-06 19:46:54

Langit Tangerang sore itu mendung, seolah menahan hujan seperti yang tak kunjung reda. Entah mengapa, hari itu terasa sangat melelahkan, di tengah tumpukan berkas perkara di meja kerjanya, Varen merasa dadanya sesak.

Anehnya ditengah-tengah itu dia terbayang wajah seseorang yang sudah lama mengisi hatinya yaitu Niki.

Varen mencintai Niki sejak SMA. Varen adalah senior Niki waktu itu. Mereka menjadi akrab karena sama-sama aktif di OSIS. Niki sangat cerdas dan selalu mendapat juara pertama dalam segala bidang.

Ibu Niki menyukai Varen, dan mendukung mereka untuk bersama. Tapi Niki menganggap Varen seperti kakaknya sendiri.

Kemudian Niki memilih menikah dengan pria lain yang dianggapnya lebih menarik dan menantang. Varen patah hati, lalu memutuskan melanjutkan S2 Hukum di Amsterdam.

Kembali ke saat ini, Varen duduk diam di dalam mobil, matanya kosong menatap halaman rumah yang cukup mewah di komplek itu.

Tangannya menggenggam erat stir mobil, Ia menghembuskan napas panjang, lalu keluar bersama Theo.

Rumah Niki tidak banyak berubah. Cat dinding masih warna toska, pagar hitam. Varen memencet bel rumah itu. Saat pintu dibuka, Niki tampak sama seperti yang Varen ingat, tetap cantik, dan ekspresinya acuh seperti biasa.

“Kak Varen, Silakan masuk. Aku kira kak Varen nggak bakal datang ke sini lagi,” kata Niki, setengah senyum.

“Mana mungkin.” Jawab Varen.

Niki menyingkir, memberi jalan. Rumah itu masih seperti dulu, penuh buku dan tanaman kaktus kecil di dekat jendela.

Di ruang tamu, Varen mendapati Yulia (ibunya Niki) wajahnya sumringah menyambut.

“Varen, apa kabar, bagaimana Theo?” tanya ibunya Niki, yang sudah tahu kabar sebelumnya tentang Thania.

Begitu melihat Theo, Yulia langsung mengajaknya main dengan cucunya, Yumna (anaknya Niki). Lalu mereka duduk di ruang tamu, dengan suguhan teh dan beberapa camilan.

Awalnya mereka hanya diam. Sampai akhirnya Varen membuka suara tentang Theo, tentang kakaknya, tentang ibunya yang kini makin sulit diajak bicara.

Tentang hari-hari di mana ia hanya tidur dua jam, dan selalu bangun karena mimpi buruk.

“Mamamu benar Ren. Sebagai seorang ibu, Tante paham apa yang dirasakannya, Tapi pilihanmu juga tidak sepenuhnya salah.” Kata Yulia.

“Tapi saya capek.” Sahut Varen.

Niki menatapnya lama, lalu mengangguk.

“Aku juga sedih mengingat Kak Thania adalah orang yang baik. Namun kita tak bisa berlarut-larut terus dalam kesedihan. Kalau kak Varen rapuh, Theo juga ikut rapuh."

Varen terdiam. Ada kehangatan yang kini dirasakan setelah berminggu-minggu larut dalam rasa duka.

“Kenapa tidak lamar kerja di kantor internasional saja, Kak?” tanya Niki sambil menyeruput tehnya.

“Gajinya pasti lebih besar. Lingkungannya bersih. Tidak penuh drama seperti sistem hukum sini.” lanjutnya.

Varen menjawab tenang, “Karena aku pikir kita harus berbenah dibagian terkecil dulu.”

Niki memandangnya. Ada kekaguman samar, tapi juga penilaian. Ia tidak membantah.

“Emang dasar keras kepala ya.” Kata Niki sambil terkekeh.

Varen menatap secangkir teh hangat di hadapannya, lalu mengangkat wajahnya pada Niki.

“Jadi… bagaimana kabar suamimu, Nik?” tanyanya hati-hati, nada suaranya lembut tapi jelas ada rasa ingin tahu.

Niki terdiam sejenak, senyum tipis terbit, tapi matanya tidak ikut tersenyum.

“Sudah selesai, Kak,” ucapnya pelan namun tegas. “Aku sudah resmi bercerai.”

Yulia yang duduk di sampingnya, langsung menepuk pelan punggung tangan Niki.

“Anakku ini sudah berusaha sebaik mungkin. Tapi kadang, pernikahan tidak berjalan sesuai harapan.”

Varen menatap Niki lebih lama. “Kenapa, Nik?”

Niki menghela napas, “Dulu aku pikir dia bisa menghormati kemandirianku, pekerjaanku. Aku pikir dia bisa mengimbangi. Tapi ternyata tidak.”

Ia menoleh sebentar pada ibunya, lalu kembali menatap Varen. “Saat aku mulai lebih sukses darinya, dia merasa tertinggal. Dia bilang aku meremehkannya. Padahal aku hanya bekerja keras.”

Varen mendengarkan dengan penuh perhatian. Alisnya sedikit berkerut, seolah menahan komentar.

“Alih-alih bahagia, kami malah seperti bersaing,” lanjut Niki, suaranya lebih berat. “Setiap hari penuh pertengkaran. Aku tidak tahan."

Yulia menambahkan dengan suara lembut, “Tante mendukung pilihan itu. Tante tidak ingin melihat Niki terus menderita.”

Sejenak ruangan itu hening, hanya suara hujan di luar jendela. Varen menatap Niki dalam-dalam.

Ada rasa kagum yang samar karena keberanian Niki menghadapi kenyataan pahit dengan kepala tegak, tapi juga ada rasa iba yang tidak terucap.

Niki menyadari pandangan iba dari Varen, dia tersenyum tipis, “Jangan kasihan padaku begitu kak, Aku masih punyaa Yumna dan juga mama.”

Varen terdiam, ia hanya bisa menatap wajah Niki yang tetap tegar di balik luka itu, Setelah percakapan serius tentang rumah tangga Niki, suasana ruang tamu kembali menghangat.

Yulia menatap Varen, ia membuka pembicaraan dengan nada setengah bercanda,

“Lalu, bagaimana denganmu? Apa sudah ada calon? Perkenalkan pada kami.” katanya sambil tersenyum.

Niki menimpali cepat dengan senyum nakal. “Jangan-jangan bule, ya, Kak? Soalnya kan sempat tinggal di Amsterdam.”

Varen terkekeh kecil, lalu menggeleng. “Belum ada. Lagi fokus kerja dulu, apalagi sekarang ada Theo. Jujur saja, saya masih butuh waktu untuk menata semuanya.”

Yulia menatapnya penuh pengertian. “Tante mengerti, Nak. Kehilangan Thania itu berat, apalagi kamu juga ikut menanggung tanggung jawab besar. Tapi jangan lupa, kamu juga berhak bahagia.”

Varen hanya mengangguk, matanya menunduk sesaat. “Iya, Tan. Tapi sekarang, Theo dulu prioritasnya. Dia butuh sosok yang benar-benar ada untuknya.”

Lalu Yulia kembali memecah suasana. “Sering-seringlah main ke sini, Ren. Theo juga bisa main sama Yumna. Anak kecil biasanya cepat akrab, kan?”

Varen tersenyum tipis. “Tentu, Tan. Theo pasti senang punya teman baru. Aku juga senang kalau dia bisa tumbuh di lingkungan yang hangat.”

Obrolan itu berlanjut ringan, tentang anak-anak, pekerjaan, hingga kenangan masa lalu mereka. Suasana yang tadinya terasa berat kini perlahan mencair menjadi keakraban yang nyaman.

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (1)
goodnovel comment avatar
Azzurra
Apakah berjodoh mereka Thor?
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Vonis Cinta Sang Hakim   100. Kau Selingkuh?

    Hari ulang tahun Varen yang ditunggu-tunggu akhirnya tiba. Viona merasa lega karena rahasia yang ia pendam selama beberapa minggu terakhir akan menjadi kejutan manis untuk suaminya. Pagi itu, ia bangun lebih cepat dari biasanya. Wajahnya tampak segar, ada semangat yang sulit disembunyikan. Sambil menyiapkan sarapan, ia bersenandung riang. Ia sempat melirik jam dinding. Rencananya, sore nanti begitu Varen pulang, Viona, ibu dan mertuanya, mereka akan menyambut dengan kejutan kecil yang sudah disiapkan diam-diam. Viona tersenyum membayangkan wajah terkejut Varen nanti. Namun pagi ini ia harus tetap bersikap biasa saja, agar tidak mencurigakan. Setelah sarapan terhidang, mereka duduk berhadapan di meja makan. Viona menatap lama pada Varen. “Sayang, kamu belum cukuran ya? Kumis kecilmu mulai kelihatan,” kata Viona sambil tersenyum. Varen mengerutkan alis, “Oh ya? Hmm…” Ia melirik jam tangannya. Masih ada waktu. “Sebentar ya,” katanya, lalu masuk ke kamar mandi untuk bercukur. Seme

  • Vonis Cinta Sang Hakim   99. Hasrat Tertunda

    Varen tiba di rumah, Ia langsung memeluk Theo “Ini untuk anak baik yang selalu jaga maminya,” ucap Varen seraya menyerahkan kotak kecil berisi miniatur mobil kesukaan Theo. Bocah itu melonjak gembira dan langsung memeluk papinya.Setelah menidurkan Theo, Varen menghampiri Viona di kamar. Ia ingin menggoda istrinya dengan sedikit liar seperti biasanya. Ia mendekat, menautkan pelukannya dari belakang, mencium bahu Viona dengan lembut. Ia sudah tak tahan untuk melepaskan hasrat yang tertahan. “Aku kangen..” bisiknya. Varen membalikkan tubuhnya dan membawa istrinya ke pelukan penuh, Viona hanya bisa menatapnya antara ingin dan takut.Sayang, jangan dulu,” kata Viona pelan.Namun Varen sudah terlanjur tenggelam dalam dekapnya. Ia menindih lembut tubuh Viona, namun baru sesaat, Viona memejam, menarik napas pendek ada sesak yang tak bisa dijelaskan.Varen segera menghentikan gerakannya.“Kenapa? Aku menyakitimu?” tanyanya cepat, wajahnya panik.Viona menggeleng pelan, “Enggak… cuma, aku m

  • Vonis Cinta Sang Hakim   98. Aku Lelah

    Disisi lain, Lino baru saja tiba di bandara. Udara sore yang padat oleh deru kendaraan. Ia menepikan mobil ke area parkir bandara. Ia menatap layar ponselnya, ada pesan terakhir dari Varen semalam. Mereka memang sudah sepakat untuk bertemu hari ini, lalu bersama-sama menuju tempat Pak Jaya untuk memeriksa dan membahas perkembangan kasus para napi sopir yang dulu mereka tangani. Namun begitu ia hendak turun dari mobil, matanya menangkap sesuatu yang membuat langkahnya tertahan. Sebuah mobil yang sangat ia kenal. Mobil Varen baru saja melintas di depan matanya dan berhenti tak jauh dari situ. Kening Lino berkerut. “Mobil Varen dibawa siapa?” batinnya curiga. Ia menyipitkan mata, mencondongkan badan sedikit, mencoba mengintip di sela kaca deoan mobil. Tapi begitu melihat siapa yang turun dari sana, napasnya nyaris tercekat. “Viona?” gumamnya pelan, tak percaya. Ia memperhatikan perempuan itu yang kini berdiri dengan wajah berseri, menenteng tas kecil dan melangkah cepat men

  • Vonis Cinta Sang Hakim   97. Penumpang Rahasia

    Siang itu Radit pulang dr kantornya lebih cepat. Ia telah memesan tiket dan bersiap-siap ke bandara untuk menuju ke Surabaya menyesuaikan penerbangannya dengan Mayang. Setelah menyiapkan tas kecil, ia berangkat ke bandara. Semua terasa begitu cepat. Check in, pemeriksaan tiket, hingga akhirnya suara panggilan terdengar. “Kepada seluruh penumpang tujuan Surabaya, silakan menuju ke pintu keberangkatan...” Ia dan penumpang lainnya berjalan masuk ke koridor menuju pintu pesawat yang sudah ditentukan. Radit sudah mempersiapkan diri, ia memakai kacamata hitam, jaket dan masker, ia tak ingin mayang mengenalinya begitu saja. Dan benar saja, dipintu pesawat, Mayang sudah berdiri dengan pakaian pramugarinya, rambut yang disanggul sempurna dan senyumannya yang lembut menyambut para penumpang yang satu persatu masuk kedalam pesawat itu. Radit sangat deg-degan saat ia hampir dekat dengan kekasihnya. Begitu mereka berhadapan, "Selamat datang." Ujar mayang lembut. Radit hanya tersenyum

  • Vonis Cinta Sang Hakim   96. Rahasia Manis

    Hari itu Viona bangun lebih cepat. Ia bergegas ke dapur untuk menyiapkan sarapan. Ia tak ingin sang mertua mendahuluinya, karena Viona benar-benar tak ingin merepotkan mertuanya. Begitu sampai ke dapur, ia langsung menyiapkan bahan-bahan yang akan di masak. Ia mengeluarkan telur, susu, dan sedikit keju. Rencananya, pagi ini ia akan membuat omelette Tapi begitu adonan telur mulai dituangkan ke wajan panas, perutnya tiba-tiba terasa mual hebat. “Uh…” Ia berlari menutup mulut, hampir tak sempat mematikan kompor. Tubuhnya gemetar menahan rasa tidak nyaman itu. “Uuuk… uuuk…” Tapi tak ada apa pun yang keluar selain air liur dan air mata kecil di ujung matanya. Kebetulan Kartika melihat Viona berlari dengan seolah-olah menahan mual. Ia pun langsung mengambil alih masakan di dapur. Setelah siap, Kartika menghampiri Luna. Ia berseru di pintu toilet "Nak, kau baik-baik saja?" Tak lama Viona keluar dengan wajah pucat, dan sedikit bekas air mata disudut matanya. "Vio tidak apa

  • Vonis Cinta Sang Hakim   95. Bucin 2

    Malamnya, Lino baru saja pulang dari futsal, keringatnya masih menempel di pelipis. Tapi entah kenapa, mobilnya melaju ke arah kosan Tari. Hanya sekadar iseng. Mungkin karena pikirannya belum selesai tentang obrolan tadi siang dengan Radit dan tentang seseorang yang kini terus muncul di benaknya.Begitu hampir sampai di depan gerbang, pandangannya menangkap sosok Tari. Gadis itu baru turun dari mobil. Ia tampak rapi, dengan kemeja longgar berwarna lembut. Sebelum masuk, Tari sempat berbincang dengan seseorang di dalam mobil. Terdengar dari suaranya itu seperti Laki-laki. Tawa kecil Tari terdengar samar di antara deru mesin.Lino berhenti melangkah.“Siapa dia?” gumamnya pelan, matanya menatap lama ke arah mereka.Senyum Tari yang biasanya membuatnya tenang kini terasa mengusik. “Senyumnya itu… menyebalkan,” ujarnya lirih, nyaris seperti orang yang sedang cemburu tapi belum berani mengakuinya bahkan pada dirinya sendiri.Ia menghela napas, lalu memilih segera memutar balik mobilnya,

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status