Beberapa hari berikutnya, Varen menjalani rutinitas seperti biasa. Namun hari itu, dalam perjalanan pulang dari kantornya, tiba-tiba Theo merengek ingin main lagi dengan Yumna.
"Om, Theo mau main sama kak Yumna." Varen menoleh sekilas kearah Theo, "Kita pulang dulu, mandi. Setelah itu baru kita kerumah kak Yumna oke." Theo mengangguk senang. Hari itu, Varen datang lagi ke rumah Niki. Sudah kedua kalinya ia berkunjung sejak pulang ke Indonesia. Mereka membawa kue untuk tante Yulia, ibunya Niki. Satu-satunya orang tua yang masih menganggapnya bagian dari rumah ini, bahkan setelah waktu dan jarak mengubah banyak hal. Saat Varen memencet bel, tak lama pintu dibukakan oleh ibu Niki sendiri. “Varen, Theo, masuk nak." katanya ramah. Varen mengangguk dan bersalaman kemudian dia melangkah masuk dan menyerahkan kotak kue pada Yulia. "Eh Varen, kamu kurusan ya,” lanjutnya sambil mengambil kotak kue dari tangannya. “Masih sama, Tante. Cuma potong rambut aja.” Yumna, anaknya Niki berusia 4 tahun berlari menyambut Theo dan langsung mengajaknya bermain ke ruang Tengah. Saat masuk, Varen sempat melongok ke ruang tengah. Seorang perempuan muda berjilbab cokelat muda sedang duduk membelakanginya sambil menyusun balok bersama Yumna dan Theo. Tangannya tampak gesit meraih potongan puzzle dari lantai. Varen tersenyum kecil dan bersuara, “Sedang apa Nik?” Perempuan itu menoleh. Ia bukan Niki. Wajahnya lebih lembut, matanya bulat dengan alis alami yang tegas. Dia tampak kaget sebentar, lalu kembali tenang. Varen sempat salah tingkah, buru-buru membenarkan kerah kemejanya. Tante Yulia muncul di belakangnya, terkekeh kecil. “Itu bukan Niki. Itu Viona. Keponakan tante. Kamu belum pernah ketemu ya?” “Oh, saya kira...” Varen mengangguk canggung. “Maaf…” Viona berdiri sopan dan mengangguk menyapa. “Assalamualaikum, saya Viona.” “Wa’alaikumsalam, saya Varen.” Keduanya bertukar nama begitu saja. Tidak ada tangan terulur, hanya sedikit anggukan sopan. "Viona ini anak dari adiknya tante. Dia baru pulang dari tugasnya, sekarang lagi mengurus perpindahan kerjanya di Rumah Sakit didekat sini,” jelas Tante Yulia sambil berjalan ke dapur. Varen menatap sesaat sebelum kembali memalingkan pandangan. Namanya pernah didengar beberapa kali dari obrolan Niki dan ibunya di masa lalu. Namun Wajah itu terasa asing. Tidak menggugah perasaan apa-apa. Viona pun tidak berpikir lebih. Dia tahu tentang Varen karena Bibinya itu sering menceritakan bahwa Varen tergila-gila pada Niki sejak dulu. Namun itu pertama kalinya mereka bertemu. Tidak ada percikan, hanya pertemuan biasa. Viona adalah anak sulung dari dua bersaudara. Sejak kecil, ia dikenal sebagai anak yang rapi, sopan, dan selalu bisa diandalkan. Sifatnya tenang, dewasa, hangat dan selalu mendengarkan. Sering diminta pendapat oleh saudara dan sepupunya, termasuk Niki sendiri. Setelah pertemuan itu, mereka bersikap biasa saja, Varen dan Yulia duduk diruang tamu berbincang-bincang. Beberapa saat, Yulia menuju dapur untuk menyiapkan sesuatu. Varen merebahkan kepalanya di sofa, rasanya dia ingin sekali mengisap rokok elektriknya. Varen mengeluarkan Vapenya dari sakunya, Tak sengaja Viona menoleh, dan mata mereka bertemu. Viona yang melihat itu langsung melirik Vape ditangan Varen lalu melirik lagi ke wajah Varen. Varen merasa canggung, dia tahu itu seperti peringatan kecil. Tiba-tiba Viona berkata "Tolong jangan lakukan itu didalam ruangan, itu tidak baik untuk anak-anak." Yulia yang mendengar itu, melirik sekilas dan berkata pada Varen "Ren kalau mau merokok, naik ke balkon saja." Varen makin merasa kikuk, dia hanya menjawab "Iya Tan." Kemudian dia berjalan melewati ruang tengah tempat Viona yang menemani anak-anak itu bermain. Varen menunduk rendah "Permisi." Viona hanya menatapnya sekilas dengan datar dan mengangguk sekali. Varen lanjut berjalan, sambil menaiki tangga dia menoleh melihat pemandangan dibawahnya. Terlihat dimatanya, Viona dengan riang membimbing anak-anak itu main. Sikapnya lembut dan senyuman itu tak putus dari bibir gadis itu. Cklek, Varen membuka pintu balkon lantai dua rumah itu. Terasa hembusan angin yang segar dari sana. Varen langsung membuka vapenya dan menghembuskan pelan ke udara. Dia terus berulang-ulang menghembus uap itu sambil melihat pemandangan disekitar komplek rumah itu. Mengingat kejadian barusan dibawah, tanpa sadar dia bergumam "Huh, jutek banget. pakai salah ngira lagi tadi. Malu-maluin." "Tapi dia ramah dengan bocah-bocah, apa dia suka anak-anak, tapi kok sama gue begitu banget." pikir Varen sambil mendengus. Namun dibalik pikiran itu dia sedikit merasa tenang melihat Theo jadi riang, raut sedih diwajah keponakannya nampak memudar. Sekejap dia memikirkan Niki yang sudah bercerai dengan suaminya. "Apa deketin lagi ya." batinnya. Varen menyadari perasaannya belum berubah, walau dulu sempat merasakan sakit sampai harus menjauh. "Jangan-jangan kami memang berjodoh." pikirnya lagi. Disaat lagi memikirkan itu, Tiba-tiba pintu gerbang rumah itu terbuka. Itu Niki, dia masuk dengan motor maticnya. Varen yang melihat itu bergumam kecil "Panjang umur, baru dipikirin, orangnya muncul." Niki turun dari motornya. Terlihat dari penampilannya seperti baru pulang kerja, baju kemeja serta tas laptop ditangannya. Niki yang merasa ada orang yang memperhatikannya langsung menoleh ke arah Varen yang berada diatas balkonnya. Dia melambai kearahnya. "Kak, kok datang nggak ngabarin, tahu begitu tadi beli jajanan dulu." kata Niki dengan suaranya yang sedikit keras biar Varen bisa mendengarnya. Varen hanya tersenyum "Kalau ngabarin bukan kejutan namanya." ucapnya setengah bercanda. Niki membalas perkataan Varen dengan senyum tipis, kemudian dia langsung masuk kerumahnya. Varen merasakan hatinya masih berdebar melihat gadis itu. "Sial sudah selama ini, masih berdebar juga jantung ini. Punya hati speknya kok rendah banget." batin Varen miris.Malam itu, rumah terasa sunyi. Setelah makan malam, Theo langsung masuk ke kamar. Varen memperhatikan ada yang aneh pada Theo malam ini. Dia hanya mau makan sedikit, dan tampak seperti tidak bersemangat. Varen kemudian mengikutinya ke kamar dan membawakan susu hangat. Namun Theo kelihatan gelisah di ranjang, tubuh kecilnya meringkuk, wajahnya memerah. Sesekali ia merengek, “Om… aku kangen mami,, hmm juga mami Viona” suaranya bergetar, membuat hati Varen ikut mencelos. Varen hanya bisa mengusap punggung kecil itu, mencoba menenangkan. “Iya, Nak. nanti kita ketemu lagi sama tante Viona, ya.” Tapi ia sendiri tak yakin kapan dan bagaimana harus mencari alasan. Dia tak berani mengajak Viona bertemu, apalagi dengan alasan Theo yang merindukannya. Biasanya mereka hanya bertemu kebetulan dirumah Niki, tapi sejak Niki menolaknya waktu itu, Varen jadi segan untuk mampir apalagi tanpa alasan jelas. Theo terus merajuk, suaranya makin lirih, hingga akhirnya ia menyerah dalam tangis kecilnya, ia
Keesokan harinya di kantor. Setelah sidang yang cukup melelahkan, Varen kembali ke ruangannya. Jasnya ia letakkan di sandaran kursi, lalu ia duduk, menghela napas panjang. Refleks, tangannya meraih ponsel di meja, membuka aplikasi sosmed kebiasaan barunya belakangan ini.Tak lama sebuah notifikasi kecil muncul, update story dari Viona. Tanpa pikir panjang, ia klik. Story itu sederhana saja foto ruang dinasnya dengan caption singkat. Tapi entah kenapa, hanya melihat itu saja dadanya terasa lebih ringan.Tak sadar, jarinya terpeleset, menekan emotikon love eyes. Seketika Varen kaget, wajahnya memucat. “Astagfirullah… gimana cara batalinnya?” Ia buru-buru mencari opsi undo, tapi terlambat. Ada tanda “Seen” di bawahnya. Beberapa detik kemudian, notifikasi masuk Viona membalas dengan emotikon senyum.Varen mematung, jantungnya berdebar cepat. “Waduh….”Daripada berlarut dalam canggung, ia nekat membuka percakapan. "Eh maaf tadi gak sengaja, hehe. Gimana kabarnya, Viona?’Tak lama, balasan
Pagi itu langit cerah, udara Sabtu terasa lebih ringan. Varen membawa Theo menjenguk Kartika. Sudah lama ia ingin datang, apalagi Theo selalu senang kalau bertemu Omanya. Mereka sampai dengan membawa bungkusan dimsum kesukaan Kartika.Ibunya, seorang perempuan keturunan Tionghoa muslim, dia terlihat sedikit lebih segar hari itu. Keriput di wajahnya tampak lebih tenang, senyumnya tulus menyambut anak dan cucunya yang datang.Mereka duduk santai di ruang tamu.“Bagaimana kerjamu, Ren?” tanya ibunya sambil menata piring dimsum.“Alhamdulillah, lancar, Bu. Suasana kantor juga baik, rekan-rekan ramah semua.”“Syukurlah.” Sang ibu tersenyum, mendengar anaknya beradaptasi dengan bagus dilingkungan kerjanya.Mereka bersantai di ruang tamu sambil melanjutkan perbincangan ringan. Suasana hangat itu tiba-tiba terusik ketika ponsel Varen berbunyi. Ada pesan masuk dari Niki. Sebuah video pendek. Varen menonton sekilas, ternyata itu video saat makan malam dulu di foodcourt. Terlihat jelas, Viona se
Hari berikutnya, Varen menjalani rutinitas seperti biasanya. Namun hari itu, dia baru sampai kerumah pada jam 10 malam. Lelah masih tersisa di wajahnya setelah seharian lembur. Ia membuka kemeja yang lengannya sudah kusut, meletakkan tas kerja di kursi, lalu menjatuhkan tubuhnya di sofa ruang tamu.Theo sudah lebih dulu terlelap sejak perjalanan pulang. Tubuh mungilnya dibaringkan di kamar, masih memeluk boneka beruang hadiah terakhir dari Thania dulu. Varen sempat menatap lama anak itu sebelum keluar kamar. Ada sesuatu yang menusuk dadanya tiap kali melihat Theo tidur dengan damai. Seolah dunia ini tega merenggut kebahagiaan kecil anak itu dengan cara yang terlalu kejam.Pintu depan terbuka, Radit masuk dengan langkah berat, dasinya sudah dilonggarkan, wajahnya penat. Tanpa banyak bicara, ia melempar jas ke sandaran kursi lalu rebah di sofa seberang Varen. “Lembur juga?” tanyanya singkat. Varen hanya mengangguk, sama-sama tak punya energi untuk bicara panjang.Tak lama Lino keluar d
Sudah hampir 20 menit, mereka masih bercengkerama riang di meja foodcourt. Anak-anak menikmati makanan dengan penuh tawa, sementara percakapan orang dewasa berjalan ringan, meski sesekali terasa canggung.Tak lama kemudian, Viona melihat jam tangannya. Ia menegakkan tubuh, lalu tersenyum tipis.“Maaf ya, aku harus berangkat dulu. Jam kerjaku sudah dekat.”Theo spontan menatapnya dengan wajah merajuk. “Mami, jangan pergi dulu.”Viona menunduk, mengusap lembut kepala bocah itu. “Theo kan anak baik. Besok-besok kita bisa ketemu lagi. Sekarang tante Vio harus kerja, supaya bisa bantu orang-orang sakit.”Sebelum benar-benar pergi, ia mengeluarkan kotak cupcake kecil yang tadi mereka “rebutkan” di rak kue dan menyodorkannya pada Theo.“Ini untukmu.”Mata Theo berbinar cerah. “Makasih, Mami!” Ia langsung memeluk Viona sebentar, hangat dan tulus, sebelum melambaikan tangan.“Dah, Mami…” suaranya menggema hingga Viona menghilang di keramaian.Lino terdiam, menatap adegan itu dengan bingung. “M
Dalam perjalanan menuju kantor, suasana di dalam mobil semula hening. Theo menatap keluar jendela, lalu tiba-tiba bersuara riang,“Om… apa hari ini kita bertemu Mami lagi?”Varen refleks menoleh, kaget. “Mami?” alisnya berkerut. “Theo, kenapa kau terus memanggilnya begitu?”Theo tersenyum polos. “Waktu Om pergi dulu, Theo tinggal sama mami Viona.”“Dia panggil Theo sayang,” lanjut Theo sambil tertawa kecil, “Suapin makan, main sama Theo, bacain cerita. Tidur Theo peluk Mami Viona.”Suara imut bocah itu tampak semangat dalam bercerita.Varen terdiam mendengarkan. Dia tidak menyangka kalau Viona yang mengurusnya, Padahal ibunya Niki yang mau Theo tinggal bersamanya dan bermain Bersama Yumna saja.“Wanginya sama seperti mami. boleh kan Theo panggil dia Mami?”Varen terdiam lama. Ada sesuatu yang menusuk hatinya antara rasa kaget dan bingung yang bercampur jadi satu. Theo menoleh dengan mata berbinar, seolah menaruh harapan besar.“Nanti kita ketemu Mami Viona lagi kan, Om?”“Kita lihat n