Home / Romansa / Vonis Cinta Sang Hakim / 5. Pertemuan Pertama

Share

5. Pertemuan Pertama

Author: Cerita Tina
last update Last Updated: 2025-09-07 15:49:23

Beberapa hari berikutnya, Varen menjalani rutinitas seperti biasa. Namun hari itu, dalam perjalanan pulang dari kantornya, tiba-tiba Theo merengek ingin main lagi dengan Yumna.

"Om, Theo mau main sama kak Yumna."

Varen menoleh sekilas kearah Theo,

"Kita pulang dulu, mandi. Setelah itu baru kita kerumah kak Yumna oke."

Theo mengangguk senang.

Hari itu, Varen datang lagi ke rumah Niki. Sudah kedua kalinya ia berkunjung sejak pulang ke Indonesia.

Mereka membawa kue untuk tante Yulia, ibunya Niki. Satu-satunya orang tua yang masih menganggapnya bagian dari rumah ini, bahkan setelah waktu dan jarak mengubah banyak hal.

Saat Varen memencet bel, tak lama pintu dibukakan oleh ibu Niki sendiri.

“Varen, Theo, masuk nak." katanya ramah. Varen mengangguk dan bersalaman kemudian dia melangkah masuk dan menyerahkan kotak kue pada Yulia.

"Eh Varen, kamu kurusan ya,” lanjutnya sambil mengambil kotak kue dari tangannya.

“Masih sama, Tante. Cuma potong rambut aja.”

Yumna, anaknya Niki berusia 4 tahun berlari menyambut Theo dan langsung mengajaknya bermain ke ruang Tengah.

Saat masuk, Varen sempat melongok ke ruang tengah. Seorang perempuan muda berjilbab cokelat muda sedang duduk membelakanginya sambil menyusun balok bersama Yumna dan Theo.

Tangannya tampak gesit meraih potongan puzzle dari lantai. Varen tersenyum kecil dan bersuara,

“Sedang apa Nik?”

Perempuan itu menoleh. Ia bukan Niki. Wajahnya lebih lembut, matanya bulat dengan alis alami yang tegas. Dia tampak kaget sebentar, lalu kembali tenang.

Varen sempat salah tingkah, buru-buru membenarkan kerah kemejanya. Tante Yulia muncul di belakangnya, terkekeh kecil.

“Itu bukan Niki. Itu Viona. Keponakan tante. Kamu belum pernah ketemu ya?”

“Oh, saya kira...” Varen mengangguk canggung. “Maaf…”

Viona berdiri sopan dan mengangguk menyapa.

“Assalamualaikum, saya Viona.”

“Wa’alaikumsalam, saya Varen.”

Keduanya bertukar nama begitu saja. Tidak ada tangan terulur, hanya sedikit anggukan sopan.

"Viona ini anak dari adiknya tante. Dia baru pulang dari tugasnya, sekarang lagi mengurus perpindahan kerjanya di Rumah Sakit didekat sini,” jelas Tante Yulia sambil berjalan ke dapur.

Varen menatap sesaat sebelum kembali memalingkan pandangan. Namanya pernah didengar beberapa kali dari obrolan Niki dan ibunya di masa lalu.

Namun Wajah itu terasa asing. Tidak menggugah perasaan apa-apa. Viona pun tidak berpikir lebih. Dia tahu tentang Varen karena Bibinya itu sering menceritakan bahwa Varen tergila-gila pada Niki sejak dulu.

Dan itu pertama kalinya mereka bertemu. Tidak ada percikan, hanya pertemuan biasa.

Viona adalah anak sulung dari dua bersaudara. Sejak kecil, ia dikenal sebagai anak yang rapi, sopan, dan selalu bisa diandalkan.

Sifatnya tenang, dewasa, hangat dan selalu mendengarkan. Sering diminta pendapat oleh saudara dan sepupunya, termasuk Niki sendiri.

Setelah pertemuan itu, mereka bersikap biasa saja, Varen dan Yulia duduk diruang tamu berbincang-bincang. Beberapa saat, Yulia menuju dapur untuk menyiapkan sesuatu.

Varen merebahkan kepalanya di sofa, rasanya dia ingin sekali mengisap rokoknya. Ia mengeluarkan Vapenya dari sakunya, Tak sengaja Viona menoleh, dan mata mereka bertemu.

Viona yang melihat itu langsung melirik Vape ditangan Varen lalu melirik lagi ke wajah Varen. Varen merasa canggung, dia tahu itu seperti peringatan kecil.

"Tolong jangan lakukan itu didalam ruangan, itu tidak baik untuk anak-anak." seru Viona tiba-tiba.

Yulia yang mendengar itu, melirik sekilas dan berkata pada Varen "Ren kalau mau merokok, naik ke balkon saja."

Varen makin merasa kikuk, dia hanya menjawab "Iya Tan."

Kemudian dia berjalan melewati ruang tengah tempat Viona yang menemani anak-anak itu bermain.

Varen menunduk rendah, "Permisi."

Viona hanya menatapnya sekilas dengan datar dan mengangguk sekali. Varen lanjut berjalan, sambil menaiki tangga dia menoleh melihat pemandangan dibawahnya.

Terlihat dimatanya, Viona dengan riang membimbing anak-anak itu main. Sikapnya lembut dan senyuman itu tak putus dari bibir gadis itu.

Cklek, Varen membuka pintu balkon lantai dua rumah itu. Terasa hembusan angin yang segar dari sana. Varen langsung membuka vapenya dan menghembuskan pelan ke udara.

Dia terus berulang-ulang menghembus uap itu sambil melihat pemandangan disekitar komplek rumah itu.

Mengingat kejadian barusan dibawah, tanpa sadar dia bergumam, "Huh, jutek banget. pakai salah ngira lagi tadi. Malu-maluin."

"Tapi dia ramah dengan bocah-bocah, apa dia suka anak-anak, tapi kok sama gue begitu banget." pikir Varen sambil mendengus.

Namun dibalik pikiran itu dia sedikit merasa tenang melihat Theo jadi riang, raut sedih diwajah keponakannya nampak memudar.

Sekejap dia memikirkan Niki yang sudah bercerai dengan suaminya.

"Apa deketin lagi ya." batinnya.

Varen menyadari perasaannya belum berubah, walau dulu sempat merasakan sakit sampai harus menjauh.

"Jangan-jangan kami memang berjodoh." pikirnya lagi.

Disaat lagi memikirkan itu, Tiba-tiba pintu gerbang rumah itu terbuka. Itu Niki, dia masuk dengan motor maticnya.

Varen yang melihat itu bergumam kecil "Panjang umur, baru dipikirin, orangnya muncul."

Niki turun dari motornya. Terlihat dari penampilannya seperti baru pulang kerja, baju kemeja serta tas laptop ditangannya.

Niki yang merasa ada orang yang memperhatikannya langsung menoleh ke arah Varen yang berada diatas balkonnya. Dia melambai kearahnya.

"Kak, kok datang nggak ngabarin, tahu begitu tadi beli jajanan dulu." kata Niki dengan suaranya yang sedikit keras biar Varen bisa mendengarnya.

Varen hanya tersenyum "Kalau ngabarin bukan kejutan namanya." ucapnya setengah bercanda.

Niki membalas perkataan Varen dengan senyum tipis, kemudian dia langsung masuk kerumahnya. Varen merasakan hatinya masih berdebar melihat gadis itu.

"Sial sudah selama ini, masih berdebar juga jantung ini. Punya hati speknya kok rendah banget." batin Varen miris.

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (1)
goodnovel comment avatar
Azzurra
bingung deh nantinya Varen mau Niki apa viona. Viona aja Ren. ...
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Vonis Cinta Sang Hakim   100. Kau Selingkuh?

    Hari ulang tahun Varen yang ditunggu-tunggu akhirnya tiba. Viona merasa lega karena rahasia yang ia pendam selama beberapa minggu terakhir akan menjadi kejutan manis untuk suaminya. Pagi itu, ia bangun lebih cepat dari biasanya. Wajahnya tampak segar, ada semangat yang sulit disembunyikan. Sambil menyiapkan sarapan, ia bersenandung riang. Ia sempat melirik jam dinding. Rencananya, sore nanti begitu Varen pulang, Viona, ibu dan mertuanya, mereka akan menyambut dengan kejutan kecil yang sudah disiapkan diam-diam. Viona tersenyum membayangkan wajah terkejut Varen nanti. Namun pagi ini ia harus tetap bersikap biasa saja, agar tidak mencurigakan. Setelah sarapan terhidang, mereka duduk berhadapan di meja makan. Viona menatap lama pada Varen. “Sayang, kamu belum cukuran ya? Kumis kecilmu mulai kelihatan,” kata Viona sambil tersenyum. Varen mengerutkan alis, “Oh ya? Hmm…” Ia melirik jam tangannya. Masih ada waktu. “Sebentar ya,” katanya, lalu masuk ke kamar mandi untuk bercukur. Seme

  • Vonis Cinta Sang Hakim   99. Hasrat Tertunda

    Varen tiba di rumah, Ia langsung memeluk Theo “Ini untuk anak baik yang selalu jaga maminya,” ucap Varen seraya menyerahkan kotak kecil berisi miniatur mobil kesukaan Theo. Bocah itu melonjak gembira dan langsung memeluk papinya.Setelah menidurkan Theo, Varen menghampiri Viona di kamar. Ia ingin menggoda istrinya dengan sedikit liar seperti biasanya. Ia mendekat, menautkan pelukannya dari belakang, mencium bahu Viona dengan lembut. Ia sudah tak tahan untuk melepaskan hasrat yang tertahan. “Aku kangen..” bisiknya. Varen membalikkan tubuhnya dan membawa istrinya ke pelukan penuh, Viona hanya bisa menatapnya antara ingin dan takut.Sayang, jangan dulu,” kata Viona pelan.Namun Varen sudah terlanjur tenggelam dalam dekapnya. Ia menindih lembut tubuh Viona, namun baru sesaat, Viona memejam, menarik napas pendek ada sesak yang tak bisa dijelaskan.Varen segera menghentikan gerakannya.“Kenapa? Aku menyakitimu?” tanyanya cepat, wajahnya panik.Viona menggeleng pelan, “Enggak… cuma, aku m

  • Vonis Cinta Sang Hakim   98. Aku Lelah

    Disisi lain, Lino baru saja tiba di bandara. Udara sore yang padat oleh deru kendaraan. Ia menepikan mobil ke area parkir bandara. Ia menatap layar ponselnya, ada pesan terakhir dari Varen semalam. Mereka memang sudah sepakat untuk bertemu hari ini, lalu bersama-sama menuju tempat Pak Jaya untuk memeriksa dan membahas perkembangan kasus para napi sopir yang dulu mereka tangani. Namun begitu ia hendak turun dari mobil, matanya menangkap sesuatu yang membuat langkahnya tertahan. Sebuah mobil yang sangat ia kenal. Mobil Varen baru saja melintas di depan matanya dan berhenti tak jauh dari situ. Kening Lino berkerut. “Mobil Varen dibawa siapa?” batinnya curiga. Ia menyipitkan mata, mencondongkan badan sedikit, mencoba mengintip di sela kaca deoan mobil. Tapi begitu melihat siapa yang turun dari sana, napasnya nyaris tercekat. “Viona?” gumamnya pelan, tak percaya. Ia memperhatikan perempuan itu yang kini berdiri dengan wajah berseri, menenteng tas kecil dan melangkah cepat men

  • Vonis Cinta Sang Hakim   97. Penumpang Rahasia

    Siang itu Radit pulang dr kantornya lebih cepat. Ia telah memesan tiket dan bersiap-siap ke bandara untuk menuju ke Surabaya menyesuaikan penerbangannya dengan Mayang. Setelah menyiapkan tas kecil, ia berangkat ke bandara. Semua terasa begitu cepat. Check in, pemeriksaan tiket, hingga akhirnya suara panggilan terdengar. “Kepada seluruh penumpang tujuan Surabaya, silakan menuju ke pintu keberangkatan...” Ia dan penumpang lainnya berjalan masuk ke koridor menuju pintu pesawat yang sudah ditentukan. Radit sudah mempersiapkan diri, ia memakai kacamata hitam, jaket dan masker, ia tak ingin mayang mengenalinya begitu saja. Dan benar saja, dipintu pesawat, Mayang sudah berdiri dengan pakaian pramugarinya, rambut yang disanggul sempurna dan senyumannya yang lembut menyambut para penumpang yang satu persatu masuk kedalam pesawat itu. Radit sangat deg-degan saat ia hampir dekat dengan kekasihnya. Begitu mereka berhadapan, "Selamat datang." Ujar mayang lembut. Radit hanya tersenyum

  • Vonis Cinta Sang Hakim   96. Rahasia Manis

    Hari itu Viona bangun lebih cepat. Ia bergegas ke dapur untuk menyiapkan sarapan. Ia tak ingin sang mertua mendahuluinya, karena Viona benar-benar tak ingin merepotkan mertuanya. Begitu sampai ke dapur, ia langsung menyiapkan bahan-bahan yang akan di masak. Ia mengeluarkan telur, susu, dan sedikit keju. Rencananya, pagi ini ia akan membuat omelette Tapi begitu adonan telur mulai dituangkan ke wajan panas, perutnya tiba-tiba terasa mual hebat. “Uh…” Ia berlari menutup mulut, hampir tak sempat mematikan kompor. Tubuhnya gemetar menahan rasa tidak nyaman itu. “Uuuk… uuuk…” Tapi tak ada apa pun yang keluar selain air liur dan air mata kecil di ujung matanya. Kebetulan Kartika melihat Viona berlari dengan seolah-olah menahan mual. Ia pun langsung mengambil alih masakan di dapur. Setelah siap, Kartika menghampiri Luna. Ia berseru di pintu toilet "Nak, kau baik-baik saja?" Tak lama Viona keluar dengan wajah pucat, dan sedikit bekas air mata disudut matanya. "Vio tidak apa

  • Vonis Cinta Sang Hakim   95. Bucin 2

    Malamnya, Lino baru saja pulang dari futsal, keringatnya masih menempel di pelipis. Tapi entah kenapa, mobilnya melaju ke arah kosan Tari. Hanya sekadar iseng. Mungkin karena pikirannya belum selesai tentang obrolan tadi siang dengan Radit dan tentang seseorang yang kini terus muncul di benaknya.Begitu hampir sampai di depan gerbang, pandangannya menangkap sosok Tari. Gadis itu baru turun dari mobil. Ia tampak rapi, dengan kemeja longgar berwarna lembut. Sebelum masuk, Tari sempat berbincang dengan seseorang di dalam mobil. Terdengar dari suaranya itu seperti Laki-laki. Tawa kecil Tari terdengar samar di antara deru mesin.Lino berhenti melangkah.“Siapa dia?” gumamnya pelan, matanya menatap lama ke arah mereka.Senyum Tari yang biasanya membuatnya tenang kini terasa mengusik. “Senyumnya itu… menyebalkan,” ujarnya lirih, nyaris seperti orang yang sedang cemburu tapi belum berani mengakuinya bahkan pada dirinya sendiri.Ia menghela napas, lalu memilih segera memutar balik mobilnya,

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status