POV DewiSeperti biasa, aku bangun pagi setelah mendengar adzan subuh berkumandang. Menunaikan sholat dua rekaat selebihnya menyiapkan semua kebutuhan Arum. Sabar Nak, kita pasti bisa melewati ini semua. Aku yakin kamu akan tumbuh menjadi anak yang kuat dan juga Sholehah meski tanpa sosok ayah yang mendampingi. Aku yakin Tuhan memiliki rencana yang jauh lebih indah lebih dari yang kita harapkan. Meskipun kali ini kita harus merasakan sakit terlebih dahulu.Tanganku masih sibuk menyiapkan sarapan pagi. Namun pikiranku kembali mengingat wanita yang datang kemarin."Ibu kemarin bicara apa dengan wanita itu?" Ibu menghentikan aktivitasnya mencuci piring sejenak lalu kembali melanjutkan."Ibu ndak bicara apa-apa! Ibu hanya bicara kalau ibu Ndak punya hubungan dengan suaminya. Itu saja!""Dia percaya?""Nggak tau. Lek Tarno kemarin kenapa ndak datang?" Ibu berbalik badan agar bisa melihatku."Lek Tarno ndak ada dirumah. Malah Bulek Riris marah-marah Ndak jelas.""Memang begitu sifatnya, ma
Hari ini aku libur bekerja. Setelah dua bulan lamanya aku mengurus surat cerai akhirnya status janda kini sudah aku sandang. Harus ekstra sabar dengan omongan tetangga dan juga harus kuat mengurus semua sendirian. Meskipun Arum harus tumbuh tanpa Ayah di sampingnya. Tak masalah bagiku, kucurahkan kasih sayang berlebih untuknya seorang. Ditambah Ibu selalu setia menjaga nya menambah kasih sayang, membuat Arum tak pernah kekurangan kasih sayang."Assalamualaikum." Salam terdengar dari luar rumah. Aku yang sedang sarapan pun meletakan sendok berniat membuka pintu."Sudah, Ibu saja. Kamu lanjutkan makan!" Aku mengangguk. Ibu yang tengah membawa seikat daun pepaya dan juga daun singkong ia letakan diatas meja. Lalu berjalan menuju sumber suara."Waalaikumsalam," ucap Ibu sembari membuka pintu. Aku langsung meletakan piring kotor pada wastafel lalu mencuci tangan. Berjalan menghampiri siapa yang bertamu.Aku berjalan menuju ruang tamu. Melihat Ibu sudah memeluk Mas Bayu dan juga Mbak Ika si
POV DewiKerompyang ….Terdengar suara gaduh dari kamar Mbak Ika. Semua orang yang tengah berkumpul di kamarku hanya bisa saling melempar pandangan. Ada apa lagi ini?"Istrimu kenapa itu, Yu?" tanya Ibu sembari mengusap punggung Arum.Mas Bayu tidak menjawab. Dia langsung bergegas menuju kamar, mencari tahu apa yang telah terjadi disana."Apa yang kamu lakukan, Ika?" tanya Mas Bayu sembari memungut kaleng roti yang berisi kerupuk itu. "Nathan ini lho, Pah. Suka makan yang aneh-aneh. Mama kan sudah bilang jangan makan beginian! Ngerti nggak sih?!""Papa …." Nathan memeluk Mas Bayu, dia terlihat ketakutan mendengar Mbak Ika berteriak dihadapannya."Astagfirullahaladzim," ucap Mas Bayu pelan, tangannya tak henti mengusap kepala putranya dengan lembut. Aku yang sudah berdiri dibelakang Mas Bayu hanya bisa ikut beristighfar.Entah bagaimana hati Mas Bayu saat ini? Apakah merasa malu atau merasa tak enak sendiri padaku dan juga Ibu. Mbak Ika yang baru saja tiba sudah memperlihatkan sikap y
POV DewiKerompyang ….Terdengar suara gaduh dari kamar Mbak Ika. Semua orang yang tengah berkumpul di kamarku hanya bisa saling melempar pandangan. Ada apa lagi ini?"Istrimu kenapa itu, Yu?" tanya Ibu sembari mengusap punggung Arum.Mas Bayu tidak menjawab. Dia langsung bergegas menuju kamar, mencari tahu apa yang telah terjadi disana."Apa yang kamu lakukan, Ika?" tanya Mas Bayu sembari memungut kaleng roti yang berisi kerupuk itu. "Nathan ini lho, Pah. Suka makan yang aneh-aneh. Mama kan sudah bilang jangan makan beginian! Ngerti nggak sih?!""Papa …." Nathan memeluk Mas Bayu, dia terlihat ketakutan mendengar Mbak Ika berteriak dihadapannya."Astagfirullahaladzim," ucap Mas Bayu pelan, tangannya tak henti mengusap kepala putranya dengan lembut. Aku yang sudah berdiri dibelakang Mas Bayu hanya bisa ikut beristighfar.Entah bagaimana hati Mas Bayu saat ini? Apakah merasa malu atau merasa tak enak sendiri padaku dan juga Ibu. Mbak Ika yang baru saja tiba sudah memperlihatkan sikap y
"Danu siapa?""Danu Kang cilok." Dewi mengernyitkan kening ketika mendengar teman dekatnya menjawab."Halah, masa kamu lupa sih? Danu mantan kamu waktu sekolah.""Astaga, ngomong dong. Iya ya, kalau inget waktu SMA aku masih unyu-unyu nan cantik," ucap Dewi sambil matanya mengerling."Halah, kepedean. Sekarang dia jadi pimpinan kita. Istrinya meninggal setahun yang lalu kena kanker ganas.""Kok kamu tahu? Kepo ya? Atau malah diem-diem kamu cari tahu?" Dewi menebak diiringi senyuman yang sulit diartikan."Apaan sih, ya nggak mungkin lah, Wi! Buat apa coba? Suamiku itu lebih ganteng dari Danu."Dewi hanya mengangguk sembari bibirnya maju dua centi."Kek nya kalian jodoh deh, Wi. Kamu janda dia duda. Dah pas banget," ucap Juleha dengan mendekatkan jari manis sebelah kanan dan juga sebelah kiri."Ngomong apa kamu, Juleha?"Dewi dan juga Juleha melanjutkan pekerjaan dan juga obrolannya yang semakin tidak jelas. Membicarakan banyak hal membuat mereka lupa akan waktu dan pekerjaan tak terasa
"Nis, kamu ambil minum sana! Mama haus, ambilkan juga buat Tante Dian." Tangan Halimah menepuk paha Anis sedikit kasar. Agar sang anak paham posisinya saat ini."Apa sih, Ma? Ambil aja sendiri!" Anis menolak. Pandangannya masih fokus pada benda pipih di tangan. "Sudah, buru!" Tangan Halimah menyambar ponsel milik Anis lalu matanya melotot agar Anis segera bangkit dari duduknya."Iya, iya! Bawel," ucap Anis dengan sedikit jengkel."Ih, bocah satu itu. Susah dibilangin!" "Kamu mau makan, Sayang? Aku ambilkan," tanya Veri pada Dian. Namun pandangan Dian tak beralih dari ponsel yang sedari tadi menjadi perhatiannya."Nggak usah! Aku mau pergi sebentar, nanti pulang sebelum acara pengajian dimulai. Oh, ya jangan lupa kamu cek berapa panen kita hari ini dan juga kamu bersihin kandang sapi. Besok ada yang mau beli sapi. Jadi kandang harus bersih!""Tapi, Sayang. Aku kan lagi ngurus acara ini, nanti siapa yang ngurus?""Kan ada Mama? Kalau ada bahan atau barang yang kurang biar Mama yang ny
Sudah seminggu Bayu tinggal bersama Dewi dan juga Ibunya. Kebutuhan keluarga semakin bertambah. Dewi harus mengeluarkan uang lebih banyak lagi untuk mengisi perut maupun kebutuhan yang lain. "Mas, kamu serius mau kerja jadi tukang bangunan?" tanya Ika dengan serius."Iya, memangnya kenapa?""Panas lah, Mas. Nanti kamu hitam, kotor lagi," ucap Ika dengan bibir mencebik. Dia hanya gengsi, melihat sang suami bekerja kasar. Padahal selama ini mereka terkenal sukses di kota. Apa kata tetangga, jika sekarang melihat Bayu menjadi tukang bangunan."Untuk sementara saja, nanti kalau sudah punya modal kita bisa jualan lagi. Kamu yang sabar, ya."Ika menatap langit-langit rumah. Lalu pandangannya beralih pada lelaki yang tengah duduk disebelahnya."Mas.""Apa?" tanya Bayu. Matanya menatap sang istri dengan seksama."Kita cari pinjaman saja, Mas. Gimana?""Pinjaman? Ika, kita sudah tidak memiliki apa-apa. Jadi kita tidak punya jaminan, tidak bisa!""Bisa, Mas.""Maksud kamu? Pinjaman online? Pok
Sudah menjadi kebiasaan Halimah, membersihkan rumah Dian setiap hari. Ya, tepatnya rumah sang menantu. Bukannya diperlakukan selayaknya mertua, tapi Dian memperlakukan Halimah selayaknya asisten rumah tangga. Meskipun terselip rasa kecewa pada Dian, Halimah tidak bisa berbuat apa-apa. Nasi sudah menjadi bubur. Kini tak ada yang bisa ia lakukan. Semua itu dilakukan karena Dian sudah membayar semua hutang-hutang Halimah. Dan juga membiayai sekolah Anis.Semua yang ada di dunia ini tidak gratis, ujar Dian waktu itu. Membuat Halimah harus membayar semuanya dengan tenaga yang ia punya. Masa tuanya tak ia nikmati sebagaimana mestinya."Bapak kan sudah pernah bilang, jangan terburu-buru dengan keputusanmu untuk menikahi Dian. Sekarang lihat, Mama mu harus melakukan banyak pekerjaan untuk mengganti uang yang kita gunakan," ujar Andi. Matanya memperhatikan Veri yang hanya bisa menunduk."Capek aku, Ver. Mesti nyuci baju lah, masak lah. Belum lagi kalau ada yang kerja, Mama mesti masak dengan