PoV Nizam"Makanlah, Mas!"Selena kembali keluar dari dalam rumah setelah tiga puluh menit berlalu. Dadaku masih terasa sesak. Apa aku sungguh tidak punya kesempatan untuk memperbaiki semuanya?Aku menatap wajahnya nanar."Kenapa lihat-lihat? Dulu, kamu saja tidak pernah menoleh ke arahku, Mas. Sarapan tidak dimakan, pesan dan telepon tidak dijawab. Bahkan malah minta jangan diganggu," gerutu Selena sambil kembali ke dalam rumah.Apa yang dikatakan benar. Selama ini aku telah menyia-nyiakan ketulusan dan kebaikan hatinya. Ah, apakah cinta kita benar-benar telah usai? Apa tidak ada sedikit saja rasa yang tertinggal di hatinya untukku?"Tidak ada, Mas. Rasaku padamu telah lama mati." Selena tiba-tiba muncul dari balik pintu dan menjawab pertanyaan yang ada dalam hati. "Lebih tepatnya sejak kamu mulai berbohong."Aku mengelus dada. Apa dia punya kemampuan baru? Kenapa bisa mendengar apa yang hati dan pikiranku katakan?"Apa tidak ada kesempatan kedua? Bukankah seharusnya tersedia sampai k
PoV NizamSetelah dari rumah Selena, aku langsung pergi ke perusahaan. Baru saja masuk ke ruang kerja, kedua tanganku kembali mengepal kuat.Aku harus mencari tahu apa yang dikatakan Chandra benar atau tidak. Jangan sampai aku bertindak gegabah sebelum mengetahui kebenarannya. Terlebih lagi Siska pasti mencurigai gerak-gerikku kalau tiba-tiba menjaga jarak dengan Pak Rizal.Jangankan Siska, semua karyawan yang ada di sini tahu kalau aku dekat dengan Pak Rizal, direktur utama di sini. Kita sama-sama anak pertama dan berasal dari kampus yang sama. Bedanya dia lebih beruntung karena berasal dari keluarga konglomerat.Jadi setelah lulus, dia langsung mengambil S-2 sambil ikut belajar tentang perusahaan ini. Sementara aku bisa masuk ke sini juga atas rekomendasinya. Kalau saja aku juga lahir di keluarga yang kaya, hal ini tidak akan pernah terjadi padaku."Ke mana saja kamu, Mas?"Baru saja membuka pintu, aku langsung mendapatkan tatapan tajam dari Siska. Sepertinya dia sudah menungguku la
"Apa yang baru saja kamu katakan?" Aku bertanya pelan, takut dia semakin marah."Kenapa bertanya lagi? Apa yang aku katakan barusan masih tidak jelas?" sentaknya membuatku bangkit. "Mama sudah membuat kekacauan di atas, tetapi sekarang malah berpura-pura lemah."Aku menatapnya tajam dan seketika tanganku mendarat di pipinya."Mama sangat menyayangi kamu, tetapi ini balasan yang kamu berikan padanya, hah?" bentakku geram. "Selena saja tidak pernah diperlakukan seperti ini, tetapi dia tetap bisa menghormati Mama.""Selena ya, Selena. Aku, ya, aku! Jangan samakan aku dengan wanita bodoh itu!" teriaknya tidak terima, lalu berusaha untuk mendorongku, sayangnya dia tidak berhasil."Lantas apa arti sikap baikmu selama ini? Baru saja tinggal satu hari, kau sudah menunjukkan sikap ularmu, hah?" Aku sungguh tidak habis pikir dengan Siska yang sikapnya berbanding terbalik.Dia benar-benar berbeda dengan Siska yang dulu, yang rela melakukan apa pun untukku dan mama. "Benar, selama ini aku hanya b
Selena"Lihat aku bawa apa?"Rania tiba-tiba turun dari sebuah mobil mewah yang langsung pergi kembali. Aku ingat betul itu bukan mobil calon suaminya. Apa jangan-jangan dia berselingkuh?"Jangan berpikir yang tidak-tidak, dia itu bosku," ucapnya seolah tahu apa yang sedang aku pikirkan. "Tadi dia takut aku didekati orang jahat, jadi terus mengikuti aku, lalu kita pergi bersama ke sini."Rania menjelaskan, tetapi tetap saja seperti ada yang aneh. Memangnya ada gitu seorang bos mengantar anak buahnya? Apalagi divisi Rania kecil."Tadi aku ketemu seseorang dan dia memaksa agar aku mau masuk ke dalam mobilnya. Karena takut anak buahnya menjadi korban penculikan setelah yang sudah-sudah, bos terus mengikuti mobil seseorang itu hingga aku masuk ke dalam mobilnya," jelasnya lagi."Siapa?" Aku menatapnya heran, tetapi langsung tersenyum lebar ketika melihat kemasan bakso yang sangat aku kenal.Segera aku pergi ke dapur untuk mengambil beberapa mangkuk sebelum mendengar siapa orang yang dia b
PoV NizamMama menjatuhkan ponselnya begitu saja. Ketika aku melihat ke arahnya, wajahnya berubah pucat, dan gigi-giginya saling beradu.Aku berjalan santai ke arahnya dan mengambil ponsel yang dijatuhkannya."Ada apa, Ma? Apa ada sesuatu yang buruk?" tanyaku sambil duduk di sampingnya.Mama menatap ke arahku lekat. Lalu, tiba-tiba saja tangannya mencengkram bahuku erat."Apa Selena pernah bilang kalau dia anak Ustazah Nurjanah?" tanyanya dengan wajah depresi.Aku menggeleng pelan. "Dia tidak pernah mengatakan apa pun tentang sesuatu yang beragama, termasuk ustazah, selain memintaku untuk tidak melupakan salat, dan mengucapkan basmalah sebelum melakukan sesuatu," jelasku."Memang kenapa, Ma? Apa ada kabar dari ustazah?" Aku kembali bertanya ketika menyadari raut penyesalan di wajahnya."Anak Ustazah Nurjanah ternyata bukan Siska," ucapnya membuatku ikut terkejut, tetapi tidak seperti mama. Rasa kagetku masih taraf biasanya, "tapi Selena."Aku mematung dengan kedua tangan terkepal sedi
PoV SelenaTanpa sadar, orang-orang ini sudah duduk di sofa ruang keluarga, dan aku tidak tahu apa yang harus dikatakan. Ditambah Umi tidak berhenti memelukku. Ustadzah Nurjanah, guru ngaji sekaligus waliku karena Bi Siti enggak pernah datang ke pondok tempatku tumbuh.Padahal, jaraknya sangat dekat dengan rumah, tetapi tetap saja mereka enggan untuk datang. Entah apa alasannya. Yang jelas sejak saat itu aku mulai tahu siapa yang tulus dan yang modus. Anehnya hingga sekarang mereka masih suka meminta uang padaku, tanpa mengingat luka apa saja yang sudah mereka torehkan padaku. Ah, ya, ditambah Siska merebut Mas Nizam dan ayah anakku. Gak itu membuat luka ini semakin melebar."Apa yang sebenarnya terjadi? Siapa yang bisa memberikan penjelasan di sini?" tanya Umi sambil melihatku dan mama Mas Nizam bergantian."Naya di mana?" tanyaku pada Nisa ketika sadar dia tidak ada di sini."Di luar, sama Mas Nizam." Nisa menjawab pelan dan hal itu membuat Umi menatapku lekat."Sayang, apa yang se
Nizam"Hari ini Mama benar-benar kehilangan muka." Mama mulai menggerutu setelah masuk ke mobil dan tepat duduk di sampingku. "Lagi pula kenapa kamu mengatakan semuanya tadi?""Aku tidak mau menjadi pembohong, Ma." Aku berucap lirih."Tetap saja harusnya kamu bisa menjaga mulut kamu itu. Walau bagaimanapun Siska adalah istrimu, dia adalah bagian dari hidupmu," bentaknya, tetapi aku tetap bergeming.Entah sejak kapan mama berubah menjadi orang yang menilai segala sesuatu dari penampilannya, yang jelas aku tidak suka mama seperti ini. Ditambah sikapnya terhadap Siska dan Selena sangar jauh berbeda.Padahal, jelas-jelas yang sejak dulu menjadi istriku adalah Selena, bukan Siska. Membuatku marah saja."Ma, Selena sudah menikah denganku selama enam tahun. Sementara Siska ... kita baru menikah beberapa bulan, tetapi dia sudah hamil." Aku berucap pelan karena takut emosi mama akan kembali meluap.Memang benar, hanya aku dan papa yang paling tahu seperti apa sikap wanita yang tengah duduk di
Selena"Tidak! Selena tidak akan pernah rujuk dengan pria egois sepertimu!"Dari luar, terdengar umi berteriak sangat keras. Padahal, beliau tidak pernah berbicara seperti itu.Bergegas aku mendekat ke arah pintu dan melihat siapa yang memancing amarah umi sampai seperti itu. Kedua tanganku terkepal ketika melihat Mas Nizam. Untuk apa malam-malam di ada di sini?"Enggak mungkin! Dia pasti mau rujuk denganku," tegas Mas Nizam yakin.Segera aku membuka pintu dan melipat kedua tangan di dada. "Aku tidak mau rujuk!" teriakku lantang.Semua orang yang ada di luar langsung melihat ke arah sini, tetapi aku masih berdiri kokoh dengan tatapan tajam ke arah Mas Nizam. Sungguh pria yang tidak tahu malu dan tidak bisa menjaga harkat dan martabat istrinya sendiri."Pergilah dari sini, Mas, karena aku tidak akan pernah mau kembali padaku," tegasku lagi."Enggak, kamu pasti mau kembali padaku!" teriaknya penuh percaya diri.Karena emosi, umi mendekat padanya. "Mas Nizam," tanyanya lembut, tetapi mar