Panggilan pun tersambung kepada Nisa, satu-satunya temanku yang sekarang tinggal di Bogor.
"Nis, ini aku Selena. Apa kamu sedang ada di rumah yang di Bogor?" tanyaku tidak sabar."Tentu. Sekarang rumahku hanya ini. Kenapa?""Apa dari tempat tinggalmu dekat dengan pembangunan pabrik yang aku bicarakan kemarin?""Enggak ada, Sel. Kalau kata suamiku, tidak ada pembangunan proyek baru, paling renovasi," jawabnya membuat kecurigaanku semakin bertambah. "Kalau tidak percaya, besok kamu ke sini saja, aku bawa kamu jalan-jalan, dan makan di tempat-tempat yang biasa dikunjungi orang luar. Terutama orang Jakarta.""Malam ini, apa bisa kamu menemani aku dan anakku jalan-jalan?""Apa? Kenapa harus malam ini? Apa kamu tidak tahu sekarang sudah jam berapa? Perjalanan ke sini memakan waktu satu jam lebih kalau lewat tol, kalau tidak tentu kamu akan sampai tengah malam." Nisa bertanya dengan kaget."Aku ada keperluan, Nis, dan sangat darurat. Apa benar tidak bisa?""Aku bilang suamiku dulu," putusnya, "tunggu sebentar!"Sama seperti yang dia minta, aku menunggunya dengan sabar. Kalau benar Mas Nizam pergi ke Bogor untuk bertemu dengan Rania, bukankah sudah pasti mereka akan pergi ke beberapa tempat seperti restoran dan pasar malam?Kebetulan beberapa hari ini Rania juga menyebut-nyebut nama restoran luar Jawa yang sudah lama ada di Bogor. Namun, awalnya aku sama sekali tidak tertarik, tapi tidak untuk sekarang. Tentu aku harus bertindak cepat."Sel, katanya boleh. Nanti kami siapkan kamar untuk kamu dan anak kamu agar bisa istirahat dengan tenang dan aman," ucapnya bersemangat.Aku langsung berterima kasih dan meminta alamat lengkapnya.Untuk sementara aku tidak akan menceritakan tentang hal ini kepada mama mertua, karena aku tidak tahu dia ada di pihak yang mana.Segera aku turun setelah memesan mobil online dengan tujuan rumah sahabatku."Ma, aku minta maaf, sepertinya Mama dan Pala harus pulang," ucapku sambil menangis. Tentu saja air mata ini palsu, agar mereka percaya dengan apa yang akan aku katakan."Ada apa, Sayang?" tanyanya sangat lembut, tapi justru kelembutan itu yang membuatku tidak kau cerita padanya."Bibi ternyata sakit keras, Ma, dan sekarang sedang ada di rumah sakit. Jadi, aku akan pergi untuk melihat keadaan bibi, karena aku takut ini adalah pertemuan yang terkahir," jelasku dengan air mata yang masih mengalir. "Barusan tetangganya telepon, Ma."Aku memang punya satu bibi, entah dari mana. Yang jelas merekalah yang dikenalkan nenek padaku. Mereka juga tidak punya ponsel, bahkan gaptek. Tapi ini justru membuatku mudah agar rencana yang sudah aku susun tidak ketahuan."Ya ampun, Sayang. Bagaimana, ya? Mama dan Papa ke sini diminta menjaga kamu, tapi kalau ke Sukabumi, rasanya sangat jauh. Kamu tidak bisa mengantar." Mama mengusap punggungku dan ikut bersedih."Gapapa, Ma. Aku pulang sendiri saja. Kalau Mama sama Papa masih mau di sini juga tidak apa-apa," ucapku sambil menghapus air mata, tentu dengan akting yang meyakinkan."Iya, Mama dan Papa sudah terlalu lelah, jadi mau menginap di sini sampai Nizam pulang. Kamu hati-hati, ya. Jangan lupa untuk tetap mengabari Mama dan suamimu," pintanya dan aku hanya mengangguk.Segera aku membawa tas yang berisi uang juga ATM, lalu menggendong anakku yang sudah pakai jaket ke dalam mobil online yang sudah ada di depan.Ternyata menghadapi orang tau suamiku itu lebih mudah dari yang kubayangkan.****Benar apa yang dikatakan Nisa, sekarang sudah jam delapan lebih dan kami sudah keluar dari tol.Ketika baru mau menghubungi Nisa, aku lebih dulu mendapat panggilan telepon darinya."Kamu sudah keluar tol belum?" tanyanya terdengar khawatir."Sudah, Nis." Aku pun menyebutkan salah satu jalan yang dikatakan driver."Oh, tinggal lurus saja. Nanti kamu turun di Simpang Raya Bogor Restoran. Itu tempat makan padang dan rasanya sangat enak. Kami tunggu di sana.""Oke, Nis.""Siap, Mbak."Berhubung aku mengaktifkan pengeras suara, Om Driver jadi bisa mendengarnya dengan jelas. Hanya dalam hitungan menit, kita sudah sampai di tempat yang dijanjikan.Melihat suasana restoran ini di malam hari, membuatku tiba-tiba teringat dengan perkataan Rania beberapa waktu lalu, dia menunjukkan foto restoran ini, dan katanya akan secepatnya datang ke sini.Apa maksudnya sekarang bersama suamiku? Dasar pengkhianat!Nisa dan suaminya melambaikan tangan ketika melihatku turun dari mobil.Kami pun menghampiri mereka dan berkenalan."Maaf kalau sudah menganggu kenyamanan kalian." Aku tersenyum tidak enak ke arah suami Nisa dan anak-anaknya."Tidak, Mbak. Kami juga senang," jawab suaminya. "Mari masuk!"Aku dan Nisa yang pertama masuk dan ketika baru beberapa langkah dari pintu, benar saja aku melihat Mas Nizam sedang bersama Rania. Mereka duduk saling berhadapan dan saling melemparkan tatapan.Dengan penuh emosi, aku berjalan cepat ke arah mereka, dan menyiramkan air mineral yang sejak tadi aku pegang."Ah!" Rania dan Mas Nizam sama-sama menjerit karena pakaian yang mereka kenakan menjadi basah."Apa yang kamu lakukan?" Rania menatap tajam ke arahku, tapi langsung bangkit ketika sadar yang ada di hadapannya adalah aku, sahabatnya. "Selena, kenapa kamu bisa ada di sini?""Sayang!" Mas Nizam ikut bangkit dan berjalan ke arahku. "Kenapa kamu ada di sini?Kenapa tidak kasih tahu aku kalau kalian mau makan di sini?" tanyanya ketika melihatku dan Kanaya.Di antara mereka tidak ada yang marah atas apa yang sudah aku lakukan dan aku sungguh penasaran, apa yang sebenarnya sedang mereka lakukan di sini malam-malam begini?"Siapa yang akan menjelaskan?" Aku bertanya dengan wajah dingin, bahkan tanpa ekspresi. Sekarang aku sudah tidak peduli dengan tatapan orang-orang yang melihat kami dengan tatapan aneh, yang aku tahu saat ini hatiku sangat berantakan."Maaf, sepertinya akan lebih baik kalau kita selesaikan dengan kepala dingin. Mari ikut saya!" Suaminya Nisa memimpin jalan kami hingga sampai di salah satu meja yang paling pojok, bahkan tidak ada seorang pun yang makan di meja sekitarny
"Apa masalahnya? Dia bosku, seorang pria juga." Mas Nizam langsung melakukan pembelaan.Aku dan Nisa mengembuskan napas lega."Tahu dia seorang pria, tapi hubungan kalian terlihat dekat, melebihi seorang bos dan bawahannya!" Rania langsung menyambar."Wajar kami dekat, karena aku sudah lama bekerja dengannya. Bahkan sebelum aku menikah dengan mamanya Kanaya." Mas Bagas kembali mengelak.Aku tersenyum kecut melihat kekompakan mereka, sama-sama saling menjatuhkan. "Sudahlah, toh, dia seorang pria juga. Terus apalagi yang kamu tahu?"Rania menatapku lekat. "Lalu aku menghampirinya dan kita pun berbincang-bincang biasa hingga kalian datang. Aku bahkan sangat bahagia bisa melihatmu di sini, Selena," jelasnya.Mas Nizam langsung menatap tajam ke arah Rania. "Jangan tatap istriku seperti itu!" ucapnya keberatan.Nisa mendekatkan kepalanya ke arahku dan berbisik," Sepertinya di antara mereka memang tidak ada apa-apa, tapi kita jangan terlampau percaya dulu. Kita lihat saja secara pelan-pelan.
"Tidak apa, biarkan semuanya mengalir begitu saja." Aku menarik napas dalam-dalam dan mengembuskannya perlahan.Pelan tapi pasti, aku akan membuat mereka merasakan luka yang lebih dalam daripada yang aku rasakan."Kita pulang saja." Suaminya Nisa membayar tagihan makan kami, lalu memimpin jalan untuk masuk ke dalam mobilnya."Gapapa kalau pulang ke rumah sederhana kami, kan, Selena?" tanya Nisa."Sederhana malah enak, Nis. Harus tetap disyukuri, daripada aku sama sekali tidak punya rumah.""Rumahmu gedong begitu, masa tidak punya." Nisa tertawa pelan."Itu kan rumah Mas Nizam dan suatu saat aku juga harus melepaskan rumah itu.""Yang sabar ya, Selena. Insyaallah kalau sudah rezeki tidak akan ke mana." Nisa kembali memberikan aku semangat. "Tapi kalau dilihat dari gelagatnya, aku rasa dia memang tidak ada hubungan apa-apa dengan Rania." Suaminya Nisa ikut bicara, tapi Nisa langsung terlihat kesal."Kalau memang tidak ada apa-apa, kenapa mereka masuk ke dalam mobil yang sama, Mas?" tan
Wanita yang Disembunyikan Suamiku 7RaniaNamaku Rania Anggita, orang-orang biasa memanggilku Nia, karena tidak terlalu panjang, dan enak didengar, tapi ada satu orang yang selalu memanggilku dengan nama yang berbeda. Dia adalah Selena Selly, seorang wanita cantik yang memiliki postur tubuh seperti gitar spanyol. Ya, karena dia sangat seksi dan sempurna.Kami sudah berteman sejak SMK karena kita sama-sama berasal dari Bogor yang berbatasan dengan Sukabumi dan rumah kita juga berdekatan. Hubungan kami dari waktu ke waktu sangat baik, tidak pernah sekalipun kita bertengkar, apalagi hanya karena masalah sepele.Bahkan banyak orang-orang yang iri atas kedekatan kami termasuk suaminya Selena. Awalnya aku mendukung hubungan mereka bahkan hingga ke jenjang pernikahan, karena Selena sangat mencintai pria itu, tapi beberapa waktu lalu, aku melihat dia membeli buket di toko bunga yang berada tepat di depan warung makan yang aku miliki.Semakin ke sini, tentu aku semakin curiga kalau pria itu me
Wanita yang Dirahasiakan Suamiku 8Rania"Mau ke mana kamu? Kenapa buru-buru begitu?" Emak menatapku dari atas ke bawah dengan tatapan yang tidak bisa diartikan."Aku ada perlu, Mak. Ini darurat." Aku berusaha keluar dari pintu karena Emak dan Bapak sudah menghalanginya."Jawab dulu mau ke mana, baru kita izinkan kamu pergi," pintanya. "Lagi pula kamu sendiri yang ajak kita jalan-jalan dan menginap di sini, kenapa sekarang malah kamu yang pergi meninggalkan kita?"Aku tersenyum lebar. "Aku memang ajak Emak sama Bapak, tapi nanti lebaran. Kalau enggak percaya, tanya saja sama Aa. Aku enggak pernah bilang sekarang-sekarang," jelasku tapi mereka masih tidak percaya."Ini penting, Mak." Aku berusaha menyentuh hati nuraninya."Apa?" Kini Bapak yang menodong."Pokonya ini antara hidup dan matinya Selena, Pak, Ma." Aku mengulurkan tangan untuk mencium punggung tangan mereka yang langsung melepaskan tangan."Hati-hati, ya, jangan biarkan Selena terluka sedikit pun," ucap Emak."Pokoknya Bapak
"Aku mau menunjukkan sebuah video padamu, ini bukan hal yang biasa. Jadi aku harap kamu bisa menerimanya dengan iklas."Aku terdiam ketika menerima panggilan telepon dari Rania. "Kamu masih di Bogor atau sudah di Jakarta lagi?"Dia kembali bertanya. Dari tadi memang hanya dia yang bicara, sementara aku hanya diam tanpa memberikan respon. Baru kemarin malam aku memergoki dia duduk dengan suamiku, hilang sudah kecurigaan ketika mereka memberikan penjelasan.Akan tetapi, ketika mendengar mereka masuk ke satu mobil yang sama, hatiku kembali dibuat hancur berkeping-keping. "Selena, kamu dengar aku, enggak?" tanyanya dengan nada yang sedikit ditekan hingga kuat."Iya. Aku mendengar semua perkataanmu. Kenapa? Apa kemarin malam kamu belum cukup melukaiku?" tanyaku lirih, karena luka ini benar-benar sangat menyakitkan."Selena, aku sungguh-sungguh bukan selingkuhan suamimu. Bahkan aku ke sini sengaja untuk mengikutinya agar tahu siapa bunga lain yang ada di hatinya," jelasnya tapi aku belum
"Tapi aku tidak tahu dia Sukabumi mana." Rania kembali mendesah, lalu mengusap wajahnya kasar. "Coba tanya sama Mamang dan Bibimu."Aku tidak bisa merespon apa yang dikatakan Rania, karena pikiranku langsung tertuju ke ingatan beberapa tahun lalu ketika Rania memperkenalkan Siska Amelia."Dia Siska, teman kantorku. Insyaallah baik karena selama ini dia tidak pernah membuat kami kecewa sebagai rekan kerjanya," ucap Rania memperkenalkan.Aku pun menerima Siksa dengan senang hati dan kami bercerita tentang banyak hal. Dia berkata, "Saya dari negeri yang jauh, Teh. Enggak punya siapa-siapa untuk didatangi. Apalagi kedua orang tua saya sudah meninggal."Mendengar kisahnya yang menyakitkan dan hampir sama denganku, aku jadi bersimpati, dan selalu meminta Mas Nizam untuk mengajaknya sepulang dari kantor untuk makan di rumahku. Kalau saja di video barusan Siska tidak memanggil Mas Nizam dengan sebutan sayang, sudah pasti aku tidak akan mencurigai hubungan di antara keduanya."Dengar, Selena!
Dada ini kembali berdenyut kencang dengan napas tersengal. Kesakitan yang tidak pernah aku rasakan sebelumnya, kini aku alami. Dulu, aku selalu anti dengan novel-novel cerita rumah tangga yang menceritakan pertikaian suami istri, perselingkuhan, menantu dan mertua, sekarang aku sendiri yang berhadapan dengan kasus-kasus seperti itu.Bagaimana rasanya dikhianati teman yang sangat kita percaya? Rasanya bukanlah apa-apa jika dibandingkan sakit dikhianati oleh suami yang kita kira, hanya kita yang ada di hatinya.Makanan sudah dingin, tapi aku enggan untuk memanaskan. Ketika melihat Mas Nizam nanti, bisakah aku berpura-pura seolah tidak mengetahui apa-apa?Apa aku bisa bersikap menjadi istri yang lebih baik, lalu meminta uang lebih darinya? Lalu, bagaimana dengan cinta yang selama ini sudah aku pupuk? Apa harus ikut layu?"Sayang!"Panggilan Mas Nizam yang datang tiba-tiba menyadarkan aku dari lamunan.Dia datang dengan terpogoh-pogoh tanpa mengucapkan salam. Padahal, sejak dulu dia yang