Share

Bab 3

Panggilan pun tersambung kepada Nisa, satu-satunya temanku yang sekarang tinggal di Bogor.

"Nis, ini aku Selena. Apa kamu sedang ada di rumah yang di Bogor?" tanyaku tidak sabar.

"Tentu. Sekarang rumahku hanya ini. Kenapa?"

"Apa dari tempat tinggalmu dekat dengan pembangunan pabrik yang aku bicarakan kemarin?"

"Enggak ada, Sel. Kalau kata suamiku, tidak ada pembangunan proyek baru, paling renovasi," jawabnya membuat kecurigaanku semakin bertambah. "Kalau tidak percaya, besok kamu ke sini saja, aku bawa kamu jalan-jalan, dan makan di tempat-tempat yang biasa dikunjungi orang luar. Terutama orang Jakarta."

"Malam ini, apa bisa kamu menemani aku dan anakku jalan-jalan?"

"Apa? Kenapa harus malam ini? Apa kamu tidak tahu sekarang sudah jam berapa? Perjalanan ke sini memakan waktu satu jam lebih kalau lewat tol, kalau tidak tentu kamu akan sampai tengah malam." Nisa bertanya dengan kaget.

"Aku ada keperluan, Nis, dan sangat darurat. Apa benar tidak bisa?"

"Aku bilang suamiku dulu," putusnya, "tunggu sebentar!"

Sama seperti yang dia minta, aku menunggunya dengan sabar. Kalau benar Mas Nizam pergi ke Bogor untuk bertemu dengan Rania, bukankah sudah pasti mereka akan pergi ke beberapa tempat seperti restoran dan pasar malam?

Kebetulan beberapa hari ini Rania juga menyebut-nyebut nama restoran luar Jawa yang sudah lama ada di Bogor. Namun, awalnya aku sama sekali tidak tertarik, tapi tidak untuk sekarang. Tentu aku harus bertindak cepat.

"Sel, katanya boleh. Nanti kami siapkan kamar untuk kamu dan anak kamu agar bisa istirahat dengan tenang dan aman," ucapnya bersemangat.

Aku langsung berterima kasih dan meminta alamat lengkapnya.

Untuk sementara aku tidak akan menceritakan tentang hal ini kepada mama mertua, karena aku tidak tahu dia ada di pihak yang mana.

Segera aku turun setelah memesan mobil online dengan tujuan rumah sahabatku.

"Ma, aku minta maaf, sepertinya Mama dan Pala harus pulang," ucapku sambil menangis. Tentu saja air mata ini palsu, agar mereka percaya dengan apa yang akan aku katakan.

"Ada apa, Sayang?" tanyanya sangat lembut, tapi justru kelembutan itu yang membuatku tidak kau cerita padanya.

"Bibi ternyata sakit keras, Ma, dan sekarang sedang ada di rumah sakit. Jadi, aku akan pergi untuk melihat keadaan bibi, karena aku takut ini adalah pertemuan yang terkahir," jelasku dengan air mata yang masih mengalir. "Barusan tetangganya telepon, Ma."

Aku memang punya satu bibi, entah dari mana. Yang jelas merekalah yang dikenalkan nenek padaku. Mereka juga tidak punya ponsel, bahkan gaptek. Tapi ini justru membuatku mudah agar rencana yang sudah aku susun tidak ketahuan.

"Ya ampun, Sayang. Bagaimana, ya? Mama dan Papa ke sini diminta menjaga kamu, tapi kalau ke Sukabumi, rasanya sangat jauh. Kamu tidak bisa mengantar." Mama mengusap punggungku dan ikut bersedih.

"Gapapa, Ma. Aku pulang sendiri saja. Kalau Mama sama Papa masih mau di sini juga tidak apa-apa," ucapku sambil menghapus air mata, tentu dengan akting yang meyakinkan.

"Iya, Mama dan Papa sudah terlalu lelah, jadi mau menginap di sini sampai Nizam pulang. Kamu hati-hati, ya. Jangan lupa untuk tetap mengabari Mama dan suamimu," pintanya dan aku hanya mengangguk.

Segera aku membawa tas yang berisi uang juga ATM, lalu menggendong anakku yang sudah pakai jaket ke dalam mobil online yang sudah ada di depan.

Ternyata menghadapi orang tau suamiku itu lebih mudah dari yang kubayangkan.

****

Benar apa yang dikatakan Nisa, sekarang sudah jam delapan lebih dan kami sudah keluar dari tol.

Ketika baru mau menghubungi Nisa, aku lebih dulu mendapat panggilan telepon darinya.

"Kamu sudah keluar tol belum?" tanyanya terdengar khawatir.

"Sudah, Nis." Aku pun menyebutkan salah satu jalan yang dikatakan driver.

"Oh, tinggal lurus saja. Nanti kamu turun di Simpang Raya Bogor Restoran. Itu tempat makan padang dan rasanya sangat enak. Kami tunggu di sana."

"Oke, Nis."

"Siap, Mbak."

Berhubung aku mengaktifkan pengeras suara, Om Driver jadi bisa mendengarnya dengan jelas. Hanya dalam hitungan menit, kita sudah sampai di tempat yang dijanjikan.

Melihat suasana restoran ini di malam hari, membuatku tiba-tiba teringat dengan perkataan Rania beberapa waktu lalu, dia menunjukkan foto restoran ini, dan katanya akan secepatnya datang ke sini.

Apa maksudnya sekarang bersama suamiku? Dasar pengkhianat!

Nisa dan suaminya melambaikan tangan ketika melihatku turun dari mobil.

Kami pun menghampiri mereka dan berkenalan.

"Maaf kalau sudah menganggu kenyamanan kalian." Aku tersenyum tidak enak ke arah suami Nisa dan anak-anaknya.

"Tidak, Mbak. Kami juga senang," jawab suaminya. "Mari masuk!"

Aku dan Nisa yang pertama masuk dan ketika baru beberapa langkah dari pintu, benar saja aku melihat Mas Nizam sedang bersama Rania. Mereka duduk saling berhadapan dan saling melemparkan tatapan.

Dengan penuh emosi, aku berjalan cepat ke arah mereka, dan menyiramkan air mineral yang sejak tadi aku pegang.

"Ah!" Rania dan Mas Nizam sama-sama menjerit karena pakaian yang mereka kenakan menjadi basah.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status