Share

Bab 4

"Apa yang kamu lakukan?" Rania menatap tajam ke arahku, tapi langsung bangkit ketika sadar yang ada di hadapannya adalah aku, sahabatnya. "Selena, kenapa kamu bisa ada di sini?"

"Sayang!" Mas Nizam ikut bangkit dan berjalan ke arahku. "Kenapa kamu ada di sini?Kenapa tidak kasih tahu aku kalau kalian mau makan di sini?" tanyanya ketika melihatku dan Kanaya.

Di antara mereka tidak ada yang marah atas apa yang sudah aku lakukan dan aku sungguh penasaran, apa yang sebenarnya sedang mereka lakukan di sini malam-malam begini?

"Siapa yang akan menjelaskan?" Aku bertanya dengan wajah dingin, bahkan tanpa ekspresi. Sekarang aku sudah tidak peduli dengan tatapan orang-orang yang melihat kami dengan tatapan aneh, yang aku tahu saat ini hatiku sangat berantakan.

"Maaf, sepertinya akan lebih baik kalau kita selesaikan dengan kepala dingin. Mari ikut saya!" Suaminya Nisa memimpin jalan kami hingga sampai di salah satu meja yang paling pojok, bahkan tidak ada seorang pun yang makan di meja sekitarnya.

Rania berusaha meraih tanganku, karena tubuhku masih mematung, tapi dengan cepat aku menghindar. Tidak lama, Mas Nizam juga melakukan hal yang sama, tapi dengan cepat tanganku langsung menepisnya.

"Aku tidak sudi kalian sentuh," bentakku dalam hati.

Aku mengikuti langkah mereka dengan dibantu Nisa. Kanaya juga digandeng sama anaknya Nisa yang lebih besar dari Kanaya.

Beberapa menit kemudian, kita hanya saling diam dalam satu meja. Saat ini aku duduk di antara Nisa dan anak-anaknya. Sementara Mas Nizam, Rania, dan suaminya Nisa berdekatan. Mereka memang pasangan yang serasi karena sama-sama suka berbohong.

Nisa mendekat ke arahnya. "Hadapi dengan cantik, Sayang. Jangan sampai kamu menyesal nantinya," bisiknya, lalu merangkul aku dan memberikan pelukan yang hangat. "Apalagi kita belum tahu siapa pemain yang sebenarnya. Jangan sampai kamu sana anak kamu dirugikan."

Perkataan Nisa membuatku sadar kalau yang kulakukan itu sudah sangat keterlaluan. Dengan enggan, aku menatap ke arah mereka untuk meminta maaf.

"Maaf atas apa yang sudah kulakukan," ucapku tulus. "Tadinya aku mau ke Sukabumi, karena katanya Bibi sakit, tapi tidak lama Bibi kembali menelepon pakai hape tetangga, katanya tidak usah ke sana. Jadi, aku menelepon Nisa dan kita janjian di sini."

Karena aku bukan tipe orang yang suka marah-marah, apalagi sama kedua orang yang ada di hadapanku ini. Merekalah yang selama ini ada untukku di saat suka dan duka.

Benar apa yang Nisa katakan, aku harus bisa mengontrol diri agar tidak menyesal nantinya. Aku harus bermain cantik agar bisa menemukan kebenarannya sekaligus mengumpulkan uang, lalu keluar dari rumah Mas Nizam.

Kalau sekarang, sepertinya sangat disayangkan jika aku merekalah suamiku begitu sama kepada wanita perebut. Mas Nizam masih menyayangiku dan anakku, tidak pernah kasar. Bahkan tidak pernah menuntutku untuk sempurna.

Mertua juga selama ini tidak pernah berselisih denganku, beliau bahkan selalu memaklumi sifatku yang kadang-kadang emosian. Mereka juga tidak pernah merecoki rumah tanggaku.

"Sayang, tidak apa-apa." Mas Nizam tampak akan berdiri, tapi suaminya Nisa memintanya untuk tetap duduk. Mungkin Mas Nizam tidak tega ketika melihat kedua mataku yang mengandung air mata, dan berusaha menahannya.

"Jadi, apa yang sebenarnya terjadi?" Suaminya Nisa menjadi perantara di antara kita. Padahal kalau melihat wajah, sepetinya pria itu lebih muda daripada aku ataupun Mas Nizam. "Kenapa suaminya Mbak Selena dan temannya ada di sini?"

"Sebenarnya saya ke sini untuk mengerjakan suatu proyek, tadinya mau lewat jalan biasa, tapi saya pikir lagi kapan sampainya. Jadi, saya lewat jalan tos dan mengendarai mobil dengan kecepatan tinggi," jelas Mas Nizam yang menurutku sangat tidak masuk akal.

Melihatku amarahku yang kembali akan meledak, Nisa meraih tanganku kembali, dan menggenggamnya.

"Kenapa sangat terburu-buru? Apa ada hal yang harus dilakukan?" Suaminya Nisa kembali bertanya.

"Tidak ada. Hanya saja ada kebahagiaan tersendiri kalau mengendarai mobil dengan cepat, terkadang mengendarai motor pun begitu," jawabnya lagi.

"Temannya Mbak Selena sendiri bagaimana?"

Rania tidak berhenti menatap ke arahku. Bahkan tahapannya terlihat tulus dan lembut, seolah dia benar-benar tidak melakukan kesalahan.

"Saya ke sini untuk menyelesaikan pekerjaan, Mas. Kebetulan saya diminta Kakak saya untuk menggantikan dia bertemu dengan pabrik yang akan dibangun," jelas Rania. Anehnya Mas Nizam selalu menatap ke arahnya dengan tatapan marah. "Lalu, saya mampir ke sini karena restoran ini adalah salah satu tempat yang ingin saya kunjungi, tapi baru saja masuk, saya melihat Pak Nizam sedang bersama seseorang."

Sekarang kami semua menatap tajam ke arah Mas Nizam. Aku sungguh tidak sabar untuk mengetahui siapa seseorang itu, pria atau wanita?!

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status