"Apa yang kamu lakukan?" Rania menatap tajam ke arahku, tapi langsung bangkit ketika sadar yang ada di hadapannya adalah aku, sahabatnya. "Selena, kenapa kamu bisa ada di sini?"
"Sayang!" Mas Nizam ikut bangkit dan berjalan ke arahku. "Kenapa kamu ada di sini?Kenapa tidak kasih tahu aku kalau kalian mau makan di sini?" tanyanya ketika melihatku dan Kanaya.Di antara mereka tidak ada yang marah atas apa yang sudah aku lakukan dan aku sungguh penasaran, apa yang sebenarnya sedang mereka lakukan di sini malam-malam begini?"Siapa yang akan menjelaskan?" Aku bertanya dengan wajah dingin, bahkan tanpa ekspresi. Sekarang aku sudah tidak peduli dengan tatapan orang-orang yang melihat kami dengan tatapan aneh, yang aku tahu saat ini hatiku sangat berantakan."Maaf, sepertinya akan lebih baik kalau kita selesaikan dengan kepala dingin. Mari ikut saya!" Suaminya Nisa memimpin jalan kami hingga sampai di salah satu meja yang paling pojok, bahkan tidak ada seorang pun yang makan di meja sekitarnya.Rania berusaha meraih tanganku, karena tubuhku masih mematung, tapi dengan cepat aku menghindar. Tidak lama, Mas Nizam juga melakukan hal yang sama, tapi dengan cepat tanganku langsung menepisnya."Aku tidak sudi kalian sentuh," bentakku dalam hati.Aku mengikuti langkah mereka dengan dibantu Nisa. Kanaya juga digandeng sama anaknya Nisa yang lebih besar dari Kanaya.Beberapa menit kemudian, kita hanya saling diam dalam satu meja. Saat ini aku duduk di antara Nisa dan anak-anaknya. Sementara Mas Nizam, Rania, dan suaminya Nisa berdekatan. Mereka memang pasangan yang serasi karena sama-sama suka berbohong.Nisa mendekat ke arahnya. "Hadapi dengan cantik, Sayang. Jangan sampai kamu menyesal nantinya," bisiknya, lalu merangkul aku dan memberikan pelukan yang hangat. "Apalagi kita belum tahu siapa pemain yang sebenarnya. Jangan sampai kamu sana anak kamu dirugikan."Perkataan Nisa membuatku sadar kalau yang kulakukan itu sudah sangat keterlaluan. Dengan enggan, aku menatap ke arah mereka untuk meminta maaf."Maaf atas apa yang sudah kulakukan," ucapku tulus. "Tadinya aku mau ke Sukabumi, karena katanya Bibi sakit, tapi tidak lama Bibi kembali menelepon pakai hape tetangga, katanya tidak usah ke sana. Jadi, aku menelepon Nisa dan kita janjian di sini."Karena aku bukan tipe orang yang suka marah-marah, apalagi sama kedua orang yang ada di hadapanku ini. Merekalah yang selama ini ada untukku di saat suka dan duka.Benar apa yang Nisa katakan, aku harus bisa mengontrol diri agar tidak menyesal nantinya. Aku harus bermain cantik agar bisa menemukan kebenarannya sekaligus mengumpulkan uang, lalu keluar dari rumah Mas Nizam.Kalau sekarang, sepertinya sangat disayangkan jika aku merekalah suamiku begitu sama kepada wanita perebut. Mas Nizam masih menyayangiku dan anakku, tidak pernah kasar. Bahkan tidak pernah menuntutku untuk sempurna.Mertua juga selama ini tidak pernah berselisih denganku, beliau bahkan selalu memaklumi sifatku yang kadang-kadang emosian. Mereka juga tidak pernah merecoki rumah tanggaku."Sayang, tidak apa-apa." Mas Nizam tampak akan berdiri, tapi suaminya Nisa memintanya untuk tetap duduk. Mungkin Mas Nizam tidak tega ketika melihat kedua mataku yang mengandung air mata, dan berusaha menahannya."Jadi, apa yang sebenarnya terjadi?" Suaminya Nisa menjadi perantara di antara kita. Padahal kalau melihat wajah, sepetinya pria itu lebih muda daripada aku ataupun Mas Nizam. "Kenapa suaminya Mbak Selena dan temannya ada di sini?""Sebenarnya saya ke sini untuk mengerjakan suatu proyek, tadinya mau lewat jalan biasa, tapi saya pikir lagi kapan sampainya. Jadi, saya lewat jalan tos dan mengendarai mobil dengan kecepatan tinggi," jelas Mas Nizam yang menurutku sangat tidak masuk akal.Melihatku amarahku yang kembali akan meledak, Nisa meraih tanganku kembali, dan menggenggamnya."Kenapa sangat terburu-buru? Apa ada hal yang harus dilakukan?" Suaminya Nisa kembali bertanya."Tidak ada. Hanya saja ada kebahagiaan tersendiri kalau mengendarai mobil dengan cepat, terkadang mengendarai motor pun begitu," jawabnya lagi."Temannya Mbak Selena sendiri bagaimana?"Rania tidak berhenti menatap ke arahku. Bahkan tahapannya terlihat tulus dan lembut, seolah dia benar-benar tidak melakukan kesalahan."Saya ke sini untuk menyelesaikan pekerjaan, Mas. Kebetulan saya diminta Kakak saya untuk menggantikan dia bertemu dengan pabrik yang akan dibangun," jelas Rania. Anehnya Mas Nizam selalu menatap ke arahnya dengan tatapan marah. "Lalu, saya mampir ke sini karena restoran ini adalah salah satu tempat yang ingin saya kunjungi, tapi baru saja masuk, saya melihat Pak Nizam sedang bersama seseorang."Sekarang kami semua menatap tajam ke arah Mas Nizam. Aku sungguh tidak sabar untuk mengetahui siapa seseorang itu, pria atau wanita?!"Apa masalahnya? Dia bosku, seorang pria juga." Mas Nizam langsung melakukan pembelaan.Aku dan Nisa mengembuskan napas lega."Tahu dia seorang pria, tapi hubungan kalian terlihat dekat, melebihi seorang bos dan bawahannya!" Rania langsung menyambar."Wajar kami dekat, karena aku sudah lama bekerja dengannya. Bahkan sebelum aku menikah dengan mamanya Kanaya." Mas Bagas kembali mengelak.Aku tersenyum kecut melihat kekompakan mereka, sama-sama saling menjatuhkan. "Sudahlah, toh, dia seorang pria juga. Terus apalagi yang kamu tahu?"Rania menatapku lekat. "Lalu aku menghampirinya dan kita pun berbincang-bincang biasa hingga kalian datang. Aku bahkan sangat bahagia bisa melihatmu di sini, Selena," jelasnya.Mas Nizam langsung menatap tajam ke arah Rania. "Jangan tatap istriku seperti itu!" ucapnya keberatan.Nisa mendekatkan kepalanya ke arahku dan berbisik," Sepertinya di antara mereka memang tidak ada apa-apa, tapi kita jangan terlampau percaya dulu. Kita lihat saja secara pelan-pelan.
"Tidak apa, biarkan semuanya mengalir begitu saja." Aku menarik napas dalam-dalam dan mengembuskannya perlahan.Pelan tapi pasti, aku akan membuat mereka merasakan luka yang lebih dalam daripada yang aku rasakan."Kita pulang saja." Suaminya Nisa membayar tagihan makan kami, lalu memimpin jalan untuk masuk ke dalam mobilnya."Gapapa kalau pulang ke rumah sederhana kami, kan, Selena?" tanya Nisa."Sederhana malah enak, Nis. Harus tetap disyukuri, daripada aku sama sekali tidak punya rumah.""Rumahmu gedong begitu, masa tidak punya." Nisa tertawa pelan."Itu kan rumah Mas Nizam dan suatu saat aku juga harus melepaskan rumah itu.""Yang sabar ya, Selena. Insyaallah kalau sudah rezeki tidak akan ke mana." Nisa kembali memberikan aku semangat. "Tapi kalau dilihat dari gelagatnya, aku rasa dia memang tidak ada hubungan apa-apa dengan Rania." Suaminya Nisa ikut bicara, tapi Nisa langsung terlihat kesal."Kalau memang tidak ada apa-apa, kenapa mereka masuk ke dalam mobil yang sama, Mas?" tan
Wanita yang Disembunyikan Suamiku 7RaniaNamaku Rania Anggita, orang-orang biasa memanggilku Nia, karena tidak terlalu panjang, dan enak didengar, tapi ada satu orang yang selalu memanggilku dengan nama yang berbeda. Dia adalah Selena Selly, seorang wanita cantik yang memiliki postur tubuh seperti gitar spanyol. Ya, karena dia sangat seksi dan sempurna.Kami sudah berteman sejak SMK karena kita sama-sama berasal dari Bogor yang berbatasan dengan Sukabumi dan rumah kita juga berdekatan. Hubungan kami dari waktu ke waktu sangat baik, tidak pernah sekalipun kita bertengkar, apalagi hanya karena masalah sepele.Bahkan banyak orang-orang yang iri atas kedekatan kami termasuk suaminya Selena. Awalnya aku mendukung hubungan mereka bahkan hingga ke jenjang pernikahan, karena Selena sangat mencintai pria itu, tapi beberapa waktu lalu, aku melihat dia membeli buket di toko bunga yang berada tepat di depan warung makan yang aku miliki.Semakin ke sini, tentu aku semakin curiga kalau pria itu me
Wanita yang Dirahasiakan Suamiku 8Rania"Mau ke mana kamu? Kenapa buru-buru begitu?" Emak menatapku dari atas ke bawah dengan tatapan yang tidak bisa diartikan."Aku ada perlu, Mak. Ini darurat." Aku berusaha keluar dari pintu karena Emak dan Bapak sudah menghalanginya."Jawab dulu mau ke mana, baru kita izinkan kamu pergi," pintanya. "Lagi pula kamu sendiri yang ajak kita jalan-jalan dan menginap di sini, kenapa sekarang malah kamu yang pergi meninggalkan kita?"Aku tersenyum lebar. "Aku memang ajak Emak sama Bapak, tapi nanti lebaran. Kalau enggak percaya, tanya saja sama Aa. Aku enggak pernah bilang sekarang-sekarang," jelasku tapi mereka masih tidak percaya."Ini penting, Mak." Aku berusaha menyentuh hati nuraninya."Apa?" Kini Bapak yang menodong."Pokonya ini antara hidup dan matinya Selena, Pak, Ma." Aku mengulurkan tangan untuk mencium punggung tangan mereka yang langsung melepaskan tangan."Hati-hati, ya, jangan biarkan Selena terluka sedikit pun," ucap Emak."Pokoknya Bapak
"Aku mau menunjukkan sebuah video padamu, ini bukan hal yang biasa. Jadi aku harap kamu bisa menerimanya dengan iklas."Aku terdiam ketika menerima panggilan telepon dari Rania. "Kamu masih di Bogor atau sudah di Jakarta lagi?"Dia kembali bertanya. Dari tadi memang hanya dia yang bicara, sementara aku hanya diam tanpa memberikan respon. Baru kemarin malam aku memergoki dia duduk dengan suamiku, hilang sudah kecurigaan ketika mereka memberikan penjelasan.Akan tetapi, ketika mendengar mereka masuk ke satu mobil yang sama, hatiku kembali dibuat hancur berkeping-keping. "Selena, kamu dengar aku, enggak?" tanyanya dengan nada yang sedikit ditekan hingga kuat."Iya. Aku mendengar semua perkataanmu. Kenapa? Apa kemarin malam kamu belum cukup melukaiku?" tanyaku lirih, karena luka ini benar-benar sangat menyakitkan."Selena, aku sungguh-sungguh bukan selingkuhan suamimu. Bahkan aku ke sini sengaja untuk mengikutinya agar tahu siapa bunga lain yang ada di hatinya," jelasnya tapi aku belum
"Tapi aku tidak tahu dia Sukabumi mana." Rania kembali mendesah, lalu mengusap wajahnya kasar. "Coba tanya sama Mamang dan Bibimu."Aku tidak bisa merespon apa yang dikatakan Rania, karena pikiranku langsung tertuju ke ingatan beberapa tahun lalu ketika Rania memperkenalkan Siska Amelia."Dia Siska, teman kantorku. Insyaallah baik karena selama ini dia tidak pernah membuat kami kecewa sebagai rekan kerjanya," ucap Rania memperkenalkan.Aku pun menerima Siksa dengan senang hati dan kami bercerita tentang banyak hal. Dia berkata, "Saya dari negeri yang jauh, Teh. Enggak punya siapa-siapa untuk didatangi. Apalagi kedua orang tua saya sudah meninggal."Mendengar kisahnya yang menyakitkan dan hampir sama denganku, aku jadi bersimpati, dan selalu meminta Mas Nizam untuk mengajaknya sepulang dari kantor untuk makan di rumahku. Kalau saja di video barusan Siska tidak memanggil Mas Nizam dengan sebutan sayang, sudah pasti aku tidak akan mencurigai hubungan di antara keduanya."Dengar, Selena!
Dada ini kembali berdenyut kencang dengan napas tersengal. Kesakitan yang tidak pernah aku rasakan sebelumnya, kini aku alami. Dulu, aku selalu anti dengan novel-novel cerita rumah tangga yang menceritakan pertikaian suami istri, perselingkuhan, menantu dan mertua, sekarang aku sendiri yang berhadapan dengan kasus-kasus seperti itu.Bagaimana rasanya dikhianati teman yang sangat kita percaya? Rasanya bukanlah apa-apa jika dibandingkan sakit dikhianati oleh suami yang kita kira, hanya kita yang ada di hatinya.Makanan sudah dingin, tapi aku enggan untuk memanaskan. Ketika melihat Mas Nizam nanti, bisakah aku berpura-pura seolah tidak mengetahui apa-apa?Apa aku bisa bersikap menjadi istri yang lebih baik, lalu meminta uang lebih darinya? Lalu, bagaimana dengan cinta yang selama ini sudah aku pupuk? Apa harus ikut layu?"Sayang!"Panggilan Mas Nizam yang datang tiba-tiba menyadarkan aku dari lamunan.Dia datang dengan terpogoh-pogoh tanpa mengucapkan salam. Padahal, sejak dulu dia yang
Sekarang pikiranku benar-benar hancur. Karena selain dikhianati Mas Nizam, aku juga ditusuk dari belakang oleh bibi. Kenapa aku tahu yang kirim pesan adalah bibi, karena panggilan yang disebut di sini adalah Ibu, bukan Mama.Padahal, sejak aku dewasa dan kerja, bahkan setelah aku menikah dengan Mas Nizam, aku selalu berusaha untuk mengirimkan uang padanya. Sedikit banyak, sudah aku lakukan.Akan tetapi, sekarang yang aku dapatkan sangat jauh dari kebaikan! Bibi bahkan menjelek-jelekkan aku di hadapan Mas Nizam. Apa sebenarnya yang diinginkan oleh Bibi?Apa dia memang menginginkan reputasiku menjadi jahat di hadapan Mas Nizam atau apa?Aku kembali menyimpan ponselnya, tapi tidak ke atas nakas, melainkan kembali sofa dekat tangan Mas Nizam. Agar nanti dia berpikir kalau dia sendiri yang membuka pesannya.Aku masuk ke dalam kamar dan melakukan salat malam sambil memohon kepada Allah, agar semuanya dimudahkan, dan dijauhkan dari bahaya.Untuk saat ini hanya menghadap Allah, aku bisa tenan