Share

Bab 5

"Apa masalahnya? Dia bosku, seorang pria juga." Mas Nizam langsung melakukan pembelaan.

Aku dan Nisa mengembuskan napas lega.

"Tahu dia seorang pria, tapi hubungan kalian terlihat dekat, melebihi seorang bos dan bawahannya!" Rania langsung menyambar.

"Wajar kami dekat, karena aku sudah lama bekerja dengannya. Bahkan sebelum aku menikah dengan mamanya Kanaya." Mas Bagas kembali mengelak.

Aku tersenyum kecut melihat kekompakan mereka, sama-sama saling menjatuhkan. "Sudahlah, toh, dia seorang pria juga. Terus apalagi yang kamu tahu?"

Rania menatapku lekat. "Lalu aku menghampirinya dan kita pun berbincang-bincang biasa hingga kalian datang. Aku bahkan sangat bahagia bisa melihatmu di sini, Selena," jelasnya.

Mas Nizam langsung menatap tajam ke arah Rania. "Jangan tatap istriku seperti itu!" ucapnya keberatan.

Nisa mendekatkan kepalanya ke arahku dan berbisik," Sepertinya di antara mereka memang tidak ada apa-apa, tapi kita jangan terlampau percaya dulu. Kita lihat saja secara pelan-pelan. Bukankah kamu juga tidak punya penghasilan pribadi?"

Aku mengangguk pelan.

"Tetaplah jadi ibu dan istri yang baik, dan pintar-pintarlah dalam mengatur keuangan agar punya simpanan yang bisa digunakan di kemudian hari," lirihnya lagi.

Aku kembali mengangguk tanpa mengatakan apa pun, karena aku juga sudah punya pemikiran seperti yang dia katakan. Sekarang aku hanya perlu memikirkan bagaimana caranya agar bisa membuktikan kalau Mas Nizam benar-benar tidak memiliki selingkuhan. Baik wanita, apalagi pria.

"Mas minta maaf kalau kebersamaan Mas terlihat berbeda di matamu, Sayang, tapi Mas berani bersumpah, Mas memang tidak melakukan apa pun dengan Rania. Dia antara kita tida pernah ada hubungan," jelas Mas Nizam.

"Iya, Mas. Maaf juga karena aku sudah bertindak sembrono, ya," lirihku tidak enak hati.

"Jadi benar di antara kalian tidak ada apa pun?" Suaminya Nisa kembali memastikan dan kedua orang itu mengangguk mantap.

"Lagi pula sejak dulu saya memang tidak menyukai pria ini, jadi kenapa saya harus dicurigai? Bahkan Selena sendiri tahu tentang hal itu." Rania tiba-tiba bicara.

Suaminya Nisa mendadak berubah dingin. "Bukan masalah suka atau tidak suka, karena perbedaan mereka bahkan tidak terlihat, tapi tentang kesetiaan," sentaknya membuat Rania kembali diam. "Sudahlah, sebaiknya kita pesan makanan dulu, baru membicarakannya lagi."

Mas Nizam terlihat tidak masalah dengan keputusan yang sudah ambil suaminya Nisa, tapi tidak dengan Rania. Dia terlihat gelisah dan selalu melihat ke arah pintu, seolah dia melihat seseorang yang tidak ingin ditemuinya. Namun sejauh ini, aku rasa dia tidak membenci siapa pun, jadi kenapa dia bersikap seperti ini?

"Kita makan dulu!" Suaminya Nisa memimpin doa, lalu kita makan bersama.

"Mau pada bermalam di mana?" Aku bertanya kepada Mas Nizam dan Rania.

"Proyek!" Mereka menjawab bersama-sama.

Aku tersenyum tipis. "Kenapa kalian harus bermalam di proyek? Terutama kamu, Rania. Kamu adalah wanita," ucapku mengutarakan pendapat. Meski hati membara, tapi harus tetap tenang dan anggun.

"Kenapa sama?"

Alih-alih menjawab pertanyaanku, Rania malah menatap tajam ke arah Mas Nizam, seolah proyek yang mereka maksud berbeda.

Aku juga ikut menatap tajam ke arah Mas Nizam, karena beberapa hari lalu dia sendiri yang bilang kalau peyeknya baru dibangun. Kenapa sekarang dia juga mau ditinggal di sama?

Apa jangan-jangan dia sudah membuat janji dengan Rania, lalu mereka memesan kamat hotel?

"Aku memang akan tidur di sekitaran proyek. Aku pria, jadi bebas." Mas Nizam tidak mau kalah, tapi aku malah semakin gerah mendengar suara mereka.

"Cukup!" Aku menengahi keduanya. "Terserah kalian mau tinggal di mana, yang jelas aku dan Rania mau sewa hotel yang di bawah, di hotel Amarosa."

"Enggak bisa! Kamu dan Kania kembali pulang saja. Aku di sini mau kerja, jadi tidak bisa menjagamu," sentak Mas Nizam.

Aku bahkan baru pertama kali mendengar dia berbicara seperti ini dan membuat tubuhku mematung sesaat.

"Kenapa tidak boleh? Kalau masalah penjagaan, saya dan suami juga bisa menjaganya, kok." Nisa ikut bicara. "Pokoknya malam ini Selena dan Kanaya akan tinggal di rumah kami, sementara kalian terserah mau tinggal di mana."

Aku dan yang lainnya menatap takjub ke arah wanita yang dari tadi terlihat tenang, kini mulai menunjukkan taringnya. Padahal kalau dilihat dari penampilan, dia terlihat sangat lemah lembut. Tangannya juga seperti akan patah kalau genggam terlalu kuat.

"Siapa Anda? Saya suaminya dan saya lebih berhak atas Selena." Mas Nizam tetap ngotot.

"Benar, saya juga sahabatnya," sahut Rania. "Lagi pula tidak mungkin saya membawa mereka tinggal di proyek yang masih dalam pengerjaan."

"Benar, Selena dan Kanaya memang tidak pantas tinggal di proyek atau apa pun itu. Dia lebih pantas ditempat yang dilindungi," bentak Nisa seperti kehilangan kesabaran. "Sementara Anda dan suaminya Selena, mau kalian tinggal di kolong jembatan pun, kami tidak peduli. Karena di sini tamu yang kami undang hanya Selena dan Kananya."

Aku tertawa dalam hati ketika melihat Rania dan Mas Nizam mati kutu.

"Sekarang silakan kalian keluar dari tempat ini karena banyak pengunjung yang baru datang dan saya khawatir mereka tidak akan kebagian tempat duduk. Tapi sebelum keluar, silakan bayar tagihan makannya masing-masing," tandasnya lagi membuat keduanya kikuk dan keluar dari restoran setelah menyelesaikan pembayaran.

Suami Nisa ikut keluar dan memperhatikan gerak-gerik Rania dan Mas Nizam, lalu kembali masuk ke restoran. "Barusan mereka baik ke dalam mobil yang sama," lirihnya membuat kedua tanganku mengepal kuat.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status