"Apa masalahnya? Dia bosku, seorang pria juga." Mas Nizam langsung melakukan pembelaan.
Aku dan Nisa mengembuskan napas lega."Tahu dia seorang pria, tapi hubungan kalian terlihat dekat, melebihi seorang bos dan bawahannya!" Rania langsung menyambar."Wajar kami dekat, karena aku sudah lama bekerja dengannya. Bahkan sebelum aku menikah dengan mamanya Kanaya." Mas Bagas kembali mengelak.Aku tersenyum kecut melihat kekompakan mereka, sama-sama saling menjatuhkan. "Sudahlah, toh, dia seorang pria juga. Terus apalagi yang kamu tahu?"Rania menatapku lekat. "Lalu aku menghampirinya dan kita pun berbincang-bincang biasa hingga kalian datang. Aku bahkan sangat bahagia bisa melihatmu di sini, Selena," jelasnya.Mas Nizam langsung menatap tajam ke arah Rania. "Jangan tatap istriku seperti itu!" ucapnya keberatan.Nisa mendekatkan kepalanya ke arahku dan berbisik," Sepertinya di antara mereka memang tidak ada apa-apa, tapi kita jangan terlampau percaya dulu. Kita lihat saja secara pelan-pelan. Bukankah kamu juga tidak punya penghasilan pribadi?"Aku mengangguk pelan."Tetaplah jadi ibu dan istri yang baik, dan pintar-pintarlah dalam mengatur keuangan agar punya simpanan yang bisa digunakan di kemudian hari," lirihnya lagi.Aku kembali mengangguk tanpa mengatakan apa pun, karena aku juga sudah punya pemikiran seperti yang dia katakan. Sekarang aku hanya perlu memikirkan bagaimana caranya agar bisa membuktikan kalau Mas Nizam benar-benar tidak memiliki selingkuhan. Baik wanita, apalagi pria."Mas minta maaf kalau kebersamaan Mas terlihat berbeda di matamu, Sayang, tapi Mas berani bersumpah, Mas memang tidak melakukan apa pun dengan Rania. Dia antara kita tida pernah ada hubungan," jelas Mas Nizam."Iya, Mas. Maaf juga karena aku sudah bertindak sembrono, ya," lirihku tidak enak hati."Jadi benar di antara kalian tidak ada apa pun?" Suaminya Nisa kembali memastikan dan kedua orang itu mengangguk mantap."Lagi pula sejak dulu saya memang tidak menyukai pria ini, jadi kenapa saya harus dicurigai? Bahkan Selena sendiri tahu tentang hal itu." Rania tiba-tiba bicara.Suaminya Nisa mendadak berubah dingin. "Bukan masalah suka atau tidak suka, karena perbedaan mereka bahkan tidak terlihat, tapi tentang kesetiaan," sentaknya membuat Rania kembali diam. "Sudahlah, sebaiknya kita pesan makanan dulu, baru membicarakannya lagi."Mas Nizam terlihat tidak masalah dengan keputusan yang sudah ambil suaminya Nisa, tapi tidak dengan Rania. Dia terlihat gelisah dan selalu melihat ke arah pintu, seolah dia melihat seseorang yang tidak ingin ditemuinya. Namun sejauh ini, aku rasa dia tidak membenci siapa pun, jadi kenapa dia bersikap seperti ini?"Kita makan dulu!" Suaminya Nisa memimpin doa, lalu kita makan bersama."Mau pada bermalam di mana?" Aku bertanya kepada Mas Nizam dan Rania."Proyek!" Mereka menjawab bersama-sama.Aku tersenyum tipis. "Kenapa kalian harus bermalam di proyek? Terutama kamu, Rania. Kamu adalah wanita," ucapku mengutarakan pendapat. Meski hati membara, tapi harus tetap tenang dan anggun."Kenapa sama?"Alih-alih menjawab pertanyaanku, Rania malah menatap tajam ke arah Mas Nizam, seolah proyek yang mereka maksud berbeda.Aku juga ikut menatap tajam ke arah Mas Nizam, karena beberapa hari lalu dia sendiri yang bilang kalau peyeknya baru dibangun. Kenapa sekarang dia juga mau ditinggal di sama?Apa jangan-jangan dia sudah membuat janji dengan Rania, lalu mereka memesan kamat hotel?"Aku memang akan tidur di sekitaran proyek. Aku pria, jadi bebas." Mas Nizam tidak mau kalah, tapi aku malah semakin gerah mendengar suara mereka."Cukup!" Aku menengahi keduanya. "Terserah kalian mau tinggal di mana, yang jelas aku dan Rania mau sewa hotel yang di bawah, di hotel Amarosa.""Enggak bisa! Kamu dan Kania kembali pulang saja. Aku di sini mau kerja, jadi tidak bisa menjagamu," sentak Mas Nizam.Aku bahkan baru pertama kali mendengar dia berbicara seperti ini dan membuat tubuhku mematung sesaat."Kenapa tidak boleh? Kalau masalah penjagaan, saya dan suami juga bisa menjaganya, kok." Nisa ikut bicara. "Pokoknya malam ini Selena dan Kanaya akan tinggal di rumah kami, sementara kalian terserah mau tinggal di mana."Aku dan yang lainnya menatap takjub ke arah wanita yang dari tadi terlihat tenang, kini mulai menunjukkan taringnya. Padahal kalau dilihat dari penampilan, dia terlihat sangat lemah lembut. Tangannya juga seperti akan patah kalau genggam terlalu kuat."Siapa Anda? Saya suaminya dan saya lebih berhak atas Selena." Mas Nizam tetap ngotot."Benar, saya juga sahabatnya," sahut Rania. "Lagi pula tidak mungkin saya membawa mereka tinggal di proyek yang masih dalam pengerjaan.""Benar, Selena dan Kanaya memang tidak pantas tinggal di proyek atau apa pun itu. Dia lebih pantas ditempat yang dilindungi," bentak Nisa seperti kehilangan kesabaran. "Sementara Anda dan suaminya Selena, mau kalian tinggal di kolong jembatan pun, kami tidak peduli. Karena di sini tamu yang kami undang hanya Selena dan Kananya."Aku tertawa dalam hati ketika melihat Rania dan Mas Nizam mati kutu."Sekarang silakan kalian keluar dari tempat ini karena banyak pengunjung yang baru datang dan saya khawatir mereka tidak akan kebagian tempat duduk. Tapi sebelum keluar, silakan bayar tagihan makannya masing-masing," tandasnya lagi membuat keduanya kikuk dan keluar dari restoran setelah menyelesaikan pembayaran.Suami Nisa ikut keluar dan memperhatikan gerak-gerik Rania dan Mas Nizam, lalu kembali masuk ke restoran. "Barusan mereka baik ke dalam mobil yang sama," lirihnya membuat kedua tanganku mengepal kuat."Tidak apa, biarkan semuanya mengalir begitu saja." Aku menarik napas dalam-dalam dan mengembuskannya perlahan.Pelan tapi pasti, aku akan membuat mereka merasakan luka yang lebih dalam daripada yang aku rasakan."Kita pulang saja." Suaminya Nisa membayar tagihan makan kami, lalu memimpin jalan untuk masuk ke dalam mobilnya."Gapapa kalau pulang ke rumah sederhana kami, kan, Selena?" tanya Nisa."Sederhana malah enak, Nis. Harus tetap disyukuri, daripada aku sama sekali tidak punya rumah.""Rumahmu gedong begitu, masa tidak punya." Nisa tertawa pelan."Itu kan rumah Mas Nizam dan suatu saat aku juga harus melepaskan rumah itu.""Yang sabar ya, Selena. Insyaallah kalau sudah rezeki tidak akan ke mana." Nisa kembali memberikan aku semangat. "Tapi kalau dilihat dari gelagatnya, aku rasa dia memang tidak ada hubungan apa-apa dengan Rania." Suaminya Nisa ikut bicara, tapi Nisa langsung terlihat kesal."Kalau memang tidak ada apa-apa, kenapa mereka masuk ke dalam mobil yang sama, Mas?" tan
Wanita yang Disembunyikan Suamiku 7RaniaNamaku Rania Anggita, orang-orang biasa memanggilku Nia, karena tidak terlalu panjang, dan enak didengar, tapi ada satu orang yang selalu memanggilku dengan nama yang berbeda. Dia adalah Selena Selly, seorang wanita cantik yang memiliki postur tubuh seperti gitar spanyol. Ya, karena dia sangat seksi dan sempurna.Kami sudah berteman sejak SMK karena kita sama-sama berasal dari Bogor yang berbatasan dengan Sukabumi dan rumah kita juga berdekatan. Hubungan kami dari waktu ke waktu sangat baik, tidak pernah sekalipun kita bertengkar, apalagi hanya karena masalah sepele.Bahkan banyak orang-orang yang iri atas kedekatan kami termasuk suaminya Selena. Awalnya aku mendukung hubungan mereka bahkan hingga ke jenjang pernikahan, karena Selena sangat mencintai pria itu, tapi beberapa waktu lalu, aku melihat dia membeli buket di toko bunga yang berada tepat di depan warung makan yang aku miliki.Semakin ke sini, tentu aku semakin curiga kalau pria itu me
Wanita yang Dirahasiakan Suamiku 8Rania"Mau ke mana kamu? Kenapa buru-buru begitu?" Emak menatapku dari atas ke bawah dengan tatapan yang tidak bisa diartikan."Aku ada perlu, Mak. Ini darurat." Aku berusaha keluar dari pintu karena Emak dan Bapak sudah menghalanginya."Jawab dulu mau ke mana, baru kita izinkan kamu pergi," pintanya. "Lagi pula kamu sendiri yang ajak kita jalan-jalan dan menginap di sini, kenapa sekarang malah kamu yang pergi meninggalkan kita?"Aku tersenyum lebar. "Aku memang ajak Emak sama Bapak, tapi nanti lebaran. Kalau enggak percaya, tanya saja sama Aa. Aku enggak pernah bilang sekarang-sekarang," jelasku tapi mereka masih tidak percaya."Ini penting, Mak." Aku berusaha menyentuh hati nuraninya."Apa?" Kini Bapak yang menodong."Pokonya ini antara hidup dan matinya Selena, Pak, Ma." Aku mengulurkan tangan untuk mencium punggung tangan mereka yang langsung melepaskan tangan."Hati-hati, ya, jangan biarkan Selena terluka sedikit pun," ucap Emak."Pokoknya Bapak
"Aku mau menunjukkan sebuah video padamu, ini bukan hal yang biasa. Jadi aku harap kamu bisa menerimanya dengan iklas."Aku terdiam ketika menerima panggilan telepon dari Rania. "Kamu masih di Bogor atau sudah di Jakarta lagi?"Dia kembali bertanya. Dari tadi memang hanya dia yang bicara, sementara aku hanya diam tanpa memberikan respon. Baru kemarin malam aku memergoki dia duduk dengan suamiku, hilang sudah kecurigaan ketika mereka memberikan penjelasan.Akan tetapi, ketika mendengar mereka masuk ke satu mobil yang sama, hatiku kembali dibuat hancur berkeping-keping. "Selena, kamu dengar aku, enggak?" tanyanya dengan nada yang sedikit ditekan hingga kuat."Iya. Aku mendengar semua perkataanmu. Kenapa? Apa kemarin malam kamu belum cukup melukaiku?" tanyaku lirih, karena luka ini benar-benar sangat menyakitkan."Selena, aku sungguh-sungguh bukan selingkuhan suamimu. Bahkan aku ke sini sengaja untuk mengikutinya agar tahu siapa bunga lain yang ada di hatinya," jelasnya tapi aku belum
"Tapi aku tidak tahu dia Sukabumi mana." Rania kembali mendesah, lalu mengusap wajahnya kasar. "Coba tanya sama Mamang dan Bibimu."Aku tidak bisa merespon apa yang dikatakan Rania, karena pikiranku langsung tertuju ke ingatan beberapa tahun lalu ketika Rania memperkenalkan Siska Amelia."Dia Siska, teman kantorku. Insyaallah baik karena selama ini dia tidak pernah membuat kami kecewa sebagai rekan kerjanya," ucap Rania memperkenalkan.Aku pun menerima Siksa dengan senang hati dan kami bercerita tentang banyak hal. Dia berkata, "Saya dari negeri yang jauh, Teh. Enggak punya siapa-siapa untuk didatangi. Apalagi kedua orang tua saya sudah meninggal."Mendengar kisahnya yang menyakitkan dan hampir sama denganku, aku jadi bersimpati, dan selalu meminta Mas Nizam untuk mengajaknya sepulang dari kantor untuk makan di rumahku. Kalau saja di video barusan Siska tidak memanggil Mas Nizam dengan sebutan sayang, sudah pasti aku tidak akan mencurigai hubungan di antara keduanya."Dengar, Selena!
Dada ini kembali berdenyut kencang dengan napas tersengal. Kesakitan yang tidak pernah aku rasakan sebelumnya, kini aku alami. Dulu, aku selalu anti dengan novel-novel cerita rumah tangga yang menceritakan pertikaian suami istri, perselingkuhan, menantu dan mertua, sekarang aku sendiri yang berhadapan dengan kasus-kasus seperti itu.Bagaimana rasanya dikhianati teman yang sangat kita percaya? Rasanya bukanlah apa-apa jika dibandingkan sakit dikhianati oleh suami yang kita kira, hanya kita yang ada di hatinya.Makanan sudah dingin, tapi aku enggan untuk memanaskan. Ketika melihat Mas Nizam nanti, bisakah aku berpura-pura seolah tidak mengetahui apa-apa?Apa aku bisa bersikap menjadi istri yang lebih baik, lalu meminta uang lebih darinya? Lalu, bagaimana dengan cinta yang selama ini sudah aku pupuk? Apa harus ikut layu?"Sayang!"Panggilan Mas Nizam yang datang tiba-tiba menyadarkan aku dari lamunan.Dia datang dengan terpogoh-pogoh tanpa mengucapkan salam. Padahal, sejak dulu dia yang
Sekarang pikiranku benar-benar hancur. Karena selain dikhianati Mas Nizam, aku juga ditusuk dari belakang oleh bibi. Kenapa aku tahu yang kirim pesan adalah bibi, karena panggilan yang disebut di sini adalah Ibu, bukan Mama.Padahal, sejak aku dewasa dan kerja, bahkan setelah aku menikah dengan Mas Nizam, aku selalu berusaha untuk mengirimkan uang padanya. Sedikit banyak, sudah aku lakukan.Akan tetapi, sekarang yang aku dapatkan sangat jauh dari kebaikan! Bibi bahkan menjelek-jelekkan aku di hadapan Mas Nizam. Apa sebenarnya yang diinginkan oleh Bibi?Apa dia memang menginginkan reputasiku menjadi jahat di hadapan Mas Nizam atau apa?Aku kembali menyimpan ponselnya, tapi tidak ke atas nakas, melainkan kembali sofa dekat tangan Mas Nizam. Agar nanti dia berpikir kalau dia sendiri yang membuka pesannya.Aku masuk ke dalam kamar dan melakukan salat malam sambil memohon kepada Allah, agar semuanya dimudahkan, dan dijauhkan dari bahaya.Untuk saat ini hanya menghadap Allah, aku bisa tenan
"Mas," panggilku membuat Mas Nizam menatapku kaget."Ah, Sayang, sejak kapan kamu di sana?" tanyanya sambil berjalan ke arahku dengan tatapan panik."Baru saja." Aku menjawab santai. "Ada beberapa hal yang ingin aku bicarakan denganmu, Mas. Bisa duduk dulu sebentar?" tanyaku dan dia mengangguk setelah beberapa saat.Mungkin dia sedang menimbang terlebih dahulu.Pria yang sangat aku cintai dan yang selalu membuatku bahagia hingga membuat hidupku bermakna, ternyata dia juga yang menorehkan luka, dan membuatku ingin memejamkan mata, lalu menghilang dari dunia.Kenapa kamu begitu tega, Mas? Apa aku dan Kanaya sudah tidak ada lagi di hatimu? "Apa itu?" tanyanya sambil terlihat kebingungan. Aku yakin saat ini dia gelisah, karena takut aku mendengar beberapa hal yang tidak seharusnya aku dengar."Mas duduk dulu saja, aku akan membuat teh hangat dulu, agar kita bisa bicara dari hati ke hati," ucapku dengan senyuman yang tidak pernah hilang.Walau nanti aku pergi, aku tetap tidak ingin bermus