Wanita yang Disembunyikan Suamiku 7
RaniaNamaku Rania Anggita, orang-orang biasa memanggilku Nia, karena tidak terlalu panjang, dan enak didengar, tapi ada satu orang yang selalu memanggilku dengan nama yang berbeda. Dia adalah Selena Selly, seorang wanita cantik yang memiliki postur tubuh seperti gitar spanyol. Ya, karena dia sangat seksi dan sempurna.Kami sudah berteman sejak SMK karena kita sama-sama berasal dari Bogor yang berbatasan dengan Sukabumi dan rumah kita juga berdekatan. Hubungan kami dari waktu ke waktu sangat baik, tidak pernah sekalipun kita bertengkar, apalagi hanya karena masalah sepele.Bahkan banyak orang-orang yang iri atas kedekatan kami termasuk suaminya Selena. Awalnya aku mendukung hubungan mereka bahkan hingga ke jenjang pernikahan, karena Selena sangat mencintai pria itu, tapi beberapa waktu lalu, aku melihat dia membeli buket di toko bunga yang berada tepat di depan warung makan yang aku miliki.Semakin ke sini, tentu aku semakin curiga kalau pria itu memiliki wanita lain di hatinya karena tingkahnya semakin aneh.Dia memang memperlakukan Selena dengan sangat baik dan tidak perhitungan dalam masalah uang ataupun pekerjaan rumah, tapi aku justru tidak suka.Sikapnya yang terlalu baik membuatku semakin yakin dia menanam bunga yang lain, apalagi akhir-akhir ini dia selalu izin untuk pergi ke Bogor dengan alasan pembangunan pabrik baru.Aku yang pada dasarnya sudah curiga, langsung menyusul ke Bogor ketika mendengar dari sekretarisnya dia akan pergi Bogor.Bogor adalah tempat kami dilahirkan, jadi aku tahu di mana saja tempat yang akan dibangun pabrik.Karena aku berpikir dia Nizam ke Bogor untuk menemui selingkuhannya, aku juga menelepon Selena dengan maksud agar dia ikut ke Bogor. Namun, siapa yang akan menyangka kalau ternyata dia malah curiga bahwa yang menjadi selingkuhan suaminya adalah aku. Sekarang aku berada di rumah yang selalu aku sewa untuk tinggal selama berada di Bogor, tapi Selena ikut dengan keluarga yang baru dikenalnya. Awalnya aku khawatir, tapi setelah melihat mereka adalah orang yang baik, aku baru bernapas lega. Akan tetapi, tetap saja siapa yang akan menyangka niatku untuk menjadi detektif malah berkahir seperti pelakor."Kenapa? Apa ada yang mengganggu pikiranmu?" Seorang pria mendekat ke arahku, dia adalah Hans. Kakak kandung yang sangat menyayangiku dan pria yang tergila-gila dengan Selena."Banyak," desahku."Apa itu? Tentang Selena lagi? Ya, sudah, sana minta maaf. Bukannya kalian terbiasa seperti itu?" jawabnya enteng."Kali ini tidak sesederhana seperti itu, Aa." Aku mengusap wajah kasar."Memang tentang apa, sih?""Selena menganggap aku pelakor dan ingin merebut suaminya."Mas Hans seketika terdiam dan kedua matanya menatapku tajam."Kamu mau merebut suaminya Selena? Astagfirullah, Rania. Menjadi pelakor itu sangat dilarang, bahkan peringatannya sudah jelas dan kamu sendiri tahu akan hal itu. Kenapa kamu malah melakukannya?" cecarnya histeris.Aku semakin dibuat serba salah dengan sikap kakakku yang mudah terbawa suasana dan sembrono dalam menilai suatu hal."Apa pelakor? Siapa?"Suara orang-orang mulai ramai dan siapa lagi kalau bukan keluargaku. Sepertinya Mas Hans tidak datang ke sini sendiri.Bapak dan Emak langsung masuk dan menatapku tajam, bahkan adik-adikku menghambur-hamburkan pakaianku yang awalnya tertata rapi di dalam sebuah koper."Emak tidak rela kalau anak yang sudah Enak brojolkan dan Emak didik sampai besar malah menjadi perebut Laki Orang! Emak kagak ridho!""Bapak juga kagak mau anak yang selama ini Bapak Banggakan ke sana kemari ternyata membuat Bapak kecewa! Nyesek enggak Bapak nikahkan dulu sama juragan tanah yang dua hari lalu baru meninggal!"Orang tuaku mulai kumat, padahal mereka hanya mendengar sepotong-sepotong saja."Ya ampun!" Aku berteriak keras, lalu menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi, bahwa aku bukanlah pelakor. Aku hanya berusaha mencari tahu kebenaran tentang hal-hal yang ada di pikiranku.Benar tidak Nizam selingkuh dan siap wanitanya?Hanya itu dan tidak ada maksud lain."Oalah, harusnya kamu bilang sejak awal sama Bapak dan Emak, jadi kita tidak salah paham." Emak melenggang ke dapur begitu saja, seolah tidak ada yang terjadi.Di satu sisi aku kadang resah dengan usia orang tua yang tidak lagi muda, sementara Mas Hans lebih sibuk dengan hidupnya sendiri. Tapi semuanya aku serahkan kepada Allah, jadi aku bisa fokus bekerja di Jakarta dan tentunya memata-matai Nizam. Aku tidak rela Selena disakiti.Sebuah pesan membuatku fokus kepada layar ponsel.(Dia mengikuti istrinya ke rumah keluarga kecil yang tadi)Aku bernapas lega ketika membaca pesan dari orang yang aku minta untuk memata-matai Nizam, tapi aku tidak bisa mempekerjakan dia lebih lama karena keuanganku juga terbatas. Jadi, aku hanya bisa berharap semuanya segera terungkap.***"Woy, hapemu berdering dari tadi! Buat kuping Emak kamu jadi budek tahu, enggak!" Emak berteriak dari luar kamar mandi di pagi-pagi buta, aku yang baru selesai mandi pun segera keluar, dan menghampiri ponselku.Aku tersenyum lebar ketika melihat nama yang tertera, dia adalah orang yang semalam memberikan kabar bahagia."Ada apa?" tanyaku tidak sabar."Bos, pagi-pagi sekali dia pergi ke sebuah tempat, tapi ternyata tempat itu bukan pabrik atau tanah lapang seperti yang Bos bilang, tapi ke hotel bintang lima, Bos," jawabnya membuat kedua tanganku mengepal.Hotel? Dia sungguh pria yang tidak tahu diuntung!Wanita yang Dirahasiakan Suamiku 8Rania"Mau ke mana kamu? Kenapa buru-buru begitu?" Emak menatapku dari atas ke bawah dengan tatapan yang tidak bisa diartikan."Aku ada perlu, Mak. Ini darurat." Aku berusaha keluar dari pintu karena Emak dan Bapak sudah menghalanginya."Jawab dulu mau ke mana, baru kita izinkan kamu pergi," pintanya. "Lagi pula kamu sendiri yang ajak kita jalan-jalan dan menginap di sini, kenapa sekarang malah kamu yang pergi meninggalkan kita?"Aku tersenyum lebar. "Aku memang ajak Emak sama Bapak, tapi nanti lebaran. Kalau enggak percaya, tanya saja sama Aa. Aku enggak pernah bilang sekarang-sekarang," jelasku tapi mereka masih tidak percaya."Ini penting, Mak." Aku berusaha menyentuh hati nuraninya."Apa?" Kini Bapak yang menodong."Pokonya ini antara hidup dan matinya Selena, Pak, Ma." Aku mengulurkan tangan untuk mencium punggung tangan mereka yang langsung melepaskan tangan."Hati-hati, ya, jangan biarkan Selena terluka sedikit pun," ucap Emak."Pokoknya Bapak
"Aku mau menunjukkan sebuah video padamu, ini bukan hal yang biasa. Jadi aku harap kamu bisa menerimanya dengan iklas."Aku terdiam ketika menerima panggilan telepon dari Rania. "Kamu masih di Bogor atau sudah di Jakarta lagi?"Dia kembali bertanya. Dari tadi memang hanya dia yang bicara, sementara aku hanya diam tanpa memberikan respon. Baru kemarin malam aku memergoki dia duduk dengan suamiku, hilang sudah kecurigaan ketika mereka memberikan penjelasan.Akan tetapi, ketika mendengar mereka masuk ke satu mobil yang sama, hatiku kembali dibuat hancur berkeping-keping. "Selena, kamu dengar aku, enggak?" tanyanya dengan nada yang sedikit ditekan hingga kuat."Iya. Aku mendengar semua perkataanmu. Kenapa? Apa kemarin malam kamu belum cukup melukaiku?" tanyaku lirih, karena luka ini benar-benar sangat menyakitkan."Selena, aku sungguh-sungguh bukan selingkuhan suamimu. Bahkan aku ke sini sengaja untuk mengikutinya agar tahu siapa bunga lain yang ada di hatinya," jelasnya tapi aku belum
"Tapi aku tidak tahu dia Sukabumi mana." Rania kembali mendesah, lalu mengusap wajahnya kasar. "Coba tanya sama Mamang dan Bibimu."Aku tidak bisa merespon apa yang dikatakan Rania, karena pikiranku langsung tertuju ke ingatan beberapa tahun lalu ketika Rania memperkenalkan Siska Amelia."Dia Siska, teman kantorku. Insyaallah baik karena selama ini dia tidak pernah membuat kami kecewa sebagai rekan kerjanya," ucap Rania memperkenalkan.Aku pun menerima Siksa dengan senang hati dan kami bercerita tentang banyak hal. Dia berkata, "Saya dari negeri yang jauh, Teh. Enggak punya siapa-siapa untuk didatangi. Apalagi kedua orang tua saya sudah meninggal."Mendengar kisahnya yang menyakitkan dan hampir sama denganku, aku jadi bersimpati, dan selalu meminta Mas Nizam untuk mengajaknya sepulang dari kantor untuk makan di rumahku. Kalau saja di video barusan Siska tidak memanggil Mas Nizam dengan sebutan sayang, sudah pasti aku tidak akan mencurigai hubungan di antara keduanya."Dengar, Selena!
Dada ini kembali berdenyut kencang dengan napas tersengal. Kesakitan yang tidak pernah aku rasakan sebelumnya, kini aku alami. Dulu, aku selalu anti dengan novel-novel cerita rumah tangga yang menceritakan pertikaian suami istri, perselingkuhan, menantu dan mertua, sekarang aku sendiri yang berhadapan dengan kasus-kasus seperti itu.Bagaimana rasanya dikhianati teman yang sangat kita percaya? Rasanya bukanlah apa-apa jika dibandingkan sakit dikhianati oleh suami yang kita kira, hanya kita yang ada di hatinya.Makanan sudah dingin, tapi aku enggan untuk memanaskan. Ketika melihat Mas Nizam nanti, bisakah aku berpura-pura seolah tidak mengetahui apa-apa?Apa aku bisa bersikap menjadi istri yang lebih baik, lalu meminta uang lebih darinya? Lalu, bagaimana dengan cinta yang selama ini sudah aku pupuk? Apa harus ikut layu?"Sayang!"Panggilan Mas Nizam yang datang tiba-tiba menyadarkan aku dari lamunan.Dia datang dengan terpogoh-pogoh tanpa mengucapkan salam. Padahal, sejak dulu dia yang
Sekarang pikiranku benar-benar hancur. Karena selain dikhianati Mas Nizam, aku juga ditusuk dari belakang oleh bibi. Kenapa aku tahu yang kirim pesan adalah bibi, karena panggilan yang disebut di sini adalah Ibu, bukan Mama.Padahal, sejak aku dewasa dan kerja, bahkan setelah aku menikah dengan Mas Nizam, aku selalu berusaha untuk mengirimkan uang padanya. Sedikit banyak, sudah aku lakukan.Akan tetapi, sekarang yang aku dapatkan sangat jauh dari kebaikan! Bibi bahkan menjelek-jelekkan aku di hadapan Mas Nizam. Apa sebenarnya yang diinginkan oleh Bibi?Apa dia memang menginginkan reputasiku menjadi jahat di hadapan Mas Nizam atau apa?Aku kembali menyimpan ponselnya, tapi tidak ke atas nakas, melainkan kembali sofa dekat tangan Mas Nizam. Agar nanti dia berpikir kalau dia sendiri yang membuka pesannya.Aku masuk ke dalam kamar dan melakukan salat malam sambil memohon kepada Allah, agar semuanya dimudahkan, dan dijauhkan dari bahaya.Untuk saat ini hanya menghadap Allah, aku bisa tenan
"Mas," panggilku membuat Mas Nizam menatapku kaget."Ah, Sayang, sejak kapan kamu di sana?" tanyanya sambil berjalan ke arahku dengan tatapan panik."Baru saja." Aku menjawab santai. "Ada beberapa hal yang ingin aku bicarakan denganmu, Mas. Bisa duduk dulu sebentar?" tanyaku dan dia mengangguk setelah beberapa saat.Mungkin dia sedang menimbang terlebih dahulu.Pria yang sangat aku cintai dan yang selalu membuatku bahagia hingga membuat hidupku bermakna, ternyata dia juga yang menorehkan luka, dan membuatku ingin memejamkan mata, lalu menghilang dari dunia.Kenapa kamu begitu tega, Mas? Apa aku dan Kanaya sudah tidak ada lagi di hatimu? "Apa itu?" tanyanya sambil terlihat kebingungan. Aku yakin saat ini dia gelisah, karena takut aku mendengar beberapa hal yang tidak seharusnya aku dengar."Mas duduk dulu saja, aku akan membuat teh hangat dulu, agar kita bisa bicara dari hati ke hati," ucapku dengan senyuman yang tidak pernah hilang.Walau nanti aku pergi, aku tetap tidak ingin bermus
"Jangan bicara sembarangan," sentak Mas Nizam dengan wajah garang, bahkan rahangnya ikut mengeras.Aku tersenyum tipis seraya bertanya, "Kita siapa, Sis? Bukankah selama ini yang menjadi temanmu hanya aku?"Mereka terlihat gelagapan, tetapi tidak dengan mama mertua. Dia malah tertawa kecil, seolah di sini akulah yang berhak disalahkan."Kamu lupa kalau Siska dan Nizam itu rekan kerja, ya? Mereka bahkan menghabiskan waktu lebih lama daripada dirimu," jelasnya membuatku tersenyum getir.Aku akan menganggap ini merupakan tanda kalau mama merestui hubungan mereka dan lebih menyukai Siska yang menjadi menantunya, dibandingkan aku."Apa sih, Ma? Di antara kita tidak ada hubungan apa pun. Kalian hanya salah paham," jelas Mas Nizam cepat, sepertinya dia masih berusaha untuk menutupi semuanya.Baiklah kalau memang jalan ini yang dia pilih, aku akan mengalah, dan pergi dari kehidupan mereka setelah mendapatkan uangnya. Aku tidak mau mempertahankan pria yang lihai berbohong.Kenapa aku tidak mau
Pagi ini aku tidak memasak, ataupun melakukan aktivitas lain yang biasa kulakukan. Aku terus berbaring di dalam selimut sambil memeluk Naya."Dek," panggil Mas Nizam membuatku menyingkap selimut dan menatap ke arahnya yang sudah berdiri di depan pintu."Ya, Mas, kenapa?""Coba kamu ke sini dulu," pintanya dengan wajah melas.Aku terpaksa meninggalkan Naya dan posisi nyaman yang hangat ini untuk menghampirinya."Kenapa, Mas?" Kembali aku bertanya sambil membenarkan rambut."Bisa buatkan sarapan dulu, enggak? Hari ini Mas terlalu banyak pekerjaan, jadi sepertinya tidak akan sempat sarapan," pintanya. "Bisa enggak, Dek?"Panggilan "Sayang" yang dahulu selalu Mas Nizam gunakan untukku dan Naya, sepertinya kini sudah hilang. Tidak ada lagi kata itu, bahkan dalam beberapa hari aku memang sudah tidak mendengarnya lagi."Bisa, Mas." Aku berjalan ke arah dapur, lalu melihat persediaan kulkas yang ternyata sudah kosong. Aku lupa kemarin masak banyak dan tidak akan isi lagi karena aku akan beran