Share

Bab 6

"Tidak apa, biarkan semuanya mengalir begitu saja." Aku menarik napas dalam-dalam dan mengembuskannya perlahan.

Pelan tapi pasti, aku akan membuat mereka merasakan luka yang lebih dalam daripada yang aku rasakan.

"Kita pulang saja." Suaminya Nisa membayar tagihan makan kami, lalu memimpin jalan untuk masuk ke dalam mobilnya.

"Gapapa kalau pulang ke rumah sederhana kami, kan, Selena?" tanya Nisa.

"Sederhana malah enak, Nis. Harus tetap disyukuri, daripada aku sama sekali tidak punya rumah."

"Rumahmu gedong begitu, masa tidak punya." Nisa tertawa pelan.

"Itu kan rumah Mas Nizam dan suatu saat aku juga harus melepaskan rumah itu."

"Yang sabar ya, Selena. Insyaallah kalau sudah rezeki tidak akan ke mana." Nisa kembali memberikan aku semangat.

"Tapi kalau dilihat dari gelagatnya, aku rasa dia memang tidak ada hubungan apa-apa dengan Rania." Suaminya Nisa ikut bicara, tapi Nisa langsung terlihat kesal.

"Kalau memang tidak ada apa-apa, kenapa mereka masuk ke dalam mobil yang sama, Mas?" tanyanya dan aku juga ikut terdiam.

Dada yang sudah sangat sakit ketika melihat keganjilan ini terasa semakin perih dan memilukan. Kenapa bisa suamiku berpaling? apa karena aku kurang cantik atau karena wanita lain lebih menggoda?

Dari tadi aku selalu bertanya-tanya kepada diri sendiri, tapi sayang aku tidak tahu pasti apa yang sebenarnya.

Aku ikut ke rumah Nisa yang menurutku cukup besar untuk ukuran kampung di kabupaten Bogor.

Kamarnya ada tiga dan kamar mandi juga ada dua, bahkan dapurnya juga ada dua.

"Ini rumah gubuk kami, Selena. Hanya segini adanya, tapi kami harap kamu nyaman tinggal di sini meski hanya satu malam," ucap Nisa dan suaminya.

"Jangan terlalu merendahkan diri, ini sudah sangat keren karena kalian ada tempat untuk pulang. Sementara aku ...."

"Kamu bisa pulang ke sini kalau mau." Nisa menimpali, "tapi hanya untuk beberapa hari saja. Nanti saya carikan rumah atau kontrakan jika diperlukan," lanjut suaminya.

"Baiklah, terima kasih banyak.

Kami berbincang-bincang di ruang keluarga yang ukurannya sama dengan kamarku yang ada di rumah Mas Nizam, tapi aku nyaman di sini meski udaranya begitu dingin. Sementara Kanaya sudah tertidur di kamar anaknya Nisa bersama ibunya yang sudah sepuh.

"Tidak perlu sungkan." Suaminya Nisa menyajikan beberapa gelas minuman hangat. "Silakan dinikmati, ini hanya minuman jadul, tapi rasanya dijamin sangat enak."

Aku kembali mengucapkan terima kasih. Di saat kita tertawa bersama, ponselku berdering keras.

"Siapa itu, Selena?" tanya Nisa ketika melihatku hanya menatap ponsel tanpa berniat untuk mengangkatnya.

"Mas Nizam."

"Angkat saja, tidak apa. Mungkin dia juga mau tinggal di sini dan tadi hanya ada kesalahpahaman." Lagi-lagi suaminya Nisa memintaku untuk melakukan hal yang sebenarnya tidak ingin kulakukan.

Jelas-jelas mereka berdua sudah kepergok main belakang, setidaknya aku punya waktu untuk menenangkan diri, baru kembali bicara. Bukan diteror terus-menerus seperti ini.

"Tidak apa, kita cari bukti pelan-pelan, Selena." Nisa berusaha memberikan aku kekuatan lagi.

Aku pamit untuk pergi keluar rumah, lalu mengangkatnya.

"Ada apa, Mas? Aku butuh waktu untuk menenangkan diri." Aku langsung bicara setelah menekan tombol hijau.

"Alhamdulillah, akhirnya kamu mau angkat telepon dari Mas. Sayang, Mas tahu kamu masih marah, tapi Mas betul-betul tidak ada hubungan apa-apa dengan Rania. Sama sekali tidak ada," ucapnya lagi berusaha meyakinkan.

Aku tersenyum dan berkata, "Iya, Mas. Aku percaya," lirihku berbohong.

Mana mungkin aku percaya setelah melihat bukti yang nyata?

"Benarkah? Tapi kenapa tadi kamu terlihat kesal?"

"Enggak, kok. Sudah aku bilang aku hanya butuh waktu untuk sendiri."

"Sayang, Mas sungguh tidak menjalin hubungan dengan siapa pun. Tidak ada."

"Iya, Mas." Aku menjawab dengan enggan.

"Sayang," panggilnya lagi dan kali ini suaranya terdengar nyata dan dekat. "Mas sekarang bisa melihat wajah yang kamu tunjukkan sayang."

Seketika aku menatap ke sekeliling dan benar saja, Mas Nizam muncul dari arah jalan raya dengan berjalan kaki, dan masuk ke gang ini.

"Apa yang Mas lakukan di sini?" Aku menutup sambungan telepon lalu menatapnya dengan penuh kekecewaan. Suami yang aku sangka selalu jujur, ternyata punya banyak rahasia.

"Tebak Mas bawa apa," pintanya dengan satu tangan yang disembunyikan ke belakang. Mas Nizam sama sekali tidak mengindahkan pertanyaanku.

"Entahlah, aku tidak tahu dan tidak mau tahu." Aku berucap dingin, lalu membalikkan badan, dan berniat untuk kembali masuk ke rumah Nisa. Namun Mas Nizam lebih dulu menahanku dan mengeluarkan benda yang sejak tadi dia sembunyikan.

"Selamat ulang tahun, Sayang." Mas Nizam mencium keningku, lalu memberikan buket uang yang lebih dengan lembaran merah, dan sebuah kotak persegi.

Aku yang tadi sudah terluka, kini kembali Tersentuh oleh sikapnya yang sangat lembut. Beginilah Mas Nizam yang seharusnya.

"Mas mengejar Rania untuk menanyakan apa yang kamu inginkan selama ini, Sayang," bisiknya lirih berhasil membuatku tersenyum lebar, lalu membuka kotak persegi.

Kedua mataku berbinar ketika melihat emas murni Antam yang beratnya satu gram, tapi ada lebih dari tiga.

Aku mengangkat kepala dan menatapnya lekat dan penuh haru. "Terima kasih banyak, Mas."

"Sama-sama, Sayang."

Kita pun masuk ke kamar dan aku memijat bagian tubuh yang katanya pegal. Dulu, aku memang sering melakukan ini, tapi sudah lama tidak dan baru kali ini melakukannya lagi.

"Mas sudah bilang, jangan terlalu ikut campur dalam masalah rumah tangga orang lain." Aku tidak sengaja mendengar suara orang berbisik dari depan pintu. "Karena ketika kita masih membicarakannya dengan hati dan pikiran yang terbakar, dia sudah keramas lagi, dan perasaan benci mendadak hilang. Jadi kita cukup tau saja," ucapnya lagi yang aku tahu ini adalah suara suaminya Nisa.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status