"Tidak apa, biarkan semuanya mengalir begitu saja." Aku menarik napas dalam-dalam dan mengembuskannya perlahan.
Pelan tapi pasti, aku akan membuat mereka merasakan luka yang lebih dalam daripada yang aku rasakan."Kita pulang saja." Suaminya Nisa membayar tagihan makan kami, lalu memimpin jalan untuk masuk ke dalam mobilnya."Gapapa kalau pulang ke rumah sederhana kami, kan, Selena?" tanya Nisa."Sederhana malah enak, Nis. Harus tetap disyukuri, daripada aku sama sekali tidak punya rumah.""Rumahmu gedong begitu, masa tidak punya." Nisa tertawa pelan."Itu kan rumah Mas Nizam dan suatu saat aku juga harus melepaskan rumah itu.""Yang sabar ya, Selena. Insyaallah kalau sudah rezeki tidak akan ke mana." Nisa kembali memberikan aku semangat."Tapi kalau dilihat dari gelagatnya, aku rasa dia memang tidak ada hubungan apa-apa dengan Rania." Suaminya Nisa ikut bicara, tapi Nisa langsung terlihat kesal."Kalau memang tidak ada apa-apa, kenapa mereka masuk ke dalam mobil yang sama, Mas?" tanyanya dan aku juga ikut terdiam.Dada yang sudah sangat sakit ketika melihat keganjilan ini terasa semakin perih dan memilukan. Kenapa bisa suamiku berpaling? apa karena aku kurang cantik atau karena wanita lain lebih menggoda?Dari tadi aku selalu bertanya-tanya kepada diri sendiri, tapi sayang aku tidak tahu pasti apa yang sebenarnya.Aku ikut ke rumah Nisa yang menurutku cukup besar untuk ukuran kampung di kabupaten Bogor.Kamarnya ada tiga dan kamar mandi juga ada dua, bahkan dapurnya juga ada dua."Ini rumah gubuk kami, Selena. Hanya segini adanya, tapi kami harap kamu nyaman tinggal di sini meski hanya satu malam," ucap Nisa dan suaminya."Jangan terlalu merendahkan diri, ini sudah sangat keren karena kalian ada tempat untuk pulang. Sementara aku ....""Kamu bisa pulang ke sini kalau mau." Nisa menimpali, "tapi hanya untuk beberapa hari saja. Nanti saya carikan rumah atau kontrakan jika diperlukan," lanjut suaminya."Baiklah, terima kasih banyak.Kami berbincang-bincang di ruang keluarga yang ukurannya sama dengan kamarku yang ada di rumah Mas Nizam, tapi aku nyaman di sini meski udaranya begitu dingin. Sementara Kanaya sudah tertidur di kamar anaknya Nisa bersama ibunya yang sudah sepuh."Tidak perlu sungkan." Suaminya Nisa menyajikan beberapa gelas minuman hangat. "Silakan dinikmati, ini hanya minuman jadul, tapi rasanya dijamin sangat enak."Aku kembali mengucapkan terima kasih. Di saat kita tertawa bersama, ponselku berdering keras."Siapa itu, Selena?" tanya Nisa ketika melihatku hanya menatap ponsel tanpa berniat untuk mengangkatnya."Mas Nizam.""Angkat saja, tidak apa. Mungkin dia juga mau tinggal di sini dan tadi hanya ada kesalahpahaman." Lagi-lagi suaminya Nisa memintaku untuk melakukan hal yang sebenarnya tidak ingin kulakukan.Jelas-jelas mereka berdua sudah kepergok main belakang, setidaknya aku punya waktu untuk menenangkan diri, baru kembali bicara. Bukan diteror terus-menerus seperti ini."Tidak apa, kita cari bukti pelan-pelan, Selena." Nisa berusaha memberikan aku kekuatan lagi.Aku pamit untuk pergi keluar rumah, lalu mengangkatnya."Ada apa, Mas? Aku butuh waktu untuk menenangkan diri." Aku langsung bicara setelah menekan tombol hijau."Alhamdulillah, akhirnya kamu mau angkat telepon dari Mas. Sayang, Mas tahu kamu masih marah, tapi Mas betul-betul tidak ada hubungan apa-apa dengan Rania. Sama sekali tidak ada," ucapnya lagi berusaha meyakinkan.Aku tersenyum dan berkata, "Iya, Mas. Aku percaya," lirihku berbohong.Mana mungkin aku percaya setelah melihat bukti yang nyata?"Benarkah? Tapi kenapa tadi kamu terlihat kesal?""Enggak, kok. Sudah aku bilang aku hanya butuh waktu untuk sendiri.""Sayang, Mas sungguh tidak menjalin hubungan dengan siapa pun. Tidak ada.""Iya, Mas." Aku menjawab dengan enggan."Sayang," panggilnya lagi dan kali ini suaranya terdengar nyata dan dekat. "Mas sekarang bisa melihat wajah yang kamu tunjukkan sayang."Seketika aku menatap ke sekeliling dan benar saja, Mas Nizam muncul dari arah jalan raya dengan berjalan kaki, dan masuk ke gang ini."Apa yang Mas lakukan di sini?" Aku menutup sambungan telepon lalu menatapnya dengan penuh kekecewaan. Suami yang aku sangka selalu jujur, ternyata punya banyak rahasia."Tebak Mas bawa apa," pintanya dengan satu tangan yang disembunyikan ke belakang. Mas Nizam sama sekali tidak mengindahkan pertanyaanku."Entahlah, aku tidak tahu dan tidak mau tahu." Aku berucap dingin, lalu membalikkan badan, dan berniat untuk kembali masuk ke rumah Nisa. Namun Mas Nizam lebih dulu menahanku dan mengeluarkan benda yang sejak tadi dia sembunyikan."Selamat ulang tahun, Sayang." Mas Nizam mencium keningku, lalu memberikan buket uang yang lebih dengan lembaran merah, dan sebuah kotak persegi.Aku yang tadi sudah terluka, kini kembali Tersentuh oleh sikapnya yang sangat lembut. Beginilah Mas Nizam yang seharusnya."Mas mengejar Rania untuk menanyakan apa yang kamu inginkan selama ini, Sayang," bisiknya lirih berhasil membuatku tersenyum lebar, lalu membuka kotak persegi.Kedua mataku berbinar ketika melihat emas murni Antam yang beratnya satu gram, tapi ada lebih dari tiga.Aku mengangkat kepala dan menatapnya lekat dan penuh haru. "Terima kasih banyak, Mas.""Sama-sama, Sayang."Kita pun masuk ke kamar dan aku memijat bagian tubuh yang katanya pegal. Dulu, aku memang sering melakukan ini, tapi sudah lama tidak dan baru kali ini melakukannya lagi."Mas sudah bilang, jangan terlalu ikut campur dalam masalah rumah tangga orang lain." Aku tidak sengaja mendengar suara orang berbisik dari depan pintu. "Karena ketika kita masih membicarakannya dengan hati dan pikiran yang terbakar, dia sudah keramas lagi, dan perasaan benci mendadak hilang. Jadi kita cukup tau saja," ucapnya lagi yang aku tahu ini adalah suara suaminya Nisa.Wanita yang Disembunyikan Suamiku 7RaniaNamaku Rania Anggita, orang-orang biasa memanggilku Nia, karena tidak terlalu panjang, dan enak didengar, tapi ada satu orang yang selalu memanggilku dengan nama yang berbeda. Dia adalah Selena Selly, seorang wanita cantik yang memiliki postur tubuh seperti gitar spanyol. Ya, karena dia sangat seksi dan sempurna.Kami sudah berteman sejak SMK karena kita sama-sama berasal dari Bogor yang berbatasan dengan Sukabumi dan rumah kita juga berdekatan. Hubungan kami dari waktu ke waktu sangat baik, tidak pernah sekalipun kita bertengkar, apalagi hanya karena masalah sepele.Bahkan banyak orang-orang yang iri atas kedekatan kami termasuk suaminya Selena. Awalnya aku mendukung hubungan mereka bahkan hingga ke jenjang pernikahan, karena Selena sangat mencintai pria itu, tapi beberapa waktu lalu, aku melihat dia membeli buket di toko bunga yang berada tepat di depan warung makan yang aku miliki.Semakin ke sini, tentu aku semakin curiga kalau pria itu me
Wanita yang Dirahasiakan Suamiku 8Rania"Mau ke mana kamu? Kenapa buru-buru begitu?" Emak menatapku dari atas ke bawah dengan tatapan yang tidak bisa diartikan."Aku ada perlu, Mak. Ini darurat." Aku berusaha keluar dari pintu karena Emak dan Bapak sudah menghalanginya."Jawab dulu mau ke mana, baru kita izinkan kamu pergi," pintanya. "Lagi pula kamu sendiri yang ajak kita jalan-jalan dan menginap di sini, kenapa sekarang malah kamu yang pergi meninggalkan kita?"Aku tersenyum lebar. "Aku memang ajak Emak sama Bapak, tapi nanti lebaran. Kalau enggak percaya, tanya saja sama Aa. Aku enggak pernah bilang sekarang-sekarang," jelasku tapi mereka masih tidak percaya."Ini penting, Mak." Aku berusaha menyentuh hati nuraninya."Apa?" Kini Bapak yang menodong."Pokonya ini antara hidup dan matinya Selena, Pak, Ma." Aku mengulurkan tangan untuk mencium punggung tangan mereka yang langsung melepaskan tangan."Hati-hati, ya, jangan biarkan Selena terluka sedikit pun," ucap Emak."Pokoknya Bapak
"Aku mau menunjukkan sebuah video padamu, ini bukan hal yang biasa. Jadi aku harap kamu bisa menerimanya dengan iklas."Aku terdiam ketika menerima panggilan telepon dari Rania. "Kamu masih di Bogor atau sudah di Jakarta lagi?"Dia kembali bertanya. Dari tadi memang hanya dia yang bicara, sementara aku hanya diam tanpa memberikan respon. Baru kemarin malam aku memergoki dia duduk dengan suamiku, hilang sudah kecurigaan ketika mereka memberikan penjelasan.Akan tetapi, ketika mendengar mereka masuk ke satu mobil yang sama, hatiku kembali dibuat hancur berkeping-keping. "Selena, kamu dengar aku, enggak?" tanyanya dengan nada yang sedikit ditekan hingga kuat."Iya. Aku mendengar semua perkataanmu. Kenapa? Apa kemarin malam kamu belum cukup melukaiku?" tanyaku lirih, karena luka ini benar-benar sangat menyakitkan."Selena, aku sungguh-sungguh bukan selingkuhan suamimu. Bahkan aku ke sini sengaja untuk mengikutinya agar tahu siapa bunga lain yang ada di hatinya," jelasnya tapi aku belum
"Tapi aku tidak tahu dia Sukabumi mana." Rania kembali mendesah, lalu mengusap wajahnya kasar. "Coba tanya sama Mamang dan Bibimu."Aku tidak bisa merespon apa yang dikatakan Rania, karena pikiranku langsung tertuju ke ingatan beberapa tahun lalu ketika Rania memperkenalkan Siska Amelia."Dia Siska, teman kantorku. Insyaallah baik karena selama ini dia tidak pernah membuat kami kecewa sebagai rekan kerjanya," ucap Rania memperkenalkan.Aku pun menerima Siksa dengan senang hati dan kami bercerita tentang banyak hal. Dia berkata, "Saya dari negeri yang jauh, Teh. Enggak punya siapa-siapa untuk didatangi. Apalagi kedua orang tua saya sudah meninggal."Mendengar kisahnya yang menyakitkan dan hampir sama denganku, aku jadi bersimpati, dan selalu meminta Mas Nizam untuk mengajaknya sepulang dari kantor untuk makan di rumahku. Kalau saja di video barusan Siska tidak memanggil Mas Nizam dengan sebutan sayang, sudah pasti aku tidak akan mencurigai hubungan di antara keduanya."Dengar, Selena!
Dada ini kembali berdenyut kencang dengan napas tersengal. Kesakitan yang tidak pernah aku rasakan sebelumnya, kini aku alami. Dulu, aku selalu anti dengan novel-novel cerita rumah tangga yang menceritakan pertikaian suami istri, perselingkuhan, menantu dan mertua, sekarang aku sendiri yang berhadapan dengan kasus-kasus seperti itu.Bagaimana rasanya dikhianati teman yang sangat kita percaya? Rasanya bukanlah apa-apa jika dibandingkan sakit dikhianati oleh suami yang kita kira, hanya kita yang ada di hatinya.Makanan sudah dingin, tapi aku enggan untuk memanaskan. Ketika melihat Mas Nizam nanti, bisakah aku berpura-pura seolah tidak mengetahui apa-apa?Apa aku bisa bersikap menjadi istri yang lebih baik, lalu meminta uang lebih darinya? Lalu, bagaimana dengan cinta yang selama ini sudah aku pupuk? Apa harus ikut layu?"Sayang!"Panggilan Mas Nizam yang datang tiba-tiba menyadarkan aku dari lamunan.Dia datang dengan terpogoh-pogoh tanpa mengucapkan salam. Padahal, sejak dulu dia yang
Sekarang pikiranku benar-benar hancur. Karena selain dikhianati Mas Nizam, aku juga ditusuk dari belakang oleh bibi. Kenapa aku tahu yang kirim pesan adalah bibi, karena panggilan yang disebut di sini adalah Ibu, bukan Mama.Padahal, sejak aku dewasa dan kerja, bahkan setelah aku menikah dengan Mas Nizam, aku selalu berusaha untuk mengirimkan uang padanya. Sedikit banyak, sudah aku lakukan.Akan tetapi, sekarang yang aku dapatkan sangat jauh dari kebaikan! Bibi bahkan menjelek-jelekkan aku di hadapan Mas Nizam. Apa sebenarnya yang diinginkan oleh Bibi?Apa dia memang menginginkan reputasiku menjadi jahat di hadapan Mas Nizam atau apa?Aku kembali menyimpan ponselnya, tapi tidak ke atas nakas, melainkan kembali sofa dekat tangan Mas Nizam. Agar nanti dia berpikir kalau dia sendiri yang membuka pesannya.Aku masuk ke dalam kamar dan melakukan salat malam sambil memohon kepada Allah, agar semuanya dimudahkan, dan dijauhkan dari bahaya.Untuk saat ini hanya menghadap Allah, aku bisa tenan
"Mas," panggilku membuat Mas Nizam menatapku kaget."Ah, Sayang, sejak kapan kamu di sana?" tanyanya sambil berjalan ke arahku dengan tatapan panik."Baru saja." Aku menjawab santai. "Ada beberapa hal yang ingin aku bicarakan denganmu, Mas. Bisa duduk dulu sebentar?" tanyaku dan dia mengangguk setelah beberapa saat.Mungkin dia sedang menimbang terlebih dahulu.Pria yang sangat aku cintai dan yang selalu membuatku bahagia hingga membuat hidupku bermakna, ternyata dia juga yang menorehkan luka, dan membuatku ingin memejamkan mata, lalu menghilang dari dunia.Kenapa kamu begitu tega, Mas? Apa aku dan Kanaya sudah tidak ada lagi di hatimu? "Apa itu?" tanyanya sambil terlihat kebingungan. Aku yakin saat ini dia gelisah, karena takut aku mendengar beberapa hal yang tidak seharusnya aku dengar."Mas duduk dulu saja, aku akan membuat teh hangat dulu, agar kita bisa bicara dari hati ke hati," ucapku dengan senyuman yang tidak pernah hilang.Walau nanti aku pergi, aku tetap tidak ingin bermus
"Jangan bicara sembarangan," sentak Mas Nizam dengan wajah garang, bahkan rahangnya ikut mengeras.Aku tersenyum tipis seraya bertanya, "Kita siapa, Sis? Bukankah selama ini yang menjadi temanmu hanya aku?"Mereka terlihat gelagapan, tetapi tidak dengan mama mertua. Dia malah tertawa kecil, seolah di sini akulah yang berhak disalahkan."Kamu lupa kalau Siska dan Nizam itu rekan kerja, ya? Mereka bahkan menghabiskan waktu lebih lama daripada dirimu," jelasnya membuatku tersenyum getir.Aku akan menganggap ini merupakan tanda kalau mama merestui hubungan mereka dan lebih menyukai Siska yang menjadi menantunya, dibandingkan aku."Apa sih, Ma? Di antara kita tidak ada hubungan apa pun. Kalian hanya salah paham," jelas Mas Nizam cepat, sepertinya dia masih berusaha untuk menutupi semuanya.Baiklah kalau memang jalan ini yang dia pilih, aku akan mengalah, dan pergi dari kehidupan mereka setelah mendapatkan uangnya. Aku tidak mau mempertahankan pria yang lihai berbohong.Kenapa aku tidak mau