"Tapi aku tidak tahu dia Sukabumi mana." Rania kembali mendesah, lalu mengusap wajahnya kasar. "Coba tanya sama Mamang dan Bibimu."Aku tidak bisa merespon apa yang dikatakan Rania, karena pikiranku langsung tertuju ke ingatan beberapa tahun lalu ketika Rania memperkenalkan Siska Amelia."Dia Siska, teman kantorku. Insyaallah baik karena selama ini dia tidak pernah membuat kami kecewa sebagai rekan kerjanya," ucap Rania memperkenalkan.Aku pun menerima Siksa dengan senang hati dan kami bercerita tentang banyak hal. Dia berkata, "Saya dari negeri yang jauh, Teh. Enggak punya siapa-siapa untuk didatangi. Apalagi kedua orang tua saya sudah meninggal."Mendengar kisahnya yang menyakitkan dan hampir sama denganku, aku jadi bersimpati, dan selalu meminta Mas Nizam untuk mengajaknya sepulang dari kantor untuk makan di rumahku. Kalau saja di video barusan Siska tidak memanggil Mas Nizam dengan sebutan sayang, sudah pasti aku tidak akan mencurigai hubungan di antara keduanya."Dengar, Selena!
Dada ini kembali berdenyut kencang dengan napas tersengal. Kesakitan yang tidak pernah aku rasakan sebelumnya, kini aku alami. Dulu, aku selalu anti dengan novel-novel cerita rumah tangga yang menceritakan pertikaian suami istri, perselingkuhan, menantu dan mertua, sekarang aku sendiri yang berhadapan dengan kasus-kasus seperti itu.Bagaimana rasanya dikhianati teman yang sangat kita percaya? Rasanya bukanlah apa-apa jika dibandingkan sakit dikhianati oleh suami yang kita kira, hanya kita yang ada di hatinya.Makanan sudah dingin, tapi aku enggan untuk memanaskan. Ketika melihat Mas Nizam nanti, bisakah aku berpura-pura seolah tidak mengetahui apa-apa?Apa aku bisa bersikap menjadi istri yang lebih baik, lalu meminta uang lebih darinya? Lalu, bagaimana dengan cinta yang selama ini sudah aku pupuk? Apa harus ikut layu?"Sayang!"Panggilan Mas Nizam yang datang tiba-tiba menyadarkan aku dari lamunan.Dia datang dengan terpogoh-pogoh tanpa mengucapkan salam. Padahal, sejak dulu dia yang
Sekarang pikiranku benar-benar hancur. Karena selain dikhianati Mas Nizam, aku juga ditusuk dari belakang oleh bibi. Kenapa aku tahu yang kirim pesan adalah bibi, karena panggilan yang disebut di sini adalah Ibu, bukan Mama.Padahal, sejak aku dewasa dan kerja, bahkan setelah aku menikah dengan Mas Nizam, aku selalu berusaha untuk mengirimkan uang padanya. Sedikit banyak, sudah aku lakukan.Akan tetapi, sekarang yang aku dapatkan sangat jauh dari kebaikan! Bibi bahkan menjelek-jelekkan aku di hadapan Mas Nizam. Apa sebenarnya yang diinginkan oleh Bibi?Apa dia memang menginginkan reputasiku menjadi jahat di hadapan Mas Nizam atau apa?Aku kembali menyimpan ponselnya, tapi tidak ke atas nakas, melainkan kembali sofa dekat tangan Mas Nizam. Agar nanti dia berpikir kalau dia sendiri yang membuka pesannya.Aku masuk ke dalam kamar dan melakukan salat malam sambil memohon kepada Allah, agar semuanya dimudahkan, dan dijauhkan dari bahaya.Untuk saat ini hanya menghadap Allah, aku bisa tenan
"Mas," panggilku membuat Mas Nizam menatapku kaget."Ah, Sayang, sejak kapan kamu di sana?" tanyanya sambil berjalan ke arahku dengan tatapan panik."Baru saja." Aku menjawab santai. "Ada beberapa hal yang ingin aku bicarakan denganmu, Mas. Bisa duduk dulu sebentar?" tanyaku dan dia mengangguk setelah beberapa saat.Mungkin dia sedang menimbang terlebih dahulu.Pria yang sangat aku cintai dan yang selalu membuatku bahagia hingga membuat hidupku bermakna, ternyata dia juga yang menorehkan luka, dan membuatku ingin memejamkan mata, lalu menghilang dari dunia.Kenapa kamu begitu tega, Mas? Apa aku dan Kanaya sudah tidak ada lagi di hatimu? "Apa itu?" tanyanya sambil terlihat kebingungan. Aku yakin saat ini dia gelisah, karena takut aku mendengar beberapa hal yang tidak seharusnya aku dengar."Mas duduk dulu saja, aku akan membuat teh hangat dulu, agar kita bisa bicara dari hati ke hati," ucapku dengan senyuman yang tidak pernah hilang.Walau nanti aku pergi, aku tetap tidak ingin bermus
"Jangan bicara sembarangan," sentak Mas Nizam dengan wajah garang, bahkan rahangnya ikut mengeras.Aku tersenyum tipis seraya bertanya, "Kita siapa, Sis? Bukankah selama ini yang menjadi temanmu hanya aku?"Mereka terlihat gelagapan, tetapi tidak dengan mama mertua. Dia malah tertawa kecil, seolah di sini akulah yang berhak disalahkan."Kamu lupa kalau Siska dan Nizam itu rekan kerja, ya? Mereka bahkan menghabiskan waktu lebih lama daripada dirimu," jelasnya membuatku tersenyum getir.Aku akan menganggap ini merupakan tanda kalau mama merestui hubungan mereka dan lebih menyukai Siska yang menjadi menantunya, dibandingkan aku."Apa sih, Ma? Di antara kita tidak ada hubungan apa pun. Kalian hanya salah paham," jelas Mas Nizam cepat, sepertinya dia masih berusaha untuk menutupi semuanya.Baiklah kalau memang jalan ini yang dia pilih, aku akan mengalah, dan pergi dari kehidupan mereka setelah mendapatkan uangnya. Aku tidak mau mempertahankan pria yang lihai berbohong.Kenapa aku tidak mau
Pagi ini aku tidak memasak, ataupun melakukan aktivitas lain yang biasa kulakukan. Aku terus berbaring di dalam selimut sambil memeluk Naya."Dek," panggil Mas Nizam membuatku menyingkap selimut dan menatap ke arahnya yang sudah berdiri di depan pintu."Ya, Mas, kenapa?""Coba kamu ke sini dulu," pintanya dengan wajah melas.Aku terpaksa meninggalkan Naya dan posisi nyaman yang hangat ini untuk menghampirinya."Kenapa, Mas?" Kembali aku bertanya sambil membenarkan rambut."Bisa buatkan sarapan dulu, enggak? Hari ini Mas terlalu banyak pekerjaan, jadi sepertinya tidak akan sempat sarapan," pintanya. "Bisa enggak, Dek?"Panggilan "Sayang" yang dahulu selalu Mas Nizam gunakan untukku dan Naya, sepertinya kini sudah hilang. Tidak ada lagi kata itu, bahkan dalam beberapa hari aku memang sudah tidak mendengarnya lagi."Bisa, Mas." Aku berjalan ke arah dapur, lalu melihat persediaan kulkas yang ternyata sudah kosong. Aku lupa kemarin masak banyak dan tidak akan isi lagi karena aku akan beran
Beberapa jam kemudian, kami sampai di Bogor dengan sangat melelahkan, namun aku masih tidak mau mengganggu Nisa lebih dulu."Pak, bisa minta tolong masukkan barang-barang saja ke dalam?" pintaku pada Om Driver."Bisa, Bu. Sebentar!" Pria yang kutaksir baru berusia tiga puluh lima tahun itu keluar dari mobil dan berjalan ke arah garasi. "Mau di simpan di mana, Bu?" tanyanya lagi sambil memegang beberapa tas."Di sana, Pak." Aku sudah izin ke yang punya untuk tinggal di sini meskipun belum tanda tangan, katanya biar aku mencocokkan diri dulu. Kalau nyaman, boleh dilanjut. Kalau tidak, boleh cari rumah yang lain.Segera aku mengeluarkan ponsel dan menghubungi pemilik rumah agar segera ke sini.Benar saja, tidak sampai sepuluh menit, sebuah sepeda motor mendekat ke arah kami."Sudah lama, Bu?" tanyanya ketika melihatku berdiri di depan pintu rumah."Tidak, Bu. Baru saja." Aku segera mendekat ke arahnya, lalu mencium tangannya dengan takjib.MasyaAllah, padahal umurnya sudah lebih dari ena
"Sayang, kalau kamu melewatkan kesempatan begitu saja, Selena." Nisa tiba-tiba mendekat dengan mata yang sembab.Tidak mungkin kalau dia menangis karena melihat keadaanku sekarang, bukan?"Benar, sebagai suami temanmu, saya ingin yang terbaik. Tolong, setuju untuk bekerja sama dengan kami," pinta suaminya lagi dengan niat yang tulus.Aku bahkan bisa merasakan energi kebaikan dari setiap kata yang diucapkannya. Dia benar-benar tulus ingin membantuku. Walau usianya terlihat jauh berbeda denganku, tetapi tingkat kedewasaannya jauh lebih tinggi."Tolong pikirkan hal ini baik-baik, Selena. Bukankah kamu juga menginginkan status yang jelas?" tanya Nisa lagi dan aku hanya bisa mengangguk."Kamu sungguh mau berpisah dengan suamimu atau mau mempertahankan?" tanya suaminya."Ya, saya mau berpisah," ucapku sambil mengepalkan telapak tangan. "Dia sudah jarang salat. Kalau salat saja dia tinggalkan, berarti tidak menutup kemungkinan kalau nanti dia akan meninggalkan aku dan anakku.""Benar, Syaita