Share

Azril

Laki-laki lain? Kenapa membayangkannya saja membuatku marah?

Tidak, mungkin ini karena aku sudah lama bersahabat dengan Devina, jadi aku tidak menginginkan dia bertemu dengan lelaki sembarangan. Ya, pasti begitu.

"Benar kau tidak akan marah ketika hal itu terjadi?" Haris kembali melontarkan kata-kata seperti itu, padahal jelas sekali dia tahu jawabannya.

"Untuk apa aku marah, aku hanya perlu menyeleksi laki-laki mana yang pantas bersanding dengan Vina!" tegasku tanpa menatapnya.

"Menyeleksi pantas atau tidak, itu bukan urusanmu, tapi Devina sendiri. Karena kau juga tidak pantas untuk berada di sampingnya. Masa iya, tidak pantas, tapi menilai orang lain tidak pantas juga." Perkataannya kali ini bagai busur panah yang menusuk tiba-tiba ke arah jantung.

Apa selama ini aku sudah memperlakukannya dengan buruk? Padahal aku selalu mencari cara agar bisa menjadi sahabat yang baik, tidak sebagai suami.

Rasa jijik ketika dia menerima tawaran Mamaku untuk menjadi menantunya masih terasa. Seringkali aku muntah ketika teringat hal itu.

"Hoek!" Lagi, aku memuntahkan cairan putih. Selama beberapa hari ini, aku selalu saja mual. Rasanya sangat tidak enak.

"Kau itu! Kaya orang hamil aja." Haris mengejek, ya, hanya itu yang bisa dan biasanya dia lakukan.

"Aku sakit, jadi nanti pulang diawal untuk menemui Randi di rumah sakit." izinku.

"Pergilah, kau bosnya. Eh, lupa, papamu bosnya. Jadi kita harus izin kalau mau keluar." ledek ya lagi dan lagi.

Tanpa bicara lagi, aku memilih untuk fokus ke pekerjaan. Setelah selesai, aku langsung merapikan tempat kerja, dan izin ke sekretaris Papa untuk pergi ke rumah sakit untuk menemui Randi. Dia temanku dan Haris. Kami bertiga tumbuh bersama.

****

Setelah sampai di rumah sakit, aku selalu ingin pergi ke daerah kasir. Di sana, ada Nafisah yang sedang membantu budenya untuk menyiapkan makanan para tenaga medis.

Memang seorang istri idaman.

Rumah sakit ini adalah saksi aku mencintainya, kapan ia datang, aku pun tidak tahu. Tidak ada yang bisa menolak cinta.

Untung saja, pihak rumah sakit pun tidak ada yang tahu kalau aku sudah menikah. Kecuali Randi, karena dia awalnya di rumah sakit yang jauh dari sini, tapi dipindahtugaskan sekitar setahun yang lalu.

Dari kejauhan, aku bisa melihat gadis cantik jelita itu sedang mengantarkan pesanan orang-orang ke mejanya. Kalau Devina, mana mau dia melakukan itu.

Meskipun memakai gamis dan kerudung yang menjulur, itu sama sekali tidak menghalanginya untuk membantu budenya. Aku semakin takjub.

"Jaga matamu!" ucap seseorang yang terdengar tegas dan menakutkan. Sudah pasti dia adalah Randi. Untung saja dia tidak tahu kalau aku sudah menjalin hubungan dan berkomitmen untuk menikah dengan Nafisah. Kalau sampai tahu, habislah sudah.

"Iya, aku tahu."

"Mau apa ke sini?" tanyanya ketus. Seringkali aku heran kenapa orang ini bisa menjadi dokter, wajahnya datar, ucapannya makjleb ke hati. Gak enak banget.

Aku mengikuti langkahnya menuju ruangannya. Setelah sampai, dia langsung memintaku untuk duduk di ranjang pasien.

"Aku mau berobat, akhir-akhir ini seringkali mual dan memuntahkan cairan putih." ucapku lesu, karena kini sudah mulai terasa mual lagi.

"Mungkin kamu ngidam." ucapnya tanpa ekpresi.

"Mana ada!"

"Bisa jadi, Devina yang hamil, kamu yang ngidam." ucapnya membuatku seperti tersambar petir, tapi hati ini mendadak kembali tenang ketika mengingat aku selalu tepat waktu memberikannya obat penunda kehamilan.

Mau punya anak dariku? Mimpi!

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status