Share

Alasan Bertahan

"Bagaimana, kau sudah memikirkan apa yang aku katakan semalam?" tanya Azril dingin dan tajam, sama seperti sikapnya selama ini. Berbeda dengan sikap kepada Nafisah, padahal mereka baru kenal.

"Ya." jawab Devina sambil tersenyum. Ia bersikap seolah semalam tidak mendengar dan tidak terjadi apapun.

"Jangan selalu tersenyum begitu, aku muak!" ucap Azril tajam sambil memindahkan nasi ke piringnya.

"Tidak apa-apa, Mas. Maaf, aku sudah terbiasa." Devina tidak mempedulikan perkataan Azril yang bagai torehan sembilu jika dengar oleh seorang istri. Ia malah menganggap perkataan Azril adalah ucapan semangat untuk menjalani hari.

"Bodoh!" Azril mengeluarkan kata umpatan setelah mendengar suara wanita yang dibencinya mala selalu berbicara dengan tenang.

"Makan yang banyak, Mas." Devina memberikan beberapa lauk kesukaan suaminya, tapi Azril menolak.

"Apa motif di balik sikapmu selama ini?" tanya Azril yang selalu merasa kalau Devina selalu punya niat terselubung. Ketika masih bersahabat, mereka sangat dekat. Bahkan, Azril selalu menceritakan segala hal kepada Devina.

Namun, semua keharmonisan, kebersamaan, dan semua yang menjadi kenangan seakan lenyap ketika Devina menjadi istrinya. Bagi Azril, Devina jelas tahu kalau ia tak mencintai dirinya, tapi tidak dengan Devina.

"Apapun yang kau pikirkan, Mas. Anggap saja seperti itu." Senyum Devina semakin merekah dan Azril tidak suka itu.

"Stop lakukan hal seperti itu, kita bukan suami istri, Devina!" hardik Azril dengan mata yang tajam.

Devina yang akan segera menangis pun berusaha untuk tetap tersenyum. "Bawa Nafisah kembali, menikahlah di sini, Mas. Jika ia tak tahu kalau Mas sudah menikah, katakan saja kalau aku adalah pembantu di rumah ini." jelas Devina membuat Azril mengentikan aktivitas mengunyah makanannya dan menatapnya tajam.

"Apa maksudmu?"

"Izinkan aku berada di sisimu, setidaknya sampai aku benar-benar ingin pergi, Mas." Membicarakan kepergian pun Devina masih menyunggingkan senyumnya.

"Tentu saja! Hanya saja, apa kau tidak apa?" suara Azril tertahan, ia merasa gengsi harus bertanya seperti itu pada Devina yang selama ini dibencinya.

"Tidak apa-apa, ini kan keinginanku. Sudah siang, Mas. Sebaiknya kamu segera berangkat kerja." Setelah selesai makan, Devina mendorong Azril untuk keluar dari rumah.

Setelah laki-laki itu berada di luar, ia tak bersalaman seperti biasa. Devina langsung menangis setelah pintu terkunci. Ia menyandarkan tubuhnya pada pintu.

"Maafkan Mama, Nak. Mama gak bisa membuatmu berada di samping Papa lebih lama." lirihnya sambil mengusap perut beberapa kali.

Beberapa bulan yang lalu, Devina merasa aneh dengan minuman yang diberikan oleh Azril, sehingga membuatnya ragu untuk minum. Meskipun tidak tahu itu apa, tapi Devina lebih memilih untuk berpura-pura meminumnya di depan Azril, padahal ia tumpahkan ke samping tempat tidur. Terkadang juga ke plastik yang sudah siapkan sedari siang.

Semalam, ia mendengar Azril muntah-muntah. Berhubung pernah mendengar cerita beberapa temannya yang sempat hamil tapi suami yang mengalami ngidam, Devina pun mencoba untuk melakukan tes kehamilan dengan sebuah alat kecil.

Benar saja, benda kecil itu menunjukkan dua garis merah. Dalam artian, dirinya sedang mengandung, dan membuatnya ingin terus berada di sisi Azril.

Tidak ada niat sama sekali untuk memberitahu Azril, Devina malah membereskan semua pakaiannya agar bisa pergi ketika ingin.

Sementara di luar, Azril masih terdiam. Ia merasa heran dengan sikap Devina yang malah mendorongnya untuk cepat-cepat pergi. Padahal biasanya, dia akan merengek untuk menahannya, dan memaksa bersalaman. Namun, tidak dengan kali ini.

"Kenapa? Pagi-pagi sudah bengong!" Haris--sahabat sekaligus rekan kerjanya itu menepuk pundak Azril pelan.

"Devina, hari ini dia sangat berbeda." ucap Azril yang langsung menceritakan bagaimana istri yang tak diharapkannya itu hari ini.

"Kenapa? Apa kau sudah menceritakan tentang Nafisah?" tanya Haris yang juga tahu tentang wanita yang ingin dinikahi Azril.

"Ya, katanya aku bisa menikah dengan Nafis tanpa memedulikan keberadaannya. Dia bahkan bersedia dianggap sebagai pelayan." jelas Azril sambil memijat pelipisnya yang terasa berat.

"Mungkin dia sedang bersiap untuk pergi."

Azril tertawa. "Mana mungkin Devina mau berpisah dariku? Dia itu cinta mati padaku tahu."

Kini giliran Haris yang tertawa. "Kenapa kau yang resah? Bukankah ini bagus. Untuk kedepannya tidak ada lagi yang kau anggap sebagai lalat pengganggu dan dia juga bisa memiliki laki-laki yang benar-benar mencintainya." jelas Haris membuat Azril terdiam, ada rasa tidak rela di dalam hatinya ketika membayangkan Devina bersama dengan laki-laki lain.

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Zuriah Jamalin
Hanya satu kata BODOHHHHH...
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status