"Masuklah," titahnya.
Aku yang sejak tadi hanya bengong didepan pintu langsung masuk kedalam kamar mengikuti perintahnya."Kamu masih saja terkesima saat melihatku, apa aku begitu menawan," ucapnya sambil memelukku dari belakang begitu aku sudah berada di dalam kamar tersebut."Tentu saja tuan Alex, siapa yang tidak akan terkesima saat melihatmu. Kamu terlihat sempurna di mata wanita Indonesia."Pria yang sedang memeluk erat tubuhku itu hanya tertawa menanggapi ucapanku. Bibirnya memberikan kecupan ringan di pundakku."Aku bilang tidak suka di panggil tuan, itu tampak seperti aku sudah tua," protesnya.Aku hanya tertawa mendengar ucapannya. Dia seperti tidak sadar diri jika memang usianya jauh lebih tua dariku meskipun wajahnya tetap tampan dan rupawan. Tentu saja, usia tiga puluh tujuh tahun memang bukan usia orang tua."Mandilah, dan berganti pakaian. Aku sudah menyiapkan baju ganti untukmu di dalam lemari," titahnya sambil mengurai pelukannya."Apa tubuhku bau keringat?" tanyaku sambil mengendus tubuhku sendiri."Tidak, aroma tubuhmu tetap menggugah hasratku. Aku hanya ingin badanmu lebih segar setelah mandi. Kamu pasti lelah kan sepulang dari kampus," ujarnya.Aku menganggukkan kepala sebagai jawaban atas perkataannya. Pria itu langsung melepaskan pelukannya, dan membiarkan diriku untuk pergi ke kamar mandi. Akupun juga merasa tidak nyaman dengan badanku sendiri yang belum terkena air lagi sejak tadi pagi.Begitu selesai mandi, aku keluar dengan hanya memakai jubah mandi. Tadi aku lupa membawa baju yang katanya sudah di siapkan oleh Alex di dalam lemari.Aku berjalan menuju lemari untuk mengambil baju, namun belum sempat membuka lemari pakaian tersebut Alex sudah menarik tanganku dan membawaku ke sofa."Kita makan dulu," ujarnya sambil mendudukkan tubuhku di sofa tersebut.Di depan kami sudah terhidang makanan yang terlihat mengunggah selera. Sepertinya dia menggunakan jasa room service untuk mengantarkan makanan ke kamar saat aku mandi tadi."Aku belum memakai baju," ujarku sambil menengadahkan wajahnya kearahnya yang masih dalam posisi berdiri.Bahkan dia juga belum memakai bajunya. Dia masih seperti tadi saat aku datang ketempat ini."Sekali-kali bolehlah kita makan seperti ini," sahutnya sambil duduk di sampingku dan sekilas mengecup pipiku.Hari ini dia sepertinya nampak berbeda, dia memperlakukanku dengan kasih sayang. Walaupun sebenarnya tiap kali bertemu dia selalu memperlakukanku dengan baik tapi sepertinya hari ini dia sedikit berbeda."Bagaimana kuliahmu hari ini," tanyanya sambil menyuap makanan ke mulutnya."Seperti biasanya, tidak ada yang istimewa," jawabku asal.Mana ada yang istimewa jika kuliah sambil bekerja, yang dipikirkan hanya bagaimana bisa cepat lulus dan mendapatkan gelar. Lalu bisa bekerja di perusahaan yang keren seperti orang-orang pada umumnya.Dia memang mengetahui aku kuliah setelah beberapa bulan menjalin hubungan dengannya. Bahkan dia menambahkan uang bulanan untukku begitu dia mengetahui jika aku melanjutkan pendidikanku."Setelah kamu selesai dengan diriku, apa kamu akan tetap melakukan pekerjaan ini?" Alex bertanya sambil menatap kearahku.Tanpa melihatnya aku tahu dia sedang menatapku, aku bisa merasakan hembusan nafasnya menerpa pipiku karena kami duduk dengan posisi yang begitu dekat."Kamu pikir akan seperti apa? bukankah pekerjaan ini yang menjadi sumber penghasilanku," sahutku datar.Dia bukanlah orang yang bisa menjadi tempat curhat untukku, aku tidak akan mengatakan keinginanku padanya. Hubungan kami selama ini hanyalah hubungan saling menguntungkan. Tidak lebih dari itu."Aku tahu, diriku adalah yang pertama buatmu. Dan aku tahu kamu benar-benar tidak berkhianat dengan kontrak yang telah kamu tanda tangani. Bisa saja diluar sana kamu tetap melayani orang lain di belakangku, tapi nyatanya itu tidak kamu lakukan," tuturnya panjang lebar.Aku meletakan sendok yang sedari tadi aku pegang, aku menoleh dan menatap kearahnya."Apa kamu mencari tahu tentang diriku dan memata-matai aku selama ini? Kamu pikir aku akan mendustai dirimu?""Apa kamu marah?""Tidak, aku tidak berhak marah padamu. Siapalah aku, sejak saat kamu membayarku, maka sejak saat itu aku adalah wanita yang menjadi tawanamu," sahutku sambil tertawa."Apa kamu berpikir seperti itu?""Lalu apa yang bisa aku pikirkan selain itu?""Aku juga tahu kenapa kamu pergi dari desa dan meninggalkan ibumu. Itu karena kamu menghindari ayah tirimu kan, kamu di perlakukan tidak baik olehnya."Aku diam tidak menjawab pertanyaannya, kenapa dia mengorek diriku begitu jauh. Hingga dia tahu juga masa laluku, masa lalu yang tidak ingin aku ingat. Karena itu sangat menyakitkan.Mengingat hal itu, tiba-tiba mataku berembun. Pandanganku pada lelaki yang berumur jauh diatasku ini mengabur tertutupi oleh air mata. Sekali saja aku berkedip maka butir bening dari mataku pasti akan meluncur ke pipiku.Aku segera memalingkan wajahku agar dia tidak melihatku menangis, namun tanganku lebih cepat menangkup wajahku. Dia tidak membiarkan diriku berpaling darinya."Menangislah, kadang kala kamu perlu seseorang untuk berbagi perasaan denganmu," ujarnya pelan.Mataku berkedip hingga bulir bening itu akhirnya menetes di pipiku tanpa bisa di cegah lagi. Melihatku menangis, dia malah mendaratkan kecupan dibibirku. Entah kenapa kali ini aku merasakan hal yang berbeda, aku mulai terbawa perasaan. Mungkin karena aku melakukannya dalam keadaan menangis."Kamu bilang, hubungan kita tidak melibatkan perasaan. Untuk apa aku harus menangis di hadapanmu," ucapku dengan menahan sesak di dada."Aku menarik ucapku, sepertinya aku tertarik padamu. Aku menyukai wanita yang kuat dan penurut sepertimu," ujarnya sambil mengusap air mataku.Apa ini, kenapa dia seperti sedang merayuku. Hal yang tidak pernah dia lakukan selama ini, padahal kami akan berpisah tapi kenapa dia tampak berubah.Aku tidak tahu kehidupan pribadi lelaki ini, aku hanya bertemu dengannya saat dia ingin. Lalu setelahnya akan kembali berpisah tanpa ada hal yang istimewa. Dia juga tidak pernah mengatakan kehidupan pribadinya padaku. Dia pria beristri atau lajang, tapi mengingat usianya bisa saja dia sudah beristri.Seperti perkataannya sejak awal kami bertemu, jika hubungan kami hanya hubungan saling menguntungkan saja. Dia butuh tubuhku dan aku butuh uangnya."Ikutlah denganku," ucapnya sambil menatapku dengan iris matanya yang biru."Ikut kemana?" tanyaku tidak mengerti."Ke negaraku, aku ingin kita selalu bersama," ucapnya lagi.Apa aku tidak salah dengar, dia ingin membawaku bersamanya. Sebagai apa, simpanan juga.***"Mbak, kenapa harus aku yang jadi sekretaris pribadinya?" tanyaku pada Mbak Aira. "Lalu siapa lagi, masa aku? kalaupun mencari orang baru butuh waktu, jadi lebih baik kamu saja. Kamu ini gimana sih, orang-orang senang naik jabatan, kamu malah pakai bertanya," tutur Mbak Aira panjang lebar. Entah kenapa, aku merasa tidak nyaman saja menyandang status itu. Padahal semua orang di kantor ini juga baik-baik semua. "Orangnya baik gak, Mbak?" tanyaku pada temanku itu. "Baik, bule lagi."Memangnya kenapa kalau bule, ada-ada saja Mbak Aira ini. Aku memang belum pernah bertemu dengannya, hanya saja namanya sama seperti orang yang pernah ada dalam masa laluku. Ah mungkin nama itu termasuk nama pasaran. Saat atasan baru kami itu datang pertama kali untuk mengenalkan diri, saat itu aku sedang mengambil cuti karena kematian ayah mertuaku. Harapanku yang menginginkan agar atasanku tersebut adalah bukan orang yang aku kenal ternyata hanyalah sebuah harapan. Satu hari sebelum aku bertemu dengan
Setelah mendapat apa yang kunginkan, aku segera kembali ke cafe, tidak mau membuat Mentari menunggu terlalu lama. Dua buah alat perekam suara dengan ukuran sangat kecil telah aku dapatkan, aku akan menyimpannya di dalam tas kerja istriku. "Apa aku terlalu lama meninggalkan dirimu?" tanyaku pada Mentari yang dengan setia masih menungguku di dalam ruanganku. "Tidak, Mas. Mau pulang sekarang?" "Ayo!" Tanpa beristirahat lagi, aku dan Mentari keluar dari ruanganku dan berjalan beriringan keluar cafe. Tujuan kami adalah pulang ke rumah. Seperti biasanya, sesampainya di rumah kami akan membersihkan diri secara bergantian di kamar mandi. Namun jika sedang ingin, kami akan menghabiskan waktu cukup lama di dalam kamar mandi berdua. "Mentari, tolong ambilkan handuk. Ketinggian," teriakku dari dalam kamar mandi. Tadi aku lihat istriku itu sudah menyiapkan handuk di atas tempat tidur, namun aku sengaja tidak membawanya. Untuk apa lagi coba, tentu saja agak aku bisa memanggilnya dari dalam k
Wanita yang Merindukan SurgaPOV Bagas"Mas, aku hari ini nggak usah dijemput, aku akan ke cafe sendirian baru kita pulang bareng," Begitulah yang di katakan Mentari saat menelponku tadi siang saat jam makan dan istirahat. Aku sebenarnya tidak mau istriku itu jalan sendirian pulang kerja, kebiasaan mengantar dan menjemputnya, bagiku seperti sebuah pekerja, seperti sebuah rutinitas. Aku melakukannya dengan senang hati, tapi sepertinya kali ini dia ingin pulang sendiri. Katanya ingin menikmati kendaraan umum lagi. Ada-ada saja, biasanya orang menikmati kemudahan, ini malah ingin mengulang masa-masa sulitnya dulu. Ketukan pintu membuyar lamunanku. "Masuk!" Seruku dari dalam.Seorang karyawan wanita masuk ke dalam ruanganku."Pak, ada tamu yang mencari Bapak. Namanya Pak Galang." Galang, untuk apa dia ke sini menemuiku. Aku sudah memutuskan hubungan dengannya saat dia melakukan hal yang tidak seharusnya dilakukan pada istriku. Bahkan aku memutuskan hubungan bisnis, aku mengambil alih
Seminggu sudah berlalu dari kepergian bapak mertuaku, Mas Bagas terlihat masih belum bisa menerima kenyataan itu. Aku tahu rasanya kehilangan orang yang kita sayangi, meskipun saat itu aku masih kecil, tapi rasa sakitnya masih bisa aku rasakan hingga sekarang. "Mas, kalau kamu masih mau disini bersama ibu, disinilah dulu. Aku akan kembali ke kota sendiri. Nanti aku yang akan melihat dan mengecek keadaan cafe di sana sepulang kerja." Aku berkata sambil membereskan baju-baju kami. Melihat Mas Bagas tidak bersemangat saat bekemas, membuatku mengatakan hal tersebut.Bukan tanpa alasan aku harus segera kembali ke kota. Aku sudah menambah masa cuti dengan alasan kematian mertuaku. Rasanya aku tidak bisa lagi menambah liburan di sini, apalagi hingga menunggu empat puluh hari wafatnya mertuaku. "Nggak apa-apa, mas akan pulang juga. Mana mungkin aku tega membiarkan dirimu pergi sendirian?" Tolak Mas Bagas, tidak setuju dengan ideku."Aku dulu terbiasa kemana-mana sendiri jadi tidak masalah.
Aku terbangun dari tidur seorang diri, kemana perginya suamiku. Tadi setelah makan siang, kami beristirahat dan tidur siang. Mas Bagas yang kelelahan langsung tertidur pulas begitu tubuhnya bersentuhan dengan bantal. Sedangkan aku perlu waktu lebih lama hingga akhirnya mataku bisa terpejam. Aku segera bangkit dari tempat tidur dan keluar dari kamar, mencari dimana suamiku berada atau mungkin bisa membantu kesibukan mertuaku dan mengakrabkan diri dengan wanita yang sudah melahirkan suamiku. "Dia anak tunggal, kamu anak tunggal. Bagiamana jika kalian susah punya anak?" terdengar suara ibu mertuaku berbicara dengan Mas Bagas. Suara itu terdengar dari arah ruang tamu. Aku yang sudah keluar dari kamar akhirnya urung untuk mendekat pada mereka karena mendengar perkataan itu. Aku lebih memilih untuk berdiri di tempatku, entah untuk menguping atau karena kakiku enggan melangkah meninggalkan tempat ini. "Mana ada hubungannya Bu," sahut Mas Bagas. "Buktinya, sampai sekarang dia belum hamil
"Apa aku perlu ikut, mas?" tanyaku pada Mas Bagas saat dia hendak pergi ke cafe. Mungkin Mas Bagas hendak menemui Pak Galang atau menyelesaikan pekerjaan kemarin yang belum selesai. "Tidak perlu, mas gak mau kamu ketemu dengan laki-laki itu. Kamu tungguin di kamar saja ya? bosan gak? apa mau jalan-jalan?" "Nggak mas, aku di kamar saja." "Aku akan cepat kembali," ucapnya sambil mencium keningku sebelum pergi. Seharusnya aku ikut dengannya seperti rencana awal Mas Bagas memperkenalkan aku pada usahanya di kota ini, namun kejadian kemarin membuat semuanya jadi berantakan. Kenapa juga Pak Galang dan Mas Bagas harus berteman. Setelah kepergian Mas Bagas, aku memilih untuk bersantai didalam kamar. Bermain dengan smartphone milikku dan menonton film kesukaanku. Hal yang sudah lama sekali tidak pernah aku lakukan karena kesibukanku. Seharusnya saat ini akupun juga sibuk, namun nyatanya Mas Bagas memintaku untuk beristirahat saja. Aku menonton film hingga selesai beberapa judul, hingga