"Kenapa orang tuamu memberi nama Mentari?" tanya mas Rayyan sore itu. Seperti biasa, kami akan menghabisi waktu bersama di taman kota setelah pulang kerja dihari Sabtu. Hubungan kami sudah berjalan selama satu bulan, selama itu kami pulang pergi bersama. Kadang kala pria itu mampir ke kosanku saat kami pulang kerja bersama untuk mencoba masakanku. Di kosan itu tidak ada larangan teman pria datang, dengan syarat tidak lewat jam malam dan tidak menutup pintu kamar jika ada tamu datang. Hanya jika hari Sabtu saja kami pergi keluar agar tidak kemalaman saat pulang. Kami lebih banyak menghabiskan waktu bersama di taman, dan tempat terbuka lainnya. Menghindari hal-hal yang mungkin terjadi seperti waktu lalu saat hujan turun dengan deras. Mungkin aku memang bukan wanita yang baik dan sudah pernah melakukan hubungan badan berkali-kali, tapi aku tidak ingin membuat mas Rayyan terjerumus melakukannya denganku."Ibu bilang agar aku menjadi wanita yang bersinar seperti Mentari. Tapi sepertinya
Aku masih terus berusaha mencari waktu yang tepat untuk berbicara dengan Mas Rayyan tentang masa laluku menjadi wanita simpanan, sebelum Pak Bagas yang akan mengatakannya entah dengan cara bagaimana. Namun sepertinya waktu tidak berpihak padaku, baik Mas Rayyan maupun aku sangat sibuk menjelang akhir tahun seperti ini. Bahkan mas Rayyan sering kali lembur dan kami tidak bisa pulang bersama, tidak juga punya waktu untuk pergi berdua di hari Sabtu seperti biasanya. "Maaf ya, kita gak bisa pulang bareng beberapa hari ini. Mas masih sibuk," ucapnya siang itu saat makan bersama. Kami hanya makan berdua saja, mbak Aira sedang keluar kantor bersama atasan kami. "Tidak apa-apa mas, kamu fokuslah bekerja. Aku tahu semua orang sibuk saat ini termasuk aku," jawabku sambil tersenyum. "Setelah ini kita bisa libur bersama," ucapnya sambil tersenyum padaku. "Aku tidak sabar ingin bertemu dengan ibumu," lanjutnya lagi. Aku tersenyum getir mendengar perkataannya, membayangkan sebuah kekecewaan y
Aku terbangun disebuah kamar dengan cat berwarna putih tulang. Mataku segera memindai ruangan, disampingku tampak tertidur dengan pulas pria yang tadi membawakan, Pak Bagas. Dengan panik segera kubuka selimut yang menutupi tubuhku, aku menarik nafas lega saat melihat pakaianku masih melekat dengan lengkap dibadanku. Perlahan aku membalikkan tubuhku, tertidur miring dan menghadap pada Pak Bagas yang matanya terpejam, seakan-akan tak punya beban setelah membuat hidupku dalam kekacauan.Dia pria yang tampan dan mapan, tapi sudah beristri. Lagi pula kemapanannya karena keluarga isterinya itu. Andai saja dia belum beristri, mungkin saja aku akan jatuh hati padanya. Selama ini dia memperlakukan diriku dengan baik, meksipun dia membayar tubuhku. Aku dikejar-kejar oleh pria beristri tapi dicampakkan oleh pria lajang. Apa takdirku hanya akan menjadi wanita simpanan, wanita ke-dua, atau wanita penggoda. Tidak, aku tidak akan terjebak lagi dengan situasi seperti itu. Jika tidak ada laki-laki l
Dengan geram aku mendorong tubuh Pak Bagas hingga terpental menjauhiku. "Plakk, plakk!" Dua tamparan mendarat dipipi pria itu kanan dan kiri. Pak Bagas terlihat shock dan terdiam dengan apa yang aku lakukan padanya. Tangannya memegangi pipinya yang mungkin saja terasa sakit. Aku pun tidak menyangka dengan reaksiku baru saja. Ya Allah aku menampar pria itu, ibu bilang semarah apapun jangan pernah mendaratkan pukulan pada wajah seseorang. Wajah adalah bagian tubuh yang dimuliakan, jika hendak memukul pilihlah bagian tubuh yang lain. "Ma-maaf," lirihku. "Aku akan turun disini." Saat aku hendak membuka pintu mobil lagi-lagi pria itu menarik tubuhku, membawaku dalam dekapannya. "Aku yang harusnya minta maaf. Lakukan apapun padaku, kamu boleh memukulku dan meluapkan amarahmu tapi jangan menangis. Aku tidak suka melihatnya, aku juga sedih jika melihatmu seperti ini." Aku malah semakin ingin menangis, meluapkan semua beban yang ada didalam hatiku. Badanku terguncang dalam dekapannya,
"Kamu ikut denganku karena pria itu?" tanya Pak Bagas. "Apa perlu aku jawab?" Aku balik bertanya."Sampai kapan kamu akan memikirkan pria itu, Mentari?""Aku sudah melupakannya." Kami sama-sama terdiam, sibuk dengan pikiran masing-masing sambil menatap jalanan yang semakin padat merayap. Hari ini memang beberapa karyawan pulang lebih telat dari biasanya, aku sendiri pulang setelah salat Ashar. "Kita mau kemana Pak?" tanyaku memecah keheningan. "Bagaimanapun jika makan malam, sudah lama aku tidak pernah makan denganmu." Aku tidak menanggapi ucapan Pak Bagas, biarlah jika pria ini ingin mengajakku makan malam. "Pak, mampir dulu ke masjid didepan itu," ucapku menunjuk bangunan masjid dengan cat warna hijau muda. "Ngapain?" tanyanya seakan tidak mengerti. "Bentar lagi Maghrib, lebih baik kita nunggu Maghrib di tempat itu dulu," jawabku datar. Orang ke masjid ya untuk salat, gak mungkin mau belanja. Begitu saja pakai tanya. Saat ini, aku mulai rajin kembali kewajiban lima waktu. J
"Siapa pria yang kemarin menjemputmu?" tanya Mas Rayyan. Kami sedang mengobrol sambil menikmati makanan yang sudah terhidang di depan kami. "Pria yang sama dengan yang mas lihat divideo itu," jawabku apa adanya. Entahlah, aku tidak akan menutup-nutupi apapun. Aku akan menjawab semua pertanyaan meskipun sekarang dia tidak berhak tahu dengan kehidupanku lagi. Entah kebohongan atau kejujuran yang akan keluar dari mulutku nantinya. "Kalian masih berhubungan?" "Awalnya tidak, sudah lama aku meninggalkan dunianya. Namun dia datang lagi dan membuat kekacauan dalam hidupku, hidup yang aku pikir akan baik-baik saja. Setelah mengacaukannya sepertinya dia ingin memperbaikinya, setelah membuatku dalam kesedihan nampaknya dia ingin menghiburku," tuturku panjang lebar sambil mengaduk-aduk nasi dalam piringku. Entah bagaimana bisa aku begitu tenang menghadapi pria didepanku ini. Menjawab pertanyaannya dengan sangat santai. "Aku minta maaf sudah menyakitimu waktu itu. Seharusnya aku tidak berk
Dengan senyumnya yang menawan, Pak Bagas langsung meraih hand bag milikku dan membawanya. Apa-apaan ini, dia ingin membawakan tasku. Tidak ingin berebut dengannya akhirnya aku mengalah juga. "Jadi benar Pak Bagaskara calon suami kamu, Ri?" tanya mbak Aira padaku. Aku binggung hendak menjawab apa, bagaimana bisa tiba-tiba saja Pak Bagas mengaku seperti itu. Mas Rayyan tampak memandangku seperti meminta jawaban. "Kita bukan siapa-siapa lagi mas, jadi apa pedulimu dengan semua ini," ucapku dalam hati. "Ri, ditanya kok malah bengong sih?" ucap Pak Bagas mengagetkan diriku. "Menurut Mbak Aira, kami cocok tidak jadi pasangan suami istri?" Aku balik bertanya.Pertanyaan konyol macam apa ini, masa malah bertanya seperti itu pada orang lain. Biarlah daripada aku menjawab iya atau tidak.Tak habis pikir aku dengan Pak Bagas, apa dia tidak memikirkan dampak yang akan aku terima setelah pengakuannya ini. "Cocok saja, Pak Bagas terlihat dewasa dan kamu terlihat apa adanya. Mungkin saja beliau
Mendengar perkataan pak Bagas, refleks tanganku melingkar dipinggangnya dan memeluknya dengan erat. Ada rasa nyaman menelusup didalam hatiku. Cukup lama aku terisak dengan posisi seperti itu."Mentari, kalau kita seperti ini terus sepertinya aku tidak bisa menahan diriku," lirih pak Bagas. Menyadari situasi itu, aku segera mendorong tubuhnya hingga lelaki yang sedang memelukku itu terjengkang ke belakang. "Aduh!" pekiknya. "Kamu ini pendekar wanita atau semacamnya, sih. Kuat banget tenaganya." "Bapak yang mulai duluan," sunggutku kesal. "Aku yang mulai ngapain? kan kamu yang mulai menangis duluan. Aku hanya mengikuti naluri lelakiku, saat melihat wanita menangis.""Oh, jadi Bapak akan memeluk semua wanita yang menangis gitu?" "Bukan begitu, Mentari. Iissh, sudahlah lupakan. Jadi bagaimana lamaranku tadi?""Lamaran yang mana?" tanyaku pura-pura tidak mengerti. "Udah sana pulang, kan sudah selesai shalatnya," usirku. "Tega sekali kamu mengusirku. Ini masih sore, baru jam enam lew