Home / Rumah Tangga / WARISAN YANG DIRAMPAS / 6. Aku Juga Butuh Uang

Share

6. Aku Juga Butuh Uang

Author: Tetiimulyati
last update Last Updated: 2023-06-19 16:53:18

Pagi ini Mas Fikri berpamitan untuk mencari pekerjaan di pasar seperti biasa. Katanya mau sambil nanya-nanya pada orang pasar, mencari tempat tinggal untuk kami. Uang yang dari Bapak dan Emak kemarin, rencananya memang akan kami belikan rumah dulu. Juga untuk modal Mas Fikri memulai usahanya kembali. Jika ada sisa, kami ingin membeli kendaraan yang layak.

"Doakan Mas secepatnya bisa mendapatkan tempat tinggal, ya, Dek," ucap Mas Fikri ketika sedang bersiap pergi.

"Ya, Mas. Tidak apa-apa sederhana juga, yang penting milik kita sendiri dan bisa buat buka bengkel lagi."

"Iya, Dek. Meskipun saat ini ada saja rezeki di pasar, namun rasanya kurang sreg aja. Karena itu belum bisa dibilang sebagai pekerjaan tetap."

Setelah Mas Fikri pergi ke pasar sambil sekalian mengantar Naya ke sekolah, aku pun mulai mengerjakan pekerjaan rumah yang tersisa. Tapi semua itu urung aku lakukan ketika Mbak Ira menghubungiku.

Aku malah teringat semalam ketika Mbak Ira marah-marah ditelepon lantaran sebagian ikan bakarnya gosong.

"Kamu sengaja, ya, membuat ikan-ikan ini gosong, karena ingin mempermalukan kami di depan teman-temannya Reno?!" Suara Mbak Ira semalam terdengar sangat marah.

"Tidak juga, Mbak. Bukankah aku sudah bilang kalau aku harus pulang sebelum hari gelap. Apalagi tadi Mas Fikri sudah mengabari kalau Nisa rewel. Salah Mbak sendiri, memaksaku mengerjakannya."

"Sejak kamu pulang kampung kemarin, kamu berubah, Nur. Jadi berani membantah dan melawan!" Itu yang dikatakan semalam oleh Mbak Ira.

Jelas saja aku berubah lantaran dengan uang yang kudapatkan dari mertuaku itu, aku seperti punya kekuatan untuk melawan. Karena saat ini hidupku tidak akan tergantung pada Abang-abangku. Meskipun kemarin-kemarin juga aku hidup mandiri dari bengkel itu.

Karena asyik melamun panggilan pertama dari Mbak Ira terlewatkan, hingga disusul lagi dengan panggilan kedua dan aku terpaksa mengangkatnya, meskipun tahu itu adalah perintah.

"Kamu ke sini jangan terlalu siang, Nur. Nanti pekerjaanmu nggak bener lagi seperti kemarin dengan alasan yang cepat-cepat pulang!" Suara Mbak Ira terdengar melengking.

Benar saja, Mbak Ira meminta aku ke rumahnya lagi. Seperti tempo hari dia pernah bilang ketika aku di kampung, bahwa aku harus membereskan rumahnya sebelum pesta dilaksanakan.

"Aduh Mbak, kayaknya aku nggak bisa. Soalnya hari ini ada tetangga kontrakan yang memintaku cuci gosok, bayarannya lumayan." Aku berbohong untuk mengindari pekerjaan di rumah Mbak Ira. Masih mending kalau hanya kerja, ini selalu ditambah dengan caci maki.

"Oh, jadi sekarang kamu sudah bisa membantah dan memilih?!"

"Maaf saja, Mbak. Aku bekerja butuh uang. Mulai saat ini tenagaku tidak akan kubuang sia-sia, sebab anak-anakku perlu jajan dan biaya sekolah. Sementara usaha Mas Fikri dipaksa berhenti. Di samping itu harta warisan yang seharusnya menjadi milikku juga ditahan, jadi aku terpaksa harus bekerja keras."

"Memangnya tetanggamu itu berani bayar berapa untuk cuci gosok?"

Kena, deh!

"100.000 sampai jam 11.00 aja. Bagaimana, apa Mbak berani bayar lebih dari itu?"

"Kamu memeras, Nur?"

"Bukan memeras, Mbak. Tapi aku butuh uang untuk bayar kontrakan rumah."

Untuk sesaat Mbak Ira tidak berkata apapun, sepertinya dia sedang berpikir untuk menanggapi cerita fiksi yang barusan aku sampaikan. Yang sebenarnya tidak ada tetangga yang menyuruhku cuci gosok, apalagi yang berani membayar 100.000 dalam beberapa jam saja. Semua itu aku lakukan supaya Mbak Ira bisa lebih menghargai tenagaku.

"Bagaimana, jadi Mbak mau cari orang lain saja?" Aku memancingnya.

"Baiklah, aku bayar kamu 100.000, tapi sampai jam 12.00. Ini harga saudara, loh. Kamu kasih diskon satu jam." Bukannya mau membayar lebih, Mbak Ira malah menawar, dasar perhitungan.

Aku hampir terbahak mendengarnya. Negosiasi yang diajukan oleh Mbak Ira terdengar lucu sekaligus miris. Ternyata pancinganku berhasil juga, meski dia masih menawar. Sudah kubilang, mulai saat ini aku tidak akan tinggal diam dan Mbak Ira tidak bisa semena-mena menindasku lagi.

"Ya Mbak, tidak apa-apa. Tapi aku engga langsung berangkat sekarang karena Nisa masih sarapan." Aku beralasan anakku masih sarapan, padahal aku ingin membereskan dulu pekerjaan yang tertinggal. Nisa tadi sudah sarapan bersama Naya sebelum pergi ke sekolah.

***

Satu jam kemudian, setelah menelepon Mas Fikri untuk berpamitan, aku sudah berangkat ke rumahnya Mbak Ira dengan mengendarai sepeda kesayanganku. Lumayan capek juga menempuh jarak 4 km dengan mengayuh sepeda sambil membawa Nisa. Tapi tak apalah demi uang 100.000 yang akan kudapatkan.

Tanpa beristirahat dulu, Mbak Ira sudah menyuruhku membereskan rumahnya. Mulai dari menata barang-barang yang tidak terpakai dan menaruhnya di gudang, lalu menggeser beberapa benda supaya ruangan terlihat lebih luas.

"Kenapa si Fikri tidak ikut? Bukankah kemarin Mbak sudah bilang kalau kamu ajak sekalian si Fikri daripada di rumah nganggur."

"Mas Fikri bekerja, Mbak."

"Kerja di mana?"

"Di pasar."

"Jadi kuli angkut?"

"Apa saja, Mbak. Yang penting jadi duit dan anak-anak masih bisa jajan."

"Ya sudah, kalau begitu terpaksa kamu kerjakan sendiri. Kemarin Mbak menyuruh Si Fikri datang supaya kerjamu ringan." Mbak Ira hampir berlalu ketika aku membernya pertanyaan.

"Lagian kenapa Mbak Ira mengadakan pesta di  rumah, 'kan zaman sekarang sudah biasa mengadakan pesta di gedung."

"Kamu pikir pesta di gedung itu gratis?" Kakak iparku itu spontan berbalik.

"Mbak Ira 'kan banyak uangnya. Gaji Bang Usman setiap bulannya pun sudah besar, ditambah lagi uang dari hasil penjualan rumah dan bengkel. Apa itu tidak cukup?" tanyaku lagi sembari menggeser sebuah lemari yang agak kecil agar merapat ke dinding.

"Sebenarnya cukup, tapi kalau kami mengadakan pesta di gedung, nanti para tamu tidak akan tahu rumah kami yang mewah ini. Toh, halamannya luas, jadi bisa mendirikan tenda di sana," ucap Mbak Ira dengan sombongnya. Jadi itu alasannya mengadakan pesta di rumah?

"Asal jangan lupa saja, setelah pesta selesai aku juga membutuhkan uang itu untuk membeli rumah dan memulai lagi usaha Mas Fikri." Aku menghentikan aktivitasku untuk meliriknya.

"Kamu tenang saja, setelah pesta nanti uangmu Mbak berikan. Mbak yakin akan mendapatkan untung yang besar dari pesta itu, soalnya yang datang 'kan teman-teman kantor Bang Usman juga teman-teman sosialita Mbak. Mereka 'kan kaya-kaya, pasti isi amplopnya gede-gede." Kali ini Mbak Ira berkata sambil berkacak pinggang.

Intinya, Mbak Ira membanggakan teman kantor Bang Usman juga teman sosialitanya.

Pekerjaan yang kukira akan selesai pada jam dua belas, ternyata tak kunjung rampung. Itu karena Mbak Ira terus menambah daftar pekerjaan yang harus kukerjakan. Beruntung Nisa anteng, itu karena sudah biasa kubawa ke sini dan disambi kerja.

"Ini sudah sampai jam 12.00 loh, Mbak. Sementara pekerjaannya terus nambah." Akhirnya aku protes, sebab kalau tidak begitu makan Mbak Ira akan terus semena-mena.

"Ya sudah, apa salahnya sih, kamu lanjutkan sampai sore?! Toh, Nisa juga dari tadi anteng, makan terus."

Ya jelas anteng dan makan terus karena aku sengaja membawa camilan yang kubeli di perjalanan tadi. Tahu kalau Mbak Ira itu pelit, tidak menyediakan makanan untuk kami.

"Tapi 'kan perjanjiannya 100.000 sampai jam 12.00, Mbak."

"Bener-bener mata duitan, ya, kamu! Kerjakan sampai sore, nanti Mbak tambahin 50.000!"

"Loh, kok 50.000?"

"Terus mau berapa? Itu juga udah kemahalan, kok. Kerja seharian hanya untuk beres-beres aja udah kaya kerja orang kantoran!"

"Kalau Mbak berpikir kerjaanku ini enteng, kenapa tidak dikerjakan sendiri?" Aku tak enak karena Mbak Ira seakan menyepelekan pekerjaan ini.

"Eh, bener-bener ya, kamu sudah bisa melawan sekarang?" Mbak Ira melebarkan matanya.

"Ingat, Mbak. Pesta pernikahan itu aku yang biayain. Jadi Mbak jangan belagu!" Aku semakin berani melawan Mbak Ira.

"Nurma!!"

"Ada apa ini?!"

Aku dan Mbak Ira seketika menoleh ke arah sumber suara Bang Usman, rupanya kakak sulungku itu pulang di jam istirahat.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • WARISAN YANG DIRAMPAS    82. Balasan dari Tuhan

    Usman pun harus bisa menerima kenyataan bahwa komunikasinya dengan Zara yang merupakan istri simpanannya, juga anak mereka tidak sebebas dan selancar dulu. Pasalnya sekarang ada anak-anak yang mengawasinya. Meski begitu sekali-kali dia masih bisa menghubungi Zara. Tapi beberapa hari ini wanita itu sangat sulit dihubungi. Usman pun pasrah jika Zara berpaling dan menemukan pria lain yang bisa melindunginya. Usman harus bisa menerima bahwa dirinya hanya seorang pria penyakitan yang tinggal menunggu ajalnya saja. Meskipun hatinya sakit, mau tidak mau Usman harus merelakan."Pegi agi .... ?" Tanya Usman pada Ira yang malam itu sudah rapi berpakaian. Ira sekarang terlihat lebih cantik dari dulu, alasannya karena tuntutan pekerjaan. Meskipun Usman curiga bukan semata-mata karena itu, tapi untuk menyenangkan pria lain. Lagi-lagi pria itu hanya bisa meringis di dalam hati. "Iya, Pa. Kebetulan malam ini Mama ada jamuan dari rekan bisnisnya bos."Usman membuang napas berat, meskipun alasan yan

  • WARISAN YANG DIRAMPAS    81. Warisan

    Pov authorSiang itu Nurma mendapat banyak informasi dari Hesti mengenai kondisi Nuning ketika mengandung dan melahirkan dia. Selama kehamilannya, Nuning sangat tertekan oleh teror yang terus dikirimkan anak-anaknya Rahman. Berkali-kali Nuning meminta Rahman untuk meninggalkannya dan kembali pada istri pertamanya lantaran Nuning sudah lelah dengan serangan anak sambungnya. Akan tetapi, Rahman menolak. Selain karena ia terlanjur menyayangi Nuning, dia juga tidak mau meninggalkan wanita itu dalam keadaan hamil tua."Apa seandainya aku sedang tidak hamil, Kang Rahman mau meninggalkan aku?" tanya Nuning sambil mengusap perutnya yang semakin membesar."Tolong jangan bahas soal itu. Aku mengakui ini kesalahanku, tapi anak itu harus lahir di tengah keluarganya yang utuh." "Anak ini seharusnya tidak ada, hingga aku tidak perlu terikat pada Kang Rahman."Saat itu keadaan Nuning bisa dikatakan depresi hingga ia melahirkan seorang bayi perempuan yang cantik dan setelah itu Nuning mengalami bab

  • WARISAN YANG DIRAMPAS    80. Kisah Ibu

    Pov NurmaSebelum subuh Ibu sudah bangun. Ketika aku turun, bahkan Ibu sudah berada di dapur. Sepertinya dia akan menyiapkan sarapan. Ada rasa tidak enak melihatnya harus sibuk pagi-pagi buta di rumah anaknya sendiri."Biar aku saja, Bu. Ibu duduk saja, ya. Sekarang 'kan sudah ada aku, Ibu tidak perlu bekerja lagi." Tak tega aku melihatnya harus mengerjakan pekerjaan rumah."Tidak apa-apa, Ibu sudah biasa mengerjakannya. Jadi kalau Ibu diam saja malah merasa tidak enak," jawabnya bersemangat."Ya sudah, tapi Ibu jangan mengerjakan yang berat-berat, ya."Aku tidak ingin mematahkan semangatnya, yang penting Ibu tidak merasa tertekan. Akhirnya kubiarkan dia mengerjakan sebagian pekerjaan, meskipun tetap saja aku yang dominan. Mungkin dengan cara itu Ibu bisa sedikit terhibur, menghabiskan waktu bersamaku yang selama tiga puluh tahun ini tidak pernah dia dapatkan."Siapa yang menyukai kerupuk?" tanya ibu ketika melihat satu toples besar kerupuk di meja makan."Kami semua suka, Bu. Dulu Ma

  • WARISAN YANG DIRAMPAS    79. Terpaksa Membayar

    Diah terus memaksa, meskipun aku sudah menolak. Bahkan mobilnya tidak bergeser satu senti pun. Karena tak enak, juga khawatir ia curiga, akhirnya aku masuk mobil."Mbak Ira sebenarnya mau ke mana, sih?" tanya Diah ketika aku sudah duduk di sampingnya dan mobil pun melaju."Mau ke depan," jawabku singkat."Iya orang jalan itu pasti ke depan, kalau ke belakang itu namanya mundur. Dari tadi ditanya, jawabnya ke depan mulu." Diah terdengar kesal. Aku menggaruk kepala yang sebenarnya tidak gatal, bingung juga apakah harus terus terang pada Diah bahwa aku akan melihat rumah kontrakan atau diam saja."Aku mau melihat rumah kontrakan." Akhirnya aku memilih untuk jujur."Jadi sudah dapat?" tanya Diah datar."Belum sih, semalam aku coba nyari-nyari di media sosial dan ada beberapa yang sepertinya sesuai dengan keinginan. Jadi rencananya hari ini mau lihat-lihat dulu.""Kalau begitu sekalian aku anterin saja, biar nanti kalau Mbak Ira pindah aku jadi tahu tempat tinggal kalian."Aku menoleh, me

  • WARISAN YANG DIRAMPAS    78. Sikap Diah

    Aku tidak berani menoleh hingga go-jek yang membawaku berhenti di depan rumah Halim. Kutahu mobil pria itu terus mengikutiku dan melesat setelah memastikan aku sampai pada tujuan.Mas Usman tengah tertidur ketika aku masuk ruangan. Letak ponselnya pun berubah, aku yakin mereka berkomunikasi lagi ketika aku pergi tadi. Sakit kembali kurasakan, tapi mereka juga pasti lebih tersiksa menahan rindu. Sambil menunggu Mas Usman bangun aku mulai mencari-cari rumah kontrakan yang murah dan dan bagus. Tak kalah penting juga lokasinya tidak jauh dari sini. Tak lupa aku juga mengecek saldo yang tadi ditransfer oleh Anjas. Ternyata jumlahnya lumayan besar. Dia bilang ini dua kali lipat dari harga mobil itu. Aku sendiri tidak paham berapa harga mobil tersebut. Kalau dibilang tidak enak, jujur saja aku tidak enak menerima uang sebanyak itu dari Anjas. Meskipun akadnya jual beli, tapi itu lebih banyak dari harga seharusnya. Saat ini memang aku sangat membutuhkan uang itu minimal Aku punya tempat tin

  • WARISAN YANG DIRAMPAS    77. Perhatian

    Aku kembali mengernyit, pasalnya aku tidak tahu di mana letak pabrik itu. Apakah dekat dengan tempat tinggalku atau jauh. Aku juga sedang berpikir kalau aku bolak-balik sayang uang untuk ongkosnya ditambah lagi waktu yang terbuang."Tempatnya masih dekat sini, kamu juga tidak akan kehilangan banyak waktu untuk bolak-balik." Anjas seperti yang mengerti apa yang sedang aku pikirkan. Tapi benar juga, untuk kedepannya Aku bingung dengan biaya hidup kami. Jika aku tidak menerima tawaran ini, maka aku harus mencari pekerjaan lain. Pada akhirnya sekarang memang aku yang harus mencari nafkah. Lagi pula, jika bekerja pada orang lain, belum tentu bisa mendapatkan keringanan seperti ini."Baiklah, aku terima tawaran kamu." Aku sudah memutuskan dan mengatakannya setelah selesai makan. Pertimbangannya adalah, Anjas itu temanku, dia sudah memberi keringanan dan aku bisa bernegosiasi sama dia. Baik itu masalah pekerjaan ataupun uang."Oke, kamu tidak perlu membicarakannya dulu dengan suamimu."Aku t

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status