Share

6. Aku Juga Butuh Uang

Pagi ini Mas Fikri berpamitan untuk mencari pekerjaan di pasar seperti biasa. Katanya mau sambil nanya-nanya pada orang pasar, mencari tempat tinggal untuk kami. Uang yang dari Bapak dan Emak kemarin, rencananya memang akan kami belikan rumah dulu. Juga untuk modal Mas Fikri memulai usahanya kembali. Jika ada sisa, kami ingin membeli kendaraan yang layak.

"Doakan Mas secepatnya bisa mendapatkan tempat tinggal, ya, Dek," ucap Mas Fikri ketika sedang bersiap pergi.

"Ya, Mas. Tidak apa-apa sederhana juga, yang penting milik kita sendiri dan bisa buat buka bengkel lagi."

"Iya, Dek. Meskipun saat ini ada saja rezeki di pasar, namun rasanya kurang sreg aja. Karena itu belum bisa dibilang sebagai pekerjaan tetap."

Setelah Mas Fikri pergi ke pasar sambil sekalian mengantar Naya ke sekolah, aku pun mulai mengerjakan pekerjaan rumah yang tersisa. Tapi semua itu urung aku lakukan ketika Mbak Ira menghubungiku.

Aku malah teringat semalam ketika Mbak Ira marah-marah ditelepon lantaran sebagian ikan bakarnya gosong.

"Kamu sengaja, ya, membuat ikan-ikan ini gosong, karena ingin mempermalukan kami di depan teman-temannya Reno?!" Suara Mbak Ira semalam terdengar sangat marah.

"Tidak juga, Mbak. Bukankah aku sudah bilang kalau aku harus pulang sebelum hari gelap. Apalagi tadi Mas Fikri sudah mengabari kalau Nisa rewel. Salah Mbak sendiri, memaksaku mengerjakannya."

"Sejak kamu pulang kampung kemarin, kamu berubah, Nur. Jadi berani membantah dan melawan!" Itu yang dikatakan semalam oleh Mbak Ira.

Jelas saja aku berubah lantaran dengan uang yang kudapatkan dari mertuaku itu, aku seperti punya kekuatan untuk melawan. Karena saat ini hidupku tidak akan tergantung pada Abang-abangku. Meskipun kemarin-kemarin juga aku hidup mandiri dari bengkel itu.

Karena asyik melamun panggilan pertama dari Mbak Ira terlewatkan, hingga disusul lagi dengan panggilan kedua dan aku terpaksa mengangkatnya, meskipun tahu itu adalah perintah.

"Kamu ke sini jangan terlalu siang, Nur. Nanti pekerjaanmu nggak bener lagi seperti kemarin dengan alasan yang cepat-cepat pulang!" Suara Mbak Ira terdengar melengking.

Benar saja, Mbak Ira meminta aku ke rumahnya lagi. Seperti tempo hari dia pernah bilang ketika aku di kampung, bahwa aku harus membereskan rumahnya sebelum pesta dilaksanakan.

"Aduh Mbak, kayaknya aku nggak bisa. Soalnya hari ini ada tetangga kontrakan yang memintaku cuci gosok, bayarannya lumayan." Aku berbohong untuk mengindari pekerjaan di rumah Mbak Ira. Masih mending kalau hanya kerja, ini selalu ditambah dengan caci maki.

"Oh, jadi sekarang kamu sudah bisa membantah dan memilih?!"

"Maaf saja, Mbak. Aku bekerja butuh uang. Mulai saat ini tenagaku tidak akan kubuang sia-sia, sebab anak-anakku perlu jajan dan biaya sekolah. Sementara usaha Mas Fikri dipaksa berhenti. Di samping itu harta warisan yang seharusnya menjadi milikku juga ditahan, jadi aku terpaksa harus bekerja keras."

"Memangnya tetanggamu itu berani bayar berapa untuk cuci gosok?"

Kena, deh!

"100.000 sampai jam 11.00 aja. Bagaimana, apa Mbak berani bayar lebih dari itu?"

"Kamu memeras, Nur?"

"Bukan memeras, Mbak. Tapi aku butuh uang untuk bayar kontrakan rumah."

Untuk sesaat Mbak Ira tidak berkata apapun, sepertinya dia sedang berpikir untuk menanggapi cerita fiksi yang barusan aku sampaikan. Yang sebenarnya tidak ada tetangga yang menyuruhku cuci gosok, apalagi yang berani membayar 100.000 dalam beberapa jam saja. Semua itu aku lakukan supaya Mbak Ira bisa lebih menghargai tenagaku.

"Bagaimana, jadi Mbak mau cari orang lain saja?" Aku memancingnya.

"Baiklah, aku bayar kamu 100.000, tapi sampai jam 12.00. Ini harga saudara, loh. Kamu kasih diskon satu jam." Bukannya mau membayar lebih, Mbak Ira malah menawar, dasar perhitungan.

Aku hampir terbahak mendengarnya. Negosiasi yang diajukan oleh Mbak Ira terdengar lucu sekaligus miris. Ternyata pancinganku berhasil juga, meski dia masih menawar. Sudah kubilang, mulai saat ini aku tidak akan tinggal diam dan Mbak Ira tidak bisa semena-mena menindasku lagi.

"Ya Mbak, tidak apa-apa. Tapi aku engga langsung berangkat sekarang karena Nisa masih sarapan." Aku beralasan anakku masih sarapan, padahal aku ingin membereskan dulu pekerjaan yang tertinggal. Nisa tadi sudah sarapan bersama Naya sebelum pergi ke sekolah.

***

Satu jam kemudian, setelah menelepon Mas Fikri untuk berpamitan, aku sudah berangkat ke rumahnya Mbak Ira dengan mengendarai sepeda kesayanganku. Lumayan capek juga menempuh jarak 4 km dengan mengayuh sepeda sambil membawa Nisa. Tapi tak apalah demi uang 100.000 yang akan kudapatkan.

Tanpa beristirahat dulu, Mbak Ira sudah menyuruhku membereskan rumahnya. Mulai dari menata barang-barang yang tidak terpakai dan menaruhnya di gudang, lalu menggeser beberapa benda supaya ruangan terlihat lebih luas.

"Kenapa si Fikri tidak ikut? Bukankah kemarin Mbak sudah bilang kalau kamu ajak sekalian si Fikri daripada di rumah nganggur."

"Mas Fikri bekerja, Mbak."

"Kerja di mana?"

"Di pasar."

"Jadi kuli angkut?"

"Apa saja, Mbak. Yang penting jadi duit dan anak-anak masih bisa jajan."

"Ya sudah, kalau begitu terpaksa kamu kerjakan sendiri. Kemarin Mbak menyuruh Si Fikri datang supaya kerjamu ringan." Mbak Ira hampir berlalu ketika aku membernya pertanyaan.

"Lagian kenapa Mbak Ira mengadakan pesta di  rumah, 'kan zaman sekarang sudah biasa mengadakan pesta di gedung."

"Kamu pikir pesta di gedung itu gratis?" Kakak iparku itu spontan berbalik.

"Mbak Ira 'kan banyak uangnya. Gaji Bang Usman setiap bulannya pun sudah besar, ditambah lagi uang dari hasil penjualan rumah dan bengkel. Apa itu tidak cukup?" tanyaku lagi sembari menggeser sebuah lemari yang agak kecil agar merapat ke dinding.

"Sebenarnya cukup, tapi kalau kami mengadakan pesta di gedung, nanti para tamu tidak akan tahu rumah kami yang mewah ini. Toh, halamannya luas, jadi bisa mendirikan tenda di sana," ucap Mbak Ira dengan sombongnya. Jadi itu alasannya mengadakan pesta di rumah?

"Asal jangan lupa saja, setelah pesta selesai aku juga membutuhkan uang itu untuk membeli rumah dan memulai lagi usaha Mas Fikri." Aku menghentikan aktivitasku untuk meliriknya.

"Kamu tenang saja, setelah pesta nanti uangmu Mbak berikan. Mbak yakin akan mendapatkan untung yang besar dari pesta itu, soalnya yang datang 'kan teman-teman kantor Bang Usman juga teman-teman sosialita Mbak. Mereka 'kan kaya-kaya, pasti isi amplopnya gede-gede." Kali ini Mbak Ira berkata sambil berkacak pinggang.

Intinya, Mbak Ira membanggakan teman kantor Bang Usman juga teman sosialitanya.

Pekerjaan yang kukira akan selesai pada jam dua belas, ternyata tak kunjung rampung. Itu karena Mbak Ira terus menambah daftar pekerjaan yang harus kukerjakan. Beruntung Nisa anteng, itu karena sudah biasa kubawa ke sini dan disambi kerja.

"Ini sudah sampai jam 12.00 loh, Mbak. Sementara pekerjaannya terus nambah." Akhirnya aku protes, sebab kalau tidak begitu makan Mbak Ira akan terus semena-mena.

"Ya sudah, apa salahnya sih, kamu lanjutkan sampai sore?! Toh, Nisa juga dari tadi anteng, makan terus."

Ya jelas anteng dan makan terus karena aku sengaja membawa camilan yang kubeli di perjalanan tadi. Tahu kalau Mbak Ira itu pelit, tidak menyediakan makanan untuk kami.

"Tapi 'kan perjanjiannya 100.000 sampai jam 12.00, Mbak."

"Bener-bener mata duitan, ya, kamu! Kerjakan sampai sore, nanti Mbak tambahin 50.000!"

"Loh, kok 50.000?"

"Terus mau berapa? Itu juga udah kemahalan, kok. Kerja seharian hanya untuk beres-beres aja udah kaya kerja orang kantoran!"

"Kalau Mbak berpikir kerjaanku ini enteng, kenapa tidak dikerjakan sendiri?" Aku tak enak karena Mbak Ira seakan menyepelekan pekerjaan ini.

"Eh, bener-bener ya, kamu sudah bisa melawan sekarang?" Mbak Ira melebarkan matanya.

"Ingat, Mbak. Pesta pernikahan itu aku yang biayain. Jadi Mbak jangan belagu!" Aku semakin berani melawan Mbak Ira.

"Nurma!!"

"Ada apa ini?!"

Aku dan Mbak Ira seketika menoleh ke arah sumber suara Bang Usman, rupanya kakak sulungku itu pulang di jam istirahat.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status